UKHTY NAUGHTY

 

GENRE : HIJAB EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 266 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Di sebuah desa yang terletak jauh dari hiruk-pikuk kota, malam datang perlahan, menyelimuti alam dengan suasana yang hening. Hanya terdengar suara jangkrik dan desiran angin yang berbisik di antara pepohonan. Di sudut desa, sebuah Mushola kecil berdiri dengan tenang, dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk yang sederhana. Lampu-lampu minyak di sekitar Mushola menyala temaram, menciptakan bayang-bayang lembut di dinding kayu yang tua.

Di dalam mushola itu, seorang gadis muda bernama Anisa tengah duduk di atas tikar berwarna biru yang sudah agak usang, menghadap sekelompok anak-anak kecil yang duduk di sekelilingnya. Di atas meja kayu sederhana, ada Al-Qur'an terbuka yang dipegang oleh Anisa, dan beberapa buku catatan yang disusun rapi. Wajahnya yang berseri-seri menunjukkan kesungguhan dan ketulusan dalam mengajar. Setiap kalimat yang diucapkannya terdengar lembut namun penuh makna, seolah setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah doa.

Anisa bukan hanya seorang guru ngaji, tapi juga seorang pembimbing bagi anak-anak desa yang datang setiap malam. Mereka datang dengan semangat meskipun hari mereka sudah panjang dan melelahkan. Ada yang datang dengan kaki telanjang, mengenakan pakaian seadanya, tetapi mata mereka penuh semangat untuk belajar.

Malam ini, suasana terasa lebih tenang dari biasanya. Udara sejuk yang berhembus dari sela-sela jendela kayu memberi kesegaran bagi yang hadir. Beberapa anak tampak serius, mengikuti setiap huruf yang dibaca, sementara yang lainnya kadang tertawa kecil, tersenyum malu karena salah melafalkan huruf. Namun, Anisa selalu sabar, memberitahukan mereka dengan lembut jika ada kesalahan, dan memuji mereka ketika berhasil.

Di luar, suara lantunan ayat-ayat suci Al Quran masih terdengar sayup-sayup dari menara masjid yang agak jauh. Beberapa orang dewasa sudah pulang ke rumah masing-masing setelah shalat berjamaah. Tetapi di dalam mushola, Anisa dan anak-anak seperti berada dalam dunia mereka sendiri, terikat oleh satu tujuan, belajar bersama, menghafal ayat-ayat suci yang memberi petunjuk hidup.

Bintang-bintang mulai bermunculan di langit yang gelap, sementara di dalam mushola, suasana kebersamaan terasa begitu hangat. Anisa tersenyum melihat anak-anak itu semakin percaya diri. Meskipun mereka belum sempurna dalam membaca Al-Qur'an, namun semangat mereka begitu tulus, seperti api kecil yang mulai menyala, menyebarkan cahaya di tengah malam yang sunyi.

Anisa, seorang gadis muda berusia 20 tahun, memiliki wajah yang memancarkan ketulusan dan kecantikan yang sederhana namun menawan. Rambut panjangnya yang hitam berkilau selalu diikat rapi, dengan ujung-ujungnya kadang tergerai lembut di bawah jilbab yang dikenakannya. Matanya, yang berwarna cokelat gelap, bersinar penuh semangat dan kebaikan. Di balik senyum manisnya, ada kedalaman jiwa yang tak tampak di permukaan, sebuah ketulusan hati yang memancar dari setiap langkahnya.

Setiap pagi, ketika mentari mulai menyinari desa kecil tempat tinggalnya, Anisa sudah berada di pasar. Ia membantu ibunya mengatur dagangan di kios kecil yang menjual sayur-mayur segar, beras, dan aneka bahan kebutuhan sehari-hari. Pasar itu tak jauh dari rumah mereka, dan setiap hari, wajah Anisa menjadi bagian tak terpisahkan dari keramaian pasar. Dengan gerakannya yang cekatan dan senyum yang selalu menyapa setiap pembeli, ia membuat siapa pun merasa nyaman. Tangan Anisa yang terampil memilihkan bahan-bahan yang segar, mengemasnya dengan rapi, atau sekadar memberikan senyuman ramah pada pembeli yang datang.

Namun, meski sibuk melayani pelanggan dan berinteraksi dengan orang-orang, mata Anisa selalu berbinar dengan rasa syukur. Ia tahu bahwa setiap rupiah yang didapat dari berjualan adalah hasil jerih payah yang tak ternilai. Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, Anisa merasa memiliki tanggung jawab besar untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih setelah beberapa tahun lalu Ayahnya telah meninggal dunia.

Anisa tidak pernah merasa lelah meskipun hari-harinya penuh dengan pekerjaan. Ketika ia duduk di lantai mushola, menghadap anak-anak yang penuh semangat itu, ia merasa ada energi baru yang muncul dalam dirinya. Di matanya, setiap tawa dan semangat anak-anak itu adalah harapan bagi masa depan mereka. Tangan Anisa, yang terbiasa memegang keranjang sayuran atau mengatur barang dagangan di pasar, kini dengan lembut memegang Al-Qur'an, membimbing jari-jari kecil anak-anak itu untuk membaca dengan benar.

Setelah selesai mengajar ngaji di mushola, Anisa melangkah pulang dengan hati yang lapang. Langkahnya ringan, meskipun tubuhnya sudah lelah, namun semangat untuk berbuat baik selalu memberinya kekuatan lebih. Sepanjang jalan menuju rumah, angin malam menyapu lembut wajahnya, membawa kesejukan yang menenangkan.

Sesampainya di rumah, Anisa membuka pintu pelan-pelan, tidak ingin mengganggu ketenangan para penghuni yang lain. Ia meletakkan tasnya di sudut ruangan, lalu berjalan menuju kamar. Kamar kecil itu sederhana, hanya terdapat kasur tipis yang dibalut kain motif bunga, meja kayu yang sedikit usang, dan lemari pakaian kecil di sudut lain. Meski demikian, kamar itu terasa nyaman baginya, penuh dengan kenangan-kenangan indah dan harapan-harapan masa depan.

