UKHTY NAUGHTY
PART 1
Di sebuah desa yang terletak jauh dari
hiruk-pikuk kota, malam datang perlahan, menyelimuti alam dengan suasana yang
hening. Hanya terdengar suara jangkrik dan desiran angin yang berbisik di
antara pepohonan. Di sudut desa, sebuah Mushola kecil berdiri dengan tenang,
dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk yang sederhana. Lampu-lampu minyak di
sekitar Mushola menyala temaram, menciptakan bayang-bayang lembut di dinding
kayu yang tua.
Di dalam mushola itu, seorang gadis muda
bernama Anisa tengah duduk di atas tikar berwarna biru yang sudah agak usang,
menghadap sekelompok anak-anak kecil yang duduk di sekelilingnya. Di atas meja
kayu sederhana, ada Al-Qur'an terbuka yang dipegang oleh Anisa, dan beberapa
buku catatan yang disusun rapi. Wajahnya yang berseri-seri menunjukkan
kesungguhan dan ketulusan dalam mengajar. Setiap kalimat yang diucapkannya
terdengar lembut namun penuh makna, seolah setiap kata yang keluar dari
bibirnya adalah doa.
Anisa bukan hanya seorang guru ngaji, tapi
juga seorang pembimbing bagi anak-anak desa yang datang setiap malam. Mereka
datang dengan semangat meskipun hari mereka sudah panjang dan melelahkan. Ada
yang datang dengan kaki telanjang, mengenakan pakaian seadanya, tetapi mata
mereka penuh semangat untuk belajar.
Malam ini, suasana terasa lebih tenang dari
biasanya. Udara sejuk yang berhembus dari sela-sela jendela kayu memberi
kesegaran bagi yang hadir. Beberapa anak tampak serius, mengikuti setiap huruf
yang dibaca, sementara yang lainnya kadang tertawa kecil, tersenyum malu karena
salah melafalkan huruf. Namun, Anisa selalu sabar, memberitahukan mereka dengan
lembut jika ada kesalahan, dan memuji mereka ketika berhasil.
Di luar, suara lantunan ayat-ayat suci Al
Quran masih terdengar sayup-sayup dari menara masjid yang agak jauh. Beberapa
orang dewasa sudah pulang ke rumah masing-masing setelah shalat berjamaah.
Tetapi di dalam mushola, Anisa dan anak-anak seperti berada dalam dunia mereka
sendiri, terikat oleh satu tujuan, belajar bersama, menghafal ayat-ayat suci
yang memberi petunjuk hidup.
Bintang-bintang mulai bermunculan di langit
yang gelap, sementara di dalam mushola, suasana kebersamaan terasa begitu
hangat. Anisa tersenyum melihat anak-anak itu semakin percaya diri. Meskipun
mereka belum sempurna dalam membaca Al-Qur'an, namun semangat mereka begitu
tulus, seperti api kecil yang mulai menyala, menyebarkan cahaya di tengah malam
yang sunyi.
Anisa, seorang gadis muda berusia 20 tahun,
memiliki wajah yang memancarkan ketulusan dan kecantikan yang sederhana namun
menawan. Rambut panjangnya yang hitam berkilau selalu diikat rapi, dengan
ujung-ujungnya kadang tergerai lembut di bawah jilbab yang dikenakannya.
Matanya, yang berwarna cokelat gelap, bersinar penuh semangat dan kebaikan. Di
balik senyum manisnya, ada kedalaman jiwa yang tak tampak di permukaan, sebuah
ketulusan hati yang memancar dari setiap langkahnya.
Setiap pagi, ketika mentari mulai menyinari
desa kecil tempat tinggalnya, Anisa sudah berada di pasar. Ia membantu ibunya
mengatur dagangan di kios kecil yang menjual sayur-mayur segar, beras, dan
aneka bahan kebutuhan sehari-hari. Pasar itu tak jauh dari rumah mereka, dan
setiap hari, wajah Anisa menjadi bagian tak terpisahkan dari keramaian pasar.
Dengan gerakannya yang cekatan dan senyum yang selalu menyapa setiap pembeli,
ia membuat siapa pun merasa nyaman. Tangan Anisa yang terampil memilihkan bahan-bahan
yang segar, mengemasnya dengan rapi, atau sekadar memberikan senyuman ramah
pada pembeli yang datang.
Namun, meski sibuk melayani pelanggan dan
berinteraksi dengan orang-orang, mata Anisa selalu berbinar dengan rasa syukur.
Ia tahu bahwa setiap rupiah yang didapat dari berjualan adalah hasil jerih
payah yang tak ternilai. Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, Anisa merasa
memiliki tanggung jawab besar untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan
keluarga. Terlebih setelah beberapa tahun lalu Ayahnya telah meninggal dunia.
Anisa tidak pernah merasa lelah meskipun
hari-harinya penuh dengan pekerjaan. Ketika ia duduk di lantai mushola,
menghadap anak-anak yang penuh semangat itu, ia merasa ada energi baru yang
muncul dalam dirinya. Di matanya, setiap tawa dan semangat anak-anak itu adalah
harapan bagi masa depan mereka. Tangan Anisa, yang terbiasa memegang keranjang
sayuran atau mengatur barang dagangan di pasar, kini dengan lembut memegang
Al-Qur'an, membimbing jari-jari kecil anak-anak itu untuk membaca dengan benar.
Setelah selesai mengajar ngaji di mushola,
Anisa melangkah pulang dengan hati yang lapang. Langkahnya ringan, meskipun
tubuhnya sudah lelah, namun semangat untuk berbuat baik selalu memberinya
kekuatan lebih. Sepanjang jalan menuju rumah, angin malam menyapu lembut
wajahnya, membawa kesejukan yang menenangkan.
Sesampainya di rumah, Anisa membuka pintu
pelan-pelan, tidak ingin mengganggu ketenangan para penghuni yang lain. Ia
meletakkan tasnya di sudut ruangan, lalu berjalan menuju kamar. Kamar kecil itu
sederhana, hanya terdapat kasur tipis yang dibalut kain motif bunga, meja kayu
yang sedikit usang, dan lemari pakaian kecil di sudut lain. Meski demikian,
kamar itu terasa nyaman baginya, penuh dengan kenangan-kenangan indah dan
harapan-harapan masa depan.
