THE LITTLE SISTER

 

GENRE : DRAMA EROTIC - INCEST
JUMLAH HALAMAN : 229 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000

ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

"Astaga, Banyu, Lu beneran mau bikin video porno?" tanya Lukas dengan kedua mata melotot. Banyu hanya menoleh sedikit dan tersenyum.

"Gue boleh ikut nggak?" Tanya Lukas sekali lagi, kali ini raut wajahnya penuh pengharapan.

"No! Big no!" Banyu tersenyum lebih lebar saat berusaha membuka set panel putih setinggi enam kaki di hadapannya.

"Mata Gue nggak biasa lihat kontol kecil bro."

"Nggak pernah dikasih tau nyokap Lu sebesar apa kontol Gue ya?" ujar Lukas sambil tertawa. Cowok berambut ikal itu sengaja meremas selangkangannya sendiri, seolah sedang memamerkan alat kawinnya pada Banyu.

"Lucu. Daripada geje kayak gitu, mending Lu bantuin masang ini dulu."

"Siaap bro, santai aja kali." Lukas menarik panel di bagian belakang sementara Banyu memegang bagian depan.

"Lu mau syuting bokep tapi malah serius banget. Rileks bro…Rileks…” Cerocos Lukas.

"Pertama, ini bukan porno, tapi sesi foto sensual. Art! Kedua, gue nggak bikin vodeo bokep kayak yang sering lu liat." Banyu menarik panel ke arah tempat tidur yang sudah mereka pindah ke tengah kamar.

"Apa bedanya?" Lukas melakukan hal yang sama, lalu membalikkan braket metal di belakang panel dan menguncinya.

"Nanti bakal ada cewek seksi di sini. Jangan bilang kalo Lu nggak akan ngewe sama dia." Lukas masih belum terima dengan penjelasan dari sahabatnya itu. Banyu melangkah ke sisi lain tempat tidur di mana kameranya sudah terpasang di tripod.

"Dia bukan cewek Michaat, dia model profesional." Tegas Banyu.

"Gue boleh lihat fotonya nggak?”

"Boleh, kenapa nggak?" Banyu mencoba terdengar santai sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana.  Banyu kemudian membuka halaman sebuah website khusus model dewasa dan menyerahkan ponselnya pada Lukas.

"Model privat?" kata Lukas sambil tersenyum cabul.

"Terdengar seperti website bokep." Banyu hanya menggelengkan kepala mendengar ocehan Lukas.

“Siapa namanya?”

“Nadine Arumi.” Ucap Banyu singkat. Lukas bergegas menggerakkan jemarinya mengetikkan nama tersebut dalam kolom pencarian.

"What the fuck?! Serius dia yang bakal Lu fotoin nanti??" Pekik Lukas saat melihat foto-foto seksi Nadine terhampar jelas di layar ponsel.

Banyu tersenyum sambil melihat Lukas tak sabar menggulir layar ponsel, puluhan foto Nadine dengan berbagai macam pose seksi nan “mengundang” jadi santapan bebas. Nadine, seorang model tinggi dengan rambut panjang sebatas pinggang, mata biru, dan tubuh yang sempurna, tampil sangat menawan. Foto-fotonya di website tersebut menunjukkan berbagai penampilan, dari gaun malam yang elegan, hingga kostum siswi nakal dan lingerie.

"Available for erotic shoots." Lukas membaca sebagian deskripsi profil Nadine di website.

"Aku adalah seorang model profesional yang sangat ceria. Aku bukan escort atau pekerja seks, jadi tolong bersikaplah profesional dan sopan. Menjadi model adalah karier bagiku.”

“Lu bakal bacain semua deskripsi profil Nadine?” Sindir Banyu.

"Bro, Lu beneran ngluarin duit lima juta cuma buat foto-foto doang? Nggak ngapa-ngapain??”

"Gue udah bilang, ini buat tes project dari Bang Dimas. Ini murni kerjaan, bukan yang lain. Kalo sukses, Bang Dimas bakal jadiin Gue partnernya." Banyu meraih ponselnya dari tangan Lukas.

"Ah, munafik. Lo ntar pasti sange juga setelah satu jam ngefotoin Nadine. Bodynya udah kayak bintang bokep gitu!" Lukas menyeringai.

“Gue bukan lu yang sangean bro…”

"Serius, gue yakin dia juga bakalan mau. Mana ada sih habis foto-foto telanjang tapi endingnya nggak ngapa-ngapain?” Cerocos Lukas tanpa henti.

"Kalau gue cuma pengen ngewe, gue bisa aja cari cewek lain. Tapi ini bukan buat main-main. Gue butuh model yang profesional, yang tahu cara berpose dan camera friendly." jelas Banyu, mulai sedikit kesal.

"Halah, Lu bisa bilang gitu karena Nadine belum ada di sini kan? Come on bro, kita udah sama-sama gede, tau sama taulah.” balas Lukas, mengangkat alisnya.

"Yup, kita emang udah gede tapi pikiran lo masih kayak anak SMP," Banyu mengetuk kepala Lukas, lalu menunjuk ke arah selangkangannya.

"Titid lo juga."

"Nggak usah sok suci deh. Gue yakin lo juga bakal horny pas motret Nadine ntar." Lukas tak mau kalah.

"Gue nggak bilang nggak," Banyu tertawa.

"Tapi intinya, ini bukan tentang seks, tapi profesionalitas kerjaan."

"Tetep aja, lu udah ngluarin duit banyak. Emang Lo ngga bisa cari yang lebih murah? Gimana kalo cewek di kampus?" Lukas mencoba memberi saran.

"Hai, mau datang ke rumahku buat foto pakai lingerie, atau mungkin topless, buat project kerjaan Gue? Gitu maksud lu?" Banyu memutar bola matanya, menyindir ide Lukas.

Banyu berjalan ke arah tripod yang menopang kamera. Berdiri di belakangnya, ia mengintip melalui lensa, mengatur fokus agar seluruh tempat tidur masuk ke dalam frame untuk pengambilan gambar wide angle yang direncanakan.

"Intinya, gue butuh seseorang yang tahu cara berpose dan bersikap natural di depan kamera. Lagipula, ini kerjaan dia. Ini juga semacam promosi buat Nadine ntar." jelas Banyu lagi.