Dengan langkah ringan, Anisa duduk di tepi tempat tidurnya dan mulai melepas jilbab yang ia kenakan sepanjang hari. Seiring dengan itu, pikirannya melayang pada segala aktivitas yang telah dilalui hari itu. Namun, ada sesuatu yang mengusik hati Anisa, sebuah rasa ingin tahu yang datang setiap kali ia menyentuh ponsel di atas meja kecil. Ia memeriksa ponselnya yang tergeletak di sampingnya, dan matanya segera tertuju pada sebuah pesan singkat yang baru saja masuk.

Pesan itu berasal dari Hanafi, pemuda desa yang sudah lama ia kenal. Hanafi adalah anak Lurah desa mereka, seorang pemuda yang kini sedang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren jauh dari rumah. Sejak kecil, Hanafi sering bermain bersama Anisa, meskipun hubungan mereka lebih kepada pertemanan yang penuh canda tawa. Namun, sejak Hanafi pergi untuk melanjutkan pendidikan, hubungan mereka mulai berubah. Ada perasaan yang mulai tumbuh di hati Anisa, perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan begitu saja. Anisa membuka pesan itu dengan perlahan, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Pesan itu singkat, namun begitu dalam maknanya:

“Anisa, malam ini langit begitu indah, tapi tak seindah senyummu yang selalu teringat di hatiku. Aku rindu suasana desa, rindu kebersamaan kita. Semoga Allah selalu melindungimu di setiap langkah. Aku di sini, akan selalu mendokanmu, meski jarak memisahkan kita.”

Membaca pesan itu, Anisa merasakan sesuatu yang hangat menjalari hatinya. Kata-kata yang tulus dan penuh rasa sayang itu membuat pipinya memerah. Meskipun Hanafi jauh di pondok pesantren, rasanya seperti ada ikatan yang kuat yang tetap menghubungkan mereka, meski jarak dan waktu berusaha memisahkan.

Anisa menyandarkan punggungnya ke dinding kamar, memejamkan mata sejenak untuk menenangkan perasaan yang mulai menggebu. Suasana malam yang sunyi, dengan suara angin yang lembut, membuat setiap kata dalam pesan itu terasa begitu mendalam. Hanafi, meskipun jauh, masih menyimpan perasaan yang sama seperti dulu. Sejenak, Anisa terdiam, membiarkan pikirannya melayang, meresapi pesan itu.

Tangan Anisa mulai bergerak untuk membalas pesan itu. Ia menulis dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak ingin terkesan terburu-buru, namun juga ingin mengungkapkan perasaannya yang telah lama terpendam.

“Hanafi, aku pun merindukanmu. Setiap kali malam datang, aku sering teringat pada kenangan-kenangan kita di desa ini. Aku bersyukur bisa mengenalmu, dan aku berharap semoga kita selalu diberikan jalan yang terbaik oleh Allah. Semoga ilmu yang kau cari di sana membawa berkah untuk kita semua.”

Setelah mengetik balasan itu, Anisa menekan tombol kirim, lalu menatap layar ponselnya, sedikit tersenyum. Ada perasaan hangat yang meresap di dalam hatinya. Ia tahu, meski jarak memisahkan mereka, perasaan yang tumbuh di antara mereka tetap nyata, dan doa-doa mereka akan selalu saling menguatkan.

Malam itu, Anisa terbaring di kasurnya, dengan pikiran yang dipenuhi oleh pesan Hanafi. Meskipun ia tahu masih banyak tugas dan tanggung jawab yang harus diembannya, mengajar anak-anak, membantu ibunya di pasar, dan menjalani kehidupan yang penuh kesederhanaan, perasaan itu memberi warna baru dalam hidupnya. Sebuah perasaan yang begitu indah, yang datang dari seseorang yang jauh, namun begitu dekat di hatinya. Dalam keheningan malam, Anisa merasa bahwa meskipun dunia luar terlihat sepi, hatinya tidak pernah merasa sendiri.

 

***

 

Hubungan Anisa dan Hanafi semakin hari semakin dekat. Setelah pesan singkat yang penuh makna, keduanya mulai lebih sering berkomunikasi, tidak hanya melalui teks, tetapi juga melalui telepon dan video call. Setiap malam, setelah mengajar ngaji dan menyelesaikan pekerjaan rumah, Anisa akan duduk di kamar kecilnya, menunggu panggilan dari Hanafi. Begitu telepon berdering, hati Anisa berdegup lebih cepat, meskipun hanya suara Hanafi yang terdengar di ujung sana.

Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang kehidupan di desa, tentang pelajaran di pondok pesantren, tentang rindu yang kadang datang begitu saja, dan tentang masa depan yang mereka harapkan. Meskipun jarak memisahkan mereka, kedekatan mereka terasa nyata. Ada kehangatan dalam setiap percakapan, dalam tawa yang mengalir, dan dalam setiap doa yang mereka panjatkan untuk satu sama lain.

Anisa merasa nyaman dengan Hanafi. Dia sudah mengenal pemuda itu sejak kecil, dan meskipun Hanafi kini jauh di pondok pesantren, ia merasa bahwa hati mereka tetap saling terhubung. Di balik pesan-pesan yang manis, Anisa merasa ada niat baik dari Hanafi untuk menjaga hubungan mereka tetap kuat, meskipun dalam keterbatasan ruang dan waktu.

Namun, suatu malam, saat keduanya sedang berbicara melalui video call, Hanafi mengungkapkan sebuah permintaan yang tiba-tiba membuat Anisa terkejut. Ketika wajahnya muncul di layar ponsel, dengan senyum khas dan mata yang berbinar, Hanafi berbicara dengan suara yang sedikit berbeda, seolah ada beban yang sedang ia bawa.

“Anisa, aku... aku ingin meminta sesuatu.” kata Hanafi dengan nada agak ragu. Anisa menatapnya dengan penuh perhatian.

“Apa itu? Kamu bisa bilang apa saja, kok.” Hanafi terlihat menghela napas sebelum melanjutkan.

