MALAM BIRAHI
PART 1
Suara Ifa yang khas, terdengar dari
balik lorong sempit tempat lemari arsip berjejal. Aku mengangkat kepala dari
layar komputer, menyipitkan mata menembus jendela kaca yang memisahkan ruangan
kami. Ifa Sartika, teman sekaligus staffku, sedang asyik bercengkerama via
telepon. Bibirnya meregang lebar, satu tangan memegang ponsel, sementara
jari-jari lainnya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Begitu
matanya menangkap kehadiranku, ia buru-buru menjauhkan perangkat komunikasi
dari telinga.
"Bagaimana, Bu?" suaranya
tiba-tiba berubah formal, tapi matanya masih berbinar. Aku melipat lengan.
"Ba.. Bu.. Ba.. Bu, emangnya aku
ibumu? Udah, yuk ke kantin! Lapar ini!" Kataku sambil mengetuk-ngetuk jam
tangan.
"Daritadi pacaran mulu, emang
nggak bosen kamu?" Ifa terkikik, wajahnya memerah.
"Maaf, Teh," bisiknya sebelum
kembali membawa ponsel ke telinga.
"Ehh, Say…" Ia tercekat, lalu
buru-buru berbisik,
"Nanti aku telpon lagi, ya? Si
bos ngajak lunch. Bye!" Kutekan jidatku.
"Dasar. Buruan nikah sana! Kelamaan
ntar dia malah kabur!"
Sejak kuliah dulu, Ifa memang selalu jadi
sasaran empuk candaanku yang kadang terlalu tajam. Tapi itulah kami, dua
sahabat yang nasibnya dipertemukan kembali di kantor pemerintah ini setelah Ifa
lulus tes CPNS setahun lalu.
"Yee, Teteh sirik! Aku kan masih
puber," balasnya sambil menyeringai, menggoyang-goyangkan bahu seperti
anak SMA.
"Puber? Kamu udah mau tiga
puluh, Ifa!"
"Iya deh, aku ngalah sama yang
udah nikah," ia menyeringai lagi, tapi kali ini ada sedikit kerutan di
dahinya.
Kami berjalan menyusuri koridor
panjang menuju kantin belakang. Udara pengap gedung langsung tergantikan oleh
aroma bawang goreng dan kuah kaldu.
"Teh, Aldi nggak apa-apa
sendirian sama Mbak Yuni?" tanyanya tiba-tiba.
"Nggak apa-apa. Udah
biasa," jawabku singkat. Tapi kemudian Ifa menambahkan,
"Kalau Mas Imran?"
Nama itu menghentikan langkahku
sejenak. Imran. Suamiku. Aku tak langsung menjawab, karena tiba-tiba saja
bayangannya muncul, senyumnya yang selalu datar, caranya memeluk Aldi sebelum
berangkat, dan keheningan yang selalu ia tinggalkan setiap pagi.
Sudah satu tahun terakhir aku dan Mas
Imran terpaksa hidup terpisah tak satu rumah alias LDR. Suamiku itu ditugaskan
oleh kantornya untuk mengerjakan proyek di luar pulau dan meninggalkanku di
rumah berdua saja dengan Aldi, anak semata wayang kami. Awalnya Mas Imran
berniat memboyongku namun hal itu tak akan pernah bisa terjadi karena sebagai
abdi negara, mengajukan pindah tugas tentu bukan hal semudah membalikkan
telapak tangan.
Alhasil, kini kami terpaksa menjalani
kehidupan pernikahan seperti ini. Mas Imran kadang menyempatkan waktu untuk
pulang sebulan sekali, namun belakangan dia baru bisa pulang dua bulan sekali
karena proyeknya di sana tak bisa ditinggal. Rasa rindu dan kangen
membelengguku, apalagi hormonku lagi tinggi-tingginya. Aku menginginkan
sentuhan suamiku namun Mas Imran malah lebih memilih pekerjaannya. Sesuatu yang
membuatku kadang sedih dan menceritakannya pada Ifa.
“Ya begitulah, masih banyak proyek. Mungkin
minggu depan dia baru bisa pulang.” Kataku sedikit malas.
“Aduh, kok murung gitu si Teh? Maaf
kalau pertanyaan Ifa buat Teteh sedih, kangen ya sama Mas Imran?”