"Kalau gitu, kenapa lo harus bayar mahal banget?" Lukas masih belum mengerti.

"Percaya deh, harga segitu udah termasuk murah buat apa yang bakal dia lakuin nanti. Nadine ngasih diskon karena gue kenal sama Bang Dimas. Nadine bahkan mau posting beberapa hasil jepreten Gue di profilnya dan nyantumin nama gue. Model-model lain yang ngelihat profil dia mungkin tertarik buat nawarin diri buat gue fotoin nanti," Banyu menjelaskan dengan sabar.

"Wah, keren banget! Ngefotoin cewek-cewek seksi dan dibayar!" Lukas berseru dengan nada tinggi.

"Gue jadi pengen beli kamera juga!"

"Boleh, asal lo bisa foto tanpa ngaceng." Balas Banyu.

"Eh, tapi lo dapet duit sebanyak itu dari mana?" tanya Lukas, penasaran. Matanya menyipit, curiga Banyu melakukan sesuatu yang aneh.

"Nyokap Bokap ngasih dua juta buat sewa studio foto. Tapi karena mereka lagi pergi keluar kota, gue putusin buat motret di sini aja. Lumayan, duitnya bisa gue simpen. Sisanya, ya dari tabungan Gue." jawab Banyu, berusaha terdengar santai.

"Terus, Sekar gimana? Gue tau dia emang agak... gimana ya, nggak nyambung. Emang dia nggak masalah lo bawa cewek ke sini buat foto telanjang?" Lukas mengerutkan kening, membayangkan reaksi adik Banyu itu nantinya.

"Sekar kan kerja besok. Lagian, gue udah bilang ke dia kalo ada model dateng buat gue foto. Dia sih nggak peduli." sahut Banyu, mengangkat bahu.

"Masuk akal, adik lu mungkin pas lu tanya lagi high. Hehehehehe." celetuk Lukas, terkekeh.

"Nggak segitunya juga kali. Sekar mungkin lagi pengan ngrasain bebas aja. Dia juga udah bisa ngasilin duit sendiri." Banyu membela adiknya.

"Iya, sayang aja dia nggak pernah perhatiin penampilan. Padahal, kalau dia dandan yang bener dikit aja pasti cakep banget," komentar Lukas, menilai penampilan Sekar.

"Kayaknya dia nggak peduli sama penilaian lo deh." balas Banyu, mulai merasa risih.

“Hahahaha, ya setiap orang juga boleh ngasih penilaian kan?”

"Sebenernya, lo ada masalah apa sih sama adik gue? Dia itu dua tahun lebih muda dari lo. Dan... dia itu adik gue," Banyu menatap Lukas dengan tatapan yang memperingatkan.

"Santai, bro! Sekar udah 19 tahun. Udah dewasa," Lukas tersenyum lebar, senang melihat komentarnya barusan berhasil membuat Banyu kesal.

"Kalau gitu, mungkin pas lo udah dewasa omongan tadi bakal jadi masalah." sahut Banyu dengan nada sarkastis.

“Dia udah punya pacar nggak sih?” Banyu menggeleng.

"Dia baru putus sama pacarnya beberapa bulan lalu, dan belum ada cowok baru."

"Jangan-jangan dia belok? Banyak lho yang kayak gitu. Apalagi yang open minded kayak Sekar, biasanya lesbi." Lukas menyeringai, menunggu reaksi Banyu.

"Makasih ya udah bantuin gue hari ini." kata Banyu, berusaha mengabaikan komentar terakhir Lukas yang membuatnya sedikit risih.

Banyu menunjuk ke panel latar belakang yang dibelinya seharga hampir satu juta rupiah di toko online dua hari lalu. Sebenarnya itu harga yang lumayan murah, tapi sekarang saldo di rekeningnya hampir kosong setelah dia menarik hampir seluruh uangnya untuk membayar Nadine besok.

"Gue jadi penasaran, apa sih yang dia sembunyiin di balik baju-baju gombrongnya itu," kata Lukas, masih belum menyerah membahas Sekar.

"Lo kan tinggal serumah sama dia, pasti pernah liat dia pake celana pendek atau baju yang lebih ketat. Dia punya body yang oke nggak sih? Atau jangan-jangan kurus banget?"

"Udah deh, nggak usah bahas Sekar terus kenapa sih?" Banyu merasa makin tegang.

Dia tahu Lukas cuma bercanda, tapi pemotretan besok taruhannya besar banget buat kariernya sebagai calon fotographer profesional. Apalagi dia mengambil risiko dengan tema yang agak erotis. Banyu ingin bikin sesuatu yang berani dan beda dari yang lain. Ocehan ngawur Lukas soal adiknya sama sekali tak memberi nilai tambah.

"Santai, bro! Gue kan cuma bercanda," kata Lukas saat melihat perubahan ekspresi wajah Banyu.

"Nggak, masalahnya lo emang selalu gitu. Suka banget ngomongin Sekar. Kata Sekar, lo  juga sering banget mampir ke tempat kerjanya." ujar Banyu, mulai kesal.

"Yee, gue kesana karena pengen dapet diskonan kondom bro!" Lukas tertawa, mencoba mencairkan suasana. Tapi tawanya langsung berhenti begitu melihat wajah Banyu yang cemberut.

"Oke, sori-sori…" Lukas mengangkat kedua tangannya, menyadari jika sudah membuat sahabatnya makin kesal.

"Gue tau dia adik lo, dan emang agak... unik. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menarik dari dia. Mungkin gue emang suka cewek yang agak tomboy."

"Sumpah, ini makin nggak lucu sih." Sahut Banyu.

"Santai bro, jangan terlalu serius kenapa sih?" Lukas tersenyum nakal.

"Gue emang suka merhatiin Sekar, tapi cuma sebatas itu aja sih bro. Btw dia kenapa jarang mandi sih?”

"Udah ya. Mending lo pulang deh, makasih udah bantuin." potong Banyu, mencoba mengakhiri pembicaraan.

"Hahahaha! Sori bro! Just kidding!" Lukas melebarkan senyum jahil untuk kesekian kalinya. Dia tau Banyu tak bisa benar-benar marah dengannya.

