THE LITTLE SISTER
PART 1
"Astaga, Banyu, Lu beneran mau
bikin video porno?" tanya Lukas dengan kedua mata melotot. Banyu hanya
menoleh sedikit dan tersenyum.
"Gue boleh ikut nggak?"
Tanya Lukas sekali lagi, kali ini raut wajahnya penuh pengharapan.
"No! Big no!" Banyu tersenyum
lebih lebar saat berusaha membuka set panel putih setinggi enam kaki di
hadapannya.
"Mata Gue nggak biasa lihat
kontol kecil bro."
"Nggak pernah dikasih tau nyokap
Lu sebesar apa kontol Gue ya?" ujar Lukas sambil tertawa. Cowok berambut
ikal itu sengaja meremas selangkangannya sendiri, seolah sedang memamerkan alat
kawinnya pada Banyu.
"Lucu. Daripada geje kayak gitu,
mending Lu bantuin masang ini dulu."
"Siaap bro, santai aja kali."
Lukas menarik panel di bagian belakang sementara Banyu memegang bagian depan.
"Lu mau syuting bokep tapi malah
serius banget. Rileks bro…Rileks…” Cerocos Lukas.
"Pertama, ini bukan porno, tapi
sesi foto sensual. Art! Kedua, gue nggak bikin vodeo bokep kayak yang sering lu
liat." Banyu menarik panel ke arah tempat tidur yang sudah mereka pindah
ke tengah kamar.
"Apa bedanya?" Lukas
melakukan hal yang sama, lalu membalikkan braket metal di belakang panel dan
menguncinya.
"Nanti bakal ada cewek seksi di
sini. Jangan bilang kalo Lu nggak akan ngewe sama dia." Lukas masih belum
terima dengan penjelasan dari sahabatnya itu. Banyu melangkah ke sisi lain
tempat tidur di mana kameranya sudah terpasang di tripod.
"Dia bukan cewek Michaat,
dia model profesional." Tegas Banyu.
"Gue boleh lihat fotonya nggak?”
"Boleh, kenapa nggak?" Banyu
mencoba terdengar santai sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Banyu kemudian membuka halaman sebuah website khusus
model dewasa dan menyerahkan ponselnya pada Lukas.
"Model privat?" kata Lukas
sambil tersenyum cabul.
"Terdengar seperti website bokep."
Banyu hanya menggelengkan kepala mendengar ocehan Lukas.
“Siapa namanya?”
“Nadine Arumi.” Ucap Banyu singkat.
Lukas bergegas menggerakkan jemarinya mengetikkan nama tersebut dalam kolom
pencarian.
"What the fuck?! Serius dia yang bakal Lu fotoin
nanti??" Pekik Lukas saat melihat foto-foto seksi Nadine terhampar jelas
di layar ponsel.
Banyu tersenyum sambil melihat Lukas tak
sabar menggulir layar ponsel, puluhan foto Nadine dengan berbagai macam pose
seksi nan “mengundang” jadi santapan bebas. Nadine, seorang model tinggi dengan
rambut panjang sebatas pinggang, mata biru, dan tubuh yang sempurna, tampil
sangat menawan. Foto-fotonya di website tersebut menunjukkan berbagai
penampilan, dari gaun malam yang elegan, hingga kostum siswi nakal dan
lingerie.
"Available for erotic
shoots." Lukas
membaca sebagian deskripsi profil Nadine di website.
"Aku adalah seorang model
profesional yang sangat ceria. Aku bukan escort atau pekerja seks, jadi
tolong bersikaplah profesional dan sopan. Menjadi model adalah karier bagiku.”
“Lu bakal bacain semua deskripsi
profil Nadine?” Sindir Banyu.
"Bro, Lu beneran ngluarin duit
lima juta cuma buat foto-foto doang? Nggak ngapa-ngapain??”
"Gue udah bilang, ini buat tes
project dari Bang Dimas. Ini murni kerjaan, bukan yang lain. Kalo sukses, Bang
Dimas bakal jadiin Gue partnernya." Banyu meraih ponselnya dari tangan
Lukas.
"Ah, munafik. Lo ntar pasti sange
juga setelah satu jam ngefotoin Nadine. Bodynya udah kayak bintang bokep gitu!"
Lukas menyeringai.
“Gue bukan lu yang sangean bro…”
"Serius, gue yakin dia juga bakalan
mau. Mana ada sih habis foto-foto telanjang tapi endingnya nggak
ngapa-ngapain?” Cerocos Lukas tanpa henti.
"Kalau gue cuma pengen ngewe,
gue bisa aja cari cewek lain. Tapi ini bukan buat main-main. Gue butuh model
yang profesional, yang tahu cara berpose dan camera friendly."
jelas Banyu, mulai sedikit kesal.
"Halah, Lu bisa bilang gitu
karena Nadine belum ada di sini kan? Come on bro, kita udah sama-sama
gede, tau sama taulah.” balas Lukas, mengangkat alisnya.
"Yup, kita emang udah gede tapi
pikiran lo masih kayak anak SMP," Banyu mengetuk kepala Lukas, lalu
menunjuk ke arah selangkangannya.
"Titid lo juga."
"Nggak usah sok suci deh. Gue
yakin lo juga bakal horny pas motret Nadine ntar." Lukas tak mau kalah.
"Gue nggak bilang nggak,"
Banyu tertawa.
"Tapi intinya, ini bukan tentang
seks, tapi profesionalitas kerjaan."
"Tetep aja, lu udah ngluarin
duit banyak. Emang Lo ngga bisa cari yang lebih murah? Gimana kalo cewek di
kampus?" Lukas mencoba memberi saran.
"Hai, mau datang ke rumahku buat
foto pakai lingerie, atau mungkin topless, buat project kerjaan Gue? Gitu
maksud lu?" Banyu memutar bola matanya, menyindir ide Lukas.
Banyu berjalan ke arah tripod yang
menopang kamera. Berdiri di belakangnya, ia mengintip melalui lensa, mengatur
fokus agar seluruh tempat tidur masuk ke dalam frame untuk pengambilan gambar wide
angle yang direncanakan.
"Intinya, gue butuh seseorang
yang tahu cara berpose dan bersikap natural di depan kamera. Lagipula, ini
kerjaan dia. Ini juga semacam promosi buat Nadine ntar." jelas Banyu lagi.