Dengan langkah ringan, Anisa duduk di tepi
tempat tidurnya dan mulai melepas jilbab yang ia kenakan sepanjang hari.
Seiring dengan itu, pikirannya melayang pada segala aktivitas yang telah
dilalui hari itu. Namun, ada sesuatu yang mengusik hati Anisa, sebuah rasa
ingin tahu yang datang setiap kali ia menyentuh ponsel di atas meja kecil. Ia
memeriksa ponselnya yang tergeletak di sampingnya, dan matanya segera tertuju
pada sebuah pesan singkat yang baru saja masuk.
Pesan itu berasal dari Hanafi, pemuda desa
yang sudah lama ia kenal. Hanafi adalah anak Lurah desa mereka, seorang pemuda
yang kini sedang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren jauh dari rumah.
Sejak kecil, Hanafi sering bermain bersama Anisa, meskipun hubungan mereka
lebih kepada pertemanan yang penuh canda tawa. Namun, sejak Hanafi pergi untuk
melanjutkan pendidikan, hubungan mereka mulai berubah. Ada perasaan yang mulai
tumbuh di hati Anisa, perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan begitu saja. Anisa
membuka pesan itu dengan perlahan, jantungnya berdegup lebih cepat dari
biasanya. Pesan itu singkat, namun begitu dalam maknanya:
“Anisa, malam ini langit begitu indah, tapi
tak seindah senyummu yang selalu teringat di hatiku. Aku rindu suasana desa,
rindu kebersamaan kita. Semoga Allah selalu melindungimu di setiap langkah. Aku
di sini, akan selalu mendokanmu, meski jarak memisahkan kita.”
Membaca pesan itu, Anisa merasakan sesuatu
yang hangat menjalari hatinya. Kata-kata yang tulus dan penuh rasa sayang itu
membuat pipinya memerah. Meskipun Hanafi jauh di pondok pesantren, rasanya
seperti ada ikatan yang kuat yang tetap menghubungkan mereka, meski jarak dan
waktu berusaha memisahkan.
Anisa menyandarkan punggungnya ke dinding
kamar, memejamkan mata sejenak untuk menenangkan perasaan yang mulai menggebu.
Suasana malam yang sunyi, dengan suara angin yang lembut, membuat setiap kata
dalam pesan itu terasa begitu mendalam. Hanafi, meskipun jauh, masih menyimpan
perasaan yang sama seperti dulu. Sejenak, Anisa terdiam, membiarkan pikirannya
melayang, meresapi pesan itu.
Tangan Anisa mulai bergerak untuk membalas
pesan itu. Ia menulis dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak ingin
terkesan terburu-buru, namun juga ingin mengungkapkan perasaannya yang telah
lama terpendam.
“Hanafi, aku pun merindukanmu. Setiap kali
malam datang, aku sering teringat pada kenangan-kenangan kita di desa ini. Aku
bersyukur bisa mengenalmu, dan aku berharap semoga kita selalu diberikan jalan
yang terbaik oleh Allah. Semoga ilmu yang kau cari di sana membawa berkah untuk
kita semua.”
Setelah mengetik balasan itu, Anisa menekan
tombol kirim, lalu menatap layar ponselnya, sedikit tersenyum. Ada perasaan
hangat yang meresap di dalam hatinya. Ia tahu, meski jarak memisahkan mereka,
perasaan yang tumbuh di antara mereka tetap nyata, dan doa-doa mereka akan
selalu saling menguatkan.
Malam itu, Anisa terbaring di kasurnya, dengan
pikiran yang dipenuhi oleh pesan Hanafi. Meskipun ia tahu masih banyak tugas
dan tanggung jawab yang harus diembannya, mengajar anak-anak, membantu ibunya
di pasar, dan menjalani kehidupan yang penuh kesederhanaan, perasaan itu
memberi warna baru dalam hidupnya. Sebuah perasaan yang begitu indah, yang
datang dari seseorang yang jauh, namun begitu dekat di hatinya. Dalam
keheningan malam, Anisa merasa bahwa meskipun dunia luar terlihat sepi, hatinya
tidak pernah merasa sendiri.
***
Hubungan Anisa dan Hanafi semakin hari semakin
dekat. Setelah pesan singkat yang penuh makna, keduanya mulai lebih sering
berkomunikasi, tidak hanya melalui teks, tetapi juga melalui telepon dan video
call. Setiap malam, setelah mengajar ngaji dan menyelesaikan pekerjaan rumah,
Anisa akan duduk di kamar kecilnya, menunggu panggilan dari Hanafi. Begitu
telepon berdering, hati Anisa berdegup lebih cepat, meskipun hanya suara Hanafi
yang terdengar di ujung sana.
Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang
kehidupan di desa, tentang pelajaran di pondok pesantren, tentang rindu yang
kadang datang begitu saja, dan tentang masa depan yang mereka harapkan.
Meskipun jarak memisahkan mereka, kedekatan mereka terasa nyata. Ada kehangatan
dalam setiap percakapan, dalam tawa yang mengalir, dan dalam setiap doa yang
mereka panjatkan untuk satu sama lain.
Anisa merasa nyaman dengan Hanafi. Dia sudah
mengenal pemuda itu sejak kecil, dan meskipun Hanafi kini jauh di pondok
pesantren, ia merasa bahwa hati mereka tetap saling terhubung. Di balik
pesan-pesan yang manis, Anisa merasa ada niat baik dari Hanafi untuk menjaga
hubungan mereka tetap kuat, meskipun dalam keterbatasan ruang dan waktu.
Namun, suatu malam, saat keduanya sedang
berbicara melalui video call, Hanafi mengungkapkan sebuah permintaan yang
tiba-tiba membuat Anisa terkejut. Ketika wajahnya muncul di layar ponsel,
dengan senyum khas dan mata yang berbinar, Hanafi berbicara dengan suara yang
sedikit berbeda, seolah ada beban yang sedang ia bawa.
“Anisa, aku... aku ingin meminta sesuatu.”
kata Hanafi dengan nada agak ragu. Anisa menatapnya dengan penuh perhatian.
“Apa itu? Kamu bisa bilang apa saja, kok.”
Hanafi terlihat menghela napas sebelum melanjutkan.
