HASRAT TABU 1

 

GENRE : HIJAB EROTIC - AGEGAP
JUMLAH HALAMAN : 275 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000

ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY



PART 1

 

PLAK!

“Jangan kurang ajar ya!” Hardik Safiya setelah menampar pipi kanan Sugeng dengan cukup keras. Beberapa orang yang kebetulan ada di situ pun dibuat terkejut oleh tindakan guru cantik itu.

“Ma-Maaf Bu, saya tadi hanya bercanda.” Ujar Sugeng sambil menundukkan kepala, semua mata di ruang kantin guru menyasar padanya. Wajah pria berusia 51 tahun itu nampak merah padam entah karena marah atau malu.

“Kalo bercanda nggak kayak gitu ya Pak caranya! Ini sudah termasuk pelecehan seksual!” Nada suara Safiya makin meninggi.

“Sudah Bu, sabar…” Aina, salah satu rekan kerjanya mendekat, mencoba menenangkan Safiya.

“Sekali lagi saya minta maaf Bu…” Ujar Sugeng masih tak berani menatap wajah Safiya.

“Sekarang lebih baik Pak Sugeng keluar saja, anggap saja masalah ini sudah selesai, dan tolong jangan diulangin lagi becanda kayak gitu.” Ucap Aina mengusir Sugeng secara halus.

“Baik Bu, saya permisi dulu.”

"Bajingan! Anjing!" gerutu Sugeng sambil mempercepat langkahnya menuju pos satpam.

Tangannya yang kasar meraba pipi. Masih terasa perih bekas tamparan Safiya, tapi sakit di hatinya terasa lebih membara daripada rasa perih di pipi. Sugeng tidak menyangka Safiya akan menamparnya, apalagi di depan banyak orang. Rasa malu sekaligus terhina seketika berbuah dendam. Biasanya,  Safiya sama sekali tak meladeninya saat melontarkan godaan dengan humor-humor cabul. Guru cantik itu paling langsung beranjak pergi jika merasa tidak nyaman.

Sugeng memang tertarik pada Safiya sejak pertama kali wanita cantik itu mulai mengajar di sekolah tempat Sugeng mengabdi sebagai petugas keamanan setahun lalu. Paras cantik dipadu bentuk tubuh yang proporsional membuat pesona Safiya sulit dinafikan oleh Sugeng.

Fakta jika Safiya sudah memiliki suami dan seorang putera sama sekali tak membuat rasa ketertarikan Sugeng mengendur, bahkan makin hari makin menjadi. Namun begitu, Sugeng juga sadar mustahil Safiya akan tertarik padanya, karena perbedaan usia mereka hampir 20 tahun. Apalagi, Sugeng hanyalah seorang petugas keamanan yang memiliki tampang sangar jauh dari ketampanan.

Tapi, semua itu tidak menghalangi Sugeng untuk terus membayangkan Safiya saat dia melakukan masturbasi. Sugeng selalu membayangkan bisa menjamah tubuh seksi nan montok Safiya suatu saat nanti. Sebuah fantasi yang akhirnya tak bisa dia tahan hari ini hingga berani meraba punggung Safiya saat mereka tak sengaja bertemu di ruang guru.

Sugeng sudah memasuki usia senja, tapi perangainya jauh dari stereotype lansia pada umumnya. Pengalaman merantau selama hampir 25 tahun sebagai anak buah kapal telah membentuknya menjadi sosok yang progresif dan open minded. Dia memilih hidup membujang, lebih bebas, katanya. Kegemarannya pada wanita seksi dan nakal membuat dirinya rela menempuh perjalanan dua jam ke pusat kota setiap minggu hanya untuk menyewa PSK guna memuaskan birahi.

Uang bukanlah kendala bagi Sugeng. Tabungan 25 tahun bekerja sudah lebih dari cukup untuk menjalani sisa hidupnya dengan nyaman. Belum lagi penghasilan dari sawah peninggalan orang tuanya yang dia sewakan. Pekerjaan sebagai satpam di sekolah hanya sekadar pengisi waktu luang.

"Aku tidak akan melepaskanmu, Safiya. Aku akan pastikan kamu tunduk di kakiku!" gumamnya dengan amarah membara.

Sekilas terlintas rencana untuk menculik dan memperkosa Safiya, namun itu bukan gaya Sugeng. Pria tua bertubuh sedikit tambun itu menolak hubungan seks yang dipaksakan. Saat pikirannya berterbangan, tiba-tiba nama seseorang terlintas di benaknya, seseorang yang bisa menjadi kunci segalanya.

Sugeng membuka ponselnya, menelusuri daftar kontak dengan seksama. Lima tahun sudah berlalu sejak dia meninggalkan pekerjaannya sebagai anak buah kapal. Keraguan sempat menyergap, apakah nomor yang dicarinya masih aktif seiring waktu? Setelah beberapa menit memindai layar, dia yakin telah menemukan kontak yang tepat. Jemarinya bergerak cepat, menekan tombol panggil.

"Halo, Joko? Masih ingat aku?" suaranya terdengar antusias. Percakapan singkat pun terjalin, penuh basa-basi khas pelaut yang sudah lama tak berjumpa.

"Begini, aku mau minta tolong. Kamu masih ingat dukun sakti yang kamu ceritakan dulu? Bawa aku untuk menemuinya." Sambungan telepon berakhir dengan janji Joko akan segera menghubungi kembali.

Senyum tipis terukir di wajah Sugeng. Kenangan akan cerita Joko tentang seorang dukun sakti yang konon memiliki kemampuan luar biasa dalam ilmu pelet terputar kembali. Sejujurnya, Sugeng bukanlah tipe orang yang mudah percaya pada hal-hal mistis. Namun untuk Safiya, Sugeng rela melakukan apa pun. Bahkan jika itu berarti harus berhadapan dengan kekuatan gaib sekalipun.

Obsesinya pada sosok Safiya kini sudah seperti api yang tak kunjung padam. Setiap upaya, setiap rencana, apapun akan dia lakukan untuk membuat Safiya bertekuk lutut padanya.

"Cepat atau lambat, kamu akan segera jadi milikku Safiya…” Sugeng tersenyum simpul sambil mengusap selangkangannya sendiri, membayangkan kesuksesan rencananya nanti.

