HASRAT TABU 1
PART 1
PLAK!
“Jangan kurang ajar ya!” Hardik
Safiya setelah menampar pipi kanan Sugeng dengan cukup keras. Beberapa orang
yang kebetulan ada di situ pun dibuat terkejut oleh tindakan guru cantik itu.
“Ma-Maaf Bu, saya tadi hanya
bercanda.” Ujar Sugeng sambil menundukkan kepala, semua mata di ruang kantin
guru menyasar padanya. Wajah pria berusia 51 tahun itu nampak merah padam entah
karena marah atau malu.
“Kalo bercanda nggak kayak gitu ya
Pak caranya! Ini sudah termasuk pelecehan seksual!” Nada suara Safiya makin
meninggi.
“Sudah Bu, sabar…” Aina, salah satu
rekan kerjanya mendekat, mencoba menenangkan Safiya.
“Sekali lagi saya minta maaf Bu…”
Ujar Sugeng masih tak berani menatap wajah Safiya.
“Sekarang lebih baik Pak Sugeng
keluar saja, anggap saja masalah ini sudah selesai, dan tolong jangan diulangin
lagi becanda kayak gitu.” Ucap Aina mengusir Sugeng secara halus.
“Baik Bu, saya permisi dulu.”
"Bajingan! Anjing!" gerutu Sugeng
sambil mempercepat langkahnya menuju pos satpam.
Tangannya yang kasar meraba pipi. Masih
terasa perih bekas tamparan Safiya, tapi sakit di hatinya terasa lebih membara
daripada rasa perih di pipi. Sugeng tidak menyangka Safiya akan menamparnya,
apalagi di depan banyak orang. Rasa malu sekaligus terhina seketika berbuah
dendam. Biasanya, Safiya sama sekali tak
meladeninya saat melontarkan godaan dengan humor-humor cabul. Guru cantik itu
paling langsung beranjak pergi jika merasa tidak nyaman.
Sugeng memang tertarik pada Safiya
sejak pertama kali wanita cantik itu mulai mengajar di sekolah tempat Sugeng
mengabdi sebagai petugas keamanan setahun lalu. Paras cantik dipadu bentuk
tubuh yang proporsional membuat pesona Safiya sulit dinafikan oleh Sugeng.
Fakta jika Safiya sudah memiliki
suami dan seorang putera sama sekali tak membuat rasa ketertarikan Sugeng
mengendur, bahkan makin hari makin menjadi. Namun begitu, Sugeng juga sadar mustahil
Safiya akan tertarik padanya, karena perbedaan usia mereka hampir 20 tahun.
Apalagi, Sugeng hanyalah seorang petugas keamanan yang memiliki tampang sangar
jauh dari ketampanan.
Tapi, semua itu tidak menghalangi Sugeng
untuk terus membayangkan Safiya saat dia melakukan masturbasi. Sugeng selalu
membayangkan bisa menjamah tubuh seksi nan montok Safiya suatu saat nanti.
Sebuah fantasi yang akhirnya tak bisa dia tahan hari ini hingga berani meraba
punggung Safiya saat mereka tak sengaja bertemu di ruang guru.
Sugeng sudah memasuki usia senja,
tapi perangainya jauh dari stereotype lansia pada umumnya. Pengalaman
merantau selama hampir 25 tahun sebagai anak buah kapal telah membentuknya
menjadi sosok yang progresif dan open minded. Dia memilih hidup
membujang, lebih bebas, katanya. Kegemarannya pada wanita seksi dan nakal
membuat dirinya rela menempuh perjalanan dua jam ke pusat kota setiap minggu
hanya untuk menyewa PSK guna memuaskan birahi.
Uang bukanlah kendala bagi Sugeng.
Tabungan 25 tahun bekerja sudah lebih dari cukup untuk menjalani sisa hidupnya
dengan nyaman. Belum lagi penghasilan dari sawah peninggalan orang tuanya yang
dia sewakan. Pekerjaan sebagai satpam di sekolah hanya sekadar pengisi waktu
luang.
"Aku tidak akan melepaskanmu,
Safiya. Aku akan pastikan kamu tunduk di kakiku!" gumamnya dengan amarah
membara.
Sekilas terlintas rencana untuk
menculik dan memperkosa Safiya, namun itu bukan gaya Sugeng. Pria tua bertubuh
sedikit tambun itu menolak hubungan seks yang dipaksakan. Saat pikirannya
berterbangan, tiba-tiba nama seseorang terlintas di benaknya, seseorang yang
bisa menjadi kunci segalanya.
Sugeng membuka ponselnya, menelusuri
daftar kontak dengan seksama. Lima tahun sudah berlalu sejak dia meninggalkan
pekerjaannya sebagai anak buah kapal. Keraguan sempat menyergap, apakah nomor
yang dicarinya masih aktif seiring waktu? Setelah beberapa menit memindai
layar, dia yakin telah menemukan kontak yang tepat. Jemarinya bergerak cepat,
menekan tombol panggil.
"Halo, Joko? Masih ingat
aku?" suaranya terdengar antusias. Percakapan singkat pun terjalin, penuh
basa-basi khas pelaut yang sudah lama tak berjumpa.
"Begini, aku mau minta tolong.
Kamu masih ingat dukun sakti yang kamu ceritakan dulu? Bawa aku untuk menemuinya."
Sambungan telepon berakhir dengan janji Joko akan segera menghubungi kembali.
Senyum tipis terukir di wajah Sugeng.
Kenangan akan cerita Joko tentang seorang dukun sakti yang konon memiliki
kemampuan luar biasa dalam ilmu pelet terputar kembali. Sejujurnya, Sugeng
bukanlah tipe orang yang mudah percaya pada hal-hal mistis. Namun untuk Safiya,
Sugeng rela melakukan apa pun. Bahkan jika itu berarti harus berhadapan dengan
kekuatan gaib sekalipun.
Obsesinya pada sosok Safiya kini
sudah seperti api yang tak kunjung padam. Setiap upaya, setiap rencana, apapun
akan dia lakukan untuk membuat Safiya bertekuk lutut padanya.
"Cepat atau lambat, kamu akan
segera jadi milikku Safiya…” Sugeng tersenyum simpul sambil mengusap selangkangannya
sendiri, membayangkan kesuksesan rencananya nanti.
***
Safiya tak pernah menyangka Sugeng
akan bertindak nekat. Selama ini, ia masih bisa mengabaikan lelucon-lelucon cabul
yang sering dilontarkan Sugeng saat mereka tak sengaja berada dalam satu tempat.
