CERUK KENIKMATAN (SEASON 1)

 

GENRE : HIJAB EROTIC 
JUMLAH HALAMAN : 304 HALAMAN
HARGA: Rp 35.000

ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Setelah mematikan keran air, Farrah mengambil handuk dan mengeringkan setiap bagian tubuhnya dengan seksama. Tanpa busana, ia melangkah keluar dari kamar mandi. Udara dingin menyentuh kulitnya, tapi ia tak tergesa. Setiap langkahnya terukur, seperti menari dalam sunyi. Payudaranya yang berisi bergerak alami, mengikuti irama tubuhnya yang percaya diri.

Kini wanita cantik bertubuh sintal itu berdiri tegak di depan meja rias panjang, menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya perlahan menyusuri setiap lekuk tubuhnya sendiri.  Nafasnya bergetar pelan. Dalam diam, ia membayangkan tangan suaminya menyentuh kemaluannya yang sudah tercukur rapi, membangkitkan kehangatan yang sudah terlalu lama tertunda.

Pandangannya kemudian bergerak naik ke bagian perut, lalu berhenti di kedua payudaranya yang montok dan berukuran besar. Putingnya yang berwarna merah gelap ia amati sejenak.

"Kapan Mas Bambang pulang?" tanyanya dalam hati sebelum menghela napas panjang.

Hati Farrah merana, rindu belaian dan sentuhan sang suami. Meski lelaki itu kini lebih sering di sisi istri kedua, Farrah tetap menjaga tubuhnya. Tak sekalipun ada keinginan untuk mencari lelaki lain untuk memuskan hasratnya. Farrah yakin suatu hari nanti, suaminya akan kembali pulang.

Perlahan Farrah menuangkan krim pelembab ke telapak tangannya. Hangat menyebar di kulitnya saat dioleskan perlahan dari paha, pantat, hingga perutnya. Setiap usapan terasa seperti pengganti tangan sang suami yang dirindukan.

Untuk payudara, Farrah punya krim khusus, Farrah meyakini jika krim tersebut akan tetap menjaga keindahan bentuk bukit kembarnya meskipun usianya sudah tak lagi muda. Jemarinya memijat dengan gerakan memutar, memastikan setiap inci terolesi sempurna. Saat menyentuh puting, Farrah menarik napas dalam. Sentuhan itu mengingatkan pada sesuatu yang lama tak dirasakan.

Saat memijat, matanya terpejam. Ia membayangkan suaminya berdiri di belakangnya, tangan hangat Bambang meraba payudaranya sambil mencium lehernya. Lamunan itu membuat tangannya tanpa sadar bergerak ke selangkangan, jemarinya mulai mengelus klitorisnya dengan lembut. Saat menyentuh lubang vagina, ia merasakan sudah mulai basah. Keinginan untuk memasukkan jarinya pun muncul. Dengan napas berat, Farrah merebahkan diri di atas ranjang dan membuka lebar pahanya.

TRANG!

TRANG!

TRANG!

Suara pukulan di pagar besi rumahnya membuat Farrah kaget. Dengan alis berkerut, ia bergegas ke jendela dan mengintip melalui tirai. Di depan pintu, berdiri seorang pemuda tinggi tegap. Dari atas, Farrah bisa melihat tubuh pria muda itu yang nampak tegap dan atletis. Mengenakan kaus hitam ketat dan jeans biru, pemuda itu terlihat sangat gagah dan stylish. Tak hanya itu, wajahnya juga sangat tampan. Farrah tersenyum lebar.

 

***

 

Dengan cepat, Farrah mengambil bra ukuran D-cup dari lemari dan mengenakannya. Kemudian ia memakai kaos nilon hitam tipis yang memiliki garis leher V sangat rendah hingga memperlihatkan lekuk payudaranya yang dalam. Terakhir, ia mengenakan celana pendek putih tanpa memakai apapun di dalamnya.

Kini ia berdiri di depan cermin, membenahi rambutnya agar terlihat rapi. Ia menepuk-nepuk sedikit debu di pahanya yang putih mulus. Dengan cepat dia berjalan keluar dari kamarnya menuju pintu depan. Farrah membuka pintu lebar-lebar. Pemuda tampan itu melambaikan tangan kepadanya sambil tersenyum manis. Farrah membalas dengan senyum ceria dan segera berlari menuju pintu pagar.

Pemuda itu bernama Arjuna, dia adalah anak ketiga dari kakak perempuan Farrah. Arjuna satu bulan lalu baru saja diterima kerja di pusat kota, karena kebetulan kantor dan rumah Farrah tak begitu jauh, wanita cantik itu menawarkan pada kakak perempuannya agar Juna tinggal di rumahnya saja sampai pemuda itu mendapatkan tempat kos atau kontrakan yang lebih layak.