“Ya, begitulah Fa, namanya juga suami
pasti dikangeninlah apa lagi jauh kayak gini.”
“Sabar ya teh, pokoknya kalo teteh
butuh temen curhat, Ifa selalu siap! Hehehehehe.”
Obrolan kami terputus ketika pesanan
tiba di meja. Sepiring nasi ayam goreng kremes dan nasi rendang Padang yang
masih menguap panas, ditambah dua gelas es teh manis, seketika mengalihkan
perhatian kami dari percakapan. Perut yang sudah keroncongan akhirnya mendapat
balasan setimpal. Dalam hitungan menit, hanya tersisa piring-piring licin dan
es yang belum sempurna mencair, menggenang di dasar gelas.
"Alhamdulillah... kenyang
banget!" Ifa menghela napas puas sambil menyeruput sisa es tehnya. Kusorongkan
piring rendang ke arahnya.
"Mau nambah? Aku traktir."
"Nggak usah, Teh," ia
menggeleng, lalu memegang perutnya.
"Nanti kalau jadi gemuk, Deny
kabur nyari cewek lain."
"Cieee... yang lagi
kasmaran," godaku, membuat pipinya memerah lagi.
Aku teringat cerita Ifa beberapa
bulan lalu tentang Deny, si pengusaha muda anak anggota DPRD itu. Awalnya, Ifa
ragu—reputasi Deny sebagai playboy sudah terlalu terkenal. Tapi siapa yang bisa
menolak pesona pria berwajah tampan, karier mapan, plus garis keturunan
terpandang? Modal itu lebih dari cukup untuk membuat banyak perempuan terjebak
dalam permainannya.
Tapi waktu membuktikan lain. Deny
berubah. Ia tak hanya setia mengantar-jemput Ifa, tapi juga kerap mengirimkan
rangkaian bunga segar ke kantor, gestur romantis yang bahkan tak pernah kudapat
dari Imran selama pernikahan kami. Saat melihat Ifa tersipu bahagia, ada
sesuatu yang mengganjal di dadaku. Bukan sekadar iri, tapi juga pertanyaan yang
tak pernah berani kuakui,
"Apa yang salah dengan
pernikahanku?"
“Fa, ayo balik! Aku lupa kalo masih ada
kerjaan berkas yang harus kita beresin hari ini.”
“Loh? Berkas apalagi ya teh? Bukannya
kemarin udah dikirim ke kantor Bupati?”
“Hmmm, makanya kalo ada rapat
koordinasi tuh jangan terlambat. Tadi pagi Pak Sekda pesan kalo kita harus
beresin berkas baru karena besok ada rapat penting di kantor Bupati.” Ujarku
menjelaskan. Ifa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bengong.
“Oh gitu, ya udah balik aja sekarang.
Oh, ya, kali ini Ifa yang traktir makan siangnya. Hehehehe.”
“Wah tumben nih? Kamu nggak lagi
ulang tahun kan?”
“Yeee, nggak lah teh. Kan gaji 13 ku
udah cair minggu kemarin. Hihihihi.”
“Asyiikkk, nggak sekalian pengen
ngasih belanja bulanan teteh nih?” Godaku yang langsung disambut cubitan gemas
dari Ifa.
“Ih, itu sih bagiannya mas Imran
lah.”
Setelah membayar makanan dan minuman
kami berdua bergegas kembali ke ruang kerja masing-masing. Benar saja pekerjaan
yang seharusnya bisa kami selesaikan lebih cepat ternyata terlambat, akibatnya
kami harus lembur untuk mengejar target. Karena berkas yang kami kerjakan ini
keesokan harinya akan dipakai oleh Bupati sebagai bahan meeting bulanan
bersama para kepala dinas di lingkungan Provinsi.
“Gimana Fa? Udah beres?” Tanyaku saat
masuk ke ruang kerja Ifa. Wanita yang juga mengenakan hijab itu masih sibuk di
depan komputer.
“Belum nih teh, masih kurang banyak.
Gimana dong?” Ujarnya dengan mimik wajah lesu dan tak bersemangat.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh
malam, hampir seluruh pegawai sudah pulang ke rumah mereka masing-masing dan
menyisakan beberapa orang saja termasuk kami berdua. Aku sebenarnya bisa saja
membebankan pekerjaan ini pada Ifa mengingat dia adalah bawahanku, namun
melihatnya bekerja keras hari ini aku jadi tak tega.