 

***

 

Safiya tak pernah menyangka Sugeng akan bertindak nekat. Selama ini, ia masih bisa mengabaikan lelucon-lelucon cabul yang sering dilontarkan Sugeng saat mereka tak sengaja berada dalam satu tempat. Tapi kali ini, Sugeng benar-benar sudah kelewatan. Tangan kasar satpam tua itu berani menyentuh tubuhnya. Tanpa pikir panjang, Safiya melayangkan tamparan keras ke wajah Sugeng di depan banyak orang.

Namun ketika emosinya telah mereda, rasa bersalah menghantam hatinya. Safiya merasa tidak sopan karena telah berbuat kasar pada orang yang jauh lebih tua darinya. Namun, demi menjaga harga diri dan kehormatan, apa lagi yang bisa ia lakukan selain memberi pelajaran keras?

Pikiran Safiya yang sejak tadi berkecamuk memikirkan tindakannya terhadap Sugeng kini mulai mereda. Namun, perlahan rasa sesal mulai menghantuinya. Seharusnya tadi ia bisa lebih sabar. Ia harus meminta maaf pada satpam tua itu jika bertemu dengannya nanti, pikir Safiya dalam hati.

Ustazah asal Semarang itu baru menginjak tahun pertama mengajar di sekolah tempat Sugeng bekerja. Sebagai seorang PNS baru, Safiya harus menjalankan perintah dan ditugaskan di daerah yang jauh dari tempat asalnya seperti saat ini. Suaminya adalah seorang dai muda yang namanya mulai dikenal banyak orang. Hamzah, sering diundang untuk berceramah dan mengisi kajian di berbagai daerah. Sekilas, kehidupan keluarga mereka tampak sempurna. Namun, ada satu pengorbanan besar yang harus Safiya lakukan.

Anak laki-lakinya, Adam, yang baru berusia lima tahun terpaksa dititipkan pada tua Safiya di Semarang. Keputusan itu memang berat, tapi Safiya dan suaminya sepakat bahwa kehadiran kakek-nenek lebih baik daripada menyerahkan anak mereka pada pengasuh. Terlebih lagi, ayah Safiya adalah seorang “Kyai Kampung”, sosok yang sangat mereka percaya bisa menanamkan nilai-nilai agama yang kuat pada Adam. Dengan begitu, anak mereka tidak hanya diasuh, tetapi juga dididik sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka yakini. Tidak mengajak Adam tinggal bersama di luar pulau Jawa adalah harga yang harus dibayar untuk menunjang keberlangsungan karier Safiya sebagai seorang PNS.

Safiya, yang kini berusia 30 tahun, memang memiliki daya tarik tersendiri. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa ia justru semakin mempesona seiring bertambahnya usia. Wajahnya tak hanya cantik, postur tubuhnya yang semampai dengan ukuran dada dan pantat cukup besar membuat semua mata akan teralihkan pada sosok ibu satu anak ini.

Meskipun setiap harinya penampilan Safiya selalu tertutup dengan hijab lebar tetap saja tak luput dari perhatian, apalagi wajahnya tetap terlihat cantik meski tanpa polesan makeup berlebih. Tak heran jika ada yang bilang Safiya lebih pantas menjadi foto model daripada jadi seorang guru SMA seperti sekarang.

Safiya sendiri begitu nyaman dengan penampilannya saat ini yang sesuai dengan statusnya sebagai seorang guru dan istri dari seorang pendakwah. Ia lebih memilih mengenakan pakaian yang longgar dan menutup aurat untuk menyembunyikan lekuk tubuhnya. Baginya, hanya Hamzah yang berhak melihat bentuk tubuhnya. Wajahnya nyaris tanpa riasan, paling hanya bedak tipis dan sentuhan lipstik sekadar untuk memberi rona segar.

 

***

 

Keesokan harinya Sugeng mengendarai mobilnya menuju ke daerah pesisir di bagian selatan kota. Perasaannya berkobar-kobar untuk bertemu dengan temannya, Joko, demi melaksanakan niatnya menaklukkan hati Safiya. Sugeng sudah mengambil cuti selama 3 hari demi memuluskan segala macam rencana busuknya itu. Perjalanan yang memakan waktu hampir 4 jam sama sekali tak melelahkan Sugeng.

Sementara itu di sekolah, Safiya mencari keberadaan Sugeng untuk meminta maaf atas perbuatannya kemarin. Sayangnya, dia diberitahu bahwa satpam tua itu telah mengambil cuti. Tiba-tiba rasa khawatir muncul di hatinya, mungkinkah Sugeng mengalami cedera akibat perbuatannya kemarin sampai harus tak masuk kerja? Rasa bersalah mulai menghantui perasaannya. Sepanjang hari Safiya gelisah, khawatir dengan keadaan Sugeng. Dia berharap pria tua itu kembali bekerja agar dia bisa segera meminta maaf dan tak dihantui rasa bersalah.

Setelah empat jam perjalanan, akhirnya Sugeng tiba di sebuah warung makan sederhana. Di sanalah ia berjanji bertemu Joko. Matanya langsung menangkap sosok yang sudah lima tahun tidak ia jumpai itu melambai ke arahnya. Joko memang beberapa tahun lebih muda, tapi mereka pernah bekerja bersama sebagai anak buah kapal hampir sepuluh tahun lamanya, sebelum Sugeng memutuskan untuk berhenti dan kembali ke kampung halaman.

"Apa kabar, Jok? Sehat?" sapa Sugeng sambil menjabat tangan Joko, melepas rindu.

"Sehat, Mas. Mas Sugeng sendiri bagaimana? Sehat, kan? Silakan duduk, Mas, kita pesan minum dulu," balas Joko ramah, mempersilakan Sugeng duduk.

Penampilan keduanya memang kontras. Joko tinggi, kurus, dengan kulit yang lebih cerah. Sementara Sugeng bertubuh sedang, perutnya sedikit membuncit, dan kulitnya gelap dengan kumis tebal menghiasi wajahnya. Joko mengangkat tangan, memanggil pelayan untuk memesan minuman.

Setelah memesan minuman dan mi goreng, obrolan ringan pun mengalir. Mereka bernostalgia, mengenang masa-masa kerja bersama dulu. Saat pesanan datang dan mereka mulai menyantapnya, Sugeng akhirnya membuka topik utama yang membawanya jauh-jauh datang menemui Joko.