"Balik lagi ke soal foto. Gue masih ngerasa ada sesuatu yang lo sembunyiin. Pasti ada sesuatu yang lebih dari sekadar proyek dari Bang Dimas kan?"

"Mungkin." Ujar Banyu santai, matanya kini kembali menatap wajah Lukas yang masih penasaran.

"Gue bakal cerita, tapi lo janji berhenti ngomongin adik gue."

"Janji! Gue nggak bakal nanya-nanya lagi!” Lukas mengangkat kedua tangannya lagi, tanda menyerah.

"Sebenarnya gue juga pengen ikut tampil di beberapa foto nanti." Banyu menyeringai.

"Hah? Serius?? Lu mau ikutan jadi modelnya?" Lukas menunjuk Banyu, kaget.

"Iyup, temanya erotis. Gue pengen satu frame sama Nadine." Banyu mengedipkan mata.

"Siapa tau malah bisa topless." Lanjut Banyu yang membuat Lukas menelan ludahnya sendiri.

"Gue udah nebak akal bulus lo daritadi!" ledek Lukas.

"Sebenarnya..." Banyu berpikir untuk menggoda Lukas lebih jauh.

 "Gue kepikiran buat ngambil beberapa foto yang sangat intim. Siapa tau dia mau memperagakan saat melakukan blowjob.”

"Ah, gue yakin lo paling jago bro! Lo kan si paling penjahat kelamin.” Lukas mencoba menyindir halus. Selama ini Banyu memang tak pernah aneh-aneh soal cewek, membayangkan sahabatnya itu melakukan perbuatan cabul pada lawan jenis jadi sesuatu yang lucu bagi Lukas.

"Ya, setidaknya gue nggak pernah jajan lonte kayak lo.” balas Banyu.

"Iya deh, lo emang jantan sejati. Tapi, kalau lo pengen yang profesional kenapa nggak nyewa model cowok sekalian buat pose bareng Nadine?" tanya Lukas.

"Nggak mampu gue, duitnya nggak cukup buat bayar model satu lagi.” jawab Banyu. Tak lama terdengar ketukan lembut di pintu kamarnya.

"Banyu? Gue boleh masuk?" Sekar memanggil dari luar. Mata Lukas seketika berbinar mendengar suara serak-serak basah dari adik Banyu itu.

"Silakan tuan puteri!" jawab Lukas sambil tersenyum nakal ke arah Banyu.

Sekar membuka pintu kamar lalu masuk ke ruangan, penampilannya seperti baru bangun tidur. Rambutnya yang panjang dan hitam alami terurai begitu saja, hanya dijepit seadanya dengan jepit rambut ungu kecil. Beberapa helai rambut menutupi wajahnya, sebagian menutupi matanya yang bulat.

Sekar sama sekali tak memakai make-up. Dan, seperti yang Lukas bilang sebelumnya, pakaiannya benar-benar tidak menarik. Blus kuning bermotif bunga-bunga yang kebesaran, seperti bisa muat untuk dua orang. Lengan bajunya lebar dan mengembang itu terlalu panjang, menutupi tangan Sekar, hanya menyisakan ujung jari-jarinya saja.

Celana yang dipakainya juga aneh. Celana bell bottom berwarna oranye terang terlihat sangat longgar, sampai membuat orang bertanya-tanya dimana kaki Sekar. Ujung celananya menutupi kaki, sehingga kakinya tidak terlihat sampai dia berjalan mendekat ke Banyu.

Sekar memakai sandal jepit kuning dengan hiasan kupu-kupu di bagian tali antara jari kakinya. Sesuai dengan gayanya yang santai, jari tangan dan kakinya juga tidak dipoles cat, meskipun kukunya cukup panjang. Sekar memilih untuk membiarkannya alami.

Kebanyakan cewek seumuran Sekar pasti malu kalau harus tampil di depan umum tanpa make-up dan pakaian rapi. Tapi tidak dengan adik Banyu itu. Sekar sama sekali tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Dia baru berdandan saat sedang bekerja di salah satu minimarket dekat rumah.

Banyu sering bertanya-tanya dalam hati, apakah Sekar pernah memikirkan omongan orang selama ini. Lukas tidak salah waktu bilang Sekar unik, karena terkadang gadis itu sering terlihat tak sadar dengan apa pun di sekelilingnya.

Meskipun begitu ada banyak hal yang jadi nilai lebih dari sosok Sekar. Sejak SMA dia dikenal sebagai salah satu siswa yang cerdas, nilai raportnya selalu melebihi kata memuaskan. Alih-alih melanjutkan kuliah seperti halnya Banyu, Sekar mengambil keputusan berani untuk langsung bekerja. Tentu saja keputusan itu sempat ditentang oleh kedua orang tuanya, tapi Sekar bersikeras untuk belajar mandiri.

“Aku ingin kuliah dengan uang hasil kerja kerasku sendiri.” Begitu kata Sekar kala itu.

Sekar adalah gadis yang baik, seperti yang sering dikatakan ayahnya. Itu sebabnya Banyu selalu kesal kalau ada orang yang mengejek penampilan Sekar yang “unik”. Menurut Bayu, Sekar hanya sedikit berbeda dari gadis-gadis lain seusianya.

"Hai, Sekar! Lo nggak kepanasan pake pakaian kayak gitu di dalam rumah?” sapa Lukas. Banyu ingin menampar Lukas, tapi dia hanya bisa melotot tajam.

"Nggak kok, kainnya tipis. Lagian, gue bikin sendiri baju ini."

"Oh gitu. Keren sih." balas Lukas.

"Lo katanya mau pulang bro?" sindir Banyu.

"Gimana kerjaan lo di minimart?" Lukas terus bertanya, tidak menggubris kode dari Banyu.

"Masih ramai?"

"Yeah, lumayan. Seperti hari biasa aja.”

"Lo harus bilang ke boss lo buat nyediain tempat nongkrong di depan biar makin rame. Ya, seperti Indomaret ato Alfamart gitu deh.”

"Hmmm, toko kami target pasarnya bukan ke anak muda sih. Tapi boleh juga ide lo, ntar gue sampein ke bos deh. Thanks ya.”