"Kalau gitu, kenapa lo harus bayar
mahal banget?" Lukas masih belum mengerti.
"Percaya deh, harga segitu udah
termasuk murah buat apa yang bakal dia lakuin nanti. Nadine ngasih diskon
karena gue kenal sama Bang Dimas. Nadine bahkan mau posting beberapa hasil
jepreten Gue di profilnya dan nyantumin nama gue. Model-model lain yang
ngelihat profil dia mungkin tertarik buat nawarin diri buat gue fotoin nanti,"
Banyu menjelaskan dengan sabar.
"Wah, keren banget! Ngefotoin
cewek-cewek seksi dan dibayar!" Lukas berseru dengan nada tinggi.
"Gue jadi pengen beli kamera
juga!"
"Boleh, asal lo bisa foto tanpa
ngaceng." Balas Banyu.
"Eh, tapi lo dapet duit sebanyak
itu dari mana?" tanya Lukas, penasaran. Matanya menyipit, curiga Banyu
melakukan sesuatu yang aneh.
"Nyokap Bokap ngasih dua juta
buat sewa studio foto. Tapi karena mereka lagi pergi keluar kota, gue putusin
buat motret di sini aja. Lumayan, duitnya bisa gue simpen. Sisanya, ya dari
tabungan Gue." jawab Banyu, berusaha terdengar santai.
"Terus, Sekar gimana? Gue tau
dia emang agak... gimana ya, nggak nyambung. Emang dia nggak masalah lo bawa
cewek ke sini buat foto telanjang?" Lukas mengerutkan kening, membayangkan
reaksi adik Banyu itu nantinya.
"Sekar kan kerja besok. Lagian,
gue udah bilang ke dia kalo ada model dateng buat gue foto. Dia sih nggak
peduli." sahut Banyu, mengangkat bahu.
"Masuk akal, adik lu mungkin pas
lu tanya lagi high. Hehehehehe." celetuk Lukas, terkekeh.
"Nggak segitunya juga kali.
Sekar mungkin lagi pengan ngrasain bebas aja. Dia juga udah bisa ngasilin duit
sendiri." Banyu membela adiknya.
"Iya, sayang aja dia nggak
pernah perhatiin penampilan. Padahal, kalau dia dandan yang bener dikit aja
pasti cakep banget," komentar Lukas, menilai penampilan Sekar.
"Kayaknya dia nggak peduli sama
penilaian lo deh." balas Banyu, mulai merasa risih.
“Hahahaha, ya setiap orang juga boleh
ngasih penilaian kan?”
"Sebenernya, lo ada masalah apa
sih sama adik gue? Dia itu dua tahun lebih muda dari lo. Dan... dia itu adik
gue," Banyu menatap Lukas dengan tatapan yang memperingatkan.
"Santai, bro! Sekar udah 19
tahun. Udah dewasa," Lukas tersenyum lebar, senang melihat komentarnya barusan
berhasil membuat Banyu kesal.
"Kalau gitu, mungkin pas lo udah
dewasa omongan tadi bakal jadi masalah." sahut Banyu dengan nada
sarkastis.
“Dia udah punya pacar nggak sih?”
Banyu menggeleng.
"Dia baru putus sama pacarnya
beberapa bulan lalu, dan belum ada cowok baru."
"Jangan-jangan dia belok? Banyak
lho yang kayak gitu. Apalagi yang open minded kayak Sekar, biasanya lesbi."
Lukas menyeringai, menunggu reaksi Banyu.
"Makasih ya udah bantuin gue hari
ini." kata Banyu, berusaha mengabaikan komentar terakhir Lukas yang
membuatnya sedikit risih.
Banyu menunjuk ke panel latar
belakang yang dibelinya seharga hampir satu juta rupiah di toko online dua hari
lalu. Sebenarnya itu harga yang lumayan murah, tapi sekarang saldo di
rekeningnya hampir kosong setelah dia menarik hampir seluruh uangnya untuk membayar
Nadine besok.
"Gue jadi penasaran, apa sih
yang dia sembunyiin di balik baju-baju gombrongnya itu," kata Lukas, masih
belum menyerah membahas Sekar.
"Lo kan tinggal serumah sama
dia, pasti pernah liat dia pake celana pendek atau baju yang lebih ketat. Dia
punya body yang oke nggak sih? Atau jangan-jangan kurus banget?"
"Udah deh, nggak usah bahas Sekar
terus kenapa sih?" Banyu merasa makin tegang.
Dia tahu Lukas cuma bercanda, tapi
pemotretan besok taruhannya besar banget buat kariernya sebagai calon
fotographer profesional. Apalagi dia mengambil risiko dengan tema yang agak
erotis. Banyu ingin bikin sesuatu yang berani dan beda dari yang lain. Ocehan
ngawur Lukas soal adiknya sama sekali tak memberi nilai tambah.
"Santai, bro! Gue kan cuma
bercanda," kata Lukas saat melihat perubahan ekspresi wajah Banyu.
"Nggak, masalahnya lo emang
selalu gitu. Suka banget ngomongin Sekar. Kata Sekar, lo juga sering banget mampir ke tempat kerjanya."
ujar Banyu, mulai kesal.
"Yee, gue kesana karena pengen
dapet diskonan kondom bro!" Lukas tertawa, mencoba mencairkan suasana.
Tapi tawanya langsung berhenti begitu melihat wajah Banyu yang cemberut.
"Oke, sori-sori…" Lukas
mengangkat kedua tangannya, menyadari jika sudah membuat sahabatnya makin
kesal.
"Gue tau dia adik lo, dan emang
agak... unik. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menarik dari dia. Mungkin gue
emang suka cewek yang agak tomboy."
"Sumpah, ini makin nggak lucu
sih." Sahut Banyu.
"Santai bro, jangan terlalu
serius kenapa sih?" Lukas tersenyum nakal.
"Gue emang suka merhatiin Sekar,
tapi cuma sebatas itu aja sih bro. Btw dia kenapa jarang mandi sih?”
"Udah ya. Mending lo pulang deh,
makasih udah bantuin." potong Banyu, mencoba mengakhiri pembicaraan.
"Hahahaha! Sori bro! Just
kidding!" Lukas melebarkan senyum jahil untuk kesekian kalinya. Dia
tau Banyu tak bisa benar-benar marah dengannya.
"Balik lagi ke soal foto. Gue
masih ngerasa ada sesuatu yang lo sembunyiin. Pasti ada sesuatu yang lebih dari
sekadar proyek dari Bang Dimas kan?"