Tapi kali ini, Sugeng benar-benar sudah kelewatan. Tangan kasar satpam tua itu
berani menyentuh tubuhnya. Tanpa pikir panjang, Safiya melayangkan tamparan
keras ke wajah Sugeng di depan banyak orang.
Namun ketika emosinya telah mereda,
rasa bersalah menghantam hatinya. Safiya merasa tidak sopan karena telah
berbuat kasar pada orang yang jauh lebih tua darinya. Namun, demi menjaga harga
diri dan kehormatan, apa lagi yang bisa ia lakukan selain memberi pelajaran
keras?
Pikiran Safiya yang sejak tadi
berkecamuk memikirkan tindakannya terhadap Sugeng kini mulai mereda. Namun,
perlahan rasa sesal mulai menghantuinya. Seharusnya tadi ia bisa lebih sabar.
Ia harus meminta maaf pada satpam tua itu jika bertemu dengannya nanti, pikir
Safiya dalam hati.
Ustazah asal Semarang itu baru
menginjak tahun pertama mengajar di sekolah tempat Sugeng bekerja. Sebagai
seorang PNS baru, Safiya harus menjalankan perintah dan ditugaskan di daerah
yang jauh dari tempat asalnya seperti saat ini. Suaminya adalah seorang dai
muda yang namanya mulai dikenal banyak orang. Hamzah, sering diundang untuk
berceramah dan mengisi kajian di berbagai daerah. Sekilas, kehidupan keluarga
mereka tampak sempurna. Namun, ada satu pengorbanan besar yang harus Safiya
lakukan.
Anak laki-lakinya, Adam, yang baru
berusia lima tahun terpaksa dititipkan pada tua Safiya di Semarang. Keputusan
itu memang berat, tapi Safiya dan suaminya sepakat bahwa kehadiran kakek-nenek
lebih baik daripada menyerahkan anak mereka pada pengasuh. Terlebih lagi, ayah
Safiya adalah seorang “Kyai Kampung”, sosok yang sangat mereka percaya bisa
menanamkan nilai-nilai agama yang kuat pada Adam. Dengan begitu, anak mereka
tidak hanya diasuh, tetapi juga dididik sesuai dengan prinsip-prinsip yang
mereka yakini. Tidak mengajak Adam tinggal bersama di luar pulau Jawa adalah
harga yang harus dibayar untuk menunjang keberlangsungan karier Safiya sebagai
seorang PNS.
Safiya, yang kini berusia 30 tahun,
memang memiliki daya tarik tersendiri. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa
ia justru semakin mempesona seiring bertambahnya usia. Wajahnya tak hanya
cantik, postur tubuhnya yang semampai dengan ukuran dada dan pantat cukup besar
membuat semua mata akan teralihkan pada sosok ibu satu anak ini.
Meskipun setiap harinya penampilan
Safiya selalu tertutup dengan hijab lebar tetap saja tak luput dari perhatian,
apalagi wajahnya tetap terlihat cantik meski tanpa polesan makeup berlebih. Tak
heran jika ada yang bilang Safiya lebih pantas menjadi foto model daripada jadi
seorang guru SMA seperti sekarang.
Safiya sendiri begitu nyaman dengan
penampilannya saat ini yang sesuai dengan statusnya sebagai seorang guru dan
istri dari seorang pendakwah. Ia lebih memilih mengenakan pakaian yang longgar
dan menutup aurat untuk menyembunyikan lekuk tubuhnya. Baginya, hanya Hamzah
yang berhak melihat bentuk tubuhnya. Wajahnya nyaris tanpa riasan, paling hanya
bedak tipis dan sentuhan lipstik sekadar untuk memberi rona segar.
***
Keesokan harinya Sugeng mengendarai
mobilnya menuju ke daerah pesisir di bagian selatan kota. Perasaannya
berkobar-kobar untuk bertemu dengan temannya, Joko, demi melaksanakan niatnya menaklukkan
hati Safiya. Sugeng sudah mengambil cuti selama 3 hari demi memuluskan segala
macam rencana busuknya itu. Perjalanan yang memakan waktu hampir 4 jam sama
sekali tak melelahkan Sugeng.
Sementara itu di sekolah, Safiya
mencari keberadaan Sugeng untuk meminta maaf atas perbuatannya kemarin.
Sayangnya, dia diberitahu bahwa satpam tua itu telah mengambil cuti. Tiba-tiba
rasa khawatir muncul di hatinya, mungkinkah Sugeng mengalami cedera akibat
perbuatannya kemarin sampai harus tak masuk kerja? Rasa bersalah mulai
menghantui perasaannya. Sepanjang hari Safiya gelisah, khawatir dengan keadaan Sugeng.
Dia berharap pria tua itu kembali bekerja agar dia bisa segera meminta maaf dan
tak dihantui rasa bersalah.
Setelah empat jam perjalanan,
akhirnya Sugeng tiba di sebuah warung makan sederhana. Di sanalah ia berjanji
bertemu Joko. Matanya langsung menangkap sosok yang sudah lima tahun tidak ia
jumpai itu melambai ke arahnya. Joko memang beberapa tahun lebih muda, tapi
mereka pernah bekerja bersama sebagai anak buah kapal hampir sepuluh tahun
lamanya, sebelum Sugeng memutuskan untuk berhenti dan kembali ke kampung
halaman.
"Apa kabar, Jok? Sehat?"
sapa Sugeng sambil menjabat tangan Joko, melepas rindu.
"Sehat, Mas. Mas Sugeng sendiri
bagaimana? Sehat, kan? Silakan duduk, Mas, kita pesan minum dulu," balas
Joko ramah, mempersilakan Sugeng duduk.
Penampilan keduanya memang kontras.
Joko tinggi, kurus, dengan kulit yang lebih cerah. Sementara Sugeng bertubuh
sedang, perutnya sedikit membuncit, dan kulitnya gelap dengan kumis tebal
menghiasi wajahnya. Joko mengangkat tangan, memanggil pelayan untuk memesan
minuman.
Setelah memesan minuman dan mi
goreng, obrolan ringan pun mengalir. Mereka bernostalgia, mengenang masa-masa
kerja bersama dulu. Saat pesanan datang dan mereka mulai menyantapnya, Sugeng
akhirnya membuka topik utama yang membawanya jauh-jauh datang menemui Joko.
"Jok, dukun yang kamu ceritakan
itu bisa dipercaya, kan? Aku sudah jauh-jauh datang ke sini, aku nggak mau
pulang dengan tangan kosong," tanya Sugeng, nada suaranya menyiratkan
kekhawatiran.