“Aku tahu ini mungkin tidak seharusnya, tapi
aku ingin melihat lebih dekat. Aku ingin melihat dirimu tanpa jilbab. Aku ingin
tahu seperti apa penampilanmu tanpa itu, hanya untuk aku sendiri. Aku sudah
lama merindukanmu, Anisa, dan aku ingin melihat keindahanmu lebih dekat.”
Anisa terdiam sejenak. Jantungnya terasa
berdebar cepat, dan seakan-akan waktu berhenti sejenak. Kata-kata Hanafi
menggantung di udara, menciptakan rasa yang campur aduk di dalam hatinya. Di
satu sisi, Anisa merasa sangat dihargai dan diperhatikan oleh Hanafi. Namun di
sisi lain, kata-kata itu terasa mengganggu. Ia merasa ada batasan yang telah
dilewati dalam hubungan mereka yang selama ini ia anggap murni dan penuh
penghormatan.
Anisa mengalihkan pandangannya, mencoba
mencari kata-kata yang tepat untuk merespon permintaan itu. Hatinya berbicara
tentang rasa hormat kepada diri sendiri, tentang nilai-nilai yang telah
diajarkan oleh keluarganya, dan juga tentang rasa malu yang harus dijaga.
Meskipun ia merasakan ketulusan di hati Hanafi, ia tahu ada batas yang tidak
boleh dilanggar, terutama dalam hal ini, yang menyangkut privasi dan integritas
dirinya sebagai seorang wanita.
“Aku mengerti, Hanafi, bahwa kamu
merindukanku,” jawab Anisa akhirnya dengan suara yang tenang, namun penuh
ketegasan.
“Tapi aku ingin kamu mengerti juga bahwa ada
batas-batas yang harus dihormati dalam sebuah hubungan. Aku memilih untuk
mengenakan jilbab, dan itu adalah bagian dari diriku yang sangat penting. Aku
berharap kamu bisa menghargainya.”
Hanafi terdiam sejenak, tampak seperti
berpikir sejenak atas kata-kata Anisa. Di layar ponselnya, wajah Hanafi
menunjukkan sedikit kekecewaan karena permintaannya tak bisa dituruti oleh
gadis cantik itu.
“Aku minta maaf, Anisa. Seharusnya aku tidak
meminta itu. Aku terlalu terbawa perasaan. Baiklah, aku harus pergi dulu, ada
yang harus aku kerjakan sekarang.”
Tanpa basa-basi kata penutup selayaknya
pasangan yang tengah dilanda rindu karena lama tak bertemu, Hanafi langsung
mematikan panggilan video call, meninggalkan Anisa yang kini hanya bisa
termangu tak mengerti dengan perubahan sikap Hanafi.
PART 2
Pagi itu, pasar desa mulai hidup dengan
suasana yang riuh dan penuh warna. Pedagang-pedagang kecil yang membuka lapak
dengan barang dagangan segar dan berbagai kebutuhan rumah tangga mulai
merapikan barang-barang mereka. Bau rempah-rempah yang menggoda tercium dari
deretan pedagang bumbu, sementara suara tawar-menawar antara pembeli dan
penjual mengisi udara dengan ritme yang akrab bagi setiap warga desa.
Di salah satu sudut pasar, di sebuah toko
kelontong kecil yang dikelola oleh ibunya, Anisa sedang sibuk merapikan rak-rak
yang penuh dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari, beras, minyak goreng,
gula, dan berbagai macam bumbu dapur. Toko milik ibunya itu tidak besar, tetapi
selalu ramai dengan pembeli yang datang untuk berbelanja. Di luar, orang-orang
berjejer membeli sayuran, daging, dan ikan segar. Di dalam toko, Anisa dengan
cekatan melayani pembeli yang datang, memberi senyuman ramah seperti biasa, meskipun
hati kecilnya masih terasa berat.
Sambil menyusun tumpukan beras, Anisa teringat
lagi pada kejadian semalam. Ketika itu, ia sedang video call dengan Hanafi,
seperti malam-malam sebelumnya. Mereka berbicara panjang lebar tentang berbagai
hal, mulai dari kegiatan di pondok pesantren hingga rencana mereka untuk
bertemu suatu hari nanti.
Namun, saat Hanafi meminta agar ia melepas
jilbab—permintaan yang sangat mengejutkan baginya—Anisa dengan tegas menolak.
Setelah itu, suasana menjadi canggung. Hanafi tiba-tiba mematikan panggilan
video call tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Anisa merasa ada sesuatu yang
berubah dalam sikapnya, sesuatu yang tidak bisa ia mengerti. Keputusan untuk
tetap mengenakan jilbab adalah bagian dari identitas dirinya, dan ia tidak
ingin kompromi dalam hal itu.
Anisa menarik napas panjang, berusaha untuk
menenangkan diri. Ia tahu, meskipun masih merasa sedikit kecewa dan bingung
dengan sikap Hanafi yang tiba-tiba berubah dingin, ia tidak bisa membiarkan
perasaan itu mengganggu pekerjaannya hari ini. Ia berusaha tersenyum saat
melayani pelanggan yang datang membeli gula dan beras, namun hatinya tetap
terasa tidak tenang. Sejak semalam, ponselnya tidak berdering sama sekali.
Tidak ada pesan dari Hanafi, tidak ada panggilan. Sepertinya, ia benar-benar
menghindarinya.
“Ibu, tadi ada yang beli minyak goreng?” tanya
Anisa sambil menoleh ke arah ibunya yang tengah berdiri di belakang meja kasir.
Ibu Yanti, seorang wanita paruh baya dengan wajah yang ramah, menatap putrinya
dan mengangguk.
“Tadi ada yang beli, Nak. Kenapa? Kamu
kelihatan melamun terus. Ada masalah?” Anisa tersenyum, meskipun senyumnya
tampak sedikit dipaksakan.
“Tidak,
Bu. Hanya sedikit capek saja.” Jawabnya sambil melanjutkan pekerjaannya.
Ibunya yang cerdas dan penuh perhatian tentu
saja bisa melihat ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anisa. Dengan lembut, ibu
Anisa mendekati anaknya dan meletakkan tangan di bahu Anisa, memberi sentuhan
yang penuh kasih sayang.