"Mungkin." Ujar Banyu santai,
matanya kini kembali menatap wajah Lukas yang masih penasaran.
"Gue bakal cerita, tapi lo janji
berhenti ngomongin adik gue."
"Janji! Gue nggak bakal
nanya-nanya lagi!” Lukas mengangkat kedua tangannya lagi, tanda menyerah.
"Sebenarnya gue juga pengen ikut
tampil di beberapa foto nanti." Banyu menyeringai.
"Hah? Serius?? Lu mau ikutan
jadi modelnya?" Lukas menunjuk Banyu, kaget.
"Iyup, temanya erotis. Gue pengen
satu frame sama Nadine." Banyu mengedipkan mata.
"Siapa tau malah bisa topless."
Lanjut Banyu yang membuat Lukas menelan ludahnya sendiri.
"Gue udah nebak akal bulus lo
daritadi!" ledek Lukas.
"Sebenarnya..." Banyu
berpikir untuk menggoda Lukas lebih jauh.
"Gue kepikiran buat ngambil beberapa foto
yang sangat intim. Siapa tau dia mau memperagakan saat melakukan blowjob.”
"Ah, gue yakin lo paling jago
bro! Lo kan si paling penjahat kelamin.” Lukas mencoba menyindir halus. Selama
ini Banyu memang tak pernah aneh-aneh soal cewek, membayangkan sahabatnya itu
melakukan perbuatan cabul pada lawan jenis jadi sesuatu yang lucu bagi Lukas.
"Ya, setidaknya gue nggak pernah
jajan lonte kayak lo.” balas Banyu.
"Iya deh, lo emang jantan
sejati. Tapi, kalau lo pengen yang profesional kenapa nggak nyewa model cowok sekalian
buat pose bareng Nadine?" tanya Lukas.
"Nggak mampu gue, duitnya nggak
cukup buat bayar model satu lagi.” jawab Banyu. Tak lama terdengar ketukan
lembut di pintu kamarnya.
"Banyu? Gue boleh masuk?" Sekar
memanggil dari luar. Mata Lukas seketika berbinar mendengar suara serak-serak
basah dari adik Banyu itu.
"Silakan tuan puteri!"
jawab Lukas sambil tersenyum nakal ke arah Banyu.
Sekar membuka pintu kamar lalu masuk
ke ruangan, penampilannya seperti baru bangun tidur. Rambutnya yang panjang dan
hitam alami terurai begitu saja, hanya dijepit seadanya dengan jepit rambut
ungu kecil. Beberapa helai rambut menutupi wajahnya, sebagian menutupi matanya
yang bulat.
Sekar sama sekali tak memakai
make-up. Dan, seperti yang Lukas bilang sebelumnya, pakaiannya benar-benar
tidak menarik. Blus kuning bermotif bunga-bunga yang kebesaran, seperti bisa
muat untuk dua orang. Lengan bajunya lebar dan mengembang itu terlalu panjang,
menutupi tangan Sekar, hanya menyisakan ujung jari-jarinya saja.
Celana yang dipakainya juga aneh.
Celana bell bottom berwarna oranye terang terlihat sangat longgar,
sampai membuat orang bertanya-tanya dimana kaki Sekar. Ujung celananya menutupi
kaki, sehingga kakinya tidak terlihat sampai dia berjalan mendekat ke Banyu.
Sekar memakai sandal jepit kuning
dengan hiasan kupu-kupu di bagian tali antara jari kakinya. Sesuai dengan
gayanya yang santai, jari tangan dan kakinya juga tidak dipoles cat, meskipun
kukunya cukup panjang. Sekar memilih untuk membiarkannya alami.
Kebanyakan cewek seumuran Sekar pasti
malu kalau harus tampil di depan umum tanpa make-up dan pakaian rapi. Tapi
tidak dengan adik Banyu itu. Sekar sama sekali tidak peduli dengan apa yang
dipikirkan orang lain tentang dirinya. Dia baru berdandan saat sedang bekerja
di salah satu minimarket dekat rumah.
Banyu sering bertanya-tanya dalam
hati, apakah Sekar pernah memikirkan omongan orang selama ini. Lukas tidak
salah waktu bilang Sekar unik, karena terkadang gadis itu sering terlihat tak
sadar dengan apa pun di sekelilingnya.
Meskipun begitu ada banyak hal yang
jadi nilai lebih dari sosok Sekar. Sejak SMA dia dikenal sebagai salah satu
siswa yang cerdas, nilai raportnya selalu melebihi kata memuaskan. Alih-alih
melanjutkan kuliah seperti halnya Banyu, Sekar mengambil keputusan berani untuk
langsung bekerja. Tentu saja keputusan itu sempat ditentang oleh kedua orang
tuanya, tapi Sekar bersikeras untuk belajar mandiri.
“Aku ingin kuliah dengan uang hasil
kerja kerasku sendiri.” Begitu kata Sekar kala itu.
Sekar adalah gadis yang baik, seperti
yang sering dikatakan ayahnya. Itu sebabnya Banyu selalu kesal kalau ada orang
yang mengejek penampilan Sekar yang “unik”. Menurut Bayu, Sekar hanya sedikit
berbeda dari gadis-gadis lain seusianya.
"Hai, Sekar! Lo nggak kepanasan
pake pakaian kayak gitu di dalam rumah?” sapa Lukas. Banyu ingin menampar
Lukas, tapi dia hanya bisa melotot tajam.
"Nggak kok, kainnya tipis.
Lagian, gue bikin sendiri baju ini."
"Oh gitu. Keren sih." balas
Lukas.
"Lo katanya mau pulang bro?"
sindir Banyu.
"Gimana kerjaan lo di minimart?"
Lukas terus bertanya, tidak menggubris kode dari Banyu.
"Masih ramai?"
"Yeah, lumayan. Seperti hari
biasa aja.”
"Lo harus bilang ke boss lo buat
nyediain tempat nongkrong di depan biar makin rame. Ya, seperti Indomaret ato
Alfamart gitu deh.”
"Hmmm, toko kami target pasarnya
bukan ke anak muda sih. Tapi boleh juga ide lo, ntar gue sampein ke bos deh.
Thanks ya.”
“Sama-sama, kalo ada yang perlu
dibantu gue siap!” Cerocos Lukas seolah mengabaikan kehadiran Banyu di
dekatnya.