“Ibumu tadi bilang kamu datang jam 2 siang, kenapa kamu malah udah nyampek jam segini?” Ujar Farrah sambil membuka gembok pintu pagar.

“Loh, ayah nggak ngasih taau tante ya kalo aku berangkat lebih awal”

Juna tak bisa menjaga pandangan matanya dari payudara Farrah yang berukuran sangat besar. Juna sama sekali tak menduga jika saat berada di rumah, Farrah akan mengenakan pakaian yang “sangat” terbuka, mengingat saat bersama keluarga besar, Farrah selalu tampil tertutup dengan hijab berukuran lebar.

“Iya kah? Duh, HP Tante pasti mati, lupa nge-charge. Eh, cepetan masuk Jun. Panas nih.” ujar Farrah sambil membuka tangannya untuk memeluk keponakan kesayangannya itu.

“Terima kasih. Tante sehat?” tanya Juna sambil memeluk tantenya erat. Aroma wangi tubuh Farrah tercium jelas oleh pemuda tampan itu.

“Tante sehat, Alhamdulillah. Ayo masuk.”

“Oi, Farrah!”

Farrah dan Juna langsung menoleh ke kiri secara bersamaan. Terlihat Naura, tetangga sebelah rumah Farrah, menyeringai sambil melambaikan tangan ke arah mereka.

“Jun, kenalin nih, tetangga favoritku. Namanya Naura.”

“Udah kenal kok, tadi sempat ketuk pintu rumahnya, aku kira itu rumah Tante Farrah.” jawab Juna sambil melambaikan tangan ke arah Naura.

“Oh ya? Oke deh, kamu masuk duluan ya, Tante mau ngobrol sebentar.” balas Farrah.

“Oke.” jawab Juna singkat, lalu menarik koper besarnya masuk ke dalam rumah.

“Eh keponakanmu ganteng banget. Badannya berotot pula.” bisik Naura pelan sambil nyengir. Janda satu anak itu senyum-senyum sendiri seperti orang yang baru dapat undian berhadiah. Farrah membelalakkan matanya dan mendekat ke dinding pemisah rumah mereka.

“Ih, kamu ini, dia keponakanku yang pernah aku ceritain waktu dulu. Yang dari Jawa.”

“Iya, aku tahu. Kamu kan pernah cerita waktu itu. Kalau seganteng ini, nggak usah cari tempat tinggal lain deh. Suruh aja tinggal di sini selamanya. Nanti aku pinjam semalam aja, boleh nggak?”

“Ih, kamu ini nggak ada habisnya ya godain orang?”

“Ah, kayak kamu sendiri nggak pernah genit aja. Jangan-jangan malam ini malah kamu yang duluan deketin dia.” kata Naura sambil tertawa kecil. Farrah kembali membelalakkan matanya. Baginya, itu sama sekali tidak lucu.

"Nggak mungkin! Juna kan keponakanku, aku nggak akan tega ngentot sama keponakan sendiri!”

"Oh, cuma keponakan, bukan anak kandung. Kamu kan masih bisa main-main. Aku yakin pasti enak kalau dientot sama Juna.”

"Ish! Mulutmu Naura! Gini ya kalau udah lama nggak ngrasain kontol?" kata Farrah sambil tertawa. Dia tahu tetangganya itu cuma bercanda.

"Tentu saja. Eh, besok pagi kamu jadi ke rumahku kan?" tanya Naura lagi.

"Aku ke sana jam 11. Nanti aku whatsapp. Bye!”

Tanpa menunggu balasan dari tetangganya, Farrah berbalik dan melangkah cepat masuk ke dalam rumahnya. Juna sudah duduk dengan nyaman di sofa menghadap TV yang belum dinyalakan. Setelah menutup pintu, Farrah duduk di sebelah Juna.

“Maaf ya, Jun. Tetangga sebelah itu agak cerewet sedikit.”

“Oh, nggak apa-apa kok. Malah bagus punya tetangga kayak gitu. Jadi rame. Tante juga nggak terlalu kesepian kan? Ada teman ngobrol.”

“Iya juga, kalau nggak ada dia, ya TV jadi sahabat baik Tante. Eh, kenapa nggak nyalain TV?” tanya Farrah saat menyadari Juna sedang menatap TV yang belum menyala.

“Eh, sungkan lah Tante, Juna baru aja sampai, masa udah langsung pegang-pegang barang Tante?”

"Lah, kok jadi malu-malu gini sih? Ini kan rumah Tante. Lagian kamu kan mau tinggal di sini lama. Anggap aja rumah ini kayak rumahmu sendiri. Mau pegang apa aja bebas. Mau pegang Tante juga boleh lho..."

Kalimat terakhir Farrah membuat Juna terdiam sejenak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PART 2

 

“Pegang bagian mana nih Tante?” tanya Juna seraya melirik paha Farrah yang putih mulus.