“Sama-sama, kalo ada yang perlu dibantu gue siap!” Cerocos Lukas seolah mengabaikan kehadiran Banyu di dekatnya.

“Lo kan mau pulang.” Desis Banyu.

“Ah elah, ngobrol bentar aja masa nggak boleh sih?”

“Mending lo pergi sekarang sebelum gue tampar karena udah jahat sama adik gue."

"Oke, oke, gue pergi," kata Lukas sambil tertawa lebar, suka melihat ekspresi frustasi pada wajah Banyu.

"Bye!"

"Ini semua buat apa?" tanya Sekar begitu Lukas pergi dan melihat kamar kakaknya sudah penuh dengan peralatan photography.

"Kan udah gue bilang kemarin, gue ada sesi foto besok. Gue ngelakuinnya di sini biar hemat biaya studio."

"Bukannya udah dikasih duit Mama buat sewa studio?"

"Iya, tapi gue pake buat bayar modelnya. Hemat."

"Oh…" kata Sekar sambil melirik ke tempat tidur Banyu.

"Lo bayar cewek buat foto-foto di tempat tidur lo?"

"Ya, semacam foto dengan tema seni tinggi.” jawab Banyu, tak mau terus terang.

"Mama nggak tau lo ngelakuin ini di sini kan?"

"Nggak. Lo nggak bakal bilang kan?"

"Buat apa?"

"Gitu dong adik gue yang keren!" Banyu merangkul bahu Sekar.

"Boleh gue nanya sesuatu?" Tanya Banyu kemudian.

"Boleh aja," jawab Sekar sambil berjalan ke arah kamera dan melihat lewat lensa.

"Lo beneran nggak sadar waktu Lukas atau orang lain ngejek lo, atau lo cuma pura-pura nggak peduli?"

"Gue sadar kok, cuma gue nggak peduli," jawab Sekar sambil menatap Banyu.

"Menurut gue yang keliatan jelek itu mereka, bukan gue."

"Maaf ya kalo kadang Lukas ngomongnya keterlaluan.”

"Lo nggak perlu minta maaf. Lo kan emang selalu belain gue?" kata Sekar sambil senyum.

"Yeah, gue kan abang lo." jawab Banyu.

"Thanks abang gue…”

"So, lo kenapa datang ke sini? Butuh bantuan?”

“Iya, gue mau jual beberapa gelang sama kalung, bisa nggak lo fotoin buat gue posting di IG?”

“Ah gampang kalo itu. Kapan? Sekarang?”

“Iya kalo bisa, besok kan lo udah sibuk sama model cewek seksi.” Sindir Sekar.

“Ok siap, gue ambil kamera dulu deh.”

 

 

PART 2

 

Banyu berdiri di depan cermin kamar mandi, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila. Kurang beberapa jam lagi dia akan mulai sesi pemotretannya bersama Nadine! Ia hanya ingin tampil maksimal dalam pemotretan nanti. Bayangan foto-foto menggoda Nadine tiba-tiba menyerbu pikirannya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat Banyu salah tingkah.

Banyu sudah menyiapkan dua kamera. Nikon di atas tripod untuk mengambil gambar dari samping, menangkap setiap lekuk tubuh Nadine dengan sempurna. Lalu, Canon Rebel, hadiah ulang tahun dari orang tuanya, untuk sudut pandang yang lebih intim, POV. Banyu membayangkan Nadine nanti akan bersandar di atasnya, menjulurkan lidah menyentuh perutnya. Membayangkan sentuhan itu di tempat yang lebih pribadi membuat pipi Banyu merona.

Tapi, semua itu tergantung keberaniannya. Sesi pemotretan semakin dekat, dan gugupnya semakin menjadi-jadi. Nadine adalah model profesional. Pengalamannya segudang, malang melintang di dunia modeling. Ia pasti terbiasa bekerja dengan fotografer handal. Sementara Banyu? Pengalamannya hanya sebatas memotret acara kampus, foto keluarga, dan acara-acara remeh temeh lainnya.

“Lo yakin mau ambil tema erotis buat proyek ini?” Tanya Bang Dimas beberapa hari lalu saat Banyu mendiskusikan rencananya.

“Iya Bang, gue perlu tantangan baru.”

“Hmmm, tema ini selain tantangannya besar, resikonya juga ngeri. Tapi kalo lo udah yakin, gue cuma bisa dukung aja. Gue yakin lo nggak akan ngecewain proyek ini.”

“Siap bang, gue janji nggak akan ngecewain!” Seru Banyu penuh semangat waktu itu.

"Apa mungkin gue berani minta Nadine buka baju nanti ya?" Banyu bergumam pada bayangannya di cermin saat ini.

"Kalau pun berani, apa gue sanggup minta dia berpose intim sama gue?"

Selain ragu pada kemampuannya, ia juga takut dengan penilaian Nadine nantinya. Jangan-jangan Nadine menganggapnya cuma remaja tanggung yang haus sensasi jika ia meminta gabung berpose intim. Sekarang, ide untuk ikut berfoto bersama terasa konyol, tidak profesional, bahkan menjurus mesum. Banyu tidak punya uang untuk menyewa model pria. Kenalan? Jangankan kenalan, teman yang mau jadi model saja tidak ada. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Fokus, Banyu! Lo bisa! Lo nggak boleh gagal! Ini baru langkah awal ke dunia profesional!" bisiknya dalam hati.

Ia berharap, begitu mulai memotret, ia akan terbiasa melihat wanita cantik berpakaian minim di ranjangnya. Ia harus bertransformasi menjadi fotografer profesional, bukan remaja puber yang salah tingkah di depan objek sensual.

Banyu mendongakkan kepala, memiringkannya ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada satu helai rambut pun yang terlewat saat bercukur. Ia merasa dirinya cukup tampan. Berbeda dengan Sekar, adiknya, yang mewarisi kecantikan ibunya Banyu lebih mirip ayahnya. Matanya meneduhkan. Rambutnya ditata dengan gel agar terlihat sedikit berantakan, kesan bad boy yang disukainya. Tulang pipi yang tinggi dan garis rahang yang tegas semakin menambah kesan maskulin.