“Aku tahu ini mungkin tidak seharusnya, tapi aku ingin melihat lebih dekat. Aku ingin melihat dirimu tanpa jilbab. Aku ingin tahu seperti apa penampilanmu tanpa itu, hanya untuk aku sendiri. Aku sudah lama merindukanmu, Anisa, dan aku ingin melihat keindahanmu lebih dekat.”

Anisa terdiam sejenak. Jantungnya terasa berdebar cepat, dan seakan-akan waktu berhenti sejenak. Kata-kata Hanafi menggantung di udara, menciptakan rasa yang campur aduk di dalam hatinya. Di satu sisi, Anisa merasa sangat dihargai dan diperhatikan oleh Hanafi. Namun di sisi lain, kata-kata itu terasa mengganggu. Ia merasa ada batasan yang telah dilewati dalam hubungan mereka yang selama ini ia anggap murni dan penuh penghormatan.

Anisa mengalihkan pandangannya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk merespon permintaan itu. Hatinya berbicara tentang rasa hormat kepada diri sendiri, tentang nilai-nilai yang telah diajarkan oleh keluarganya, dan juga tentang rasa malu yang harus dijaga. Meskipun ia merasakan ketulusan di hati Hanafi, ia tahu ada batas yang tidak boleh dilanggar, terutama dalam hal ini, yang menyangkut privasi dan integritas dirinya sebagai seorang wanita.

“Aku mengerti, Hanafi, bahwa kamu merindukanku,” jawab Anisa akhirnya dengan suara yang tenang, namun penuh ketegasan.

“Tapi aku ingin kamu mengerti juga bahwa ada batas-batas yang harus dihormati dalam sebuah hubungan. Aku memilih untuk mengenakan jilbab, dan itu adalah bagian dari diriku yang sangat penting. Aku berharap kamu bisa menghargainya.”

Hanafi terdiam sejenak, tampak seperti berpikir sejenak atas kata-kata Anisa. Di layar ponselnya, wajah Hanafi menunjukkan sedikit kekecewaan karena permintaannya tak bisa dituruti oleh gadis cantik itu.

“Aku minta maaf, Anisa. Seharusnya aku tidak meminta itu. Aku terlalu terbawa perasaan. Baiklah, aku harus pergi dulu, ada yang harus aku kerjakan sekarang.”

Tanpa basa-basi kata penutup selayaknya pasangan yang tengah dilanda rindu karena lama tak bertemu, Hanafi langsung mematikan panggilan video call, meninggalkan Anisa yang kini hanya bisa termangu tak mengerti dengan perubahan sikap Hanafi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PART  2

 

Pagi itu, pasar desa mulai hidup dengan suasana yang riuh dan penuh warna. Pedagang-pedagang kecil yang membuka lapak dengan barang dagangan segar dan berbagai kebutuhan rumah tangga mulai merapikan barang-barang mereka. Bau rempah-rempah yang menggoda tercium dari deretan pedagang bumbu, sementara suara tawar-menawar antara pembeli dan penjual mengisi udara dengan ritme yang akrab bagi setiap warga desa.

Di salah satu sudut pasar, di sebuah toko kelontong kecil yang dikelola oleh ibunya, Anisa sedang sibuk merapikan rak-rak yang penuh dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari, beras, minyak goreng, gula, dan berbagai macam bumbu dapur. Toko milik ibunya itu tidak besar, tetapi selalu ramai dengan pembeli yang datang untuk berbelanja. Di luar, orang-orang berjejer membeli sayuran, daging, dan ikan segar. Di dalam toko, Anisa dengan cekatan melayani pembeli yang datang, memberi senyuman ramah seperti biasa, meskipun hati kecilnya masih terasa berat.

Sambil menyusun tumpukan beras, Anisa teringat lagi pada kejadian semalam. Ketika itu, ia sedang video call dengan Hanafi, seperti malam-malam sebelumnya. Mereka berbicara panjang lebar tentang berbagai hal, mulai dari kegiatan di pondok pesantren hingga rencana mereka untuk bertemu suatu hari nanti.

Namun, saat Hanafi meminta agar ia melepas jilbab—permintaan yang sangat mengejutkan baginya—Anisa dengan tegas menolak. Setelah itu, suasana menjadi canggung. Hanafi tiba-tiba mematikan panggilan video call tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Anisa merasa ada sesuatu yang berubah dalam sikapnya, sesuatu yang tidak bisa ia mengerti. Keputusan untuk tetap mengenakan jilbab adalah bagian dari identitas dirinya, dan ia tidak ingin kompromi dalam hal itu.

Anisa menarik napas panjang, berusaha untuk menenangkan diri. Ia tahu, meskipun masih merasa sedikit kecewa dan bingung dengan sikap Hanafi yang tiba-tiba berubah dingin, ia tidak bisa membiarkan perasaan itu mengganggu pekerjaannya hari ini. Ia berusaha tersenyum saat melayani pelanggan yang datang membeli gula dan beras, namun hatinya tetap terasa tidak tenang. Sejak semalam, ponselnya tidak berdering sama sekali. Tidak ada pesan dari Hanafi, tidak ada panggilan. Sepertinya, ia benar-benar menghindarinya.

“Ibu, tadi ada yang beli minyak goreng?” tanya Anisa sambil menoleh ke arah ibunya yang tengah berdiri di belakang meja kasir. Ibu Yanti, seorang wanita paruh baya dengan wajah yang ramah, menatap putrinya dan mengangguk.

“Tadi ada yang beli, Nak. Kenapa? Kamu kelihatan melamun terus. Ada masalah?” Anisa tersenyum, meskipun senyumnya tampak sedikit dipaksakan.

 “Tidak, Bu. Hanya sedikit capek saja.” Jawabnya sambil melanjutkan pekerjaannya.

Ibunya yang cerdas dan penuh perhatian tentu saja bisa melihat ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anisa. Dengan lembut, ibu Anisa mendekati anaknya dan meletakkan tangan di bahu Anisa, memberi sentuhan yang penuh kasih sayang.