“Teteh pulang aja duluan nggak
apa-apa, kasian Aldi sendirian di rumah.” Ujarnya seolah tau yang mengganggu
pikiranku sejak jam 6 sore tadi.
“Beneran nggak apa-apa nih?” Tanyaku
ragu.
“Iya beneran teh, ini mah paling
sejam dua jam lagi udah kelar. Pokoknya teteh tenang aja, serahin semuanya sama
Ifa, pasti beres!” Ujarnya yang kini mendadak sumringah.
“Ya udah kalo gitu aku tinggal pulang
duluan ya Fa. Nanti kabarin kalo ada apa-apa, nomorku selalu aktif kok.”
“Siaap teh! Oh ya sekalian bawa
berkas adendumnya teh, siapa tau besok diminta Pak Bupati.” Ifa mengingatkan.
“Okey bos!” Sahutku seraya melangkah
pergi meninggalkan ruang kerja Ifa.
Setelah membereskan barang-barangku
ke dalam tas, aku langsung berjalan menuju tempat parkir mobil yang berada di
dekat kantin makan siang tadi. Area parkir yang sepi hanya diterangi cahaya
remang-remang lampu neon yang berkedip-kedip. Langkahku bergema di lantai
beton, disambut sesekali oleh sapaan ramah petugas keamanan yang masih
bertugas. Saat sampai di tempat parkir, hanya empat mobil yang tersisa, termasuk
Honda Jazz putihku dan Mercedes hitam milik Deny yang terparkir persis di
sebelahku.
"Malam, Bu Arum. Udah mau
pulang?"
Suara itu membuatku menoleh. Deny
sedang berdiri di samping mobilnya, rambut klimisnya masih rapi meski hari
sudah larut. Ia tersenyum sambil membuka pintu mobil.
"Oh, iya. Kamu jemput Ifa?"
tanyaku, berusaha santai meski tangan berkeringat menggenggam kunci mobil.
"Iya, Bu. Ifa masih lama?"
"Sayangnya iya. Masih ada berkas
yang harus diselesaikan. Satu jam lagi, mungkin." Kulihat matanya yang
teduh tetap sabar.
"Kalo mau, kamu bisa masuk ke dalam.
Bilang saja ke satpam aku yang izinkan." Deny menggeleng, senyumnya
hangat.
"Nggak apa-apa, Bu. Aku biasa nunggu di
sini."
Ada sesuatu tentang caranya menjawab,
terlalu sempurna, terlalu lembut. Dadaku berdegup kencang. Apakah ini yang Ifa
rasakan setiap hari? Perhatian yang tulus, ataukah topeng dari seorang playboy
yang ahli memainkan peran?
"Baiklah, kalau begitu. Aku
pamit dulu." Kubuka pintu mobilku, melemparkan tas dan dokumen ke kursi
belakang. Saat hendak masuk, Deny tiba-tiba berkata,
"Hati-hati di jalan, Bu."
"Terima kasih," balasku
singkat, tapi senyumku terasa kaku.
Begitu mesin mobil menyala, bayangan
Mercedes hitam itu masih terpantul di kaca spion. Aku menarik napas dalam.
Mengapa perhatian sekecil itu bisa terasa begitu mahal bagiku?
Setiap bertemu Deny, selalu ada
sesuatu yang mengusikku. Bukan sekadar keramahannya, tapi cara matanya menahan
kontak terlalu lama, senyum yang agak terlalu hangat untuk sekadar basa-basi.
Sebagai perempuan, aku bisa membedakan antara sikap sopan dan sikap yang
sengaja dirancang untuk menggoda.
Setiap kali Deny tersenyum padaku,
ada sesuatu yang menggelitik di dasar perutku, bukan rasa suka, tapi kepekaan
yang mengganggu. Aku tahu cara seorang pria melirik, bagaimana pupil matanya
membesar sedikit, bagaimana nada suaranya turun setengah oktaf saat berbicara.
Deny melakukannya dengan sempurna, seolah-olah setiap sapaan adalah undangan
rahasia.
"Apa mungkin Deny sedang
mengujiku?"
Tapi segera kusurutkan pikiran itu.
Ifa jauh lebih cantik, dengan energinya yang segar dan tawa yang mudah pecah.