Sebenarnya Banyu tidak terlalu peduli dengan penampilan. Meskipun begitu ia cukup populer di kalangan cewek-cewek kampus. Sejak tiga bulan terakhir Banyu hanya fokus pada kuliah, dan mencari kesempatan untuk mengasah kemampuan fotografinya. Semua itu terjadi karena Banyu diputuskan oleh Clara yang merasa jika kakak Sekar itu “terlalu baik”.

Banyu segera mengenakan kaus hitam yang sudah disiapkannya dan kembali ke kamar. Saat melewati kamar Sekar, ia mendengar sayup-sayup alunan musik. Rupanya adiknya itu masih belum berangkat kerja, semoga saja sebelum Nadine datang Sekar sudah tak ada di rumah. Banyu merasa lebih tenang jika tak ada orang lain selain dirinya ketika mulai menjadi seorang photagrapher.

Banyu masuk ke kamarnya, menyemprotkan parfum andalannya ke seluruh badan, lalu mulai menata tiga lampu standing tinggi yang akan difokuskan ke area tempat tidur. Baru saja ia selesai mengatur lampu terakhir, ponselnya berdering. Tanpa melihat layar, ia langsung mengangkatnya.

"Halo?"

"Ini Banyu?" Suara seorang wanita terdengar di seberang sana.

"Iya! Nadine?"

"Aku sudah coba meneleponmu dari tadi, tapi nggak diangkat."

"Maaf, aku baru selesai mandi. Jadi, on ya jam dua belas?"

"Emm... ada masalah."

"Masalah?" Jantung Banyu langsung berdebar kencang.

"Masalah apa? Masalah bagaimana?"

"Masalah yang bikin aku terpaksa dirawat di rumah sakit sekarang."

"Rumah sakit?" Banyu mengulanginya dengan bingung.

"Tadi pagi aku jogging, terus pergelangan kakiku keseleo. Nggak patah sih, tapi lumayan parah."

"Jadi... batal?" Banyu memejamkan mata. Dunia serasa runtuh. Bagaimana bisa ini terjadi?

"Nggak mungkin aku bisa ikut pemotretan hanya dengan satu kaki. Lagian, aku juga jatuh tadi, ada luka gores lumayan besar di dahi. Penampilanku lagi berantakan banget. Maaf ya, baru ngabarin sekarang."

"Terus... aku harus bagaimana?" gumam Banyu lebih pada dirinya sendiri.

"Tunggu, kamu kenal model lain nggak? Mungkin kamu bisa hubungi mereka?"

"Nggak banyak sih, dan kayaknya nggak ada yang bisa dadakan kayak gini.”

"Maaf ya, aku tahu ini untuk proyekmu bareng Dimas. Mungkin kamu bisa jelasin situasinya ke dia? Minta perpanjangan waktu mungkin? Aku yakin minggu depan kondisiku udah membaik."

"Waktunya nggak akan cukup, deadline proyek ini hari Senin.” Banyu mengusap matanya dengan tangan gemetar.

"Semoga cepat sembuh ya."

Banyu menutup panggilan tanpa mendengarkan penjelasan Nadine lebih lanjut. Sekarang apa? Banyu mencoba berpikir jernih. Dia bisa saja memberitahu Bang Dimas untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dia tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia akan kehilangan kesempatan emas untuk jadi salah satu partner fotographer ternama itu karena gagal melakukan pemotretan.

"Sialan!" Banyu menggerutu sambil mengacak rambutnya.

Matanya tertuju pada layar laptop yang masih menyala. Kenyataan pahit menghantamnya. Hampir mustahil mencari model yang bersedia menerima tawaran pekerjaan mendadak seperti ini. Siapa juga yang mau? Sebagian besar model profesional hanya menerima pekerjaan yang dijadwalkan jauh-jauh hari.

Ucapan Lukas tiba-tiba terngiang di benak Banyu. Bagaimana kalau menyewa jasa cewek-cewek di Michatt? Banyu membayangkan dengan uang lima juta yang rencananya ia bayarkan pada Nadine, dia bisa mendapatkan cewek cantik di aplikasi yang terkenal sebagai penyedia jasa esek-esek itu. Lagipula ini bukan untuk bercinta, hanya sekedar foto seksi dan tidak lebih.

Tapi kemudian, Banyu menyadari masalahnya, cewek michatt memang biasanya menarik, tapi apakah mereka mau wajahnya dipotret? Apalagi jika foto-foto itu akan dipamerkan ke orang lain? Risikonya terlalu besar bagi mereka. Lagipula, ia masih berpegang pada pendapatnya bahwa cantik saja tidak cukup untuk proyek ini. Dia harus punya sesuatu untuk menjadi model yang baik. Seorang model profesional.

Banyu meraih ponselnya. Pukul 9:30 pagi. Secara teknis, ia masih bisa menjadwalkan pemotretan setelah siang hari. Orang tuanya baru pulang besok sore. Tapi pemotretan itu harus dilakukan hari ini. Masalahnya, setelah pemotretan selesai, ia masih harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih foto terbaik, mengeditnya, mencetaknya, dan menyusunnya sesuai urutan yang sudah direncanakan untuk presentasi di hadapan Bang Dimas. Ia benar-benar tidak punya banyak pilihan.

"BANGSAAATTTT!" Banyu berteriak, melempar ponselnya ke atas kasur supaya tidak sampai rusak.

 "Sial, sial, sial!"

"Lo kenapa Banyu? Lo baik-baik aja kan?" Suara Sekar terdengar dari luar kamar.

"Iya, gue fine!" Banyu berteriak balik, nada bicaranya kasar. Pintu kamarnya terbuka.

"Ada yang salah?" Sekar masuk dengan tatapan khawatir. Banyu menghela napas panjang. Dia menghadap Sekar.

"Model yang rencananya gue sewa cancel jadwal.”

"Oh no."

"Oh yes," Banyu melanjutkan dengan sarkasme.

 "Gue benar-benar stuck sekarang."

"Jangan panik dulu," kata Sekar mencoba menenangkan kakaknya.

"Pasti masih ada waktu untuk cari orang lain, kan?"

"Deadline-nya Senin," Banyu menjawab dengan nada kesal.

"Senin? Berarti masih ada waktu!" Sekar terdengar optimis.

"Kenapa baru ingat di detik-detik terakhir sih di cancelnya?"