“Jangan disimpan sendiri, Nak. Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, ceritakan. Ibu selalu ada untuk mendengarkan.” Anisa menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang mulai tumpah. Akhirnya, ia menghela napas dan berbicara,

“Hanafi... dia agak berbeda semalam. Setelah aku menolak untuk melepas jilbab, dia... dia tiba-tiba mematikan video call-nya. Sejak itu, tidak ada kabar darinya. Aku bingung, Bu.” Ibu Anisa mendengarkan dengan seksama, kemudian mengangguk dengan penuh pengertian.

“Anisa, kamu sudah dewasa. Kamu tahu betul apa yang terbaik untuk dirimu. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia akan menghargai pilihanmu. Jangan biarkan siapapun, apalagi karena perasaan sementara, mengubah prinsip yang sudah kamu pegang teguh. Jilbabmu adalah bagian dari dirimu yang tak bisa dipisahkan.”

Anisa menatap ibunya dengan penuh rasa terima kasih. Kata-kata ibunya memberikan sedikit ketenangan di hati yang sedang risau. Ia tahu, ibunya selalu memberi nasihat dengan penuh kebijaksanaan, dan apa yang dikatakan ibunya memang benar. Namun, rasa kecewa terhadap sikap Hanafi yang tiba-tiba berubah tetap menggantung di pikirannya. Dia ingin hubungan ini tetap baik, tapi bagaimana jika perbedaan ini menjadi penghalang? Bagaimana jika dia tidak bisa menerima prinsip hidup yang ia anut?

Sore hari Anisa duduk di depan rumah, memandangi langit yang mulai berubah warna. Matahari yang terbenam memberi cahaya lembut pada desanya, namun dalam hatinya, ia merasa hampa. Ia merindukan Hanafi. Ia merindukan percakapan mereka yang ringan, tawa mereka yang sering mengiringi obrolan malam, dan rasa nyaman yang selalu hadir di dekatnya. Namun kini, semuanya terasa begitu jauh.

Dengan hati yang berat, Anisa kembali menatap ponselnya. Ia masih berharap agar Hanafi menghubunginya. Tetapi, semakin lama ia menunggu, semakin ia merasa ragu. Apakah hubungan mereka akan tetap bertahan setelah perbedaan itu? Ataukah, semuanya akan berakhir begitu saja, hanya karena sebuah permintaan yang ia tolak dengan tegas?

Anisa menunduk, meremas ponselnya dalam genggaman tangan. Ia ingin sekali melupakan kekecewaannya, namun semakin ia mencoba untuk tidak memikirkan Hanafi, semakin ia merasa rindu dan bingung. Ia merasa tak tahu harus berbuat apa. Namun, satu hal yang pasti, perasaan itu—rasa kecewa, rasa bingung, dan rindu yang menggelayuti—akan selalu ada. Hingga suatu saat, mungkin Hanafi akan kembali, atau mungkin, Anisa yang harus belajar menerima kenyataan bahwa kadang, perbedaan bisa memisahkan dua hati yang pernah dekat.

 

***

 

Malam hari, setelah selesai mengajar ngaji, Anisa kembali ke rumah dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Kelas ngaji telah usai, anak-anak yang penuh semangat itu sudah kembali ke rumah masing-masing, dan suasana desa mulai sepi, diterangi oleh cahaya rembulan yang temaram. Anisa meletakkan tasnya di sudut kamar dan berjalan menuju cermin kecil yang ada di dekat meja rias.

Di atas meja, ponsel Anisa tergeletak, senyap karena tak ada satupun notofikasi dari Hanafi. Pria yang selama ini selalu menjadi teman bicara, tiba-tiba menjauh hanya karena ia menolak permintaannya untuk melepas jilbab.

Anisa duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin dengan pandangan kosong. Sesaat, ia hanya terdiam, meresapi segala perasaan yang menggelayuti hatinya. Kenapa dia tidak mengerti? pertanyaan itu kembali terngiang di pikirannya. Dalam hatinya, ada dorongan kuat untuk bisa menjaga hubungan ini, untuk bisa menjembatani rasa kecewa yang ada di antara mereka. Tetapi, saat ia memandang dirinya di cermin—dengan jilbab yang membalut kepalanya, dengan pakaian yang menutupi tubuhnya—ada perasaan lain yang ikut hadir. Apakah aku salah? pikirnya. Apakah aku terlalu keras dengan prinsipku?

Perasaan itu seperti tarik-menarik, antara menjaga harga diri dan memenuhi harapan orang yang ia sayangi. Dengan lembut, ia melepas jilbabnya, merasakan helai-helai rambutnya yang panjang terlepas dari penutup kepala yang selama ini menutupi dirinya. Rambutnya terurai, jatuh dengan lembut di bahu dan punggungnya.

Ia memandangi dirinya sendiri di cermin. Sosok gadis muda yang ia kenal, dengan tubuh yang molek, dengan kulit yang cerah namun tak terlalu mencolok. Ia ragu, sedikit bingung, dengan perasaan yang bercampur aduk. Kekecewaan Hanafi perlahan mulai meruntuhkan tekad serta niatnya untuk tetap menutup aurat.

Dengan perlahan, jari-jarinya menyentuh layar ponsel, dan ia membuka aplikasi pesan yang sudah lama ditinggalkan. Ia tahu, perasaan ingin membuat Hanafi mengerti sangat kuat, tetapi ada juga rasa takut jika perbuatannya itu akan mengubah semuanya. Namun, entah kenapa, saat ini, rasa ingin menghentikan kegelisahan lebih besar. Ia ingin memberi Hanafi sebuah jawaban, mungkin jawaban yang akan menghapus ketegangan di antara mereka.

Tanpa berpikir panjang, Anisa membuka kamera ponselnya dan mengambil foto dirinya di depan cermin. Gambar itu menunjukkan wajahnya yang lembut, rambut yang terurai bebas, dan tubuhnya yang molek, tanpa penutup jilbab. Untuk sesaat, ia menatap foto itu, merasakan kebingungannya. Apakah ini langkah yang benar? tanyanya pada dirinya sendiri. Tapi entah kenapa, perasaan ingin berbagi dengan Hanafi, ingin memberi pemahaman tentang dirinya, akhirnya mengalahkan keraguannya.