Sementara aku? Seorang ibu rumah tangga yang mulai menemukan uban di antara
helai rambut hitamku. Seorang pria seperti Deny pasti punya standar tinggi. Ifa
adalah bunga segar di pagi hari, sementara aku? Aku hanya bayang-bayang yang
tersisa dari seorang perempuan yang pernah dicintai. Tapi tubuhku tidak peduli.
Daging dan darahku masih bereaksi, mengingatkan betapa lama aku diabaikan.
Namun, mengapa pikiranku terus
melayang ke arah itu? Mungkin ini efek dari ranjang yang terlalu lama terasa
dingin. Aku ingat bulan lalu, saat nekad memesan sebuah dildo, benda karet yang
akhirnya hanya mengingatkanku pada satu hal, tak ada yang bisa menggantikan
kehangatan manusia. Bahkan jika ukurannya lebih besar, lebih keras, tetap saja
itu hanya benda mati. Yang kurindu bukan sekadar kepuasan fisik, tapi desahan
hangat di telinga, ciuman yang tak terburu-buru, cara tangan seorang pria
menggenggam pinggangku seakan takut aku menghilang.
Setelah hampir dua puluh menit
mengendarai mobil dan berperang dengan isi kepala, aku sudah sampai di garasi
mobil. Mbak Yanti, pembantu sekaligus pengasuh Aldi membukakan pintu rumah.
Wanita yang setahun terakhir bekerja di rumahku itu nampak baru saja bangun
tidur, karena matanya terlihat sembab.
“Aldi udah tidur Mbak?” Tanyaku.
“Sudah Bu, daritadi siang rewel
terus.” Ujar Mbak Yanti seraya membawakan tas kerjaku ke dalam rumah.
“Oh ya? Kenapa?”
“Katanya kangen Bapak.”
Aku menghela nafas panjang, ternyata
yang merindukan kehadiran Mas Imran bukan hanya aku seorang namun juga anakku
satu-satunya, Aldi. Memang sedari kecil Aldi sangat dekat dengan Ayahnya, dan
sejak kepergian Mas Imran untuk menjalankan tugas kantor ke luar pulau Aldi
harus menghabiskan hari-harinya seorang diri dan hanya ditemani oleh Mbak
Yanti. Sebagai ibu, aku merasa gagal. Taoi ini juga ada andil dari Mas Imran
yang lebih mementingkan karier dibandingkan keluarganya. Mengingat ini
membuatku merasa marah terhadap keadaan.
“Mau diangetin masakannya Bu?” Ucapan
Mbak Yanti membuyarkan lamunanku.
“Nggak usah Mbak, aku belum lapar.
Mbak Yanti lanjut tidur aja, aku mau ke kamarnya Aldi.”
“Baik Bu, permisi kalo begitu.”
Aku melangkah menuju lantai dua
tempat kamar anakku berada. Kubuka pintu kamarnya dan mendapati Aldi sudah
terlelap sambil memeluk boneka iron man, tokoh film yang jadi idolanya.
Kuhampiri Aldi dan kukecup lembut pipinya, berusaha agar tak sampai membangunkannya
dari tidur. Aldi nampak begitu tenang, nafasnya teratur, nyenyak dan damai.
Namun begitu aku masih merasa bersalah terhadap anakku satu-satunya ini. Aku
dan Mas Imran membuatnya kehilangan kehangatan kasih sayang orang tua di masa
kecil.
Tak mau terlalu larut dalam perang
batin yang menyiksa, aku putuskan untuk melangkah meninggalkan Aldi dan menuju
kamarku yang dingin karena selalu kutiduri sendiri. Kubuka kembali tas kerjaku,
mengeluarkan beberapa barang pribadiku. Pandanganku teralih pada map merah
tempat berkas-berkas adendum, seigatku harusnya map pembungkusnya berwarna
cokelat.
Benar saja, begitu kubuka map tersebut
ternyata isinya adalah berkas lain. Sial! Aku salah ambil berkas rupanya. Tak
pikir panjang aku segera menelepon Ifa, berharap staffku itu masi berada di
kantor dan nanti saat pulang mau mengantarkan berkas yang kuperlukan ke rumah.
Nada dering tersambung, namun Ifa tak mengangkat teleponku. Berkali kulakukan
namun panggilanku sama sekali tak terjawab.