“Lo kan mau pulang.” Desis Banyu.
“Ah elah, ngobrol bentar aja masa
nggak boleh sih?”
“Mending lo pergi sekarang sebelum
gue tampar karena udah jahat sama adik gue."
"Oke, oke, gue pergi," kata
Lukas sambil tertawa lebar, suka melihat ekspresi frustasi pada wajah Banyu.
"Bye!"
"Ini semua buat apa?" tanya
Sekar begitu Lukas pergi dan melihat kamar kakaknya sudah penuh dengan
peralatan photography.
"Kan udah gue bilang kemarin,
gue ada sesi foto besok. Gue ngelakuinnya di sini biar hemat biaya
studio."
"Bukannya udah dikasih duit Mama
buat sewa studio?"
"Iya, tapi gue pake buat bayar
modelnya. Hemat."
"Oh…" kata Sekar sambil melirik
ke tempat tidur Banyu.
"Lo bayar cewek buat foto-foto
di tempat tidur lo?"
"Ya, semacam foto dengan tema
seni tinggi.” jawab Banyu, tak mau terus terang.
"Mama nggak tau lo ngelakuin ini
di sini kan?"
"Nggak. Lo nggak bakal bilang
kan?"
"Buat apa?"
"Gitu dong adik gue yang
keren!" Banyu merangkul bahu Sekar.
"Boleh gue nanya sesuatu?"
Tanya Banyu kemudian.
"Boleh aja," jawab Sekar
sambil berjalan ke arah kamera dan melihat lewat lensa.
"Lo beneran nggak sadar waktu
Lukas atau orang lain ngejek lo, atau lo cuma pura-pura nggak peduli?"
"Gue sadar kok, cuma gue nggak
peduli," jawab Sekar sambil menatap Banyu.
"Menurut gue yang keliatan jelek
itu mereka, bukan gue."
"Maaf ya kalo kadang Lukas
ngomongnya keterlaluan.”
"Lo nggak perlu minta maaf. Lo
kan emang selalu belain gue?" kata Sekar sambil senyum.
"Yeah, gue kan abang lo."
jawab Banyu.
"Thanks abang gue…”
"So, lo kenapa datang ke sini?
Butuh bantuan?”
“Iya, gue mau jual beberapa gelang
sama kalung, bisa nggak lo fotoin buat gue posting di IG?”
“Ah gampang kalo itu. Kapan?
Sekarang?”
“Iya kalo bisa, besok kan lo udah
sibuk sama model cewek seksi.” Sindir Sekar.
“Ok siap, gue ambil kamera dulu deh.”
PART 2
Banyu berdiri di depan cermin kamar
mandi, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila. Kurang beberapa jam
lagi dia akan mulai sesi pemotretannya bersama Nadine! Ia hanya ingin tampil
maksimal dalam pemotretan nanti. Bayangan foto-foto menggoda Nadine tiba-tiba
menyerbu pikirannya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat Banyu salah
tingkah.
Banyu sudah menyiapkan dua kamera. Nikon
di atas tripod untuk mengambil gambar dari samping, menangkap setiap lekuk
tubuh Nadine dengan sempurna. Lalu, Canon Rebel, hadiah ulang tahun dari orang
tuanya, untuk sudut pandang yang lebih intim, POV. Banyu membayangkan Nadine nanti
akan bersandar di atasnya, menjulurkan lidah menyentuh perutnya. Membayangkan
sentuhan itu di tempat yang lebih pribadi membuat pipi Banyu merona.
Tapi, semua itu tergantung
keberaniannya. Sesi pemotretan semakin dekat, dan gugupnya semakin
menjadi-jadi. Nadine adalah model profesional. Pengalamannya segudang, malang
melintang di dunia modeling. Ia pasti terbiasa bekerja dengan fotografer handal.
Sementara Banyu? Pengalamannya hanya sebatas memotret acara kampus, foto
keluarga, dan acara-acara remeh temeh lainnya.
“Lo yakin mau ambil tema erotis buat
proyek ini?” Tanya Bang Dimas beberapa hari lalu saat Banyu mendiskusikan
rencananya.
“Iya Bang, gue perlu tantangan baru.”
“Hmmm, tema ini selain tantangannya
besar, resikonya juga ngeri. Tapi kalo lo udah yakin, gue cuma bisa dukung aja.
Gue yakin lo nggak akan ngecewain proyek ini.”
“Siap bang, gue janji nggak akan
ngecewain!” Seru Banyu penuh semangat waktu itu.
"Apa mungkin gue berani minta
Nadine buka baju nanti ya?" Banyu bergumam pada bayangannya di cermin saat ini.
"Kalau pun berani, apa gue
sanggup minta dia berpose intim sama gue?"
Selain ragu pada kemampuannya, ia
juga takut dengan penilaian Nadine nantinya. Jangan-jangan Nadine menganggapnya
cuma remaja tanggung yang haus sensasi jika ia meminta gabung berpose intim.
Sekarang, ide untuk ikut berfoto bersama terasa konyol, tidak profesional,
bahkan menjurus mesum. Banyu tidak punya uang untuk menyewa model pria.
Kenalan? Jangankan kenalan, teman yang mau jadi model saja tidak ada. Ia
menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Fokus, Banyu! Lo bisa! Lo nggak
boleh gagal! Ini baru langkah awal ke dunia profesional!" bisiknya dalam hati.
Ia berharap, begitu mulai memotret,
ia akan terbiasa melihat wanita cantik berpakaian minim di ranjangnya. Ia harus
bertransformasi menjadi fotografer profesional, bukan remaja puber yang salah
tingkah di depan objek sensual.
Banyu mendongakkan kepala,
memiringkannya ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada satu helai rambut pun
yang terlewat saat bercukur. Ia merasa dirinya cukup tampan. Berbeda dengan
Sekar, adiknya, yang mewarisi kecantikan ibunya Banyu lebih mirip ayahnya. Matanya
meneduhkan. Rambutnya ditata dengan gel agar terlihat sedikit berantakan, kesan
bad boy yang disukainya. Tulang pipi yang tinggi dan garis rahang yang
tegas semakin menambah kesan maskulin.