Anisa menatap layar ponselnya, lalu menekan tombol kirim. Dengan napas yang berat, ia menunggu beberapa detik, mengharapkan sebuah respons, tetapi saat itu juga, rasa takut itu datang lagi. Apa yang akan terjadi setelah ini? pikirnya. Namun, setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, ponselnya bergetar. Hanafi membalas pesan itu.

“Anisa, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya ingin berterima kasih karena kamu mau membagikan ini padaku. Aku akan belajar lebih banyak lagi untuk menghargai keputusanmu, dan aku berharap kita bisa terus saling memahami.”

Mendapatkan balasan itu, hati Anisa sedikit terasa lebih lega. Meskipun masih ada ketegangan yang belum sepenuhnya hilang, ia merasa sedikit lebih tenang, seakan-akan beban yang sempat menekan dadanya mulai sedikit berkurang. Ia tahu, keputusan yang ia ambil mungkin tidak akan langsung mengubah keadaan, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa lebih ringan—bahwa setidaknya, ia telah mengungkapkan dirinya tanpa rasa takut.

Namun, meski perasaan lega itu hadir, Anisa masih belum sepenuhnya yakin dengan langkahnya. Ia tahu, ada banyak hal yang perlu dibicarakan, banyak hal yang perlu mereka saling pahami. Tetapi untuk malam ini, ia memilih untuk beristirahat dengan pikiran yang sedikit lebih tenang, dengan doa agar hubungan mereka tetap diberkahi dan dikuatkan, meski terkadang perjalanan cinta harus melewati jalan yang berliku.

 

 

PART 3

 

Setelah Anisa mengirimkan fotonya tanpa jilbab kepada Hanafi, suasana antara mereka sempat terasa canggung, namun tidak lama kemudian, hubungan mereka kembali hangat. Hanafi, yang sebelumnya tampak menghindar dan menjaga jarak, kini lebih terbuka lagi. Setiap kali Anisa membuka ponselnya, ada pesan darinya. Pesan-pesan itu berisi kata-kata manis, permintaan maaf yang tulus, dan ungkapan rindu yang membuat hati Anisa terasa hangat.

Hanafi kembali menunjukkan perhatian yang selama ini ia rindukan, mengirimkan pesan setiap pagi dan malam, menanyakan kabar Anisa, dan berbicara tentang segala hal—mulai dari pelajaran di pondok pesantren hingga cerita-cerita tentang kehidupan di desa yang mereka tinggalkan.

Malam-malam mereka kembali diisi dengan percakapan lewat telepon dan video call, bahkan lebih sering dari sebelumnya. Hanafi selalu berbicara dengan lembut, sering kali memberi pujian pada Anisa, terutama tentang penampilannya yang ia anggap cantik dan menarik. Anisa merasa dihargai, merasa bahwa hatinya kembali disentuh dengan cara yang indah. Meskipun ia masih merasa cemas dengan perasaan yang menguat, ia mulai kembali percaya bahwa hubungan ini bisa berjalan baik.

Namun, semakin dekat mereka, semakin terasa adanya ketegangan yang perlahan-lahan muncul. Pada suatu malam, saat mereka sedang berbicara melalui video call, Hanafi kembali melontarkan permintaan yang lebih dari sebelumnya, permintaan yang sedikit membuat Anisa terkejut.

“Anisa,” kata Hanafi dengan suara yang agak lebih serius,

“Aku ingin kita lebih dekat, lebih saling memahami. Kamu tahu, aku selalu merasa rindu padamu. Aku ingin melihat lebih banyak dari dirimu, tidak hanya foto tanpa jilbab. Aku ingin... kamu tahu, lebih dari itu.” Anisa terdiam sejenak, hatinya berdetak kencang. Ia menatap layar ponselnya, mencari tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh Hanafi.

“Maksud kamu?” tanya Anisa pelan, suaranya hampir tak terdengar. Hanafi terlihat sedikit ragu, tetapi setelah beberapa detik, ia melanjutkan,

“Aku ingin kamu mengirimkan foto yang lebih... intim. Tanpa pakaian. Hanya untuk aku, Anisa. Aku janji, ini hanya untuk kita berdua.”

Anisa terkejut, merasa dunia seakan terhenti sejenak. Kata-kata itu begitu tajam, seperti pisau yang menusuk hati. Apa yang dia minta? pikir Anisa, bingung dan khawatir. Ini bukanlah permintaan yang biasa ia dengar dari Hanafi, pemuda yang selama ini ia anggap penuh penghormatan dan perhatian. Dia ingin tetap mempertahankan hubungan ini, namun permintaan Hanafi terasa sangat bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai yang ia pegang.

“Maaf, Hanafi, aku tidak bisa,” jawab Anisa dengan suara tegas, meskipun dalam hati ia merasa perasaan dan rasa takut yang kuat bercampur.

“Aku tidak bisa melakukan itu. Itu bukan sesuatu yang aku rasa nyaman untuk lakukan.” Hanafi terdiam sejenak, wajahnya terlihat sedikit kecewa, meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu.

 “Anisa, aku tidak bermaksud memaksakanmu. Tapi aku ingin kita lebih dekat, lebih dari sekadar kata-kata. Aku benar-benar mencintaimu, dan aku ingin kamu menunjukkan kepercayaanmu padaku.” Anisa merasa ada tekanan yang semakin besar, tetapi ia berusaha tetap tegar.

“Aku tahu kamu peduli, Hanafi, tapi aku tetap harus menghargai diriku sendiri. Ini bukan tentang kurangnya kepercayaan, ini tentang prinsip yang sudah aku pegang selama ini.”

“Anisa, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku terlalu terbawa perasaan. Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku hanya ingin kamu tahu betapa aku mencintaimu, dan betapa aku merindukanmu. Aku akan menunggu sampai kamu siap.”