"Karena gue emang bodoh, itu aja alasannya!" Banyu berteriak.

 "Cukup jelas kan?" Sekar mundur selangkah.

 "Ngapain marah-marah ke gue? Ini bukan salah gue."

"Sori…Sori…" Banyu menghela napas dan mengusap pelipisnya.

"Proyek ini penting banget buat gue…"

"Lo masih bisa cari seseorang sampai besok, kan? Masih ada waktu." Banyu menggeleng.

"Nggak sesimpel itu. Gue butuh waktu untuk persiapan, setting cahaya, setting background putih yang baru aku beli, dan semuanya harus rapi. Plus, gue juga harus persiapin presentasi ke Bang Dimas. Nggak ada waktu lain selain hari ini.”

"Emang kalo lo minta perpanjangan waktu ke Bang Dimas nggak bisa ya? Ini kan yang cancel modelnya, bukan lo.” Ucap Sekar, Banyu menggeleng pesimis.

"Bang Dimas mungkin akan maafin gue, tapi dia nggak akan percaya lagi sama gue buat ngerjain proyek besar lagi.” Banyu duduk di tepi ranjang, matanya menerawang ke langit-langir kamar.

"Shit…Oke kita cari solusi bareng-bareng." kata Sekar sambil ikut duduk di sebelah Banyu.

 "Kita bisa cari model lain sampai nanti malam kan?”

"Masalahnya gue butuh seseorang yang sudah punya pengalaman dan itu nggak akan mudah. Nadine aja butuh waktu sebulan buat dapetin jadwalnya.”

"Ada banyak model online yang bisa dicari," Sekar berkata dengan percaya diri. Banyu masih menerawang ke langit-langit kamar.

"Mau gue bantu? Kita bagi-bagi tugas."

"Tapi lo kan harus kerja."

"Tenang, gue bisa telepon Dewi buat gantiin shit hari ini. Minggu lalu gue gantiin shift dia soalnya.”

"Nggak usah ngorbanin kerjaan gara-gara gue."

"Ini penting buat lo, dan gue mau bantu. Titik."

“Terima kasih banyak, tapi ini nggak semudah yang lo bayangin karena ini buka sesi foto biasa.”

"Hah? Maksud lo?" Sekar mengerutkan dahi. Banyu menghela napas berat.

"Aku butuh model yang bersedia difoto agak berani."

"Agak berani? Maksudnya, kayak pake lingerie gitu?"

"Iya..." Banyu mengalihkan pandangan, merasa tidak nyaman.

“Oohhh…”

"Nggak cuma itu aja, kemungkinan juga foto telanjang." Banyu melanjutkan. Keheningan sejenak mengisi ruangan.

"Jadi lo nanti motoin cewek telanjang?" Sekar bertanya dengan nada yang sulit ditebak.

"Yup, lo jangan punya pikiran aneh-aneh ya! Ini tu seni! Art! Bukan foto cabul." Banyu membela diri.

"Hmmm, iya sih itu seni." Sekar menyeringai mengejek.

"Ah, lo nggak akan pernah ngerti meskipun gue udah jelasin panjang lebar.”

"Pornhub termasuk seni bukan?" Sekar menyebut dengan blak-blakan. Banyu tersentak.

"Tunggu, darimana kamu tahu tentang Pornhub? Sejak kapan lo suka buka website kayak gitu?” Sekar tertawa melihat reaksi kakaknya yang nampak terkejut.

 "Come on, gue bukan anak SMP lagi ya. Gue udah dewasa dan berhak nonton apa yang pengen gue tonton." Sekar melanjutkan dengan defensif.

"Tapi lo masih 19 tahun Sekar…”

"Kita cuma beda dua tahun aja ya. Kalo lo bisa foto cewek-cewek telanjang kenapa gue nggak boleh buka website porno? Logikanya nggak nyambung." Banyu mengangkat tangan menyerah.

 "Oke, oke. Kita nggak perlu bahas yang ini. Tapi dengarkan, gue nggak akan melakukan hal yang aneh dengan model gue. Ini cuma poses seksi. Beberapa foto yang slightly suggestive. Itu aja."

"Suggestive gimana maksudnya?" Sekar bertanya, masih tidak yakin.

"Erotis, lah. Foto-foto yang... gimana ya... softcore? Topless, tapi mereka tetap pakai celana atau rok. Pose-pose yang menarik secara visual, tapi masih clean.'" Sekar memandang Banyu dengan curiga.

"Tapi lo tadi bilang telanjang. Jadi siapa yang bakal lihat foto-foto ini? Wait, lo juga bakal ada di frame?”

"Sudahlah nggak usah dibahas lagi. Males gue." Banyu menjawab cepat.

"Ya Tuhan!" Sekar bertepuk tangan dengan senyuman lebar.

"Jadi lo punya rencana buat ikut  berpose bareng Nadine? Gokil!"

"iisshh! Itu memang rencana awalnya tapi sekarang nggak mungkin kejadian setelah dia cancel jadwal."

"Kalau gitu, lo harus cari seseorang yang kayak Nadine. Ayo kita mulai cari sekarang!" Banyu menggeleng pesimis.

"Gue appreciate usaha lo buat bantuin, serius. Tapi gue udah nyerah. Gue nggak bakal nemuin model dengan waktu sesingkat ini. Apalagi yang mau datang ke rumah dan melakukan apa yang gue minta."

"Gimana kalau seseorang yang lo kenal?" Sekar berpikir keras.

 "Ada banyak cewek cantik di kampus, kan? Mereka pasti butuh uang tambahan." Ujar Sekar dengan mata berbinar. Banyu tertawa sarkastis.

"Lo serius? Mana ada temen cewek gue yang mau difoto telanjang atau setidaknya erotis di kamar ini???" Sekar diam. Banyu menyandarkan wajahnya di kedua tangan, siku bertumpu di lutut. Dia terlihat benar-benar putus asa..

"Nggak ada solusi dari masalah ini." Sekar melihat kakaknya dalam keputusasaan. Dia meletakkan tangan di bahu Banyu dengan lembut.

"Gue nggak suka lihat lo begini."

"Ini salah gue sendiri," Banyu berkata pelan.