“Jangan disimpan sendiri, Nak. Kalau ada yang
mengganggu pikiranmu, ceritakan. Ibu selalu ada untuk mendengarkan.” Anisa
menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang mulai tumpah. Akhirnya, ia
menghela napas dan berbicara,
“Hanafi... dia agak berbeda semalam. Setelah
aku menolak untuk melepas jilbab, dia... dia tiba-tiba mematikan video
call-nya. Sejak itu, tidak ada kabar darinya. Aku bingung, Bu.” Ibu Anisa
mendengarkan dengan seksama, kemudian mengangguk dengan penuh pengertian.
“Anisa, kamu sudah dewasa. Kamu tahu betul apa
yang terbaik untuk dirimu. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia akan
menghargai pilihanmu. Jangan biarkan siapapun, apalagi karena perasaan
sementara, mengubah prinsip yang sudah kamu pegang teguh. Jilbabmu adalah
bagian dari dirimu yang tak bisa dipisahkan.”
Anisa menatap ibunya dengan penuh rasa terima
kasih. Kata-kata ibunya memberikan sedikit ketenangan di hati yang sedang
risau. Ia tahu, ibunya selalu memberi nasihat dengan penuh kebijaksanaan, dan
apa yang dikatakan ibunya memang benar. Namun, rasa kecewa terhadap sikap
Hanafi yang tiba-tiba berubah tetap menggantung di pikirannya. Dia ingin
hubungan ini tetap baik, tapi bagaimana jika perbedaan ini menjadi penghalang?
Bagaimana jika dia tidak bisa menerima prinsip hidup yang ia anut?
Sore hari Anisa duduk di depan rumah,
memandangi langit yang mulai berubah warna. Matahari yang terbenam memberi
cahaya lembut pada desanya, namun dalam hatinya, ia merasa hampa. Ia merindukan
Hanafi. Ia merindukan percakapan mereka yang ringan, tawa mereka yang sering
mengiringi obrolan malam, dan rasa nyaman yang selalu hadir di dekatnya. Namun
kini, semuanya terasa begitu jauh.
Dengan hati yang berat, Anisa kembali menatap
ponselnya. Ia masih berharap agar Hanafi menghubunginya. Tetapi, semakin lama
ia menunggu, semakin ia merasa ragu. Apakah hubungan mereka akan tetap bertahan
setelah perbedaan itu? Ataukah, semuanya akan berakhir begitu saja, hanya
karena sebuah permintaan yang ia tolak dengan tegas?
Anisa menunduk, meremas ponselnya dalam
genggaman tangan. Ia ingin sekali melupakan kekecewaannya, namun semakin ia
mencoba untuk tidak memikirkan Hanafi, semakin ia merasa rindu dan bingung. Ia
merasa tak tahu harus berbuat apa. Namun, satu hal yang pasti, perasaan
itu—rasa kecewa, rasa bingung, dan rindu yang menggelayuti—akan selalu ada.
Hingga suatu saat, mungkin Hanafi akan kembali, atau mungkin, Anisa yang harus
belajar menerima kenyataan bahwa kadang, perbedaan bisa memisahkan dua hati
yang pernah dekat.
***
Malam hari, setelah selesai mengajar ngaji,
Anisa kembali ke rumah dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Kelas
ngaji telah usai, anak-anak yang penuh semangat itu sudah kembali ke rumah
masing-masing, dan suasana desa mulai sepi, diterangi oleh cahaya rembulan yang
temaram. Anisa meletakkan tasnya di sudut kamar dan berjalan menuju cermin
kecil yang ada di dekat meja rias.
Di atas meja, ponsel Anisa tergeletak, senyap
karena tak ada satupun notofikasi dari Hanafi. Pria yang selama ini selalu
menjadi teman bicara, tiba-tiba menjauh hanya karena ia menolak permintaannya
untuk melepas jilbab.
Anisa duduk di tepi tempat tidur, menatap
cermin dengan pandangan kosong. Sesaat, ia hanya terdiam, meresapi segala
perasaan yang menggelayuti hatinya. Kenapa dia tidak mengerti? pertanyaan itu
kembali terngiang di pikirannya. Dalam hatinya, ada dorongan kuat untuk bisa
menjaga hubungan ini, untuk bisa menjembatani rasa kecewa yang ada di antara
mereka. Tetapi, saat ia memandang dirinya di cermin—dengan jilbab yang membalut
kepalanya, dengan pakaian yang menutupi tubuhnya—ada perasaan lain yang ikut
hadir. Apakah aku salah? pikirnya. Apakah aku terlalu keras dengan prinsipku?
Perasaan itu seperti tarik-menarik, antara
menjaga harga diri dan memenuhi harapan orang yang ia sayangi. Dengan lembut,
ia melepas jilbabnya, merasakan helai-helai rambutnya yang panjang terlepas
dari penutup kepala yang selama ini menutupi dirinya. Rambutnya terurai, jatuh
dengan lembut di bahu dan punggungnya.
Ia memandangi dirinya sendiri di cermin. Sosok
gadis muda yang ia kenal, dengan tubuh yang molek, dengan kulit yang cerah
namun tak terlalu mencolok. Ia ragu, sedikit bingung, dengan perasaan yang
bercampur aduk. Kekecewaan Hanafi perlahan mulai meruntuhkan tekad serta
niatnya untuk tetap menutup aurat.
Dengan perlahan, jari-jarinya menyentuh layar
ponsel, dan ia membuka aplikasi pesan yang sudah lama ditinggalkan. Ia tahu,
perasaan ingin membuat Hanafi mengerti sangat kuat, tetapi ada juga rasa takut
jika perbuatannya itu akan mengubah semuanya. Namun, entah kenapa, saat ini,
rasa ingin menghentikan kegelisahan lebih besar. Ia ingin memberi Hanafi sebuah
jawaban, mungkin jawaban yang akan menghapus ketegangan di antara mereka.
Tanpa berpikir panjang, Anisa membuka kamera
ponselnya dan mengambil foto dirinya di depan cermin. Gambar itu menunjukkan
wajahnya yang lembut, rambut yang terurai bebas, dan tubuhnya yang molek, tanpa
penutup jilbab. Untuk sesaat, ia menatap foto itu, merasakan kebingungannya.