Namun, meskipun kata-kata Hanafi terdengar tulus, hati Anisa tetap tidak tenang. Ia merasa bingung dan cemas. Ia ingin percaya pada Hanafi, tetapi ada keraguan yang mengganggu. Hari-hari berikutnya, mereka kembali berbicara lebih sering, tetapi entah mengapa, ada ketegangan yang tidak bisa dihindari. Ada semacam jarak yang semakin lama semakin terasa, meskipun mereka berusaha untuk menjaga komunikasi.

Hari itu tiba—hari yang membuat Anisa ragu antara mendengarkan hatinya atau mengikuti perasaan yang membingungkan. Hanafi kembali mendesak, kali ini dengan lebih intens.

 “Anisa, aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku benar-benar ingin melihatmu, lebih dari sekadar foto biasa. Aku janji, ini hanya untuk kita berdua, tidak ada yang lain. Aku benar-benar mencintaimu, dan aku ingin kita lebih dekat.”

Kata-kata Hanafi itu terus terngiang di telinga Anisa. Di satu sisi, ia merasa sangat dihargai, namun di sisi lain, ada perasaan takut yang semakin menguat. Apakah aku salah jika aku menuruti permintaannya? Anisa bertanya-tanya, merasakan perasaan cinta yang begitu mendalam, yang seolah mengalahkan prinsip-prinsip yang selama ini ia pegang teguh.

Akhirnya, dalam keheningan malam itu, Anisa mengambil keputusan. Perasaan cintanya yang mendalam kepada Hanafi yang sudah begitu lama ia simpan akhirnya membuatnya tunduk pada permintaan Hanafi. Dengan jantung yang berdetak kencang dan perasaan campur aduk, Anisa memutuskan untuk mengirimkan foto yang diminta Hanafi, foto yang menunjukkan dirinya tanpa pakaian. Ia merasa terombang-ambing antara cinta dan rasa takut, antara keinginan untuk menjaga hubungan ini dan mempertahankan rasa hormat terhadap dirinya sendiri.

Setelah mengirimkan foto itu, Anisa merasa hampa. Ia tidak tahu apa yang dirasakannya. Pada awalnya, ia merasa terlepas dari beban yang selama ini mengganggunya. Tetapi, saat melihat layar ponsel yang masih menunjukkan pesan dari Hanafi yang belum dibaca, hati Anisa dipenuhi dengan kebingungan. Apakah ini keputusan yang benar? Pagi harinya, Hanafi mengirimkan pesan singkat yang membuat Anisa merasa semakin cemas.

 “Terima kasih, Anisa. Kamu tidak tahu betapa aku menghargai kepercayaanmu. Aku akan menjaga ini, dan aku akan selalu mencintaimu.”

Namun, meskipun Hanafi berkata demikian, Anisa merasa ada perasaan yang semakin terkikis dalam dirinya. Ia merasa telah mengorbankan sesuatu yang lebih penting dari sekadar hubungan ini—harga dirinya, keyakinannya, dan rasa hormat terhadap dirinya sendiri. Perasaan itu semakin membebani hatinya, meskipun Hanafi tetap bersikap penuh kasih dan perhatian.

Hubungan mereka memang kembali hangat, tetapi di balik itu, ada keretakan yang perlahan-lahan muncul. Dan Anisa, meskipun ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia melakukannya demi cinta, mulai menyadari bahwa kadang cinta bisa membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri.

 

***

 

“Hanafi! Apa yang kamu lakukan??”

Anisa tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Hanafi tiba-tiba melepas seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat ketika mereka berdua sedang melakukan video call. Memang sedari tadi Hanafi sering mengarahkan pembicaraan ke hal-hal mesum menjurus cabul, tapi Anisa sama sekali tak menduga jika pria yang dicintainya itu akan melakukan hal yang lebih jauh lagi.

“Ayolah Nis, aku udah nggak tahan lagi.” Ucap Hanafi sambil mengenggam batang penisnya dan menunjukkannya pada Anisa.

“A-Aku nggak tau harus ngapain.”

Dada Anisa bergemuruh, seumur hidup inilah kali pertama gadis cantik itu melihat batang kemaluan pria dewasa secara langsung. Di satu sisi dia merasa asing dengan Hanafi yang berubah jadi secabul ini, tapi di sisi lain dia tau jika dia mematikan panggilan video call maka ketegangan akan kembali tercipta dalam hubungan mereka berdua.

“Coba kamu lakuin hal yang sama Nis…Buka bajumu…” Nafas Hanafi tersenggal karena nafsu sudah di ubun-ubun. Gerakan tangannya yang tadi hanya meremas kini mujlai bergerak naik turun mengocok batang penisnya sendiri.

“Hah?! Nggak ah! Udah gila kamu ya?” Tolak Anisa secara tegas.

“Ayolah, nggak usah malu-malu lagi. Aku juga udah pernah liat foto telanjangmu kan?”

Anisa terdiam, ucapan Hanafi barusan seolah membuatnya kembali menyesali apa yang pernah dia lakukan tempo hari. Gadis cantik itu seperti tak punya pilihan lain, racun cinta pada Hanafi menutup segala rasa malu dan hal-hal prinsip yang selama ini dia pegang teguh. Perlahan Anisa mengangkat kedua tangannya dan mulai melepas daster panjang yang menutupi tubuhnya.

“Ouucchhh Nisa…Tubuhmu bagus banget sayang…” Puji Hanafi sambil terus mengocok batang penisnya sendiri.

“Lepas juga BH nya sayang…” Lanjut Hanafi memberi perintah.

“Tolong Hanafi, cukup…Aku nggak pernah kayak gini.” Anisa berusaha menolak permintaan Hanafi tapi dia tau pemuda itu pasti tidak akan pernah menyerah.

“Kamu sayang aku nggak sih Nis?” Tiba-tiba menghentikan aksi cabul pada batang penisnya sendiri. Di layar ponsel Anisa kini terpampang wajah marah pemuda itu.

“Maksudmu apa Hanafi? Aku tentu menyayangimu.”

“Kalo kamu sayang aku harusnya kamu mau menuruti apa semua mauku.”