"Seharusnya gue ada back up plan buat hadepin masalah kayak gini jauh-jauh hari.”

"Jangan nyerah dulu," Sekar memberikan tekanan lembut di bahu Banyu.

"Pasti ada solusi." Sekar terdiam sejenak, kemudian matanya berbinar.

"Tunggu. Tunggu sebentar." Dia menggeser tangannya dari bahu Banyu dan berbalik menghadapnya.

"Gimana kalau gue?" Banyu memandang Sekar dengan bingung.

"Huh? Maksudnya apa?"

"Gue yang akan jadi model foto lo!" Sekar berseru dengan penuh semangat.

 

 

 

 

 

 

 

PART 3

 

"NGGAK MUNGKIN!"

"Kenapa nggak?"

Banyu membuka mulut, tapi kemudian diam. Dia memandang adiknya dengan seksama. Sekar masih pakai piyama bermotif Spongebob yang sudah  kusut, rambutnya mencuat berantakan di sekitar wajah. Ini adalah penampilan khas Sekar, santai dan terkesan tak terawat.

"Lo lagi ngliatin apa sih?" Sekar menyadari jika Banyu sedang mengamati tubuhnya dari atas hingga bawah.

"Lo nggak tepat buat proyek ini," Banyu akhirnya menjawab dengan hati-hati. Mata Sekar langsung melotot.

"Apa maksudnya? Lo bilang gue jelek?"

"Sama sekali nggak…" Banyu menjawab.

"Lo itu bukan model…" Lanjut Banyu.

"Gue bisa jadi cantik kalau lo mau," Sekar berkata.

"Lo udah cantik, tapi yang gue butuhin sekarang itu bukan cuma cantik tapi juga hot." Banyu mengangkat jari sebelum Sekar bisa protes kembali.

"Dan yang paling penting, lo itu adek gue!”

"Tapi gue tetep aja masih bisa jadi model." Sekar membela diri.

"Lo dengerin gue baik-baik. Proyek ini nggak cuma butuh seorang model cantik doang, gue butuh model cantik dan mau berpose hot bahkan telanjang. Gue nggak mau liat lo kayak gitu.” Jelas Banyu panjang lebar.

"Emangnya nggak bisa ya kalo cuma foto seksi pake lingerie atau apa gitu?” Sekar masih belum mau menyerah.

"Mau cuma pake lingerie atau telanjang sekalipun itu nggak nutup kenyataan kalo lo adek gue Sekar. Gue nggak nyaman dan gue juga yakin lo pasti akan canggung nglakuin itu nanti.”

"Gue cuma mau bantuin lo…” Sekar berkata dengan sungguh-sungguh. Banyu tersenyum tulus sebelum kemudian mencium dahi adiknya itu.

"Gue tau kok, tapi gue nggak bisa jadiin lo model gue."

"Karena gue adik lo?" Sekar bertanya.

“Hmmm…”

"Atau karena lo pikir gue nggak cantik?" Banyu menghela napas.

"Gue nggak mau berdebat lagi Sekar. Lo udah tau jawabannya.”

"Seharusnya kalo lo pengen ini jadi kerjaan lo nantinya, seharusnya lo bisa bersikap profesional. Fokus pada modelnya, bukan pada hubungan keluarga. Lo ngerti kan maksudnya?" Ujar Sekar.

"Hmm. Poin bagus."

"Inget, ini cuma kerjaan, nggak lebih.”

"Pasti Mas Dimas pasti akan nunjukin foto-foto lo ke orang lain kalo dia suka dengan kerjaan gue."

"Lalu? Siapa yang bakal kenal gue? Come on, gue selama ini selalu berada di bawah radar kan?"

"Iya."

"Kalau gitu nggak ada masalah!" Sekar berkata dengan santai. Sesaat Banyu mulai tergoda untuk mengimplementasikan ide dari adiknya itu.

"Kalau gue bisa nggak peduli, seharusnya lo juga nggak usah peduli." Sekar tertawa kecil.

"Udahlah, mending lo berangkat kerja aja sekarang.” Banyu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dua tangannya terlipat ke belakang menangkup kepala.

"Terus lo mau ngapain?"

"Beresin kamar, rebahan sambil nagis mungkin.” Banyu menjawab dengan lesu. Sekar tidak puas dengan jawaban itu.

"Lo punya dua opsi sekarang. Pilihan pertama lo nyerah dan gagal jadi partner Bang Dimas, atau lo biarin gue jadi model. Oke gue memang bukan model profesionla tapi setidaknya ini lebih baik daripada besok lo menghadapi Bang Dimas tanpa membawa hasil kan? “ Sekar masih begitu bersemangat meyakinkan kakaknya sementara Banyu terlihat ragu.

 "Iya, tapi ini bakal aneh banget."

"Gimana kalau begini," Sekar berkata dengan mantap.

"Kita mulai saja. Kalau salah satu dari kita merasa nggak nyaman, kita stop. Deal?"

"Gue nggak tahu, Sekar."

"Tolong biarin gue bantu?" Sekar berbicara dengan lembut.

"Oke. Tapi kayak yang lo bilang, kalau nanti canggung banget, kita stop."

"Ok deal!” Senyum lebar merekah di bibir Sekar.

"Sipp, sekarang gue mandi dulu dan bersiap-siap buat sesi pemotretan.”

“Lo nggak kerja?”

“Udaahh, beres! Yang penting proyek lo ini harus sukses. Kerjaan gue gampang, nggak usah lo pikirin.”

“Hmmm, terserah lo aja deh.” Balas Banyu tak terlalu bersemangat.

"Siap-siap untuk jam satu, ya, mister fotografer?" Sekar memberikan senyum lebar khasnya.

"Ya…" Banyu memaksakan senyum di wajahnya.

"Gue nggak percaya kita akan lakuin ini." Sekar tersenyum nakal.

"Lo benar. Gue juga nggak  percaya."

Sekar berjalan keluar dari kamar Banyu, menutup pintu di belakangnya. Banyu duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi pintu yang baru saja ditutup. Tangannya gemetar sedikit. Beberapa jam dari sekarang dia akan memotret adiknya sendiri. Dia menghela napas panjang dan mulai bergerak, menggeser peralatan fotografi ke sudut ruangan. Tapi pikirannya tidak fokus. Dia terus memikirkan apa yang akan terjadi nanti.