"Jok, dukun yang kamu ceritakan itu bisa dipercaya, kan? Aku sudah jauh-jauh datang ke sini, aku nggak mau pulang dengan tangan kosong," tanya Sugeng, nada suaranya menyiratkan kekhawatiran.

"Mas, saya ini bukan orang yang suka bicara omong kosong. Mas Sugeng kan sudah lama kenal saya. Kalau Mas nggak percaya, ayo kita berangkat sekarang. Semalam saya sudah telepon beliau, memberi tahu rencana kedatangan kita," jawab Joko dengan nada meyakinkan.

Setelah menghabiskan makanan dan minuman mereka berdua langsung beranjak menuju rumah sang dukun. Beberapa menit kemudian, mereka memasuki sebuah kompleks perumahan mewah. Joko menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah bercat putih dua lantai yang berdiri megah.

"Udah sampai Jok?" tanya Sugeng, masih bingung dengan tempat tujuan mereka.

"Ayo, Mas, sudah sampai ini. Tadi katanya nggak sabar mau ketemu Mbah Jagat?" kata Joko sambil tersenyum, melihat ekspresi keheranan Sugeng.

"Ini rumah dukunnya?" tanya Sugeng sekali lagi dengan nada tak percaya.

Pemandangan di depannya sangat berbeda dengan apa yang ada di benaknya. Selama ini, ia membayangkan rumah seorang dukun terletak jauh di dalam hutan, angker, dengan tengkorak tergantung di depan pintu. Tapi rumah yang dilihatnya sekarang jauh dari kesan itu. Justru lebih mirip rumah seorang pengusaha batu bara.

"Kamu serius ini, Jok? Jangan-jangan kamu cuma mau ngerjain aku?" tanya Sugeng dengan curiga.

"Eh, beneran, Mas. Nggak mungkin saya bohong," jawab Joko sambil tertawa kecil. Reaksi seperti ini memang sudah sering ia lihat dari orang-orang yang baru pertama kali datang ke rumah Mbah Jagat.

"Kalau dukun saja tidak bisa membuat dirinya kaya, bagaimana dia bisa menolong orang lain? Mau menolong orang, tapi diri sendiri hidup susah. Apa Mas bisa percaya dengan dukun seperti itu?" jelas Joko sambil menekan bel rumah mewah itu.

Tak lama kemudian, pintu pagar besar terbuka secara otomatis. Joko berjalan lebih dulu, masuk ke dalam halaman. Ini bukan pertama kalinya ia datang, jadi ia sudah hafal dengan seluk-beluk rumah ini. Sugeng tertegun saat mengikuti langkah kaki Joko masuk ke halaman rumah mewah itu. Semuanya tertata rapi dan indah. Halaman rumputnya terawat dengan sempurna, barisan bunga-bunga menghiasi setiap sudut taman. Sama sekali tidak ada kesan rumah dukun seperti yang sering ia lihat di televisi atau film. Kata-kata Joko tadi kembali terngiang di telinganya.

"Memang ada benarnya juga kata Joko," pikir Sugeng.

Joko melangkah mendekati pintu rumah. Belum sempat ia mengetuk, pintu sudah terbuka, di depannya berdiri seorang wanita muda cantik dengan gaun panjang tipis yang menunjukkan lekuk tubuhnya. Bibirnya dipoles lipstik merah menyala, membentuk senyuman menggoda. Jantung Sugeng berdebar kencang melihat kecantikan wanita itu.

"Mbah Jagat sudah menunggu di dalam. Silakan masuk," kata wanita itu, mendahului.

Joko menoleh ke Sugeng, mengangguk, memberi isyarat untuk mengikutinya masuk. Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, mengikuti sang wanita. Sesekali, Sugeng mencuri pandang ke arah pinggul wanita itu yang bergoyang menggoda. Tak lama mereka sampai di ruang tamu yang luas. Di sana, nampak seorang pria berusia sekitar 60 tahunan sedang duduk santai sambil melihat layar ponsel keluaran terbaru.

"Selamat datang Joko! Pasti ada hal penting sampai membawamu datang kesini lagi." sapa pria tua itu sambil tersenyum.

"Apa kabar, Mbah? Ini teman saya, Sugeng. Dia datang jauh-jauh ingin bertemu Mbah Jagat," kata Joko sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sugeng pun mengikuti, menjabat tangan Mbah Jagat.

"Aku sehat-sehat saja. Sehatnya orang tua," balas Mbah Jagat, tersenyum.

"Orang tua apanya, yang bukain pintu tadi istri baru ya Mbah?" goda Joko.

"Baru sebulan. Dia yang bikin lututku sakit dua minggu terakhir, hahaha," jawab Mbah Jagat, berkelakar. Tiba-tiba, Mbah Jagat menatap Sugeng dengan tatapan dingin,

"Sebelum kamu datang, aku tahu apa yang kamu inginkan." Sugeng tersentak mendengar ucapan pria tua itu. Perasaan tidak percaya dan kagum bercampur aduk.

"Benarkah dukun tua ini tahu semuanya? Atau hanya menebak saja?" pikir Sugeng dalam hati. Mbah Jagat bangkit dari sofa.

"Kamu ikut aku. Jok, kamu tunggu di sini. Sebentar lagi istriku akan membawakan minuman. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan dengan temanmu," kata Mbah Jagat sambil berjalan menuju tangga, naik ke lantai atas. Sugeng, dengan rasa penasaran yang semakin membuncah, mengikutinya.

“Baik Mbah.”

Joko sudah hafal betul kebiasaan Mbah Jagat jika ingin melakukan ritual. Hanya orang yang memiliki masalah yang diperbolehkan masuk ke kamar ritualnya. Joko bersandar di kursi, mengambil ponselnya dari saku celana untuk mencari hiburan sembari menunggu ritual antara Mbah Jagat dan Sugeng selesai.

 

 

 

 

 

 

 

 

PART 2

 

Sugeng mengikuti Mbah Jagat menuju sebuah kamar di ujung lantai dua. Sesampainya di depan pintu, Mbah Jagat berhenti sejenak. Mulutnya bergerak-gerak, merapalkan sesuatu yang tak bisa Sugeng pahami, sebelum mengembuskan napas ke kiri dan kanan bahunya. Baru setelah itu, ia membuka pintu dan mempersilakan Sugeng masuk.