Mungkin Ifa sudah pulang, mengingat
berkas ini sangat penting maka kuputuskan untuk kembali ke kantor. Setelah
berpamitan pada Mbak Yanti aku langsung masuk ke dalam mobil dan menginjak
pedal gas dalam-dalam. Sesampainya di area parkir kantor, suasana jadi lebih
sepi dari sebelumnya. Mobil Deny juga sudah tak terlihat lagi. Hanya ada satu
mobil operasional yang terparkir di bagian dalam area parkir.
Setelah mamakirkan mobil, aku
bergegas turun dan melangkah menuju ruang kerjaku di lantai tiga. Aku sempat
bertemu dengan Jarot, salah satu petugas keamanan yang berjaga malam ini. Pria
dengan jenggot lebat itu sempat menawariku untuk mengantar namun kutolak. Aku
memang sengaja menghindari Jarot karena sudah bukan rahasia umum lagi kalo
petugas keamanan itu suka menggoda pegawai perempuan. Aku merasa risih saat berdekatan
dengannya.
Pintu lift terbuka, aku sudah sampai
di lantai tiga tempat ruang kerjaku berada. Lorong terlihat sepi meskipun lampu
penerangan menyala, berada di tempat ini seorang diri tentu membuat bulu
kudukku merinding. Kupercepat langkahku agar segera sampai di ruang kerja,
namun perhatianku teralihkan pada ruang arsip yang berseberangan dengan ruang
kerjaku. Pintunya sedikit terbuka, semburat cahaya lampu di bagian dalam
menyapu lantai lorong.
“Siapa yang masih ada di dalam?” Gumamku seorang diri seraya berjalan
mendekati ruang arsip.
Baru beberapa langkah, aku mendengar suara
aneh yang berasal dari dalam ruang arsip. Aku terkesiap, membuatku seketika
memperlambat langkah kakiku, berjalan mengendap-endap layaknya seorang pencuri
dalam film-film action. Suara itu terdengar mulai lebih keras saat tubuhku
mulai mendekat pada pintu ruang arsip yang terbuka. Wajahku berusaha melihat ke
arah dalam namun yang kulihat hanyalah lemari arsip berukuran besar yang
menghadap langsung ke arah pintu.
Ruang arsip memang jauh lebih kecil
jika dibanding dengan ruang kerjaku, dan ruangan ini dipenuhi oleh lemari dan
rak besar untuk menyimpan berbagai macam bentuk dokumen fisik. Maka jangan
heran jika sepanjang mata memandang, hanyalah deretan lemari berukuran besar
yang terlihat. Aku berusaha untuk melongok lebih dalam, jantungku berdegup
makin kencang, rasa penasaran benar-benar membuatku ingin segera mengetahui
siapa sebenarnya yang sedang berada di dalam ruangan. Dan apa yang aku lihat
sungguh di luar dugaan, ini menjelaskan asal muasal suara aneh yang sekarang
semakin jelas di telingaku.
Dengan mata dan kepalaku sendiri aku
melihat Ifa tengah berdiri menyandarkan tubuhnya pada lemari besi di
belakangnya. Sesekali dia melenguh dengan ekspresi wajah binal, nafasnya
tersenggal hebat, kembang kempis namun nampak begitu eksotis. Suara aneh yang
sempat kudengar tadi teryata adalah desahan Ifa. Ifa tak sendirian karena di
bawah tubuhnya terlihat sebuah kepala seorang pria yang sibuk bergerak. Kedua
tangan Ifa berkali-kali meremasi rambut pria itu sambil terus mendesah nikmat.
“Astagfirullah, Ifa???”
PART 2
Tubuhku merinding melihat ini semua,
sebuah sensasi yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, tubuhku reflek
merunduk sedemikian agar tak terlihat oleh Ifa yang makin mahsyuk menikmati
cumbuan seseorang di bawah tubuhnya. Ifa mengangkat kedua kakinya dan
meletakkannya pada sebuah kursi kayu, rok span panjang miliknya sudah
tersingkap hingga sebatas panggul. Gadis muda yang setiap harinya selalu
mengenakan hijab sepertiku saat bekerja ternyata bisa sebinal dan seliar ini!
“Ssst…Ouucchhhh…Aaacchhhh….”