“Pegang kepala, bahu gitu. Kadang-kadang kepala Tante suka pusing, bahu juga pegal-pegal. Juna bisa bantu pijitin sedikit, kan? Dulu waktu Om Bambang masih sering pulang, dia yang biasa mijitin. Kalau Om mu itu pulang, tugasku hanya terlentang di atas ranjang sambil telanjang, dia yang bakal mijitin tante sampai puas.”

Seketika Juna menelan ludahnya sendiri karena membayangkan tubuh tantenya yang telanjang di ranjang, telentang.

“Oh, boleh kok, Tante. Mau dipijitin, diurut, atau aku bantuin nyari kutu juga boleh!” kata Juna sambil tertawa spontan. Farrah langsung membalikkan badan dan mencubit dada Juna.

“Ih! Jadi maksudmu rambut Tante ada kutunya, gitu?!” serunya setengah kesal.

“Aduh! Bercanda kok, Tante.” kata Juna sambil mengusap dadanya. Matanya menangkap puting payudara Farrah. Namun, ia segera mengalihkan pandangan, takut ketahuan.

“Wah, udah tiga tahun nggak ketemu, makin usil aja ya kamu. Dada juga sekarang keras banget, kayak batu.” kata Farrah sambil melirik keponakannya itu.

“Bercanda dikit aja kok, Tante nggak marah kan? Dari dulu juga Tante orangnya asyik. Makanya selalu kelihatan muda.”

“Iya kah, muda? Padahal Tante udah 37 lho. Nggak lama lagi masuk usia 40-an. Tua!”

“Ah, yang penting wajah Tante tetap kelihatan ceria dan cantik.”

Farrah kembali melirik Juna, tapi kali ini dengan tatapan lebih lembut dari sebelumnya. Hatinya sedikit berbunga mendengar pujian itu, apalagi datang dari keponakannya yang tampan.

“Percuma cantik kalau nggak bisa punya anak. Sampai-sampai Om Bambang cari istri baru, cuma buat dapat anak.” Farrah memeluk tubuhnya sendiri dan bersandar di punggung sofa. Wajahnya tampak murung.

“Hmm... tapi kata Ibu, Tante sendiri yang merestui Om Bambang menikah lagi, ya?”

“Iya lah, mau bagaimana lagi. Tante nggak mau egois. Dokter sudah pastikan Tante nggak bisa punya anak. Jadi Tante izinkan Om Bambang nikah lagi. Udah hampir setahun dia tinggal sama istri barunya, nggak tahu deh udah hamil atau belum, nggak ada kabar.”

“Wah, lumayan lama juga dia di sana. Tante nggak takut tinggal sendirian di sini?”

“Nggak, udah biasa. Cuma ya, kadang-kadang sepi aja. Makanya si Naura itu jadi sahabat dekat Tante. Kadang dia nginep di sini, kadang Tante yang nginep di rumah dia. Dia itu janda satu anak. Kapan aja bisa nikah lagi, tapi nggak juga. Kadang anak perempuannya nginep di sini juga.”

“Oh, anaknya sekarang tinggal di mana?”

“Tinggal sama teman-temannya, ngekos di deket kampusnya. Maklum, anak gadis. Lagi senang-senangnya pengen bebas.” Tiba-tiba perut Farrah berbunyi karena lapar.

“Eh, kamu lapar nggak, Jun?”

“Lapar juga sih. Tadi cuma sempat makan roti.”

“Oke, Tante sebenarnya mau masak sebelum kamu datang. Tapi nggak tahu kamu datang lebih awal. Yuk, Tante tunjukin kamarnya dulu. Kamu beresin barang dulu, nanti Tante masakin.”

“Oke, ayo.”

Farrah berdiri cepat dan berjalan menuju kamar tidur tamu tak jauh dari ruang tamu. Sementara itu, Juna sempat menatap pinggul serta pantat Farrah yang bahenol, begitu menggoda selera saat berjalan perlahan menuju kamar.

“Jun, tolong rapikan baju kamu di lemari, ya. Kalau bisa jangan berantakin kamar ini. Baju kotor taruh aja di keranjang di dapur, nanti Tante cuciin. Kalau ada yang kotor, tolong bersihin sendiri, ya.”

“Oke, makasih Tante. Juna mau tanya, kalau di rumah ini aku cuma pakai celana pendek aja, boleh nggak? Soalnya Ibu bilang nggak boleh, harus jaga sopan santun.”

Farrah tertawa kecil. Dia sangat paham dengan sikap kakaknya itu, terkesan alim, tapi kalau sudah birahi, setan pun bisa kalah.