Apakah ini langkah yang benar? tanyanya pada dirinya sendiri. Tapi entah
kenapa, perasaan ingin berbagi dengan Hanafi, ingin memberi pemahaman tentang
dirinya, akhirnya mengalahkan keraguannya.
Anisa menatap layar ponselnya, lalu menekan
tombol kirim. Dengan napas yang berat, ia menunggu beberapa detik, mengharapkan
sebuah respons, tetapi saat itu juga, rasa takut itu datang lagi. Apa yang akan
terjadi setelah ini? pikirnya. Namun, setelah beberapa saat yang terasa begitu
panjang, ponselnya bergetar. Hanafi membalas pesan itu.
“Anisa, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku
hanya ingin berterima kasih karena kamu mau membagikan ini padaku. Aku akan
belajar lebih banyak lagi untuk menghargai keputusanmu, dan aku berharap kita
bisa terus saling memahami.”
Mendapatkan balasan itu, hati Anisa sedikit
terasa lebih lega. Meskipun masih ada ketegangan yang belum sepenuhnya hilang,
ia merasa sedikit lebih tenang, seakan-akan beban yang sempat menekan dadanya
mulai sedikit berkurang. Ia tahu, keputusan yang ia ambil mungkin tidak akan
langsung mengubah keadaan, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa lebih
ringan—bahwa setidaknya, ia telah mengungkapkan dirinya tanpa rasa takut.
Namun, meski perasaan lega itu hadir, Anisa
masih belum sepenuhnya yakin dengan langkahnya. Ia tahu, ada banyak hal yang
perlu dibicarakan, banyak hal yang perlu mereka saling pahami. Tetapi untuk
malam ini, ia memilih untuk beristirahat dengan pikiran yang sedikit lebih
tenang, dengan doa agar hubungan mereka tetap diberkahi dan dikuatkan, meski
terkadang perjalanan cinta harus melewati jalan yang berliku.
PART 3
Setelah Anisa mengirimkan fotonya tanpa jilbab
kepada Hanafi, suasana antara mereka sempat terasa canggung, namun tidak lama
kemudian, hubungan mereka kembali hangat. Hanafi, yang sebelumnya tampak
menghindar dan menjaga jarak, kini lebih terbuka lagi. Setiap kali Anisa
membuka ponselnya, ada pesan darinya. Pesan-pesan itu berisi kata-kata manis,
permintaan maaf yang tulus, dan ungkapan rindu yang membuat hati Anisa terasa
hangat.
Hanafi kembali menunjukkan perhatian yang
selama ini ia rindukan, mengirimkan pesan setiap pagi dan malam, menanyakan
kabar Anisa, dan berbicara tentang segala hal—mulai dari pelajaran di pondok
pesantren hingga cerita-cerita tentang kehidupan di desa yang mereka
tinggalkan.
Malam-malam mereka kembali diisi dengan
percakapan lewat telepon dan video call, bahkan lebih sering dari sebelumnya.
Hanafi selalu berbicara dengan lembut, sering kali memberi pujian pada Anisa,
terutama tentang penampilannya yang ia anggap cantik dan menarik. Anisa merasa
dihargai, merasa bahwa hatinya kembali disentuh dengan cara yang indah.
Meskipun ia masih merasa cemas dengan perasaan yang menguat, ia mulai kembali
percaya bahwa hubungan ini bisa berjalan baik.
Namun, semakin dekat mereka, semakin terasa
adanya ketegangan yang perlahan-lahan muncul. Pada suatu malam, saat mereka
sedang berbicara melalui video call, Hanafi kembali melontarkan permintaan yang
lebih dari sebelumnya, permintaan yang sedikit membuat Anisa terkejut.
“Anisa,” kata Hanafi dengan suara yang agak
lebih serius,
“Aku ingin kita lebih dekat, lebih saling
memahami. Kamu tahu, aku selalu merasa rindu padamu. Aku ingin melihat lebih
banyak dari dirimu, tidak hanya foto tanpa jilbab. Aku ingin... kamu tahu,
lebih dari itu.” Anisa terdiam sejenak, hatinya berdetak kencang. Ia menatap
layar ponselnya, mencari tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh Hanafi.
“Maksud kamu?” tanya Anisa pelan, suaranya
hampir tak terdengar. Hanafi terlihat sedikit ragu, tetapi setelah beberapa
detik, ia melanjutkan,
“Aku ingin kamu mengirimkan foto yang lebih...
intim. Tanpa pakaian. Hanya untuk aku, Anisa. Aku janji, ini hanya untuk kita
berdua.”
Anisa terkejut, merasa dunia seakan terhenti
sejenak. Kata-kata itu begitu tajam, seperti pisau yang menusuk hati. Apa yang
dia minta? pikir Anisa, bingung dan khawatir. Ini bukanlah permintaan yang
biasa ia dengar dari Hanafi, pemuda yang selama ini ia anggap penuh
penghormatan dan perhatian. Dia ingin tetap mempertahankan hubungan ini, namun
permintaan Hanafi terasa sangat bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai
yang ia pegang.
“Maaf, Hanafi, aku tidak bisa,” jawab Anisa
dengan suara tegas, meskipun dalam hati ia merasa perasaan dan rasa takut yang
kuat bercampur.
“Aku tidak bisa melakukan itu. Itu bukan
sesuatu yang aku rasa nyaman untuk lakukan.” Hanafi terdiam sejenak, wajahnya
terlihat sedikit kecewa, meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu.
“Anisa,
aku tidak bermaksud memaksakanmu. Tapi aku ingin kita lebih dekat, lebih dari
sekadar kata-kata. Aku benar-benar mencintaimu, dan aku ingin kamu menunjukkan
kepercayaanmu padaku.” Anisa merasa ada tekanan yang semakin besar, tetapi ia
berusaha tetap tegar.
“Aku tahu kamu peduli, Hanafi, tapi aku tetap
harus menghargai diriku sendiri. Ini bukan tentang kurangnya kepercayaan, ini
tentang prinsip yang sudah aku pegang selama ini.”
“Anisa, aku minta maaf. Aku tahu aku salah.
Aku terlalu terbawa perasaan. Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku
hanya ingin kamu tahu betapa aku mencintaimu, dan betapa aku merindukanmu. Aku
akan menunggu sampai kamu siap.”