“Selama ini bukankah seperti itu? Apapun maumu aku coba buat nurutin, termasuk kayak sekarang ini. Aku hanya belum terbiasa dengan hal semacam ini.”

Anisa tak habis pikir kenapa Hanafi bisa berubah sedemikian cepat, dari seorang pemuda yang baik menjadi sosok pria cabul dan sekarang justru jadi Hanafi yang emosional.

“Alah! Banyak alasan kamu Nis! Bikin aku nggak mood aja!”

“Oke..Oke..Aku minta maaf.”

Tak punya pilihan lain untuk meredam kemarahan Hanafi, jemari lentik Anisa bergerak ke belakang punggungnya, melepas pengait BH. Tak lama payudaranya yang berukuran cukup besar terpampang jelas tanpa penutup apapun. Tubuh Anisa bergetar inilah kali pertama dia mempertontonkan bagian tubuhnya yang paling privat pada Hanafi, bukan lewat foto tapi lewat tampilan langsung video call.

“Wah!! Gila! Aku nggak menduga payudaramu sebesar itu!” Pekik Hanafi, pemuda itu kembali meracap batang penisnya sendiri, mayanya jalang menatap layar ponsel yang memperlihatkan tubuh molek Anisa.

Malam itu Anisa terpaksa menuruti kemauan Hanafi. Anisa melanggar semua bentuk prinsip dan aturan agama tentang kehormatan wanita demi memuaskan nafsu setan yang membelenggu Hanafi. Ketakutannya akan kemarahan Hanafi membuat Anisa mau melakukan apapun.

PART 4

 

Matahari sore mulai tenggelam di balik pegunungan, memberi cahaya lembut pada desa yang tenang. Anisa sedang berdiri di depan mushola, bersiap pulang setelah selesai mengajar ngaji. Sepanjang hari, dia fokus dengan anak-anak yang baru belajar membaca Al-Qur'an, tapi hatinya terasa hampa. Meski sibuk, ada satu sosok yang selalu ia rindukan. Hanafi, pria yang telah lama ia cintai.

Sejak Hanafi pergi ke pondok pesantren, liburan seperti ini terasa begitu lama baginya. Terlebih dua hari lalu anak Lurah tersebut mengabarkan jika hari ini akan pulang ke desa. Kabar gembira itu tentu makin membuat hati Anisa berbunga-bunga karena tak lama lagi akan bersua dengan pujaan hatinya. Saat ia menata tas di bahunya, sebuah suara familiar terdengar di pintu masuk Mushola.

“Assalamualaikum, Nis.”

Anisa terkejut. Tubuhnya seolah kaku mendengar suara itu. Perlahan, ia menoleh, dan matanya bertemu dengan mata Hanafi. Pria itu, dengan rambut sedikit panjang dan pakaian putih khas santri, berdiri dengan senyuman yang menghangatkan hati.

“Hanafi? Kamu kapan nyampek?”

“Tadi siang Nis, maaf aku lupa tak memberimu kabar. Di rumah kebetulan ada acara pengajian jadi aku harus bantu-bantu dulu.”

Anisa merasa hatinya berdebar. Begitu lama ia menunggu momen ini, dan akhirnya, Hanafi ada di depannya. Tak bisa lagi ia tahan rasa bahagianya, Anisa melangkah mendekat.

“Nggak apa-apa kok, aku seneng akhirnya kita bisa ketemu lagi.” Hanafi tersenyum lembut. Pemuda itu melepas sandalnya lalu melangkah masuk ke dalam Mushola.

“Anak-anak mana Nis? Kok tumben udah sepi?” Hanafi mengedarkan pandangan ke seluruh bagian dalam Mushola.

“Barusan pulang semua, kalo hari kamis memang jadwalnya sehabis ashar.” Ujar Anisa.

“Kamu hebat Nis. Aku bangga melihatmu seperti ini, jadi ustadzah.” Hanafi menyentuh bahu Anisa sambil tersenyum lembut. Anisa tertunduk malu, jantungnya berdegup makin kencang.

Sejenak ada keheningan di antara mereka berdua. Tak ada satupun kata yang terucap dari dua insan yang tengah dilanda rindu tak berkesudahan ini. Hanafi berusaha merapatkan tubuhnya, semakin dekat hingga dia bisa menghirup aroma parfum yang digunakan oleh Anisa.

“Nis, kamu tau kan kalo aku sangat mencintaimu?” Suara Hanafi terdengar lirih, sedikit bergetar karena ini adalah jarak terdekat yang pernah dia rasakan saat bersama Anisa.

“Aku juga mencintaimu Hanafi…” Balas Anisa.

Hanafi sedikit merubah posisi berdirinya, kini pemuda itu menghadap ke wajah Anisa yang masih tertunduk malu-malu. Hanafi mengangkat dagu Anisa, senyumnya terhampar lembut kala kecantikan Anisa bisa terlihat sempura. Pelan namun pasti kepala pemuda itu mendekati wajah Anisa hingga bibir mereka berdua bertemu.

“Eeemmcchhh…”

Sentuhan bibir Hanafi layaknya setrum ribuan watt yang membuat tubuh Anisa tersengat beberapa detik sebelum kemudian tersadar jika ini sudah kelewatan. Anisa mundur dua langkah sekaligus mendorong dan menjauhi tubuh Hanafi yang masih berdiri mematung di hadapannya.

“Jangan Hanafi, astagfirullah….Kita nggak boleh nglakuin ini! Apalagi di sini!” Anisa menoleh ke belakang dan mendapati mimbar tempat pengimaman masih berdiri kokoh. Perasaan dosa serta merta menyergapnya tanpa ampun.

“Lebih baik aku pulang sekarang!”

Tanpa pikir panjang Anisa melangkahkan kakinya menuju pintu mushola, namun Hanafi lebih sigap menarik tangannya lalu secepat kilat mendekapnya.

“Hanafi! Jangan keterlaluan seperti ini!” Hardik Anisa berusah lepas dari dekapan Hanafi tapi usahanya tak sebanding dengan kekuatan pemuda itu.