Saat kakinya melangkah memasuki ruangan itu, bulu kuduk Sugeng langsung meremang. Kamar itu tampak kosong dan suram. Hanya ada selembar tikar usang di lantai, dan sebuah meja kecil yang di atasnya bertengger patung berbentuk makhluk aneh. Di depan patung itu, terlihat abu kemenyan yang masih mengepulkan asap tipis. Di dinding tergantung beberapa bingkai berisi lukisan dan tulisan dalam aksara Jawa kuno.

"Kenapa bengong? Cepat duduk," perintah Mbah Jagat sambil mengambil wadah abu kemenyan dari depan patung di atas meja, lalu duduk bersila di tikar. Sugeng menurut, duduk menghadap Mbah Jagat.

"Aku sudah melihat wanita yang kamu idam-idamkan itu. Tidak mudah untuk mendapatkannya. Dia wanita yang taat beragama, sulit ditembus..." Mbah Jagat memulai pembicaraan dengan nada pelan, sambil mengamati raut wajah Sugeng dengan saksama.

"Apa Mbah Jagat tidak bisa membantu sama sekali?" tanya Sugeng, nadanya sedikit cemas.

"Aku tidak bilang tidak bisa, tapi sangat sulit. Dan satu lagi, menurut pandanganku, rencanamu ini resikonya besar. Kenapa? Karena dia istri orang. Pasti suaminya akan curiga jika tiba-tiba istrinya tergila-gila padamu. Kamu akan menghadapi masalah besar jika suaminya tahu siapa yang membuat istrinya berubah." kata Mbah Jagat dengan nada serius.

Sugeng terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada benarnya juga ucapan Mbah Jagat. Memang terasa tidak masuk akal jika Safiya yang cantik luar biasa tiba-tiba menaruh hati pada pria tua sepertinya.

"Tapi saya sungguh mencintai dia, Mbah…" keluh Sugeng dengan nada lirih. Mbah Jagat tersenyum tipis.

"Tenang, aku akan membantumu."

 

***

 

Joko sedang asyik melihat konten memancing faovoritnya di TikTok ketika istri baru Mbah Jagat keluar dari dapur. Di tangannya sudah ada sebuah nampan berisi tiga gelas orange juice yang tampak segar. Wanita yang usianya masih 20 tahunan itu kemudian menyajikan minuman di atas meja, tepat di hadapan Joko.

"Terima kasih," ucap Joko sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Wanita itu tersenyum.

 "Sama-sama. Panggil saja Ayu. Mbah Jagat menyuruhku menemani Mas Joko. Biar Mas Joko betah di sini," jawab Ayu, lalu duduk di samping Joko. Tangannya tiba-tiba menyentuh paha Joko, mengelusnya perlahan.

Jantung Joko mulai berdebar tak karuan. Sebenarnya, Joko bukanlah tipe pria hidung belang yang mudah tergoda. Ia sangat menyayangi istri dan kedua anaknya. Selama ini, ia hanya meminta bantuan Mbah Jagat untuk perlindungan diri saat bekerja di kapal, meskipun Joko tahu betul, keahlian utama Mbah Jagat sebenarnya adalah ilmu pelet menaklukkan hati wanita. Jangankan mencari wanita lain, nglirik wanita lain selain istrinya pun tak pernah terlintas di benaknya. Namun, senyuman dan godaan Ayu, ditambah aroma parfum yang memikat, ternyata mampu membangkitkan hasrat terpendam Joko.

“Rileks Mas, nggak usah grogi…” Desis Ayu tepat di dekat telinga Joko.

Pria bertubuh jangkung itu mulai terpancing. Ia membalas godaan Ayu dengan sentuhan yang sama beraninya. Tangannya merayap naik ke paha Ayu, meskipun masih terbalut gaun panjang tapi tetap saja berhasil membuat  birahi Joko perlahan membuncah. Ayu hanya tersenyum melihat Joko yang mulai kehilangan kendali. Kemudian, tangan Ayu bergerak turun, menyentuh selangkangan Joko. Ia merasakan tonjolan daging kenyal di balik celana, perlahan semakin mengeras.

“Hmm, udah ada yang ngaceng nih…” Ujar Ayu dengan senyum genit mengembang di bibirnya yang tipis.

Nafsu mereka berdua semakin membara. Joko mendekatkan bibirnya ke bibir Ayu, dan ciuman panas pun tak terhindarkan. Lipstik merah Ayu luntur, membekas di sekitar mulut Joko, menjadi saksi bisu ciuman panas mereka berdua. Tangan Ayu semakin berani, meraba-raba celana Joko, mencari resleting.

"Eh…Tunggu, nanti kalo Mbah Jagat…" bisik Joko, melepaskan ciuman dengan susah payah. Di tengah deru nafsu, sebersit bagian otak warasnya mengirimkan sinyal jika Ayu adalah istri orang lain.

"Ngga apa-apa Mas. Suamiku sudah tahu. Dia yang menyuruhku melayani Mas Joko..." potong Ayu, sebelum kembali menarik Joko dalam ciuman yang lebih dalam. Lidahnya bermain-main di dalam mulut Joko, membuat pria itu kembali lupa akan segalanya.

“Ini serius…? Mbah Jagat nyuruh istrinya buat berzina denganku?”

Pikiran itu masih berdengung di kepala Joko, tentang perintah Mbah Jagat pada istrinya sendiri. Namun, keraguan itu langsung lenyap saat ia merasakan jemari Ayu berhasil membuka resleting celananya. Penis Joko yang sudah mengeras sempurna seketika mencuat keluar dari dalam sangkar. Jemari lentik Ayu perlahan membelai penis itu, memberikan sensasi yang tak pernah Joko bayangkan sebelumnya.

"Ohhhh..." desah Joko tak tertahankan.

Ayu melepaskan ciumannya dan menatap Joko dengan senyum menggoda. Perlahan, ia merendahkan tubuhnya, mendekatkan kepalanya ke penis Joko yang sudah sepenuhnya ereksi. Sebuah kecupan lembut mendarat di bagian ujung penis, meninggalkan jejak lipstik merah yang menggairahkan. Kemudian, lidah Ayu mulai menjilat batang penis dari pangkal hingga ujung, berulang kali, menjelajahi setiap inci dengan keahlian yang memabukkan. Tangannya pun tak berhenti bekerja, mengusap dan memijat lembut seluruh bagian penis yang tak terjamah oleh lidah, meningkatkan kenikmatan hingga ke puncak.