"Mas, saya ini bukan orang yang
suka bicara omong kosong. Mas Sugeng kan sudah lama kenal saya. Kalau Mas nggak
percaya, ayo kita berangkat sekarang. Semalam saya sudah telepon beliau,
memberi tahu rencana kedatangan kita," jawab Joko dengan nada meyakinkan.
Setelah menghabiskan makanan dan
minuman mereka berdua langsung beranjak menuju rumah sang dukun. Beberapa menit
kemudian, mereka memasuki sebuah kompleks perumahan mewah. Joko menghentikan
mobilnya di depan sebuah rumah bercat putih dua lantai yang berdiri megah.
"Udah sampai Jok?" tanya
Sugeng, masih bingung dengan tempat tujuan mereka.
"Ayo, Mas, sudah sampai ini.
Tadi katanya nggak sabar mau ketemu Mbah Jagat?" kata Joko sambil
tersenyum, melihat ekspresi keheranan Sugeng.
"Ini rumah dukunnya?" tanya
Sugeng sekali lagi dengan nada tak percaya.
Pemandangan di depannya sangat
berbeda dengan apa yang ada di benaknya. Selama ini, ia membayangkan rumah
seorang dukun terletak jauh di dalam hutan, angker, dengan tengkorak tergantung
di depan pintu. Tapi rumah yang dilihatnya sekarang jauh dari kesan itu. Justru
lebih mirip rumah seorang pengusaha batu bara.
"Kamu serius ini, Jok?
Jangan-jangan kamu cuma mau ngerjain aku?" tanya Sugeng dengan curiga.
"Eh, beneran, Mas. Nggak mungkin
saya bohong," jawab Joko sambil tertawa kecil. Reaksi seperti ini memang
sudah sering ia lihat dari orang-orang yang baru pertama kali datang ke rumah
Mbah Jagat.
"Kalau dukun saja tidak bisa
membuat dirinya kaya, bagaimana dia bisa menolong orang lain? Mau menolong
orang, tapi diri sendiri hidup susah. Apa Mas bisa percaya dengan dukun seperti
itu?" jelas Joko sambil menekan bel rumah mewah itu.
Tak lama kemudian, pintu pagar besar
terbuka secara otomatis. Joko berjalan lebih dulu, masuk ke dalam halaman. Ini
bukan pertama kalinya ia datang, jadi ia sudah hafal dengan seluk-beluk rumah
ini. Sugeng tertegun saat mengikuti langkah kaki Joko masuk ke halaman rumah
mewah itu. Semuanya tertata rapi dan indah. Halaman rumputnya terawat dengan
sempurna, barisan bunga-bunga menghiasi setiap sudut taman. Sama sekali tidak
ada kesan rumah dukun seperti yang sering ia lihat di televisi atau film.
Kata-kata Joko tadi kembali terngiang di telinganya.
"Memang ada benarnya juga kata
Joko," pikir
Sugeng.
Joko melangkah mendekati pintu rumah.
Belum sempat ia mengetuk, pintu sudah terbuka, di depannya berdiri seorang
wanita muda cantik dengan gaun panjang tipis yang menunjukkan lekuk tubuhnya.
Bibirnya dipoles lipstik merah menyala, membentuk senyuman menggoda. Jantung
Sugeng berdebar kencang melihat kecantikan wanita itu.
"Mbah Jagat sudah menunggu di
dalam. Silakan masuk," kata wanita itu, mendahului.
Joko menoleh ke Sugeng, mengangguk,
memberi isyarat untuk mengikutinya masuk. Mereka berdua memasuki rumah mewah
itu, mengikuti sang wanita. Sesekali, Sugeng mencuri pandang ke arah pinggul
wanita itu yang bergoyang menggoda. Tak lama mereka sampai di ruang tamu yang
luas. Di sana, nampak seorang pria berusia sekitar 60 tahunan sedang duduk
santai sambil melihat layar ponsel keluaran terbaru.
"Selamat datang Joko! Pasti ada
hal penting sampai membawamu datang kesini lagi." sapa pria tua itu sambil
tersenyum.
"Apa kabar, Mbah? Ini teman
saya, Sugeng. Dia datang jauh-jauh ingin bertemu Mbah Jagat," kata Joko
sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sugeng pun mengikuti, menjabat
tangan Mbah Jagat.
"Aku sehat-sehat saja. Sehatnya
orang tua," balas Mbah Jagat, tersenyum.
"Orang tua apanya, yang bukain
pintu tadi istri baru ya Mbah?" goda Joko.
"Baru sebulan. Dia yang bikin
lututku sakit dua minggu terakhir, hahaha," jawab Mbah Jagat, berkelakar.
Tiba-tiba, Mbah Jagat menatap Sugeng dengan tatapan dingin,
"Sebelum kamu datang, aku tahu
apa yang kamu inginkan." Sugeng tersentak mendengar ucapan pria tua itu.
Perasaan tidak percaya dan kagum bercampur aduk.
"Benarkah dukun tua ini tahu semuanya?
Atau hanya menebak saja?" pikir Sugeng dalam hati. Mbah Jagat bangkit dari sofa.
"Kamu ikut aku. Jok, kamu tunggu
di sini. Sebentar lagi istriku akan membawakan minuman. Ada hal penting yang
ingin aku bicarakan dengan temanmu," kata Mbah Jagat sambil berjalan
menuju tangga, naik ke lantai atas. Sugeng, dengan rasa penasaran yang semakin
membuncah, mengikutinya.
“Baik Mbah.”
Joko sudah hafal betul kebiasaan Mbah
Jagat jika ingin melakukan ritual. Hanya orang yang memiliki masalah yang
diperbolehkan masuk ke kamar ritualnya. Joko bersandar di kursi, mengambil
ponselnya dari saku celana untuk mencari hiburan sembari menunggu ritual antara
Mbah Jagat dan Sugeng selesai.
PART 2
Sugeng mengikuti Mbah Jagat menuju
sebuah kamar di ujung lantai dua. Sesampainya di depan pintu, Mbah Jagat
berhenti sejenak. Mulutnya bergerak-gerak, merapalkan sesuatu yang tak bisa
Sugeng pahami, sebelum mengembuskan napas ke kiri dan kanan bahunya. Baru
setelah itu, ia membuka pintu dan mempersilakan Sugeng masuk.