Ifa terus mendesah sambil kedua tangannya
berpindah beberapa kali dari menutup mulut hingga meremasi rambut pria yang
sedang mencumbui bagian bawah tubuhnya. Sampai detik ini, aku masih belum bisa
melihat sosok pria yang sedang mengerjai tubuh staffku itu. Apakah mungkin jika
pria itu adalah Deny? Kalau benar, kurang ajar benar mereka berdua menjadikan
salah satu ruang kerja sebagai tempat mesum!
“Gila! Apa yang sedang kamu lakukan
Ifa??” Pekikku dalam
hati.
Aku seperti terpana dan terhipnotis
di dekat pintu, namun tiba-tiba sebuah tangan merangkulku dari belakang. Kedua tangannya
mengunci tubuhku hingga aku tak bisa bergerak, tangan kanannya kemudian menutup
mulutku dengan sangat cepat, melarangku reflek berteriak.
“Ssttt.. Bu Arum jangan teriak! Saya
Deny!“ ucap sosok yang merangkulku dari belakang. Pria muda yang beberapa hari
terakhir menggangu pikiranku. Deny, kekasih Ifa.
Dadaku bergemuruh makin cepat, kejutan
macam apalagi ini? Setelah aku diperlihatkan adegan mesum yang melibatkan Ifa,
kini justru aku sedang bersama kekasihnya. Lalu siapa sosok pria yang sedang
bersama Ifa saat ini? Kepalaku dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak ada
jawabannya. Aku panik sekaligus bingung karena tak tau harus berbuat apa.
“Ibu ngapain? Bukannya tadi sudah
pulang?” tanya Deny. Dia menekan suaranya sedalam mungkin agar tak terdengar
lantang. Pandangannya tajam, bukan marah, namun heran.
“Arrrggggggghhhttt…”
Ifa kembali mendesah, kali jauh lebih
keras hingga bisa terdengar jelas dari tempatku dan Deny berdiri saat ini.
Tubuh Ifa mengeliat menimbulkan suara berisik dari gesekan tubuhnya dengan
lemari di belakangnya. Aku dan Deny sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya kami
kembali bersembunyi di balik tembok dekat pintu.
Aku dan Deny saling berhadapan, ia
masih menekan tubuhku dan menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dalam
posisi seperti ini payudaraku yang berukuran besar tentu saja menekan dada
Deny, entah kenapa ini menimbulkan sensasi berbeda. Terlebih inilah kali
pertama dalam hidup, aku bisa sedekat ini dengan lawan jenis selain dengan
suamiku.
“Ibu harus janji nggak berteriak
kalau saya lepaskan.” Ujar Deny pelan, aku hanya mengangguk-anggukkan kepala
dengan tatapan putus asa. Perlahan Deny melepas cengkraman tangannya di
mulutku. Aku bisa bernafas lebih lega sekarang.
“Sssttt…Jangan berisik..” Deny
meletakkan telunjuk jarinya di bibir, seolah memberiku tanda agar tetap diam.
“Ifa udah dapet ya? Sekarang gantian ya,
nungging, mau bapak masukin pake kontol.” ucap pria yang sedang bersama Ifa.
“Tunggu pak, Ifa basahin dulu…”
“Nggak usah, kan memeknya udah becek,
bapak udah nggak tahan nih!” Lanjut pria tersebut.
Aku hanya tertegun mendengar suara
pria tersebut, tanpa melihatnya pun aku sudah bisa menebak itu suara siapa.
Suara berat dengan serak khas yang sudah sangat kukenal. Itu adalah suara Pak
Yadi, kepala bagian keuangan, pria matang berusia 48 tahun yang sudah beristri
dan memiliki tiga orang anak. Bagaimana mungkin Ifa bisa bercumbu dengan Pak
Yadi? Apakah Ifa berada dalam ancaman?
“Ssshhhtt.. Ouuhhhh Pakkk!” Suara desahan Ifa kembali terdengar.
“Ouuhh sempit banget memekmu!” Sahut Pak Yadi tak kalah lantang.
Aku dan Deny seolah terpanggil untuk
melihat adegan yang terjadi di dalam ruang arsip. Kami berdua saling
melongokkan kepala di dekat pintu yang sedikit terbuka. Benar saja, kami bisa
melihat tubuh Ifa sedang digenjot oleh Pak Yadi dari belakang. Ifa berdiri
sambil menungging, tubuh bagian depannya berpegangan pada meja dekat lemari
arsip.
“Ouhh pak! Jangan kenceng-kenceng
Pak! Aaacchhh!!”