"Emmmm... Ohhhh... nikmat sekali, Ayuuuu..." desah Joko lagi, kali ini lebih keras.

Tangan Joko bergerak mencengkeram rambut Ayu, menahan kepala wanita cantik itu agar tetap di posisinya. Gerakan kepala Ayu naik turun di antara selangkanga Joko menciptakan irama sensual yang bergema di seluruh ruangan.

 

***

 

"Saya harus merusak iman Safiya pelan-pelan?" tanya Sugeng, masih berusaha memahami rencana yang baru saja diutarakan oleh Mbah Jagat.

"Betul. Buat dia menjauh dan meninggalkan ajaran agamanya. Lagipula, aku tahu seleramu bukan wanita solehah seperti dia. Kamu lebih suka wanita nakal seperti pelacur kan?" kata Mbah Jagat, tersenyum licik.

Sugeng terdiam. Kata-kata Mbah Jagat tepat sasaran. Ia memang tidak tertarik pada perempuan yang menutup aurat. Justru, saat melampiaskan hasratnya, ia selalu membayangkan Safiya berpakaian seperti wanita-wanita malam yang sering ia temui di kota. Sugeng mengangkat wajahnya, menatap Mbah Jagat dengan tekad yang membara.

"Lalu, bagaimana caranya, Mbah?"

"Kamu yakin mau mengikuti caraku? Ini serius dan bukan main-main. Sekali kamu melangkah, tidak ada jalan untuk kembali," kata Mbah Jagat, nadanya berubah serius.

"Saya yakin Mbah! Saya terlanjur sakit hati dan ingin balas dendam!” ucap Sugeng, dengan keyakinan penuh.

"Kalau begitu, ada tiga hal yang harus kamu siapkan, di luar sesajen." kata Mbah Jagat.

"Pertama, siapkan segenggam tanah dari kuburan wanita yang meninggal saat melahirkan. Kedua, satu ekor ayam cemani. Dan yang terakhir, sehelai pakaian wanita itu yang masih ada keringatnya. Baju, kerudung, pakaian dalam apa saja, asalkan ada bekas keringatnya. Mengerti?"

"Mengerti, Mbah. Tanah kuburan dan ayam bisa saya usahakan, tapi yang terakhir itu sepertinya agak sulit," jawab Sugeng, tampak berpikir keras.

"Kalau kamu benar-benar menginginkannya, kamu harus berusaha lebih keras. Paham?" Mbah Jagat menatap Sugeng dengan tatapan tajam. Sugeng terdiam sejenak.

"Baiklah, Mbah. Akan saya usahakan sekuat tenaga."

Mbah Jagat menyeringai puas. Satu lagi bidak telah berhasil ia gerakkan. Lebih dari itu, ia berpeluang menjerumuskan seorang wanita solehah ke jalan yang sesat. Tawa kemenangan bergema dalam benaknya, tawa yang hanya bisa ia dengar sendiri.

 

***

Joko benar-benar kehilangan kendali. Kuluman Ayu pada batang penisnya terasa begitu kuat, seolah menghisap semakin dalam ke dalam mulutnya. Sensasi yang dihasilkan dari hisapan dan kocokan tangan istri Mbah Jagat itu sungguh tak tertahankan. Tak lama kemudian, dari lubang penis Joko keluar cairan putih kental. Tanpa diduga, Ayu menelannya hinga habis, tanpa sisa, tanpa rasa jijik sedikitpun

“Ouuccchhhhh…!”

Ayu sempat mengangkat pandangannya, menatap wajah Joko yang tengah dilanda nafsu membara. Ia memastikan tak ada setetes pun cairan sperma yang terbuang sia-sia. Semuanya ditelan habis. Setelah yakin tak ada lagi yang tersisa, Ayu melepaskan penis Joko dari mulutnya.

"Enak Mas pejumu, nggak pahit. Aku suka, makasih ya." kata Ayu, menyunggingkan senyum nakal dan puas, seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Joko masih terdiam, berusaha menormalkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Tangannya dengan cepat memasukkan kembali penisnya yang mulai lunglai ke dalam celana. Saat Ayu beranjak pergi, Mbah Jagat dan Sugeng muncul dari arah tangga. Mereka menghampiri Joko yang masih terduduk lemas. Sugeng tampak kebingungan melihat tingkah Joko yang kikuk dan canggung. Bulir keringat juga membasahi dahinya seolah baru saja menyelesaikan sesi latihan berat. Sementara itu, Mbah Jagat hanya melempar senyum, sperti tau apa yang baru saja terjadi antara istrinya dengan Joko beberapa saat lalu.

"Duduk dulu, silahkan diminum." kata Mbah Jagat, menawarkan minuman di atas meja pada Sugeng.

“Oh ya, sebelum kamu pulang, ingat kamu harus mengumpulkan semua barang yang aku sebutkan tadi sebelum bulan purnama. Waktumu tinggal sekitar 7 hari lagi. Kalau gagal, kamu harus menunggu satu bulan lagi untuk melakukan ritual. Jelas?"

"Baik, Mbah!" Sugeng hanya mengangguk, lalu menghabiskan minumannya. Setelah berbasa-basi sebentar, Sugeng dan Joko berpamitan, berjanji akan kembali dalam waktu seminggu lagi.

"Bagaimana Mas? Udah beres semuanya?" tanya Joko, saat mereka berjalan menuju mobil.

Sugeng terdiam. Pikirannya kini dipenuhi rencana untuk mendapatkan semua barang yang diminta oleh Mbah Jagat, terutama pakaian Safiya yang memiliki jejak keringat. Bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkan pakaian itu, tekad Sugeng dalam hati, sembari menyusun rencana licik.

 

 

 

 

 

 

PART 3

 

KRINGGG!!!

Bel sekolah berdering nyaring, sebagian besar murid SMA Tunas Bangsa berhamburan keluar dari dalam kelas untuk pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu di ruang guru, Safiya tampak tergesa-gesa membereskan mejanya. Bu Rahma, salah satu rekan Safiya, heran melihat tingkah wanita cantik itu yang tidak seperti biasanya. Biasanya mereka selalu menyempatkan diri untuk mengobrol sebelum pulang.