Namun, meskipun kata-kata Hanafi terdengar
tulus, hati Anisa tetap tidak tenang. Ia merasa bingung dan cemas. Ia ingin
percaya pada Hanafi, tetapi ada keraguan yang mengganggu. Hari-hari berikutnya,
mereka kembali berbicara lebih sering, tetapi entah mengapa, ada ketegangan
yang tidak bisa dihindari. Ada semacam jarak yang semakin lama semakin terasa,
meskipun mereka berusaha untuk menjaga komunikasi.
Hari itu tiba—hari yang membuat Anisa ragu
antara mendengarkan hatinya atau mengikuti perasaan yang membingungkan. Hanafi
kembali mendesak, kali ini dengan lebih intens.
“Anisa,
aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku benar-benar ingin melihatmu, lebih dari
sekadar foto biasa. Aku janji, ini hanya untuk kita berdua, tidak ada yang
lain. Aku benar-benar mencintaimu, dan aku ingin kita lebih dekat.”
Kata-kata Hanafi itu terus terngiang di
telinga Anisa. Di satu sisi, ia merasa sangat dihargai, namun di sisi lain, ada
perasaan takut yang semakin menguat. Apakah aku salah jika aku menuruti
permintaannya? Anisa bertanya-tanya, merasakan perasaan cinta yang begitu
mendalam, yang seolah mengalahkan prinsip-prinsip yang selama ini ia pegang
teguh.
Akhirnya, dalam keheningan malam itu, Anisa
mengambil keputusan. Perasaan cintanya yang mendalam kepada Hanafi yang sudah
begitu lama ia simpan akhirnya membuatnya tunduk pada permintaan Hanafi. Dengan
jantung yang berdetak kencang dan perasaan campur aduk, Anisa memutuskan untuk
mengirimkan foto yang diminta Hanafi, foto yang menunjukkan dirinya tanpa
pakaian. Ia merasa terombang-ambing antara cinta dan rasa takut, antara
keinginan untuk menjaga hubungan ini dan mempertahankan rasa hormat terhadap
dirinya sendiri.
Setelah mengirimkan foto itu, Anisa merasa
hampa. Ia tidak tahu apa yang dirasakannya. Pada awalnya, ia merasa terlepas
dari beban yang selama ini mengganggunya. Tetapi, saat melihat layar ponsel
yang masih menunjukkan pesan dari Hanafi yang belum dibaca, hati Anisa dipenuhi
dengan kebingungan. Apakah ini keputusan yang benar? Pagi harinya, Hanafi
mengirimkan pesan singkat yang membuat Anisa merasa semakin cemas.
“Terima
kasih, Anisa. Kamu tidak tahu betapa aku menghargai kepercayaanmu. Aku akan
menjaga ini, dan aku akan selalu mencintaimu.”
Namun, meskipun Hanafi berkata demikian, Anisa
merasa ada perasaan yang semakin terkikis dalam dirinya. Ia merasa telah
mengorbankan sesuatu yang lebih penting dari sekadar hubungan ini—harga
dirinya, keyakinannya, dan rasa hormat terhadap dirinya sendiri. Perasaan itu
semakin membebani hatinya, meskipun Hanafi tetap bersikap penuh kasih dan
perhatian.
Hubungan mereka memang kembali hangat, tetapi
di balik itu, ada keretakan yang perlahan-lahan muncul. Dan Anisa, meskipun ia
berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia melakukannya demi cinta, mulai menyadari
bahwa kadang cinta bisa membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri.
***
“Hanafi! Apa yang kamu lakukan??”
Anisa tak bisa menyembunyikan keterkejutannya
saat melihat Hanafi tiba-tiba melepas seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat
ketika mereka berdua sedang melakukan video call. Memang sedari tadi Hanafi
sering mengarahkan pembicaraan ke hal-hal mesum menjurus cabul, tapi Anisa sama
sekali tak menduga jika pria yang dicintainya itu akan melakukan hal yang lebih
jauh lagi.
“Ayolah Nis, aku udah nggak tahan lagi.” Ucap
Hanafi sambil mengenggam batang penisnya dan menunjukkannya pada Anisa.
“A-Aku nggak tau harus ngapain.”
Dada Anisa bergemuruh, seumur hidup inilah
kali pertama gadis cantik itu melihat batang kemaluan pria dewasa secara
langsung. Di satu sisi dia merasa asing dengan Hanafi yang berubah jadi secabul
ini, tapi di sisi lain dia tau jika dia mematikan panggilan video call maka
ketegangan akan kembali tercipta dalam hubungan mereka berdua.
“Coba kamu lakuin hal yang sama Nis…Buka
bajumu…” Nafas Hanafi tersenggal karena nafsu sudah di ubun-ubun. Gerakan
tangannya yang tadi hanya meremas kini mujlai bergerak naik turun mengocok
batang penisnya sendiri.
“Hah?! Nggak ah! Udah gila kamu ya?” Tolak
Anisa secara tegas.
“Ayolah, nggak usah malu-malu lagi. Aku juga
udah pernah liat foto telanjangmu kan?”
Anisa terdiam, ucapan Hanafi barusan seolah
membuatnya kembali menyesali apa yang pernah dia lakukan tempo hari. Gadis
cantik itu seperti tak punya pilihan lain, racun cinta pada Hanafi menutup
segala rasa malu dan hal-hal prinsip yang selama ini dia pegang teguh. Perlahan
Anisa mengangkat kedua tangannya dan mulai melepas daster panjang yang menutupi
tubuhnya.
“Ouucchhh Nisa…Tubuhmu bagus banget sayang…”
Puji Hanafi sambil terus mengocok batang penisnya sendiri.
“Lepas juga BH nya sayang…” Lanjut Hanafi
memberi perintah.
“Tolong Hanafi, cukup…Aku nggak pernah kayak
gini.” Anisa berusaha menolak permintaan Hanafi tapi dia tau pemuda itu pasti
tidak akan pernah menyerah.
“Kamu sayang aku nggak sih Nis?” Tiba-tiba menghentikan
aksi cabul pada batang penisnya sendiri. Di layar ponsel Anisa kini terpampang
wajah marah pemuda itu.
“Maksudmu apa Hanafi? Aku tentu menyayangimu.”