“Aku merindukanmu Nis…Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu.” Hanafi berusaha kembali menciumi bibir Anisa namun gadis cantik itu meronta-ronta, kepalanya yang terbungkus hijab bergerak ke kiri dan ke kanan menghindari cumbuan Hanafi.

“Jangan Hanafi! Aku mohon jangan!” Anisa terus memberontak, tapi hanafi makin beringas. Bahkan pemuda itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa mencumbu Anisa. Teriakan Anisa bercampur isak tangis.

“Ayolah Nis! Jangan jual mahal, aku tau kamu juga menginginkan ini!”

“Stop! Aku mohon jangan Hanafi!” Suara Anisa mulai bercampur dengan isak tangis.

Hanafi bergeming dan terus memaksa Anisa mau menerima cumbuan bibirnya. Birahi yang meninggi makin membuat Hanafi gelap mata, digunakannya seluruh tenaga untuk membuat tubuh Anisa takluk hingga jatuh terjengkang ke bawah. Kini Tubuh Hanafi menindih Anisa dari atas. Pemuda itu terus melanjutkan aksi cabulnya, sama sekali tak mmepedulikan rontaan Anisa yang sudah berderai air mata.

“Ayolah Nis jangan melawan, kita akan bersenang-senang hari ini…” Dengus Hanafi sambil terus berusaha menciumi wajah Anisa.

“Aku mohon jangan Hanafi…Tolonggg…” Anisa merengek ketakutan, dia sama sekali tak menyangka jika Hanafi akan senekat ini.

Dalam suasana senja yang mulai merambat, langit memerah dengan cahaya temaram yang menandakan waktu Magrib semakin dekat. Dua orang dewasa, Pak Yusuf dan Pak Hasan, bergegas menuju masjid. Mereka telah biasa melaksanakan sholat berjamaah di masjid yang terletak tak jauh dari rumah mereka. Suasana di sekitar terasa sunyi, hanya terdengar suara angin yang sesekali berdesir di antara pepohonan yang rimbun.

Mereka berdua melewati jalan setapak yang melewati mushola, bangunan kecil yang biasa digunakan Anisa untuk mengajar mengaji anak-anak di desa. Dari luar, pintu mushola terlihat sedikit terbuka. Keheningan yang biasanya terasa di sekitar Mushola tiba-tiba terganggu oleh suara yang tak biasa—terdengar bisikan-bisikan pelan, disusul suara erangan yang mengarah pada sesuatu yang lebih intim. Pak Yusuf berhenti sejenak, menatap Pak Hasan dengan raut wajah yang mulai berubah.

“Ada apa di sana?” tanya Pak Yusuf pelan, namun cukup jelas terdengar.

Pak Hasan mengerutkan kening dan melangkah maju perlahan, mata mereka kini menatap pintu mushola yang terbuka sedikit. Dari balik pintu, terlihat bayangan dua sosok yang sedang bergumul, tubuh Hanafi menelungkupi Anisa dari atas. Pak Yusuf merasa dadanya berdebar. Mereka berdua saling memandang, tidak tahu harus berbuat apa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Pak Hasan melangkah maju dan mengetuk pintu mushola dengan tegas.

“Anisa, Hanafi! Apa yang kalian lakukan?!” Suaranya penuh kekhawatiran, namun ada nada tegas yang tak bisa disembunyikan.

Mendengar suara Pak Hasan, Hanafi langsung melepas cengkramannya pada tubuh Anisa. Pemuda itu terlihat begitu gugup mendapati dua sosok pria yang telah berdiri di depan pintu Mushola. Anisa, dengan wajah yang memerah dan pandangan yang terbebani, segera menarik diri dari Hanafi dan berusaha menutupi dirinya dengan hijab yang sedikit terlepas. Hanafi, dengan cepat merapikan pakaiannya, menundukkan kepala dalam rasa malu yang mendalam.

Pak Yusuf dan Pak Hasan memandang mereka berdua dengan campuran perasaan—keheranan, kekecewaan, dan rasa tanggung jawab. Mereka tahu bahwa situasi ini jauh lebih kompleks daripada apa yang tampak di permukaan. Ada kalimat yang ingin mereka ucapkan, tetapi mulut mereka terkatup rapat, seolah-olah kata-kata tidak cukup untuk menggambarkan apa yang tengah terjadi. Apalagi sosok Hanafi adalah putera tunggal sang Kepala Desa.

“Kalian harus mempertanggung jawabkan perbuatan ini di balai desa! Bisa-bisanya kalian mesum di dalam Mushola?!” Suara Pak Hasan akhirnya memecahkan keheningan.

“Ta-Tapi Sa-Saya dipaksa Pak…” Kata Anisa dengan airmata berderai.

“Bohong! Kami melakukannya karena suka sama suka!” Bantah Hanafi tak mau dijadikan tersangka utama. Anisa langsung menatap tajam wajah Hanafi, dia sama sekali tak menyangka jika pria yang dicintainya itu rela berbohong dan menjerumuskannya pada situasi memalukan seperti ini.

“Sudah! Sudah! Kalian tidak usah berdebat lagi! Kami berdua sudah melihat semuanya! Sekarang ikut kami ke balai desa! Memalukan!” Hardik Pak Yusuf dengan ekspresi kemarahan luar biasa.

Melihat keributan di dalam mushola beberapa orang lain yang hendak menuju ke masjid berduyun-duyun mulai ikut mendekat. Beberapa diantara mereka saling berbisik dan memandang Anisa serta Hanafi dengan tatapan hina. Pak Yusuh dan Pak Hasan akhirnya membawa pasangan kekasih itu keluar dari dalam mushola lalu menuju ke balai desa.

Di luar, suara adzan magrib mulai berkumandang, menandakan waktu untuk sholat telah tiba. Sebuah momen yang mengingatkan mereka semua bahwa hidup ini adalah perjalanan panjang yang tak lepas dari ujian, dan terkadang, ujian itu datang dalam bentuk yang tidak terduga.

 


Posting Komentar

0 Komentar