“Iya, tahan sebentar. Bapak lagi enak
banget nih! Inget, waktu kita nggak banyak sebelum pacarmu kembali lagi.
“Bapak sih nggak sabaran, kan udah
Ifa bilang besok aja.”
“Terus gimana dong, tanggung nih.”
“Ya udah lanjutin aja, buruan tapi!
Aaachhhh!”
Brengsek! Rupanya mereka sudah sering
melakukan hal gila seperti ini! Aku terperangah tak percaya, karena
sepengetahuanku Ifa bukanlah tipe wanita penggoda, apalagi dia sekarang sudah
mempunyai kekasih seganteng Deny. Kenapa pula dia harus berselingkuh dengan Pak
Yadi yang jika dilihat dari sisi manapun kalah jauh dengan Deny.
Sekali lagi aku tak bisa berpikir
jernih, ini sudah diluar jangkauan kemampuan otakku. Apalagi reaksi yang
diberikan Deny saat menyaksikan tubuh kekasihnya sedang dicumbu pria lain
begitu tenang, sama sekali tak ada raut kemarahan di wajahnya. Apakah dia juga
menikmati “pertunjukan” ini? Entahlah, aku bingung! Kegelisahanku makin menjadi
karena tubuhku dan Deny begitu dekat, saling berhimpit.
Bahkan tak jarang sikunya menyenggol
payudaraku. Ada semacam sensasi asing yang menyergapku, apalagi aroma badan
Deny bisa kucium dari jarak sedekat ini. Pria muda yang sering kubayangkan kini
berada dalam jangkauanku, bahkan kami bisa saling bersentuhan. Libidoku
tiba-tiba bergejolak, sekian lama tak disentuh oleh Mas Imran ternyata bisa
membawa dampak seperti ini.
Tubuhku diam terpaku, aku mencoba
berkoordinasi antara otak dan ragaku tapi nampaknya jalur sensorik di tubuhku
lebih merespon birahiku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkan diriku
dari semua ini, tapi malah sentuhan tangan Deny dan himpitan tubuhnya membuatku
semakin terbawa arus.
“Ouucchhhh! Pak sakiittt! Masuk semua
ya pak?” Desah Ifa
dari dalam ruang arsip.
“Iya masuk semua, sempit banget
memekmu…”
“Ssttt…Ouuchh..Pelanin Pak…Ssssstt….”
“Kenapa? Biasanya minta digenjot
kenceng kan?”
“Lebih enak pelan-pelan Pak, makin
berasa…Ouuchh!”
Percakapan cabul antara Pak Yadi
dengan Ifa makin membuat suasana jadi makin panas. Keduanya mahsyuk bercinta
sementara Aku dan Deny sibuk bersembunyi sambil sesekali mengintip persetubuhan
terlarang tersebut. Pak Yadi begitu lihai mengayuh pinggulnya maju mundur,
menyodokkan batang penisnya yang berukuran lumayan besar ke dalam vagina becek
Ifa. Desahan dan erangan silih berganti terdengar, tak jarang Ifa juga memekik
keras kala Pak Yadi menyodokkan alat kawinnya dengan sangat keras.
Tubuhku semakin terpaku dan sensitif
sejalan dengan permainan Ifa dan pak Yadi, dan sekarang aku tahu bukan aku saja
yang birahi melainkan Deny juga. Aku yakin karena selangkangannya tersa
mengeras saat bersentuhan dengan perutku. Jantungku berdebar makin kencang,
sekuat tenaga kuatur nafasku setenang mungkin berusaha menyembunyikan birahiku
yang ikut meninggi akibat melihat adegan cabul antara Pak Yadi dan Ifa.
“Sssstt…Ouuucchhhh..Pak…Aaacchgh!”
“Kenapa? Enak ya kontolku?”
“I-Iya Pak! Kontolmu paling enak!
Aaachh!
Pak Yadi menarik paksa kepala Ifa
yang masih terbungkus hijab hingga membuatnya mendongak ke atas. Detik
berikutnya Pak Yadi tanpa ampun menyentakkan pinggulnya dengan sangat keras.
Aku yakin jika saat itu penisnya juga melesak makin dalam di rahim Ifa. Membayangkan
rasanya saja sudah membuat vaginaku terasa lembab.
“Bu Arum sange juga ya?” ucap Deny tepat
di samping telingaku.