 

***

Banyu mengusap matanya dan memaksa dirinya untuk mencari lagi. Dia membuka website “Model XXX” berharap ada model profesional selain Nadine yang mau menerima tawarannya. Beberapa saat lalu seorang model bernama Siska sempat membalas chattnya. Harapan Banyu membara lagi. Dia menjelaskan proyek yang akan dikerjakannya hari ini. Siska membalas dengan mengirimkan dua foto dirinya mengenakan lingerie hitam. Siska memang menarik. Dia mau melakukan apa yang Banyu minta. Tapi kesepakatan batal saat Siska tau jika pemotretan dilakukan di kamar Banyu. Sangat tidak profesional.

Dengan sisa uang di tabungannya, mustahil bagi Banyu untuk menyewa studio yang proper. Kini dia kembali dihadapkan pada fakta jika satu-satunya solusi masalah ini adalah tetap menggunakan jasa Sekar sebagai seorang model. Adiknya itu memang cantik, tapi itu bukan standar model hot dan seksi seperti yang diinginkan oleh Banyu. Lagipula Sekar adalah adik kandungnya. Banyu masih tak bisa membayangkan bagaimana canggungnya nanti jika benar-benar akan melakukan proses pemotretan bersama Sekar.

TOK

TOK

TOK

Pintu kamar Banyu terbuka dari luar, wajah Sekar terlihat masih seperti tadi, santai dan berantakan. Banyu makin yakin jika adiknya itu bukanlah solusi yang dibutuhkannya saat ini. Tapi dia tak punya pilihan lain.

"Sori, gue harus mandi dulu. Tadi habis telponan sama Alea buat gantiin shift kerjaku hari ini.” Ujar Sekar meminta ijin.

"Yah, take your time. Santai aja, nggak perlu buru-buru." jawab Banyu.

"Hei!" Sekar menunjuk ke arah meja Banyu, layar laptop meyala, halaman depan website pencarian model terlihat jelas.

"Lo masih mencari model?”

"Iya, iseng aja siapa tau masih bisa dapet model profesional." Banyu menjawab dengan santai.

"Hmmm, oke. Tapi gue janji setelah ini lo nggak akan nyesel udah ngasih kesempatan ke gue buat jadi model." Sekar tertawa kecil dan melempar sebungkus rokok ke atas ranjang. Sekar kemudian menutup pintu kamar. Banyu bangkit dan mengambil bungkusan rokok itu sambil tersenyum kecut.

"Ah, akhirnya ada sesuatu yang bisa membuat rileks." gumam Banyu sambil berjalan kembali ke mejanya. Dia membuka laci atas, mengambil pemantik api, dan menyalakan rokok itu.

Dia bukan pecandu rokok seperti Sekar, tapi harus diakui bahwa ini mungkin yang dia butuhkan sekarang. Sarafnya sudah tegang. Dia menghisap dalam-dalam, menyerap asap yang panas ke dalam paru-paru, lalu perlahan mengeluarkannya. Selama beberapa menit berikutnya, Banyu hanya menggulir halaman website model sambil terus menghisap rokok dan melanjutkan pencarian model yang belum berhasil. Tapi setidaknya rasa cemasnya berkurang akibat nikotin, dan itu akan membantunya saat mengambil foto Sekar nanti.

Tunggu, apa yang sedang dia pikirkan? Mengambil foto? Sekar masih adiknya! Tidak ada pengaruh rokok manapun di dunia ini yang bisa mengubah kenyataan itu. Tapi Banyu yakin Sekar pun melakukan hal yang sama di kamarnya sekarang. Mungkin setelah ini adiknya itu kembali masuk ke kamarnya dan mengatakan jika dia ingin membatalkan pemotreta dan mereka berdua bisa tertawa bersama.

Banyu mematikan sisa rokok ke asbak sebelum terlalu banyak aroma rokok memenuhi kamarnya, lalu berjalan ke "set" pemotretan. Banyu menyalakan lampu dan mengarahkannya ke tempat tidur, memposisikannya agar cahaya tidak menyilaukan dari latar belakang putih.

Konsep Banyu terinspirasi dari pemotretan film profesional. Biasanya cahaya alami dikombinasikan dengan lampu tambahan agar aktor terlihat menonjol dengan bayangan minimal. Dengan begitu, kamera bisa bergerak bebas dari berbagai sudut tanpa masalah teknis. Banyu melihat ruang terbatas antara kamera, lampu, dan tempat tidur. Dia memutuskan menarik semuanya beberapa meter ke belakang agar Sekar punya cukup ruang untuk bergerak di depan tempat tidur. Dia ingin mengambil pengaturan ini dengan serius, meskipun tahu tidak akan banyak foto yang bisa dihasilkan dari seorang model amatir.

Banyu mengalungkan kamera Canon di lehernya untuk pengambilan manual, lalu menyiapkan Nikon dengan mode rapid-fire di tripod. Fitur ini akan menangkap tiga gambar sekaligus saat dia menekan remote, lebih cepat daripada gerakan tangan manusia.

Banyu pernah menggunakan teknik ini saat melakukan pemotretan di acara voli kampusnya beberapa bulan lalu. Hasilnya sangat luar biasa karena keringat para pemain bisa dilihat secara jelas dan menimbulkan efek cinematic sempurna. Banyu memastikan memory buffer aktif agar semua foto tersimpan sementara. Dia bisa melihatnya nanti dan memilih mana saja yang bagus untuk ditransfer ke kartu memori utama. Meskipun mungkin tidak banyak, dia ingin memberikan beberapa foto kepada Sekar sebagai kenang-kenangan dari "pemotretan" ini.

Dia duduk di kursi lipat yang diletakkan di belakang tripod dan melihat melalui lensa untuk memastikan seluruh tempat tidur terlihat di frame. Dia mengatur zoom dengan hati-hati, memastikan tidak ada tepi tempat tidur yang terpotong. Banyu mengambil botol air dari bawah dan meneguknya beberapa kali. Tak lama ketukan lembut di pintu terdengar diikuti oleh suara Sekar.

"Modelmu sudah siap tuan…."


Posting Komentar

0 Komentar