Sebenarnya Banyu tidak terlalu peduli
dengan penampilan. Meskipun begitu ia cukup populer di kalangan cewek-cewek
kampus. Sejak tiga bulan terakhir Banyu hanya fokus pada kuliah, dan mencari
kesempatan untuk mengasah kemampuan fotografinya. Semua itu terjadi karena
Banyu diputuskan oleh Clara yang merasa jika kakak Sekar itu “terlalu baik”.
Banyu segera mengenakan kaus hitam
yang sudah disiapkannya dan kembali ke kamar. Saat melewati kamar Sekar, ia
mendengar sayup-sayup alunan musik. Rupanya adiknya itu masih belum berangkat
kerja, semoga saja sebelum Nadine datang Sekar sudah tak ada di rumah. Banyu
merasa lebih tenang jika tak ada orang lain selain dirinya ketika mulai menjadi
seorang photagrapher.
Banyu masuk ke kamarnya,
menyemprotkan parfum andalannya ke seluruh badan, lalu mulai menata tiga lampu
standing tinggi yang akan difokuskan ke area tempat tidur. Baru saja ia selesai
mengatur lampu terakhir, ponselnya berdering. Tanpa melihat layar, ia langsung
mengangkatnya.
"Halo?"
"Ini Banyu?" Suara seorang wanita terdengar di
seberang sana.
"Iya! Nadine?"
"Aku sudah coba meneleponmu dari
tadi, tapi nggak diangkat."
"Maaf, aku baru selesai mandi.
Jadi, on ya jam dua belas?"
"Emm... ada masalah."
"Masalah?" Jantung Banyu
langsung berdebar kencang.
"Masalah apa? Masalah
bagaimana?"
"Masalah yang bikin aku terpaksa
dirawat di rumah sakit sekarang."
"Rumah sakit?" Banyu
mengulanginya dengan bingung.
"Tadi pagi aku jogging, terus
pergelangan kakiku keseleo. Nggak patah sih, tapi lumayan parah."
"Jadi... batal?" Banyu
memejamkan mata. Dunia serasa runtuh. Bagaimana bisa ini terjadi?
"Nggak mungkin aku bisa ikut pemotretan
hanya dengan satu kaki. Lagian, aku juga jatuh tadi, ada luka gores lumayan
besar di dahi. Penampilanku lagi berantakan banget. Maaf ya, baru ngabarin
sekarang."
"Terus... aku harus
bagaimana?" gumam Banyu lebih pada dirinya sendiri.
"Tunggu, kamu kenal model lain
nggak? Mungkin kamu bisa hubungi mereka?"
"Nggak banyak sih, dan kayaknya
nggak ada yang bisa dadakan kayak gini.”
"Maaf ya, aku tahu ini untuk
proyekmu bareng Dimas. Mungkin kamu bisa jelasin situasinya ke dia? Minta
perpanjangan waktu mungkin? Aku yakin minggu depan kondisiku udah
membaik."
"Waktunya nggak akan cukup,
deadline proyek ini hari Senin.” Banyu mengusap matanya dengan tangan gemetar.
"Semoga cepat sembuh ya."
Banyu menutup panggilan tanpa
mendengarkan penjelasan Nadine lebih lanjut. Sekarang apa? Banyu mencoba
berpikir jernih. Dia bisa saja memberitahu Bang Dimas untuk menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi. Tapi dia tahu persis apa yang akan terjadi
selanjutnya. Dia akan kehilangan kesempatan emas untuk jadi salah satu partner
fotographer ternama itu karena gagal melakukan pemotretan.
"Sialan!" Banyu menggerutu
sambil mengacak rambutnya.
Matanya tertuju pada layar laptop
yang masih menyala. Kenyataan pahit menghantamnya. Hampir mustahil mencari
model yang bersedia menerima tawaran pekerjaan mendadak seperti ini. Siapa juga
yang mau? Sebagian besar model profesional hanya menerima pekerjaan yang
dijadwalkan jauh-jauh hari.
Ucapan Lukas tiba-tiba terngiang di
benak Banyu. Bagaimana kalau menyewa jasa cewek-cewek di Michatt? Banyu
membayangkan dengan uang lima juta yang rencananya ia bayarkan pada Nadine, dia
bisa mendapatkan cewek cantik di aplikasi yang terkenal sebagai penyedia jasa
esek-esek itu. Lagipula ini bukan untuk bercinta, hanya sekedar foto seksi dan
tidak lebih.
Tapi kemudian, Banyu menyadari
masalahnya, cewek michatt memang biasanya menarik, tapi apakah mereka mau
wajahnya dipotret? Apalagi jika foto-foto itu akan dipamerkan ke orang lain?
Risikonya terlalu besar bagi mereka. Lagipula, ia masih berpegang pada
pendapatnya bahwa cantik saja tidak cukup untuk proyek ini. Dia harus punya
sesuatu untuk menjadi model yang baik. Seorang model profesional.
Banyu meraih ponselnya. Pukul 9:30 pagi.
Secara teknis, ia masih bisa menjadwalkan pemotretan setelah siang hari. Orang
tuanya baru pulang besok sore. Tapi pemotretan itu harus dilakukan hari ini. Masalahnya,
setelah pemotretan selesai, ia masih harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk
memilih foto terbaik, mengeditnya, mencetaknya, dan menyusunnya sesuai urutan
yang sudah direncanakan untuk presentasi di hadapan Bang Dimas. Ia benar-benar
tidak punya banyak pilihan.
"BANGSAAATTTT!" Banyu
berteriak, melempar ponselnya ke atas kasur supaya tidak sampai rusak.
"Sial, sial, sial!"
"Lo kenapa Banyu? Lo baik-baik
aja kan?" Suara Sekar terdengar dari luar kamar.
"Iya, gue fine!" Banyu
berteriak balik, nada bicaranya kasar. Pintu kamarnya terbuka.
"Ada yang salah?" Sekar
masuk dengan tatapan khawatir. Banyu menghela napas panjang. Dia menghadap
Sekar.
"Model yang rencananya gue sewa
cancel jadwal.”
"Oh no."
"Oh yes," Banyu melanjutkan
dengan sarkasme.
"Gue benar-benar stuck sekarang."
"Jangan panik dulu," kata
Sekar mencoba menenangkan kakaknya.
"Pasti masih ada waktu untuk
cari orang lain, kan?"
"Deadline-nya Senin," Banyu
menjawab dengan nada kesal.
"Senin? Berarti masih ada
waktu!" Sekar terdengar optimis.
"Kenapa baru ingat di
detik-detik terakhir sih di cancelnya?"