"Tumben buru-buru kayak dikejar setan aja kamu Sa? Mau langsung pulang?" tanya Bu Rahma.

"Iya nih. Hari ini aku harus balik lebih cepat. Suamiku sore ini mau pulang. Harus bersihin rumah sama masak besar." jawab Safiya, tersenyum cerah.

"Wah, enaknya yang suaminya mau pulang. Lha aku, masih saja sendiri, nggak ada yang nyariin." kata Bu Rahma, pura-pura merajuk sambil memanyunkan bibirnya.

"Makanya, buruan nikah jangan terlalu pilih-pilih. Itu, Pak Ramlan sudah lama naksir kamu, coba dipertimbangkan. Kabarnya warisan bapaknya banyak loh. Kamu kalo jadi istrinya bisa hidup tenang, nggak perlu kerja lagi." Balas Safiya, terkikik geli melihat tingkah Bu Rahma.

"Hellooo?! Pak Ramlan sudah punya istri dua! Kamu nyuruh aku jadi istri ketiganya??" sergah Bu Rahma dengan wajah masam.

"Hehehe..." Safiya hanya tertawa kecil, senang menggoda Bu Rahma sambil terus membereskan barang-barangnya.

"Ngomong-ngomong, suamimu udah nggak pulang berapa lama Sa?” tanya Bu Rahma sambil memperhatikan Safiya yang sudah bersiap untuk keluar dari ruang guru.

"Udah lima hari." Jawab Safiya singkat, senyumnya merekah membayangkan pertemuannya dengan Hamzah, sebelum mengucap salam dan bergegas meninggalkan ruang guru.

Sebenarnya, jarak antara sekolah dan rumah kontrakannya tidak terlalu jauh. Namun, karena tidak ada akses jalan utama yang menghubungkan langsung, Safiya terpaksa mengambil rute memutar yang memakan waktu lebih lama. Safiya dan suaminya memang belum memiliki rumah sendiri. Mereka masih mengontrak rumah di sekitar sekolah tempat Safiya mengajar.

Baru satu tahun lebih mereka pindah ke lingkungan itu, dan masih berusaha beradaptasi dengan kehidupan kampung yang tenang. Harga sewa rumahnya terbilang sangat terjangkau untuk ukuran rumah kampung yang cukup luas. Safiya juga menyukai suasana pedesaan yang asri, karena mengingatkannya pada rumahnya di Semarang. Hanya saja, lokasi rumahnya memang agak terpencil, jauh dari tetangga yang lain, sehingga suasana terasa sedikit sunyi dan sepi jika malam hari.

Sesampainya di rumah, Safiya segera menyegarkan diri dengan mandi dan bersiap-siap untuk memasak hidangan istimewa. Biasanya, saat suaminya tidak di rumah, Safiya lebih sering membeli makan malam di warung sekitar. Namun, karena hari ini sang suami tercinta akan kembali, sebagai seorang istri yang berbakti, ia merasa terpanggil untuk menyambutnya dengan masakan lezat buatannya sendiri.

Safiya tersenyum sambil menyiapkan sayur asam dan ikan kakap goreng, hidangan favorit Hamzah. Senyum mengembang di bibirnya, momen seperti ini selalu membuatnya bahagia dan bersemangat. Ia benar-benar merindukan Hamzah, merindukan kehangatannya, merindukan sentuhan fisik dari sang suami. Semuanya wajar bagi seorang istri yang telah terikat dalam ikatan suci pernikahan.

Mereka menikah karena perjodohan. Sebelumnya, Safiya hanya mengenal Hamzah sebagai tetangga di kampung halaman, anak dari sahabat Bapaknya. Mereka jarang bertemu dan ngobrol, bahkan bisa dihitung dengan jari intensitasnya. Safiya memang dijaga ketat oleh keluarganya dalam hal pergaulan, sementara Hamzah yang dua tahun lebih tua darinya lebih sering menghabiskan waktu di pondok pesantren tempatnya mengabdikan diri sejak lama.

Baru setelah menikah, mereka mulai saling mengenal dengan mendalam, hati, pikiran, dan jiwa. Perlahan namun pasti, cinta tumbuh di antara mereka. Kini dari pernikahan itu mereka memiliki seorang anak, dan setiap hari Safiya bersyukur atas anugerah tersebut. Pacaran setelah menikah, itulah istilah yang selalu ia gunakan saat ditanya tentang hubungannya dengan Hamzah. Dan kini, setelah lima hari terpisah, rindu itu terasa semakin membara.

Sebelum adzan magrib berkumandang suara mesin mobil milik Hamzah terdengar memasuki halaman rumah. Sebelum menyambut kedatangan suaminya Safiya memastikan penampilannya sudah cukup cantik. Dengan gesit, ia merapikan hijabnya, memastikan setiap lipatan sudah sempurna, dan memeriksa wajahnya. Sudah menjadi kewajiban seorang istri menyambut suami dalam keadaan cantik.

 

***

 

Sugeng membuka matanya dengan berat, menoleh melihat jam di dinding. Sudah pukul 4 sore, pantas saja ia merasa lapar, pikir pria tua itu. Ia sampai di rumah pukul empat pagi tadi. Biasanya, jika ia pulang jam segitu, itu karena ia menghabiskan waktu dengan pelacur di kota. Namun, semalam ia terlambat karena urusan lain.

Semalam, ia harus pergi ke salah satu daerah di pesisir selatan demi mendapatkan salah satu barang yang diminta oleh Mbah Jagat sebagai syarat ritual. Entah kebetulan atau keberuntungan, ia mendapat informasi dari seorang kenalannya yang bekerja di rumah sakit, tentang seorang wanita yang meninggal saat melahirkan beberapa minggu lalu.

Sugeng harus menghabiskan waktu tiga jam untuk menyetir dan mencari tahu tentang keberadaan kuburan perempuan itu. Setelah berhasil menemukan lokasi yang diyakini sebagai makam si perempuan ia harus menunggu hingga larut malam, memastikan tidak ada orang di sekitar. Sugeng tak mau jadi sasaran amuk massa karena ketahuan mengambil sesuatu yang terlarang.