Saat kakinya melangkah memasuki
ruangan itu, bulu kuduk Sugeng langsung meremang. Kamar itu tampak kosong dan
suram. Hanya ada selembar tikar usang di lantai, dan sebuah meja kecil yang di
atasnya bertengger patung berbentuk makhluk aneh. Di depan patung itu, terlihat
abu kemenyan yang masih mengepulkan asap tipis. Di dinding tergantung beberapa
bingkai berisi lukisan dan tulisan dalam aksara Jawa kuno.
"Kenapa bengong? Cepat
duduk," perintah Mbah Jagat sambil mengambil wadah abu kemenyan dari depan
patung di atas meja, lalu duduk bersila di tikar. Sugeng menurut, duduk
menghadap Mbah Jagat.
"Aku sudah melihat wanita yang
kamu idam-idamkan itu. Tidak mudah untuk mendapatkannya. Dia wanita yang taat
beragama, sulit ditembus..." Mbah Jagat memulai pembicaraan dengan nada
pelan, sambil mengamati raut wajah Sugeng dengan saksama.
"Apa Mbah Jagat tidak bisa
membantu sama sekali?" tanya Sugeng, nadanya sedikit cemas.
"Aku tidak bilang tidak bisa,
tapi sangat sulit. Dan satu lagi, menurut pandanganku, rencanamu ini resikonya
besar. Kenapa? Karena dia istri orang. Pasti suaminya akan curiga jika
tiba-tiba istrinya tergila-gila padamu. Kamu akan menghadapi masalah besar jika
suaminya tahu siapa yang membuat istrinya berubah." kata Mbah Jagat dengan
nada serius.
Sugeng terdiam, tenggelam dalam
pikirannya sendiri. Ada benarnya juga ucapan Mbah Jagat. Memang terasa tidak
masuk akal jika Safiya yang cantik luar biasa tiba-tiba menaruh hati pada pria
tua sepertinya.
"Tapi saya sungguh mencintai
dia, Mbah…" keluh Sugeng dengan nada lirih. Mbah Jagat tersenyum tipis.
"Tenang, aku akan membantumu."
***
Joko sedang asyik melihat konten
memancing faovoritnya di TikTok ketika istri baru Mbah Jagat keluar dari dapur.
Di tangannya sudah ada sebuah nampan berisi tiga gelas orange juice yang tampak
segar. Wanita yang usianya masih 20 tahunan itu kemudian menyajikan minuman di atas
meja, tepat di hadapan Joko.
"Terima kasih," ucap Joko sembari
memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Wanita itu tersenyum.
"Sama-sama. Panggil saja Ayu. Mbah Jagat menyuruhku
menemani Mas Joko. Biar Mas Joko betah di sini," jawab Ayu, lalu duduk di
samping Joko. Tangannya tiba-tiba menyentuh paha Joko, mengelusnya perlahan.
Jantung Joko mulai berdebar tak
karuan. Sebenarnya, Joko bukanlah tipe pria hidung belang yang mudah tergoda.
Ia sangat menyayangi istri dan kedua anaknya. Selama ini, ia hanya meminta
bantuan Mbah Jagat untuk perlindungan diri saat bekerja di kapal, meskipun Joko
tahu betul, keahlian utama Mbah Jagat sebenarnya adalah ilmu pelet menaklukkan
hati wanita. Jangankan mencari wanita lain, nglirik wanita lain selain istrinya
pun tak pernah terlintas di benaknya. Namun, senyuman dan godaan Ayu, ditambah
aroma parfum yang memikat, ternyata mampu membangkitkan hasrat terpendam Joko.
“Rileks Mas, nggak usah grogi…” Desis
Ayu tepat di dekat telinga Joko.
Pria bertubuh jangkung itu mulai
terpancing. Ia membalas godaan Ayu dengan sentuhan yang sama beraninya.
Tangannya merayap naik ke paha Ayu, meskipun masih terbalut gaun panjang tapi
tetap saja berhasil membuat birahi Joko
perlahan membuncah. Ayu hanya tersenyum melihat Joko yang mulai kehilangan
kendali. Kemudian, tangan Ayu bergerak turun, menyentuh selangkangan Joko. Ia
merasakan tonjolan daging kenyal di balik celana, perlahan semakin mengeras.
“Hmm, udah ada yang ngaceng nih…”
Ujar Ayu dengan senyum genit mengembang di bibirnya yang tipis.
Nafsu mereka berdua semakin membara.
Joko mendekatkan bibirnya ke bibir Ayu, dan ciuman panas pun tak terhindarkan.
Lipstik merah Ayu luntur, membekas di sekitar mulut Joko, menjadi saksi bisu
ciuman panas mereka berdua. Tangan Ayu semakin berani, meraba-raba celana Joko,
mencari resleting.
"Eh…Tunggu, nanti kalo Mbah
Jagat…" bisik Joko, melepaskan ciuman dengan susah payah. Di tengah deru
nafsu, sebersit bagian otak warasnya mengirimkan sinyal jika Ayu adalah istri
orang lain.
"Ngga apa-apa Mas. Suamiku sudah
tahu. Dia yang menyuruhku melayani Mas Joko..." potong Ayu, sebelum
kembali menarik Joko dalam ciuman yang lebih dalam. Lidahnya bermain-main di
dalam mulut Joko, membuat pria itu kembali lupa akan segalanya.
“Ini serius…? Mbah Jagat nyuruh
istrinya buat berzina denganku?”
Pikiran itu masih berdengung di
kepala Joko, tentang perintah Mbah Jagat pada istrinya sendiri. Namun, keraguan
itu langsung lenyap saat ia merasakan jemari Ayu berhasil membuka resleting
celananya. Penis Joko yang sudah mengeras sempurna seketika mencuat keluar dari
dalam sangkar. Jemari lentik Ayu perlahan membelai penis itu, memberikan
sensasi yang tak pernah Joko bayangkan sebelumnya.
"Ohhhh..." desah Joko tak
tertahankan.
Ayu melepaskan ciumannya dan menatap
Joko dengan senyum menggoda. Perlahan, ia merendahkan tubuhnya, mendekatkan kepalanya
ke penis Joko yang sudah sepenuhnya ereksi. Sebuah kecupan lembut mendarat di bagian
ujung penis, meninggalkan jejak lipstik merah yang menggairahkan. Kemudian,
lidah Ayu mulai menjilat batang penis dari pangkal hingga ujung, berulang kali,
menjelajahi setiap inci dengan keahlian yang memabukkan. Tangannya pun tak
berhenti bekerja, mengusap dan memijat lembut seluruh bagian penis yang tak
terjamah oleh lidah, meningkatkan kenikmatan hingga ke puncak.