“Kalo kamu sayang aku harusnya kamu mau
menuruti apa semua mauku.”
“Selama ini bukankah seperti itu? Apapun maumu
aku coba buat nurutin, termasuk kayak sekarang ini. Aku hanya belum terbiasa
dengan hal semacam ini.”
Anisa tak habis pikir kenapa Hanafi bisa
berubah sedemikian cepat, dari seorang pemuda yang baik menjadi sosok pria
cabul dan sekarang justru jadi Hanafi yang emosional.
“Alah! Banyak alasan kamu Nis! Bikin aku nggak
mood aja!”
“Oke..Oke..Aku minta maaf.”
Tak punya pilihan lain untuk meredam kemarahan
Hanafi, jemari lentik Anisa bergerak ke belakang punggungnya, melepas pengait
BH. Tak lama payudaranya yang berukuran cukup besar terpampang jelas tanpa
penutup apapun. Tubuh Anisa bergetar inilah kali pertama dia mempertontonkan
bagian tubuhnya yang paling privat pada Hanafi, bukan lewat foto tapi lewat
tampilan langsung video call.
“Wah!! Gila! Aku nggak menduga payudaramu
sebesar itu!” Pekik Hanafi, pemuda itu kembali meracap batang penisnya sendiri,
mayanya jalang menatap layar ponsel yang memperlihatkan tubuh molek Anisa.
Malam itu Anisa terpaksa menuruti kemauan
Hanafi. Anisa melanggar semua bentuk prinsip dan aturan agama tentang
kehormatan wanita demi memuaskan nafsu setan yang membelenggu Hanafi.
Ketakutannya akan kemarahan Hanafi membuat Anisa mau melakukan apapun.
PART 4
Matahari sore mulai tenggelam di balik
pegunungan, memberi cahaya lembut pada desa yang tenang. Anisa sedang berdiri
di depan mushola, bersiap pulang setelah selesai mengajar ngaji. Sepanjang
hari, dia fokus dengan anak-anak yang baru belajar membaca Al-Qur'an, tapi
hatinya terasa hampa. Meski sibuk, ada satu sosok yang selalu ia rindukan. Hanafi,
pria yang telah lama ia cintai.
Sejak Hanafi pergi ke pondok pesantren,
liburan seperti ini terasa begitu lama baginya. Terlebih dua hari lalu anak
Lurah tersebut mengabarkan jika hari ini akan pulang ke desa. Kabar gembira itu
tentu makin membuat hati Anisa berbunga-bunga karena tak lama lagi akan bersua
dengan pujaan hatinya. Saat ia menata tas di bahunya, sebuah suara familiar
terdengar di pintu masuk Mushola.
“Assalamualaikum, Nis.”
Anisa terkejut. Tubuhnya seolah kaku mendengar
suara itu. Perlahan, ia menoleh, dan matanya bertemu dengan mata Hanafi. Pria
itu, dengan rambut sedikit panjang dan pakaian putih khas santri, berdiri
dengan senyuman yang menghangatkan hati.
“Hanafi? Kamu kapan nyampek?”
“Tadi siang Nis, maaf aku lupa tak memberimu
kabar. Di rumah kebetulan ada acara pengajian jadi aku harus bantu-bantu dulu.”
Anisa merasa hatinya berdebar. Begitu lama ia
menunggu momen ini, dan akhirnya, Hanafi ada di depannya. Tak bisa lagi ia
tahan rasa bahagianya, Anisa melangkah mendekat.
“Nggak apa-apa kok, aku seneng akhirnya kita
bisa ketemu lagi.” Hanafi tersenyum lembut. Pemuda itu melepas sandalnya lalu
melangkah masuk ke dalam Mushola.
“Anak-anak mana Nis? Kok tumben udah sepi?”
Hanafi mengedarkan pandangan ke seluruh bagian dalam Mushola.
“Barusan pulang semua, kalo hari kamis memang
jadwalnya sehabis ashar.” Ujar Anisa.
“Kamu hebat Nis. Aku bangga melihatmu seperti
ini, jadi ustadzah.” Hanafi menyentuh bahu Anisa sambil tersenyum lembut. Anisa
tertunduk malu, jantungnya berdegup makin kencang.
Sejenak ada keheningan di antara mereka
berdua. Tak ada satupun kata yang terucap dari dua insan yang tengah dilanda
rindu tak berkesudahan ini. Hanafi berusaha merapatkan tubuhnya, semakin dekat
hingga dia bisa menghirup aroma parfum yang digunakan oleh Anisa.
“Nis, kamu tau kan kalo aku sangat
mencintaimu?” Suara Hanafi terdengar lirih, sedikit bergetar karena ini adalah
jarak terdekat yang pernah dia rasakan saat bersama Anisa.
“Aku juga mencintaimu Hanafi…” Balas Anisa.
Hanafi sedikit merubah posisi berdirinya, kini
pemuda itu menghadap ke wajah Anisa yang masih tertunduk malu-malu. Hanafi
mengangkat dagu Anisa, senyumnya terhampar lembut kala kecantikan Anisa bisa
terlihat sempura. Pelan namun pasti kepala pemuda itu mendekati wajah Anisa
hingga bibir mereka berdua bertemu.
“Eeemmcchhh…”
Sentuhan bibir Hanafi layaknya setrum ribuan
watt yang membuat tubuh Anisa tersengat beberapa detik sebelum kemudian
tersadar jika ini sudah kelewatan. Anisa mundur dua langkah sekaligus mendorong
dan menjauhi tubuh Hanafi yang masih berdiri mematung di hadapannya.
“Jangan Hanafi, astagfirullah….Kita nggak
boleh nglakuin ini! Apalagi di sini!” Anisa menoleh ke belakang dan mendapati
mimbar tempat pengimaman masih berdiri kokoh. Perasaan dosa serta merta
menyergapnya tanpa ampun.
“Lebih baik aku pulang sekarang!”
Tanpa pikir panjang Anisa melangkahkan kakinya
menuju pintu mushola, namun Hanafi lebih sigap menarik tangannya lalu secepat
kilat mendekapnya.
“Hanafi! Jangan keterlaluan seperti ini!”
Hardik Anisa berusah lepas dari dekapan Hanafi tapi usahanya tak sebanding
dengan kekuatan pemuda itu.