"Karena gue emang bodoh, itu aja
alasannya!" Banyu berteriak.
"Cukup jelas kan?" Sekar mundur
selangkah.
"Ngapain marah-marah ke gue? Ini bukan
salah gue."
"Sori…Sori…" Banyu menghela
napas dan mengusap pelipisnya.
"Proyek ini penting banget buat
gue…"
"Lo masih bisa cari seseorang
sampai besok, kan? Masih ada waktu." Banyu menggeleng.
"Nggak sesimpel itu. Gue butuh
waktu untuk persiapan, setting cahaya, setting background putih yang baru aku
beli, dan semuanya harus rapi. Plus, gue juga harus persiapin presentasi ke
Bang Dimas. Nggak ada waktu lain selain hari ini.”
"Emang kalo lo minta
perpanjangan waktu ke Bang Dimas nggak bisa ya? Ini kan yang cancel modelnya,
bukan lo.” Ucap Sekar, Banyu menggeleng pesimis.
"Bang Dimas mungkin akan maafin
gue, tapi dia nggak akan percaya lagi sama gue buat ngerjain proyek besar
lagi.” Banyu duduk di tepi ranjang, matanya menerawang ke langit-langir kamar.
"Shit…Oke kita cari solusi
bareng-bareng." kata Sekar sambil ikut duduk di sebelah Banyu.
"Kita bisa cari model lain sampai nanti
malam kan?”
"Masalahnya gue butuh seseorang
yang sudah punya pengalaman dan itu nggak akan mudah. Nadine aja butuh waktu
sebulan buat dapetin jadwalnya.”
"Ada banyak model online yang
bisa dicari," Sekar berkata dengan percaya diri. Banyu masih menerawang ke
langit-langit kamar.
"Mau gue bantu? Kita bagi-bagi tugas."
"Tapi lo kan harus kerja."
"Tenang, gue bisa telepon Dewi
buat gantiin shit hari ini. Minggu lalu gue gantiin shift dia soalnya.”
"Nggak usah ngorbanin kerjaan
gara-gara gue."
"Ini penting buat lo, dan gue
mau bantu. Titik."
“Terima kasih banyak, tapi ini nggak
semudah yang lo bayangin karena ini buka sesi foto biasa.”
"Hah? Maksud lo?" Sekar
mengerutkan dahi. Banyu menghela napas berat.
"Aku butuh model yang bersedia difoto
agak berani."
"Agak berani? Maksudnya, kayak pake
lingerie gitu?"
"Iya..." Banyu mengalihkan
pandangan, merasa tidak nyaman.
“Oohhh…”
"Nggak cuma itu aja, kemungkinan
juga foto telanjang." Banyu melanjutkan. Keheningan sejenak mengisi
ruangan.
"Jadi lo nanti motoin cewek
telanjang?" Sekar bertanya dengan nada yang sulit ditebak.
"Yup, lo jangan punya pikiran
aneh-aneh ya! Ini tu seni! Art! Bukan foto cabul." Banyu membela diri.
"Hmmm, iya sih itu seni."
Sekar menyeringai mengejek.
"Ah, lo nggak akan pernah ngerti
meskipun gue udah jelasin panjang lebar.”
"Pornhub termasuk seni bukan?"
Sekar menyebut dengan blak-blakan. Banyu tersentak.
"Tunggu, darimana kamu tahu
tentang Pornhub? Sejak kapan lo suka buka website kayak gitu?” Sekar
tertawa melihat reaksi kakaknya yang nampak terkejut.
"Come on, gue bukan anak SMP lagi ya. Gue
udah dewasa dan berhak nonton apa yang pengen gue tonton." Sekar
melanjutkan dengan defensif.
"Tapi lo masih 19 tahun Sekar…”
"Kita cuma beda dua tahun aja
ya. Kalo lo bisa foto cewek-cewek telanjang kenapa gue nggak boleh buka website
porno? Logikanya nggak nyambung." Banyu mengangkat tangan menyerah.
"Oke, oke. Kita nggak perlu bahas yang
ini. Tapi dengarkan, gue nggak akan melakukan hal yang aneh dengan model gue.
Ini cuma poses seksi. Beberapa foto yang slightly suggestive. Itu
aja."
"Suggestive gimana
maksudnya?" Sekar bertanya, masih tidak yakin.
"Erotis, lah. Foto-foto yang...
gimana ya... softcore? Topless, tapi mereka tetap pakai celana
atau rok. Pose-pose yang menarik secara visual, tapi masih clean.'" Sekar
memandang Banyu dengan curiga.
"Tapi lo tadi bilang telanjang.
Jadi siapa yang bakal lihat foto-foto ini? Wait, lo juga bakal ada di frame?”
"Sudahlah nggak usah dibahas
lagi. Males gue." Banyu menjawab cepat.
"Ya Tuhan!" Sekar bertepuk
tangan dengan senyuman lebar.
"Jadi lo punya rencana buat ikut
berpose bareng Nadine? Gokil!"
"iisshh! Itu memang rencana
awalnya tapi sekarang nggak mungkin kejadian setelah dia cancel jadwal."
"Kalau gitu, lo harus cari
seseorang yang kayak Nadine. Ayo kita mulai cari sekarang!" Banyu
menggeleng pesimis.
"Gue appreciate usaha lo
buat bantuin, serius. Tapi gue udah nyerah. Gue nggak bakal nemuin model dengan
waktu sesingkat ini. Apalagi yang mau datang ke rumah dan melakukan apa yang gue
minta."
"Gimana kalau seseorang yang lo
kenal?" Sekar berpikir keras.
"Ada banyak cewek cantik di kampus, kan?
Mereka pasti butuh uang tambahan." Ujar Sekar dengan mata berbinar. Banyu
tertawa sarkastis.
"Lo serius? Mana ada temen cewek
gue yang mau difoto telanjang atau setidaknya erotis di kamar ini???" Sekar
diam. Banyu menyandarkan wajahnya di kedua tangan, siku bertumpu di lutut. Dia
terlihat benar-benar putus asa..
"Nggak ada solusi dari masalah
ini." Sekar melihat kakaknya dalam keputusasaan. Dia meletakkan tangan di
bahu Banyu dengan lembut.
"Gue nggak suka lihat lo
begini."
"Ini salah gue sendiri,"
Banyu berkata pelan.