"Emmmm... Ohhhh... nikmat
sekali, Ayuuuu..." desah Joko lagi, kali ini lebih keras.
Tangan Joko bergerak mencengkeram
rambut Ayu, menahan kepala wanita cantik itu agar tetap di posisinya. Gerakan
kepala Ayu naik turun di antara selangkanga Joko menciptakan irama sensual yang
bergema di seluruh ruangan.
***
"Saya harus merusak iman Safiya
pelan-pelan?" tanya Sugeng, masih berusaha memahami rencana yang baru saja
diutarakan oleh Mbah Jagat.
"Betul. Buat dia menjauh dan meninggalkan
ajaran agamanya. Lagipula, aku tahu seleramu bukan wanita solehah seperti dia.
Kamu lebih suka wanita nakal seperti pelacur kan?" kata Mbah Jagat,
tersenyum licik.
Sugeng terdiam. Kata-kata Mbah Jagat
tepat sasaran. Ia memang tidak tertarik pada perempuan yang menutup aurat.
Justru, saat melampiaskan hasratnya, ia selalu membayangkan Safiya berpakaian
seperti wanita-wanita malam yang sering ia temui di kota. Sugeng mengangkat
wajahnya, menatap Mbah Jagat dengan tekad yang membara.
"Lalu, bagaimana caranya,
Mbah?"
"Kamu yakin mau mengikuti
caraku? Ini serius dan bukan main-main. Sekali kamu melangkah, tidak ada jalan
untuk kembali," kata Mbah Jagat, nadanya berubah serius.
"Saya yakin Mbah! Saya terlanjur
sakit hati dan ingin balas dendam!” ucap Sugeng, dengan keyakinan penuh.
"Kalau begitu, ada tiga hal yang
harus kamu siapkan, di luar sesajen." kata Mbah Jagat.
"Pertama, siapkan segenggam
tanah dari kuburan wanita yang meninggal saat melahirkan. Kedua, satu ekor ayam
cemani. Dan yang terakhir, sehelai pakaian wanita itu yang masih ada
keringatnya. Baju, kerudung, pakaian dalam apa saja, asalkan ada bekas
keringatnya. Mengerti?"
"Mengerti, Mbah. Tanah kuburan dan
ayam bisa saya usahakan, tapi yang terakhir itu sepertinya agak sulit,"
jawab Sugeng, tampak berpikir keras.
"Kalau kamu benar-benar
menginginkannya, kamu harus berusaha lebih keras. Paham?" Mbah Jagat
menatap Sugeng dengan tatapan tajam. Sugeng terdiam sejenak.
"Baiklah, Mbah. Akan saya
usahakan sekuat tenaga."
Mbah Jagat menyeringai puas. Satu
lagi bidak telah berhasil ia gerakkan. Lebih dari itu, ia berpeluang
menjerumuskan seorang wanita solehah ke jalan yang sesat. Tawa kemenangan
bergema dalam benaknya, tawa yang hanya bisa ia dengar sendiri.
***
Joko benar-benar kehilangan kendali. Kuluman
Ayu pada batang penisnya terasa begitu kuat, seolah menghisap semakin dalam ke
dalam mulutnya. Sensasi yang dihasilkan dari hisapan dan kocokan tangan istri
Mbah Jagat itu sungguh tak tertahankan. Tak lama kemudian, dari lubang penis
Joko keluar cairan putih kental. Tanpa diduga, Ayu menelannya hinga habis,
tanpa sisa, tanpa rasa jijik sedikitpun
“Ouuccchhhhh…!”
Ayu sempat mengangkat pandangannya,
menatap wajah Joko yang tengah dilanda nafsu membara. Ia memastikan tak ada
setetes pun cairan sperma yang terbuang sia-sia. Semuanya ditelan habis.
Setelah yakin tak ada lagi yang tersisa, Ayu melepaskan penis Joko dari
mulutnya.
"Enak Mas pejumu, nggak pahit.
Aku suka, makasih ya." kata Ayu, menyunggingkan senyum nakal dan puas,
seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
Joko masih terdiam, berusaha
menormalkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Tangannya dengan cepat
memasukkan kembali penisnya yang mulai lunglai ke dalam celana. Saat Ayu
beranjak pergi, Mbah Jagat dan Sugeng muncul dari arah tangga. Mereka
menghampiri Joko yang masih terduduk lemas. Sugeng tampak kebingungan melihat tingkah
Joko yang kikuk dan canggung. Bulir keringat juga membasahi dahinya seolah baru
saja menyelesaikan sesi latihan berat. Sementara itu, Mbah Jagat hanya melempar
senyum, sperti tau apa yang baru saja terjadi antara istrinya dengan Joko
beberapa saat lalu.
"Duduk dulu, silahkan diminum."
kata Mbah Jagat, menawarkan minuman di atas meja pada Sugeng.
“Oh ya, sebelum kamu pulang, ingat
kamu harus mengumpulkan semua barang yang aku sebutkan tadi sebelum bulan
purnama. Waktumu tinggal sekitar 7 hari lagi. Kalau gagal, kamu harus menunggu
satu bulan lagi untuk melakukan ritual. Jelas?"
"Baik, Mbah!" Sugeng hanya
mengangguk, lalu menghabiskan minumannya. Setelah berbasa-basi sebentar, Sugeng
dan Joko berpamitan, berjanji akan kembali dalam waktu seminggu lagi.
"Bagaimana Mas? Udah beres
semuanya?" tanya Joko, saat mereka berjalan menuju mobil.
Sugeng terdiam. Pikirannya kini
dipenuhi rencana untuk mendapatkan semua barang yang diminta oleh Mbah Jagat,
terutama pakaian Safiya yang memiliki jejak keringat. Bagaimanapun caranya, aku
harus mendapatkan pakaian itu, tekad Sugeng dalam hati, sembari menyusun
rencana licik.
PART 3
KRINGGG!!!
Bel sekolah berdering nyaring, sebagian
besar murid SMA Tunas Bangsa berhamburan keluar dari dalam kelas untuk pulang
ke rumah masing-masing. Sementara itu di ruang guru, Safiya tampak tergesa-gesa
membereskan mejanya. Bu Rahma, salah satu rekan Safiya, heran melihat tingkah wanita
cantik itu yang tidak seperti biasanya. Biasanya mereka selalu menyempatkan
diri untuk mengobrol sebelum pulang.