Sugeng masih ingat semua petuah yang diberikan oleh Mbah Jagat tentang cara dan syarat untuk mengambil tanah kuburan perempuan yang meninggal saat melahirkan. Kuburan itu harus masih baru, maksudnya belum ada 40 hari perempuan itu meninggal. Tanah yang diambil harus digali sedalam sejengkal tangan dari permukaan kuburan, kemudian diletakkan ke dalam potongan kain kafan. Semua itu berhasil dilakukan Sugeng dengan sempurna, walaupun ada sedikit perasaan takut saat melakukannya seorang diri.

Sesampainya di rumah, nasib baik masih berpihak pada satpam tua itu karena sebuah pesan singkat dari Joko mengabarkan jika dia sudah berhasil mendapatkan ayam cemani, bahkan bukan hanya satu ekor melainkan dua ekor sekaligus. Kurang satu barang lagi yang harus didapatkan oleh Sugeng untuk memuluskan ritual peletnya, dan itu merupakan benda tersulit didapatkan. Hari ini adalah hari terakhir cutinya, dan ia harus mencari akal untuk segera mendapatkan benda itu secepat mungkin. Sugeng tiba-tiba tersenyum, sebuah ide telah didapatkannya.

 

***

 

"Mas mau minum?" tanya Safiya lembut begitu mereka melangkahkan kaki ke dalam rumah. Keduanya baru saja kembali dari masjid usai menunaikan sholat Isya berjamaah.

Hamzah langsung menuju sofa ruang tengah. Tangannya meraih remot dan menyalakan televisi, mencari siaran yang menarik. Ia lalu menoleh ke arah istrinya yang masih setia berdiri menanti.

"Tolong buatkan kopi, ya, Dek. Yang sedikit pahit, jangan terlalu manis," pinta Hamzah. Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya, memandangi sosok Safiya yang tampak menawan dalam balutan mukena.

Safiya mengangguk patuh, lalu bergegas ke dapur. Tak lama kemudian, ia kembali dengan secangkir kopi panas yang aromanya langsung menguar memenuhi ruangan. Ia meletakkannya di meja, kemudian ikut duduk di samping suaminya. Keheningan sesaat hanya diisi oleh suara dari televisi.

"Oh iya, Mas sampai lupa kasih tahu," Hamzah membuka suara, matanya masih terpaku ke layar kaca.

"Lusa Mas harus berangkat ke Riau. Ada undangan untuk mengisi dua ceramah di sana. Mungkin butuh waktu sekitar empat sampai lima hari."

Lagi-lagi, suaminya akan pergi. Namun, ia cepat-cepat menepis perasaan kecewa. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa suaminya pergi untuk berdakwah di jalan Allah, sekaligus mencari nafkah halal untuk keluarga mereka.

"Lalu, bagaimana dengan pondok tahfiz kita, Mas?" tanya Safiya hati-hati, berusaha agar nadanya tidak terdengar seperti menuntut.

"Meskipun sudah ada yang mengurus, kan tetap butuh perhatian Mas Hamzah." Kali ini, Hamzah memalingkan wajahnya sepenuhnya dari televisi. Ia menatap Safiya lekat, lalu tersenyum menenangkan.

 "Tenang saja, Sayang. Mas selalu berkomunikasi dengan Ustad Adi. Mas percaya penuh padanya. Insya Allah, beliau bisa mengurus semuanya dengan baik selama Mas pergi." Mendengar keyakinan di suara suaminya, Safiya pun ikut merasa lega.

"Baiklah kalau begitu. Safiya akan selalu mendoakan dan mendukung Mas."

Safiya kemudian bangkit dari duduknya, bersiap untuk masuk ke kamar tidur. Namun, sebelum benar-benar beranjak, ia sempatkan menoleh sekali lagi ke arah Hamzah, memberinya senyuman termanis yang selalu berhasil meneduhkan hati suaminya itu. Hamzah sangat mengerti arti senyuman manis istrinya itu. Sebuah kode yang sudah begitu ia hafal. Sejujurnya, ia pun merasakan kerinduan yang sama, rindu untuk membelai dan memanjakan wanita yang sangat ia cintai itu.

Melihat Safiya menghilang di balik pintu kamar, Hamzah tak mau membuang waktu, ia habiskan kopinya dalam beberapa tegukan cepat. Televisi pun ia matikan. Dengan langkah yang sedikit tergesa, ia menyusul istrinya ke kamar tidur. Saat membuka pintu, Hamzah langsung disambut pemandangan yang menggoda. Safiya sudah berbaring di atas ranjang, sudah berganti pakaian dengan sebuah daster tipis sebatas paha.

Setelah menutuo pintu kamar, Hamzah lalu mematikan lampu utama, membiarkan kamar hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu meja. Suasana seketika menjadi lebih intim. Dalam pendar cahaya yang lembut itu, Hamzah bisa melihat dengan jelas betapa mempesonanya wajah sang istri dan tubuh indahnya.

Hamzah duduk di tepi ranjang, tangannya terulur lembut untuk membelai rambut hitam Safiya yang tergerai. Tatapan mereka bertemu, saling menyelami perasaan rindu yang tak terucap. Perlahan, Hamzah mendekatkan wajahnya, mengecup bibir istrinya dengan penuh perasaan. Sebuah kecupan yang disambut Safiya dengan kelembutan yang setara.

“Eeemmchhhh…Eemmcchhh..” Desah menguar di udara.

Ciuman mereka semakin dalam. Tangan Safiya kini melingkar mesra di leher Hamzah, menariknya lebih dekat. Di saat yang sama, jemari Hamzah dengan terampil mulai menari, mencari dan membuka satu per satu kancing daster yang dikenakan Safiya. Hamzah dengan lembut menyingkap daster itu dari tubuh istrinya, dan pada saat bersamaan, Safiya pun membantu melepaskan baju koko yang masih melekat di tubuh Hamzah. Kini, napas keduanya saling beradu, menyisakan pakaian dalam yang masih menutupi bagian-bagian paling pribadi pasangan suami istri itu.

Kain sarung yang dikenakan Hamzah pun melorot jatuh ke lantai. Ia lalu memeluk tubuh istrinya, merasakan kehangatan kulit yang saling bersentuhan. Tangannya bergerak ke punggung Safiya, mencari pengait bra, dan dengan sekali sentuh, pengait itu pun terlepas. Di hadapannya kini tersaji keindahan yang selalu membuatnya takjub. Hamzah menunduk, memberikan kecupan-kecupan basah di puncak dada istrinya, sementara tangannya yang lain bergerak turun, dengan sensual menyingkirkan penghalang terakhir di tubuh Safiya. Ciuman Hamzah berpindah menuju area payudara kenyal nan bulat. Tubuh Safiya merespon dengan menggelinjang kegelian.