“Aku merindukanmu Nis…Aku ingin menghabiskan
waktu bersamamu.” Hanafi berusaha kembali menciumi bibir Anisa namun gadis
cantik itu meronta-ronta, kepalanya yang terbungkus hijab bergerak ke kiri dan
ke kanan menghindari cumbuan Hanafi.
“Jangan Hanafi! Aku mohon jangan!” Anisa terus
memberontak, tapi hanafi makin beringas. Bahkan pemuda itu mengerahkan seluruh
tenaganya untuk bisa mencumbu Anisa. Teriakan Anisa bercampur isak tangis.
“Ayolah Nis! Jangan jual mahal, aku tau kamu
juga menginginkan ini!”
“Stop! Aku mohon jangan Hanafi!” Suara Anisa
mulai bercampur dengan isak tangis.
Hanafi bergeming dan terus memaksa Anisa mau
menerima cumbuan bibirnya. Birahi yang meninggi makin membuat Hanafi gelap
mata, digunakannya seluruh tenaga untuk membuat tubuh Anisa takluk hingga jatuh
terjengkang ke bawah. Kini Tubuh Hanafi menindih Anisa dari atas. Pemuda itu
terus melanjutkan aksi cabulnya, sama sekali tak mmepedulikan rontaan Anisa
yang sudah berderai air mata.
“Ayolah Nis jangan melawan, kita akan
bersenang-senang hari ini…” Dengus Hanafi sambil terus berusaha menciumi wajah
Anisa.
“Aku mohon jangan Hanafi…Tolonggg…” Anisa
merengek ketakutan, dia sama sekali tak menyangka jika Hanafi akan senekat ini.
Dalam suasana senja yang mulai merambat,
langit memerah dengan cahaya temaram yang menandakan waktu Magrib semakin
dekat. Dua orang dewasa, Pak Yusuf dan Pak Hasan, bergegas menuju masjid.
Mereka telah biasa melaksanakan sholat berjamaah di masjid yang terletak tak
jauh dari rumah mereka. Suasana di sekitar terasa sunyi, hanya terdengar suara
angin yang sesekali berdesir di antara pepohonan yang rimbun.
Mereka berdua melewati jalan setapak yang
melewati mushola, bangunan kecil yang biasa digunakan Anisa untuk mengajar
mengaji anak-anak di desa. Dari luar, pintu mushola terlihat sedikit terbuka.
Keheningan yang biasanya terasa di sekitar Mushola tiba-tiba terganggu oleh
suara yang tak biasa—terdengar bisikan-bisikan pelan, disusul suara erangan
yang mengarah pada sesuatu yang lebih intim. Pak Yusuf berhenti sejenak,
menatap Pak Hasan dengan raut wajah yang mulai berubah.
“Ada apa di sana?” tanya Pak Yusuf pelan,
namun cukup jelas terdengar.
Pak Hasan mengerutkan kening dan melangkah
maju perlahan, mata mereka kini menatap pintu mushola yang terbuka sedikit.
Dari balik pintu, terlihat bayangan dua sosok yang sedang bergumul, tubuh
Hanafi menelungkupi Anisa dari atas. Pak Yusuf merasa dadanya berdebar. Mereka
berdua saling memandang, tidak tahu harus berbuat apa. Tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, Pak Hasan melangkah maju dan mengetuk pintu mushola dengan
tegas.
“Anisa, Hanafi! Apa yang kalian lakukan?!”
Suaranya penuh kekhawatiran, namun ada nada tegas yang tak bisa disembunyikan.
Mendengar suara Pak Hasan, Hanafi langsung
melepas cengkramannya pada tubuh Anisa. Pemuda itu terlihat begitu gugup
mendapati dua sosok pria yang telah berdiri di depan pintu Mushola. Anisa,
dengan wajah yang memerah dan pandangan yang terbebani, segera menarik diri
dari Hanafi dan berusaha menutupi dirinya dengan hijab yang sedikit terlepas.
Hanafi, dengan cepat merapikan pakaiannya, menundukkan kepala dalam rasa malu
yang mendalam.
Pak Yusuf dan Pak Hasan memandang mereka
berdua dengan campuran perasaan—keheranan, kekecewaan, dan rasa tanggung jawab.
Mereka tahu bahwa situasi ini jauh lebih kompleks daripada apa yang tampak di
permukaan. Ada kalimat yang ingin mereka ucapkan, tetapi mulut mereka terkatup
rapat, seolah-olah kata-kata tidak cukup untuk menggambarkan apa yang tengah
terjadi. Apalagi sosok Hanafi adalah putera tunggal sang Kepala Desa.
“Kalian harus mempertanggung jawabkan
perbuatan ini di balai desa! Bisa-bisanya kalian mesum di dalam Mushola?!”
Suara Pak Hasan akhirnya memecahkan keheningan.
“Ta-Tapi Sa-Saya dipaksa Pak…” Kata Anisa
dengan airmata berderai.
“Bohong! Kami melakukannya karena suka sama
suka!” Bantah Hanafi tak mau dijadikan tersangka utama. Anisa langsung menatap
tajam wajah Hanafi, dia sama sekali tak menyangka jika pria yang dicintainya
itu rela berbohong dan menjerumuskannya pada situasi memalukan seperti ini.
“Sudah! Sudah! Kalian tidak usah berdebat
lagi! Kami berdua sudah melihat semuanya! Sekarang ikut kami ke balai desa!
Memalukan!” Hardik Pak Yusuf dengan ekspresi kemarahan luar biasa.
Melihat keributan di dalam mushola beberapa
orang lain yang hendak menuju ke masjid berduyun-duyun mulai ikut mendekat.
Beberapa diantara mereka saling berbisik dan memandang Anisa serta Hanafi
dengan tatapan hina. Pak Yusuh dan Pak Hasan akhirnya membawa pasangan kekasih
itu keluar dari dalam mushola lalu menuju ke balai desa.
Di luar, suara adzan magrib mulai
berkumandang, menandakan waktu untuk sholat telah tiba. Sebuah momen yang
mengingatkan mereka semua bahwa hidup ini adalah perjalanan panjang yang tak
lepas dari ujian, dan terkadang, ujian itu datang dalam bentuk yang tidak
terduga.
Posting Komentar
0 Komentar