"Tumben buru-buru kayak dikejar
setan aja kamu Sa? Mau langsung pulang?" tanya Bu Rahma.
"Iya nih. Hari ini aku harus balik
lebih cepat. Suamiku sore ini mau pulang. Harus bersihin rumah sama masak
besar." jawab Safiya, tersenyum cerah.
"Wah, enaknya yang suaminya mau
pulang. Lha aku, masih saja sendiri, nggak ada yang nyariin." kata Bu
Rahma, pura-pura merajuk sambil memanyunkan bibirnya.
"Makanya, buruan nikah jangan
terlalu pilih-pilih. Itu, Pak Ramlan sudah lama naksir kamu, coba
dipertimbangkan. Kabarnya warisan bapaknya banyak loh. Kamu kalo jadi istrinya
bisa hidup tenang, nggak perlu kerja lagi." Balas Safiya, terkikik geli
melihat tingkah Bu Rahma.
"Hellooo?! Pak Ramlan sudah
punya istri dua! Kamu nyuruh aku jadi istri ketiganya??" sergah Bu Rahma
dengan wajah masam.
"Hehehe..." Safiya hanya
tertawa kecil, senang menggoda Bu Rahma sambil terus membereskan
barang-barangnya.
"Ngomong-ngomong, suamimu udah
nggak pulang berapa lama Sa?” tanya Bu Rahma sambil memperhatikan Safiya yang
sudah bersiap untuk keluar dari ruang guru.
"Udah lima hari." Jawab Safiya
singkat, senyumnya merekah membayangkan pertemuannya dengan Hamzah, sebelum
mengucap salam dan bergegas meninggalkan ruang guru.
Sebenarnya, jarak antara sekolah dan
rumah kontrakannya tidak terlalu jauh. Namun, karena tidak ada akses jalan
utama yang menghubungkan langsung, Safiya terpaksa mengambil rute memutar yang
memakan waktu lebih lama. Safiya dan suaminya memang belum memiliki rumah
sendiri. Mereka masih mengontrak rumah di sekitar sekolah tempat Safiya
mengajar.
Baru satu tahun lebih mereka pindah
ke lingkungan itu, dan masih berusaha beradaptasi dengan kehidupan kampung yang
tenang. Harga sewa rumahnya terbilang sangat terjangkau untuk ukuran rumah
kampung yang cukup luas. Safiya juga menyukai suasana pedesaan yang asri,
karena mengingatkannya pada rumahnya di Semarang. Hanya saja, lokasi rumahnya
memang agak terpencil, jauh dari tetangga yang lain, sehingga suasana terasa
sedikit sunyi dan sepi jika malam hari.
Sesampainya di rumah, Safiya segera
menyegarkan diri dengan mandi dan bersiap-siap untuk memasak hidangan istimewa.
Biasanya, saat suaminya tidak di rumah, Safiya lebih sering membeli makan malam
di warung sekitar. Namun, karena hari ini sang suami tercinta akan kembali,
sebagai seorang istri yang berbakti, ia merasa terpanggil untuk menyambutnya
dengan masakan lezat buatannya sendiri.
Safiya tersenyum sambil menyiapkan sayur
asam dan ikan kakap goreng, hidangan favorit Hamzah. Senyum mengembang di
bibirnya, momen seperti ini selalu membuatnya bahagia dan bersemangat. Ia
benar-benar merindukan Hamzah, merindukan kehangatannya, merindukan sentuhan
fisik dari sang suami. Semuanya wajar bagi seorang istri yang telah terikat
dalam ikatan suci pernikahan.
Mereka menikah karena perjodohan.
Sebelumnya, Safiya hanya mengenal Hamzah sebagai tetangga di kampung halaman,
anak dari sahabat Bapaknya. Mereka jarang bertemu dan ngobrol, bahkan bisa
dihitung dengan jari intensitasnya. Safiya memang dijaga ketat oleh keluarganya
dalam hal pergaulan, sementara Hamzah yang dua tahun lebih tua darinya lebih
sering menghabiskan waktu di pondok pesantren tempatnya mengabdikan diri sejak
lama.
Baru setelah menikah, mereka mulai
saling mengenal dengan mendalam, hati, pikiran, dan jiwa. Perlahan namun pasti,
cinta tumbuh di antara mereka. Kini dari pernikahan itu mereka memiliki seorang
anak, dan setiap hari Safiya bersyukur atas anugerah tersebut. Pacaran setelah
menikah, itulah istilah yang selalu ia gunakan saat ditanya tentang hubungannya
dengan Hamzah. Dan kini, setelah lima hari terpisah, rindu itu terasa semakin
membara.
Sebelum adzan magrib berkumandang suara
mesin mobil milik Hamzah terdengar memasuki halaman rumah. Sebelum menyambut
kedatangan suaminya Safiya memastikan penampilannya sudah cukup cantik. Dengan
gesit, ia merapikan hijabnya, memastikan setiap lipatan sudah sempurna, dan
memeriksa wajahnya. Sudah menjadi kewajiban seorang istri menyambut suami dalam
keadaan cantik.
***
Sugeng membuka matanya dengan berat,
menoleh melihat jam di dinding. Sudah pukul 4 sore, pantas saja ia merasa
lapar, pikir pria tua itu. Ia sampai di rumah pukul empat pagi tadi. Biasanya,
jika ia pulang jam segitu, itu karena ia menghabiskan waktu dengan pelacur di
kota. Namun, semalam ia terlambat karena urusan lain.
Semalam, ia harus pergi ke salah satu
daerah di pesisir selatan demi mendapatkan salah satu barang yang diminta oleh Mbah
Jagat sebagai syarat ritual. Entah kebetulan atau keberuntungan, ia mendapat
informasi dari seorang kenalannya yang bekerja di rumah sakit, tentang seorang
wanita yang meninggal saat melahirkan beberapa minggu lalu.
Sugeng harus menghabiskan waktu tiga
jam untuk menyetir dan mencari tahu tentang keberadaan kuburan perempuan itu. Setelah
berhasil menemukan lokasi yang diyakini sebagai makam si perempuan ia harus
menunggu hingga larut malam, memastikan tidak ada orang di sekitar. Sugeng tak
mau jadi sasaran amuk massa karena ketahuan mengambil sesuatu yang terlarang.