"Seharusnya gue ada back up plan
buat hadepin masalah kayak gini jauh-jauh hari.”
"Jangan nyerah dulu," Sekar
memberikan tekanan lembut di bahu Banyu.
"Pasti ada solusi." Sekar
terdiam sejenak, kemudian matanya berbinar.
"Tunggu. Tunggu sebentar." Dia
menggeser tangannya dari bahu Banyu dan berbalik menghadapnya.
"Gimana kalau gue?" Banyu
memandang Sekar dengan bingung.
"Huh? Maksudnya apa?"
"Gue yang akan jadi model foto
lo!" Sekar berseru dengan penuh semangat.
PART 3
"NGGAK MUNGKIN!"
"Kenapa nggak?"
Banyu membuka mulut, tapi kemudian
diam. Dia memandang adiknya dengan seksama. Sekar masih pakai piyama bermotif
Spongebob yang sudah kusut, rambutnya
mencuat berantakan di sekitar wajah. Ini adalah penampilan khas Sekar, santai
dan terkesan tak terawat.
"Lo lagi ngliatin apa sih?"
Sekar menyadari jika Banyu sedang mengamati tubuhnya dari atas hingga bawah.
"Lo nggak tepat buat proyek ini,"
Banyu akhirnya menjawab dengan hati-hati. Mata Sekar langsung melotot.
"Apa maksudnya? Lo bilang gue
jelek?"
"Sama sekali nggak…" Banyu
menjawab.
"Lo itu bukan model…"
Lanjut Banyu.
"Gue bisa jadi cantik kalau lo
mau," Sekar berkata.
"Lo udah cantik, tapi yang gue
butuhin sekarang itu bukan cuma cantik tapi juga hot." Banyu mengangkat
jari sebelum Sekar bisa protes kembali.
"Dan yang paling penting, lo itu
adek gue!”
"Tapi gue tetep aja masih bisa
jadi model." Sekar membela diri.
"Lo dengerin gue baik-baik.
Proyek ini nggak cuma butuh seorang model cantik doang, gue butuh model cantik
dan mau berpose hot bahkan telanjang. Gue nggak mau liat lo kayak gitu.” Jelas
Banyu panjang lebar.
"Emangnya nggak bisa ya kalo
cuma foto seksi pake lingerie atau apa gitu?” Sekar masih belum mau menyerah.
"Mau cuma pake lingerie atau telanjang
sekalipun itu nggak nutup kenyataan kalo lo adek gue Sekar. Gue nggak nyaman
dan gue juga yakin lo pasti akan canggung nglakuin itu nanti.”
"Gue cuma mau bantuin lo…” Sekar
berkata dengan sungguh-sungguh. Banyu tersenyum tulus sebelum kemudian mencium
dahi adiknya itu.
"Gue tau kok, tapi gue nggak
bisa jadiin lo model gue."
"Karena gue adik lo?" Sekar
bertanya.
“Hmmm…”
"Atau karena lo pikir gue nggak
cantik?" Banyu menghela napas.
"Gue nggak mau berdebat lagi
Sekar. Lo udah tau jawabannya.”
"Seharusnya kalo lo pengen ini
jadi kerjaan lo nantinya, seharusnya lo bisa bersikap profesional. Fokus pada
modelnya, bukan pada hubungan keluarga. Lo ngerti kan maksudnya?" Ujar
Sekar.
"Hmm. Poin bagus."
"Inget, ini cuma kerjaan, nggak
lebih.”
"Pasti Mas Dimas pasti akan
nunjukin foto-foto lo ke orang lain kalo dia suka dengan kerjaan gue."
"Lalu? Siapa yang bakal kenal gue?
Come on, gue selama ini selalu berada di bawah radar kan?"
"Iya."
"Kalau gitu nggak ada masalah!"
Sekar berkata dengan santai. Sesaat Banyu mulai tergoda untuk
mengimplementasikan ide dari adiknya itu.
"Kalau gue bisa nggak peduli, seharusnya
lo juga nggak usah peduli." Sekar tertawa kecil.
"Udahlah, mending lo berangkat
kerja aja sekarang.” Banyu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dua tangannya
terlipat ke belakang menangkup kepala.
"Terus lo mau ngapain?"
"Beresin kamar, rebahan sambil
nagis mungkin.” Banyu menjawab dengan lesu. Sekar tidak puas dengan jawaban
itu.
"Lo punya dua opsi sekarang. Pilihan
pertama lo nyerah dan gagal jadi partner Bang Dimas, atau lo biarin gue jadi
model. Oke gue memang bukan model profesionla tapi setidaknya ini lebih baik
daripada besok lo menghadapi Bang Dimas tanpa membawa hasil kan? “ Sekar masih
begitu bersemangat meyakinkan kakaknya sementara Banyu terlihat ragu.
"Iya, tapi ini bakal aneh banget."
"Gimana kalau begini,"
Sekar berkata dengan mantap.
"Kita mulai saja. Kalau salah
satu dari kita merasa nggak nyaman, kita stop. Deal?"
"Gue nggak tahu, Sekar."
"Tolong biarin gue bantu?"
Sekar berbicara dengan lembut.
"Oke. Tapi kayak yang lo bilang,
kalau nanti canggung banget, kita stop."
"Ok deal!” Senyum lebar merekah
di bibir Sekar.
"Sipp, sekarang gue mandi dulu
dan bersiap-siap buat sesi pemotretan.”
“Lo nggak kerja?”
“Udaahh, beres! Yang penting proyek
lo ini harus sukses. Kerjaan gue gampang, nggak usah lo pikirin.”
“Hmmm, terserah lo aja deh.” Balas
Banyu tak terlalu bersemangat.
"Siap-siap untuk jam satu, ya,
mister fotografer?" Sekar memberikan senyum lebar khasnya.
"Ya…" Banyu memaksakan
senyum di wajahnya.
"Gue nggak percaya kita akan
lakuin ini." Sekar tersenyum nakal.
"Lo benar. Gue juga nggak percaya."
Sekar berjalan keluar dari kamar
Banyu, menutup pintu di belakangnya. Banyu duduk di tepi tempat tidurnya,
memandangi pintu yang baru saja ditutup. Tangannya gemetar sedikit. Beberapa
jam dari sekarang dia akan memotret adiknya sendiri. Dia menghela napas panjang
dan mulai bergerak, menggeser peralatan fotografi ke sudut ruangan. Tapi
pikirannya tidak fokus. Dia terus memikirkan apa yang akan terjadi nanti.