"Eeeemcchhh…Mas…" terdengar desahan lembut dari mulut Safiya, seolah berusaha menahan diri agar tidak bersuara lebih keras.

Ciuman Hamzah di area payudara berubah jadi hisapan-hisapan lembut. Tangannya yang bebas ikut bekerja dengan meremasi dada istrinya itu secara bergantian, kiri dan kanan. Desahan Safiya berganti jadi erangan, cukup nyaring, membuat Hamzah makin tak sabar untuk memulai proses persetubuhan.

"Mas masukin sekarang ya Dek…Udah nggak tahan…"

Sorot mata sayu Safiya memberi isyarat, tanda meminta Hamzah melanjutkan aksinya. Hamzah melepas celana dalamnya, kini pendajwah muda itu sudah telanjang bulat. Safiya memposisikan tubuhnya ke tengah ranjang, kedua pahanya terbuka lebar, siap menerima nafkah bayin dari sang suami yang begitu dicintainya. Perlahan-lahan Hamzah kembali mendekati tubuh Safiya, untuk sesaat keduanya kembali saling memagut. Bibir saling bertemu, lidah saling menjilat, begitu panas, begitu mesra.

Setelah memastikan batang penisnya cukup keras untuk memulai penetrasi, Hamzah pelan-pelan mendorong pinggulnya ke depan, ujung penisnya seketika bersentuhan dengan lubang vagina Safiya. Hanya dengan satu dorongan kuat, seluruh batang penisnya kemudian ambles ditelan alat kawin sang istri. Penisnya masuk, sedikit demi sedikit, hingga vagina Safiya menelan habis seluruh batang kejantanan Hamzah.

“Ouucchhhh…Maass….”

“Sakit Dek…?” Tanya Hamzah dengan raut wajah khawatir. Safiya menggeleng sambil tersenyum manja.

“Nggak Mas…Enak…” Balas Safiya.

“Nakal…” Hamzah kembali mengecup lembut bibir istrinya sebelum memulai memompa vagina Safiya dari atas.

Wajah Safiya sedikit berubah, menahan nikmat di vaginanya. Dia dapat merasakan gerakan keluar-masuk batang kejantanan suaminya, perlahan-lahan, semakin lama semakin cepat. Vaginanya terasa penuh, nikmat, akibat gerakan pinggul suaminya, mendorong dan menarik batang tersebut dengan kecepatan stabil. Satu-satunya batang penis yang pernah dirasakannya. Kenikmatan surga dunia.

"Oooohhhh..Maas…Teruss Mas…" desah Safiya.

Pahanya berusaha dibuka selebar mungkin, untuk memberi ruang pada suaminya bergerak lebih leluasa. Keringat pasangan suami istri itu sudah membasahi tubuh, tanda jika persetubuhan berlangsung cukup panas. Safiya mengerang nikmat, tiap sodokan dan hentakan penis Hamzah di dalam liang kemaluannya mengirimkan sinyak kenikmatan tiada tara. Tak hanya puas secara seksual, Safiya juga sangat bahagia karena melakukan ini atas dasar cinta dan ibadah.

Setelah beberapa lama, Safiya merasakan gelombang orgasme akan segera datang. Hamzah pun sudah hampir mencapai klimaks. Sodokan penis Hamzah semakin cepat. Tusuk sedalam mungkin, keluar sedikit, tusuk lagi. Gerakan itu diulang-ulang beberapa kali, hingga akhirnya dia memuntahkan cairan putih, memancarkan air mani ke dalam vagina istrinya. Penisnya berdenyut-denyut, mengosongkan kantong testis.

“Aaarrgghhtt!”

“Maassss…!”

Mulut Safiya terbuka lebar, matanya terpejam, saat dia juga mencapai puncak kenikmatan. Tembakan sperma suaminya membuat seluruh liang kawinnya banjir bukan main, bahkan sebagian cairan kental berwarna putih itu luber keluar. Tubuhnya menegang beberapa saat, sebelum dia kembali sadar, menikmati nikmatnya nafkah batin dari suaminya itu. Hamzah membiarkan kejantanannya terendam sejenak di dalam vagina istrinya, sebelum kemudian mencabutnya. Hamzah  bangun dan bergerak ke sisi istrinya yang sedang berbaring kelelahan.

"Terima kasih, sayang…" kata Hamzah, tersenyum, lalu mencium pipi istrinya. Safiya ikut tersenyum, sebelum menarik napas panjang.

“Aku sayang kamu Mas..” Balas Safiya.

“Aku juga Dek…”

Di saat Safiya dan Hamzah memadu kasih, tanpa disadari, di balik jendela kamar terlihat sepasang mata sedang mengintip persetubuhan mereka sejak tadi. Tangan pemilik mata itu sedang menggosok penisnya dari luar celana panjang hitam yang dikenakan. Sosok itu perlahan-lahan mundur dari jendela kamar, lalu bergerak ke arah pintu dapur.

Bak pencuri kelas ulung, sosok pria itu mengeluarkan sebuah kawat besi dari sakunya lalu membongkar lubang kunci pintu. Tak butuh waktu lama, sosok itu berhasil membobol pintu dapur rumah milik Safiya dan Hamzah. Pandangan matanya langsung tertuju pada sebuah mesin cuci di bagian pojok ruangan, dekat kamar mandi. Di atasnya terdapat sebuah tempat baju kotor, dengan langkah sedikit mengendap sosok pria bertubuh tambun itu mendekatinya.

Tangannya memilah satu persatu pakaian kotor yang ada di keranjang. Matanya sempat terhenti pada sebuah BH dan celana dalam, tangannya sigap mengambilnya lalu tanpa rasa jijik sedikitpun menghisap sisa aroma pakaian dalam tersebut. Senyumnya merekah lebar, misinya sudah berhasil. Buru-buru dia memasukkan pakaian dalam milik Safiya itu ke dalam jaketnya sebelum kemudian melangkah pergi dan menghilang di kegelapan malam.

 

 

 

 

 

 


Posting Komentar

0 Komentar