Sugeng masih ingat semua petuah yang
diberikan oleh Mbah Jagat tentang cara dan syarat untuk mengambil tanah kuburan
perempuan yang meninggal saat melahirkan. Kuburan itu harus masih baru,
maksudnya belum ada 40 hari perempuan itu meninggal. Tanah yang diambil harus
digali sedalam sejengkal tangan dari permukaan kuburan, kemudian diletakkan ke
dalam potongan kain kafan. Semua itu berhasil dilakukan Sugeng dengan sempurna,
walaupun ada sedikit perasaan takut saat melakukannya seorang diri.
Sesampainya di rumah, nasib baik
masih berpihak pada satpam tua itu karena sebuah pesan singkat dari Joko
mengabarkan jika dia sudah berhasil mendapatkan ayam cemani, bahkan bukan hanya
satu ekor melainkan dua ekor sekaligus. Kurang satu barang lagi yang harus
didapatkan oleh Sugeng untuk memuluskan ritual peletnya, dan itu merupakan
benda tersulit didapatkan. Hari ini adalah hari terakhir cutinya, dan ia harus
mencari akal untuk segera mendapatkan benda itu secepat mungkin. Sugeng
tiba-tiba tersenyum, sebuah ide telah didapatkannya.
***
"Mas mau minum?" tanya
Safiya lembut begitu mereka melangkahkan kaki ke dalam rumah. Keduanya baru
saja kembali dari masjid usai menunaikan sholat Isya berjamaah.
Hamzah langsung menuju sofa ruang
tengah. Tangannya meraih remot dan menyalakan televisi, mencari siaran yang
menarik. Ia lalu menoleh ke arah istrinya yang masih setia berdiri menanti.
"Tolong buatkan kopi, ya, Dek.
Yang sedikit pahit, jangan terlalu manis," pinta Hamzah. Sebuah senyum
tipis terukir di wajahnya, memandangi sosok Safiya yang tampak menawan dalam
balutan mukena.
Safiya mengangguk patuh, lalu
bergegas ke dapur. Tak lama kemudian, ia kembali dengan secangkir kopi panas
yang aromanya langsung menguar memenuhi ruangan. Ia meletakkannya di meja,
kemudian ikut duduk di samping suaminya. Keheningan sesaat hanya diisi oleh
suara dari televisi.
"Oh iya, Mas sampai lupa kasih
tahu," Hamzah membuka suara, matanya masih terpaku ke layar kaca.
"Lusa Mas harus berangkat ke Riau.
Ada undangan untuk mengisi dua ceramah di sana. Mungkin butuh waktu sekitar
empat sampai lima hari."
Lagi-lagi, suaminya akan pergi.
Namun, ia cepat-cepat menepis perasaan kecewa. Ia mengingatkan dirinya sendiri
bahwa suaminya pergi untuk berdakwah di jalan Allah, sekaligus mencari nafkah
halal untuk keluarga mereka.
"Lalu, bagaimana dengan pondok
tahfiz kita, Mas?" tanya Safiya hati-hati, berusaha agar nadanya tidak
terdengar seperti menuntut.
"Meskipun sudah ada yang
mengurus, kan tetap butuh perhatian Mas Hamzah." Kali ini, Hamzah
memalingkan wajahnya sepenuhnya dari televisi. Ia menatap Safiya lekat, lalu
tersenyum menenangkan.
"Tenang saja, Sayang. Mas selalu
berkomunikasi dengan Ustad Adi. Mas percaya penuh padanya. Insya Allah, beliau
bisa mengurus semuanya dengan baik selama Mas pergi." Mendengar keyakinan
di suara suaminya, Safiya pun ikut merasa lega.
"Baiklah kalau begitu. Safiya
akan selalu mendoakan dan mendukung Mas."
Safiya kemudian bangkit dari
duduknya, bersiap untuk masuk ke kamar tidur. Namun, sebelum benar-benar
beranjak, ia sempatkan menoleh sekali lagi ke arah Hamzah, memberinya senyuman
termanis yang selalu berhasil meneduhkan hati suaminya itu. Hamzah sangat
mengerti arti senyuman manis istrinya itu. Sebuah kode yang sudah begitu ia
hafal. Sejujurnya, ia pun merasakan kerinduan yang sama, rindu untuk membelai
dan memanjakan wanita yang sangat ia cintai itu.
Melihat Safiya menghilang di balik
pintu kamar, Hamzah tak mau membuang waktu, ia habiskan kopinya dalam beberapa
tegukan cepat. Televisi pun ia matikan. Dengan langkah yang sedikit tergesa, ia
menyusul istrinya ke kamar tidur. Saat membuka pintu, Hamzah langsung disambut
pemandangan yang menggoda. Safiya sudah berbaring di atas ranjang, sudah
berganti pakaian dengan sebuah daster tipis sebatas paha.
Setelah menutuo pintu kamar, Hamzah
lalu mematikan lampu utama, membiarkan kamar hanya diterangi oleh cahaya
temaram dari lampu meja. Suasana seketika menjadi lebih intim. Dalam pendar
cahaya yang lembut itu, Hamzah bisa melihat dengan jelas betapa mempesonanya
wajah sang istri dan tubuh indahnya.
Hamzah duduk di tepi ranjang,
tangannya terulur lembut untuk membelai rambut hitam Safiya yang tergerai.
Tatapan mereka bertemu, saling menyelami perasaan rindu yang tak terucap.
Perlahan, Hamzah mendekatkan wajahnya, mengecup bibir istrinya dengan penuh
perasaan. Sebuah kecupan yang disambut Safiya dengan kelembutan yang setara.
“Eeemmchhhh…Eemmcchhh..” Desah
menguar di udara.
Ciuman mereka semakin dalam. Tangan
Safiya kini melingkar mesra di leher Hamzah, menariknya lebih dekat. Di saat
yang sama, jemari Hamzah dengan terampil mulai menari, mencari dan membuka satu
per satu kancing daster yang dikenakan Safiya. Hamzah dengan lembut menyingkap daster
itu dari tubuh istrinya, dan pada saat bersamaan, Safiya pun membantu
melepaskan baju koko yang masih melekat di tubuh Hamzah. Kini, napas keduanya
saling beradu, menyisakan pakaian dalam yang masih menutupi bagian-bagian
paling pribadi pasangan suami istri itu.
Kain sarung yang dikenakan Hamzah pun
melorot jatuh ke lantai. Ia lalu memeluk tubuh istrinya, merasakan kehangatan
kulit yang saling bersentuhan. Tangannya bergerak ke punggung Safiya, mencari
pengait bra, dan dengan sekali sentuh, pengait itu pun terlepas. Di hadapannya
kini tersaji keindahan yang selalu membuatnya takjub. Hamzah menunduk,
memberikan kecupan-kecupan basah di puncak dada istrinya, sementara tangannya
yang lain bergerak turun, dengan sensual menyingkirkan penghalang terakhir di
tubuh Safiya. Ciuman Hamzah berpindah menuju area payudara kenyal nan bulat.