“Eh? Ka-Kmu ngomong apa sih?” Aku sampai tergagap menjawab pertanyaan dari
Deny. Pria muda itu tersenyum.
“Nggak apa-apa kok Bu kalo ikutan
sange, itu artinya Bu Arum masih normal.”
“Apaan sih kamu?!”
Aku pura-pura sewot dan menarik
kepalaku dari celah pintu yang terbuka. Namun belum sampai seluruh tubuhku
bergerak ke bagian luar tembok ruang arsip, mendadak Deny merapatkan tubuhnya
yang kekar hingga membuat kami saling berhadapan begitu dekat. Sangat dekat.
Aku sampai bisa mencium aroma nafasnya yang entah kenapa mendadak jadi lebih
cepat. Kami bertatapan mata sekian detik, cukup intens dan tentu saja membuat
dadaku berdebar makin kencang.
“Jangan ditahan, lepasin aja sangenya
Bu…” Ujar Deny yang membuat seketika bulu kudukku meremang.
Belum sempat aku bereaksi, Deny
kembali membuat sebuah gerakan yang tiba-tiba. Kali ini dia membalik tubuhku
hingga aku membelakanginya. Tubuh bagian depanku menempel pada bagian luar
tembok. Aku ingin menoleh ke belakang, namun Deny lebih dulu menekan tubuhnya
hingga membuat selangkangannya langsung menempel ke bokongku.
Shit! Ini enak banget! Aku sudah lama
nggak merasakan hal semacam ini! Tapi sebagian kecil otak warasku merespon
tindakan Deny dengan sebuah pemberontakan. Aku wanita terhormat dan sudah
bersuami, tak sepatutnya diperlakukan seperti ini! Aku mencoba menggerakkan
tubuhku ke samping, sialnya tangan Deny lebih dulu menahanku. Alhasil tubuhku
tak bisa bergerak kemana-mana.
“Jangan dilawan Bu…Nikmati aja.”
“Brengsek! Lepasin aku!” Ancamku.
Mendengar itu bukannya membuat Deny
luluh, justru makin menjadi-jadi. Dia gerakkan pinggulnya naik turun, aku bisa
merasakan daging kenyal di selangkangannya makin mengeras meskipun masih
terbungkus kain celana. Dia menggesek pantatku dari belakang, menekan tubuhnya
cukup kuat lalu diiringi gerakan naik turun secara perlahan.
“Bu Arum mau teriak? Yakin mau
teriak…?” Suara Deny yang lirih dan tepat di sisi kiri telingaku makin
membuatku merinding. Vaginaku sudah tak lagi lembab namun kini sudah basah
kuyup.
“Ouucchhh! Terus Pak! Entotin Ifa
Pakk!”
“Aaacchh!!!”
Di dalam ruang arsip sepertinya
persetubuhan antara Pak Yadi dan Ifa makin menggila. Sementara aku di sini mulai
merasakan kegilaan dari kekasih Ifa. Aku masih mencoba untuk berontak namun
kini kedua tanganku dicengkram oleh Deny, pria muda itu kemudian menekan
tubuhku maik kuat sambil berusaha menciumi leherku drai belakang. Bukan hal
mudah baginya karena aku masih mengenakan hijab berukuran lebar.
“Deenn! Cukup! Aku nggak mau!”
Protesku, namun Deny terus melanjutkan aksi bejatnya.
“Silahkan kalo mau teriak, tapi apa
nanti kata orang kalo melihat kita berdua seperti ini? Atau jangan-jangan Ifa
dan Pak Yadi malah mengajak kita ke dalam ruang arsip?”
Pikiranku sudah buntu, ancaman Deny
membuatku tak bisa berpikir lebih jernih lagi. Apalagi di bawah sana, gesekan
selangkangan Deny membuat lembah vaginaku makin basah kuyup. Birahiku terpacu,
aku tak bisa lagi menahannya. Maka secara reflek aku justru menggerakkan
pinggul serta pantatku layaknya penari erotis. Deny seperti menyadari jika
respon tubuhku sama sekali bertolak belakang dengan ucapanku.
“Apa yang terjadi denganku ?”
“Apa aku menikmati perlakuan Deny ?”
“Ohh tidak, ini tidak boleh aku sudah
bersuami, tapi..”

Posting Komentar
0 Komentar