***
Banyu mengusap matanya dan memaksa
dirinya untuk mencari lagi. Dia membuka website “Model XXX” berharap ada model
profesional selain Nadine yang mau menerima tawarannya. Beberapa saat lalu
seorang model bernama Siska sempat membalas chattnya. Harapan Banyu membara
lagi. Dia menjelaskan proyek yang akan dikerjakannya hari ini. Siska membalas
dengan mengirimkan dua foto dirinya mengenakan lingerie hitam. Siska memang
menarik. Dia mau melakukan apa yang Banyu minta. Tapi kesepakatan batal saat Siska
tau jika pemotretan dilakukan di kamar Banyu. Sangat tidak profesional.
Dengan sisa uang di tabungannya,
mustahil bagi Banyu untuk menyewa studio yang proper. Kini dia kembali
dihadapkan pada fakta jika satu-satunya solusi masalah ini adalah tetap
menggunakan jasa Sekar sebagai seorang model. Adiknya itu memang cantik, tapi
itu bukan standar model hot dan seksi seperti yang diinginkan oleh Banyu.
Lagipula Sekar adalah adik kandungnya. Banyu masih tak bisa membayangkan
bagaimana canggungnya nanti jika benar-benar akan melakukan proses pemotretan
bersama Sekar.
TOK
TOK
TOK
Pintu kamar Banyu terbuka dari luar,
wajah Sekar terlihat masih seperti tadi, santai dan berantakan. Banyu makin
yakin jika adiknya itu bukanlah solusi yang dibutuhkannya saat ini. Tapi dia
tak punya pilihan lain.
"Sori, gue harus mandi dulu.
Tadi habis telponan sama Alea buat gantiin shift kerjaku hari ini.” Ujar Sekar
meminta ijin.
"Yah, take your time.
Santai aja, nggak perlu buru-buru." jawab Banyu.
"Hei!" Sekar menunjuk ke
arah meja Banyu, layar laptop meyala, halaman depan website pencarian model
terlihat jelas.
"Lo masih mencari model?”
"Iya, iseng aja siapa tau masih
bisa dapet model profesional." Banyu menjawab dengan santai.
"Hmmm, oke. Tapi gue janji
setelah ini lo nggak akan nyesel udah ngasih kesempatan ke gue buat jadi model."
Sekar tertawa kecil dan melempar sebungkus rokok ke atas ranjang. Sekar kemudian
menutup pintu kamar. Banyu bangkit dan mengambil bungkusan rokok itu sambil
tersenyum kecut.
"Ah, akhirnya ada sesuatu yang
bisa membuat rileks." gumam Banyu sambil berjalan kembali ke mejanya. Dia
membuka laci atas, mengambil pemantik api, dan menyalakan rokok itu.
Dia bukan pecandu rokok seperti
Sekar, tapi harus diakui bahwa ini mungkin yang dia butuhkan sekarang. Sarafnya
sudah tegang. Dia menghisap dalam-dalam, menyerap asap yang panas ke dalam
paru-paru, lalu perlahan mengeluarkannya. Selama beberapa menit berikutnya,
Banyu hanya menggulir halaman website model sambil terus menghisap rokok dan
melanjutkan pencarian model yang belum berhasil. Tapi setidaknya rasa cemasnya
berkurang akibat nikotin, dan itu akan membantunya saat mengambil foto Sekar nanti.
Tunggu, apa yang sedang dia pikirkan?
Mengambil foto? Sekar masih adiknya! Tidak ada pengaruh rokok manapun di dunia ini
yang bisa mengubah kenyataan itu. Tapi Banyu yakin Sekar pun melakukan hal yang
sama di kamarnya sekarang. Mungkin setelah ini adiknya itu kembali masuk ke
kamarnya dan mengatakan jika dia ingin membatalkan pemotreta dan mereka berdua
bisa tertawa bersama.
Banyu mematikan sisa rokok ke asbak
sebelum terlalu banyak aroma rokok memenuhi kamarnya, lalu berjalan ke
"set" pemotretan. Banyu menyalakan lampu dan mengarahkannya ke tempat
tidur, memposisikannya agar cahaya tidak menyilaukan dari latar belakang putih.
Konsep Banyu terinspirasi dari
pemotretan film profesional. Biasanya cahaya alami dikombinasikan dengan lampu
tambahan agar aktor terlihat menonjol dengan bayangan minimal. Dengan begitu,
kamera bisa bergerak bebas dari berbagai sudut tanpa masalah teknis. Banyu
melihat ruang terbatas antara kamera, lampu, dan tempat tidur. Dia memutuskan
menarik semuanya beberapa meter ke belakang agar Sekar punya cukup ruang untuk
bergerak di depan tempat tidur. Dia ingin mengambil pengaturan ini dengan
serius, meskipun tahu tidak akan banyak foto yang bisa dihasilkan dari seorang
model amatir.
Banyu mengalungkan kamera Canon di
lehernya untuk pengambilan manual, lalu menyiapkan Nikon dengan mode rapid-fire
di tripod. Fitur ini akan menangkap tiga gambar sekaligus saat dia menekan
remote, lebih cepat daripada gerakan tangan manusia.
Banyu pernah menggunakan teknik ini
saat melakukan pemotretan di acara voli kampusnya beberapa bulan lalu. Hasilnya
sangat luar biasa karena keringat para pemain bisa dilihat secara jelas dan
menimbulkan efek cinematic sempurna. Banyu memastikan memory buffer
aktif agar semua foto tersimpan sementara. Dia bisa melihatnya nanti dan
memilih mana saja yang bagus untuk ditransfer ke kartu memori utama. Meskipun
mungkin tidak banyak, dia ingin memberikan beberapa foto kepada Sekar sebagai
kenang-kenangan dari "pemotretan" ini.
Dia duduk di kursi lipat yang
diletakkan di belakang tripod dan melihat melalui lensa untuk memastikan
seluruh tempat tidur terlihat di frame. Dia mengatur zoom dengan
hati-hati, memastikan tidak ada tepi tempat tidur yang terpotong. Banyu
mengambil botol air dari bawah dan meneguknya beberapa kali. Tak lama ketukan
lembut di pintu terdengar diikuti oleh suara Sekar.
"Modelmu sudah siap tuan…."

Posting Komentar
0 Komentar