Tubuh Safiya merespon dengan menggelinjang kegelian.
"Eeeemcchhh…Mas…" terdengar
desahan lembut dari mulut Safiya, seolah berusaha menahan diri agar tidak
bersuara lebih keras.
Ciuman Hamzah di area payudara
berubah jadi hisapan-hisapan lembut. Tangannya yang bebas ikut bekerja dengan
meremasi dada istrinya itu secara bergantian, kiri dan kanan. Desahan Safiya
berganti jadi erangan, cukup nyaring, membuat Hamzah makin tak sabar untuk
memulai proses persetubuhan.
"Mas masukin sekarang ya
Dek…Udah nggak tahan…"
Sorot mata sayu Safiya memberi
isyarat, tanda meminta Hamzah melanjutkan aksinya. Hamzah melepas celana
dalamnya, kini pendajwah muda itu sudah telanjang bulat. Safiya memposisikan
tubuhnya ke tengah ranjang, kedua pahanya terbuka lebar, siap menerima nafkah
bayin dari sang suami yang begitu dicintainya. Perlahan-lahan Hamzah kembali
mendekati tubuh Safiya, untuk sesaat keduanya kembali saling memagut. Bibir
saling bertemu, lidah saling menjilat, begitu panas, begitu mesra.
Setelah memastikan batang penisnya
cukup keras untuk memulai penetrasi, Hamzah pelan-pelan mendorong pinggulnya ke
depan, ujung penisnya seketika bersentuhan dengan lubang vagina Safiya. Hanya
dengan satu dorongan kuat, seluruh batang penisnya kemudian ambles ditelan alat
kawin sang istri. Penisnya masuk, sedikit demi sedikit, hingga vagina Safiya
menelan habis seluruh batang kejantanan Hamzah.
“Ouucchhhh…Maass….”
“Sakit Dek…?” Tanya Hamzah dengan
raut wajah khawatir. Safiya menggeleng sambil tersenyum manja.
“Nggak Mas…Enak…” Balas Safiya.
“Nakal…” Hamzah kembali mengecup
lembut bibir istrinya sebelum memulai memompa vagina Safiya dari atas.
Wajah Safiya sedikit berubah, menahan
nikmat di vaginanya. Dia dapat merasakan gerakan keluar-masuk batang kejantanan
suaminya, perlahan-lahan, semakin lama semakin cepat. Vaginanya terasa penuh,
nikmat, akibat gerakan pinggul suaminya, mendorong dan menarik batang tersebut
dengan kecepatan stabil. Satu-satunya batang penis yang pernah dirasakannya.
Kenikmatan surga dunia.
"Oooohhhh..Maas…Teruss Mas…"
desah Safiya.
Pahanya berusaha dibuka selebar
mungkin, untuk memberi ruang pada suaminya bergerak lebih leluasa. Keringat
pasangan suami istri itu sudah membasahi tubuh, tanda jika persetubuhan
berlangsung cukup panas. Safiya mengerang nikmat, tiap sodokan dan hentakan
penis Hamzah di dalam liang kemaluannya mengirimkan sinyak kenikmatan tiada
tara. Tak hanya puas secara seksual, Safiya juga sangat bahagia karena
melakukan ini atas dasar cinta dan ibadah.
Setelah beberapa lama, Safiya
merasakan gelombang orgasme akan segera datang. Hamzah pun sudah hampir
mencapai klimaks. Sodokan penis Hamzah semakin cepat. Tusuk sedalam mungkin,
keluar sedikit, tusuk lagi. Gerakan itu diulang-ulang beberapa kali, hingga
akhirnya dia memuntahkan cairan putih, memancarkan air mani ke dalam vagina
istrinya. Penisnya berdenyut-denyut, mengosongkan kantong testis.
“Aaarrgghhtt!”
“Maassss…!”
Mulut Safiya terbuka lebar, matanya
terpejam, saat dia juga mencapai puncak kenikmatan. Tembakan sperma suaminya membuat
seluruh liang kawinnya banjir bukan main, bahkan sebagian cairan kental
berwarna putih itu luber keluar. Tubuhnya menegang beberapa saat, sebelum dia
kembali sadar, menikmati nikmatnya nafkah batin dari suaminya itu. Hamzah
membiarkan kejantanannya terendam sejenak di dalam vagina istrinya, sebelum kemudian
mencabutnya. Hamzah bangun dan bergerak
ke sisi istrinya yang sedang berbaring kelelahan.
"Terima kasih, sayang…"
kata Hamzah, tersenyum, lalu mencium pipi istrinya. Safiya ikut tersenyum,
sebelum menarik napas panjang.
“Aku sayang kamu Mas..” Balas Safiya.
“Aku juga Dek…”
Di saat Safiya dan Hamzah memadu
kasih, tanpa disadari, di balik jendela kamar terlihat sepasang mata sedang
mengintip persetubuhan mereka sejak tadi. Tangan pemilik mata itu sedang
menggosok penisnya dari luar celana panjang hitam yang dikenakan. Sosok itu
perlahan-lahan mundur dari jendela kamar, lalu bergerak ke arah pintu dapur.
Bak pencuri kelas ulung, sosok pria
itu mengeluarkan sebuah kawat besi dari sakunya lalu membongkar lubang kunci
pintu. Tak butuh waktu lama, sosok itu berhasil membobol pintu dapur rumah
milik Safiya dan Hamzah. Pandangan matanya langsung tertuju pada sebuah mesin
cuci di bagian pojok ruangan, dekat kamar mandi. Di atasnya terdapat sebuah
tempat baju kotor, dengan langkah sedikit mengendap sosok pria bertubuh tambun
itu mendekatinya.
Tangannya memilah satu persatu
pakaian kotor yang ada di keranjang. Matanya sempat terhenti pada sebuah BH dan
celana dalam, tangannya sigap mengambilnya lalu tanpa rasa jijik sedikitpun
menghisap sisa aroma pakaian dalam tersebut. Senyumnya merekah lebar, misinya
sudah berhasil. Buru-buru dia memasukkan pakaian dalam milik Safiya itu ke
dalam jaketnya sebelum kemudian melangkah pergi dan menghilang di kegelapan
malam.
.jpg)
Posting Komentar
0 Komentar