“Ah, ibumu itu. Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Dulu waktu Tante ke rumah kalian nggak pakai jilbab aja langsung ngomel seharian. Kalau kamu mau pakai celana pendek ya nggak apa-apa. Nih lihat, Tante juga pakai celana pendek juga kan? Panas banget sih di sini. Gerah kalau harus pakai celana panjang di rumah. Tante sering kok hanya pakai celana dalam saja, bahkan sering telanjang kalo di dalem rumah.”

Darah muda Juna mendidih. Ia membayangkan tubuh molek sang tante dalam keadaan telanjang, berjalan di sekitar rumah tanpa perasaan malu sedikitpun.

“Aduh, nyesel deh nggak datang dari tadi. Kita kan bisa selfie bareng,” kata Juna sambil tertawa. Sekali lagi, Farrah mencubit dada Juna.

“Ih kamu ini. Udah gede masih suka usil, ya.”

“Aww! Oke! Oke! Maaf!”

“Tapi ya sudahlah, Tante nggak masalah kok. Kita ini kan masih saudara. Lagian masa sih Juna mau sama perempuan tua kayak Tante? Bener nggak?”

Juna cuma mengangguk, tapi pikirannya kembali membayangkan tubuh Farrah yang telanjang. Matanya spontan tertuju pada payudara besar tantenya. Tapi secepat kilat, ia mengalihkan pandangannya.

“Eh, lihat apa sih? Udah deh, Tante mau masak dulu. Kamu beresin aja dulu barang-barangmu. Nanti kalau makanannya udah siap, Tante panggil, ya.”

“Okeee, Tante.” jawab Juna sambil nyengir.

Kemudian pemuda itu membalikkan badannya dan mulai membereskan barang-barang dari dalam koper. Sesaat Farrah berbalik badan dan menatap punggung Juna. Senyum nakal muncul di bibirnya.

 

***

Keesokan harinya...

Aroma lezat nasi goreng memenuhi seluruh dapur. Farrah tersenyum puas melihat hasil masakannya. Ia melirik ke arah jam dinding.

“Eh, udah jam 10 pagi? Ke mana si Juna? Masih belum bangun juga?” gumamnya dalam hati. Ia mengelap tangannya di celemek, lalu melangkah pelan ke arah kamar tamu tempat Juna tidur.

“Kalau dibiarin, sampai Dzuhur pun belum tentu bangun.” katanya sambil terkekeh kecil.

Dia berjalan keluar dari dapur menuju kamar keponakannya dan menyadari pintu kamar itu tidak tertutup rapat. Dengan pelan, dia mendorong pintu sedikit dan mengintip ke dalam. Betapa terkejutnya Farrah saat melihat Juna berbaring telentang di ranjang, tanpa busana.

TELANJANG BULAT!

Farrah berdiri mematung di depan pintu, terpana saat melihat kontol Juna yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri. Besar dan panjang. Dia pikir, Juna hanya ingin bercanda dengannya, tetapi ketika dia mendengar suara dengkuran pemuda itu, dia pun berubah pikiran.

Dia mempertimbangkan apakah akan diam saja, menutup pintu, dan kembali ke dapur, atau memanggil nama Juna untuk membangunkan keponakannya itu. Namun dia mulai berjalan perlahan menuju tempat tidur Juna. Takut kalau pemuda itu terbangun. Seketika, jantungnya berdebar kencang.

Pandangannya tertuju pada kontol keras Juna. Semakin dekat, semakin menggairahkan, semakin cepat jantungnya berdetak. Tak sehelai rambut pun terlihat di selangkangan pemuda itu, semuanya tercukur rapi. Dari buah zakarnya hingga batangnya yang berurat semuanya begitu terawat, panjangnya bahkan hampir mencapai pusar. Ingin mengikuti kata hati, Farrah ingin menyentuh batang keponakannya itu, ia membayangkan bagaimana kalo kontol Juna menyesaki liangnya.

"Tante…?"

Farrah tersentak saat mendengar panggilan setengah sadar dari Juna. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya dari batang kontol Juna yang besar.

“Udah jam 10 nih. Cepat mandi. Tante udah masak nasi goreng. Tante tunggu di dapur ya.”

Tanpa menunggu jawaban apa pun, Farrah buru-buru berjalan keluar dari kamar Juna. Ia sempat menoleh ke belakang untuk melihat kontol Juna sekali lagi. Juna mengusap wajah dan matanya untuk menghilangkan rasa kantuk. Dia bangkit dan duduk tegak di tepi tempat tidur. Dari situ, dia sadar bahwa dia sedang telanjang bulat. Seketika dia menepuk jidatnya, menyesali kecerobohannya semalam yang melepas seluruh pakaian karena merasa gerah di dalam kamar.

Farrah menyandarkan punggungnya di kursi makan di dapur. Jantungnya berdegup kencang. Entah mengapa, kontol besar Juna membangkitkan nafsu birahinya. Nafsu birahi yang sudah hampir setahun ia pendam. Namun, ia berkata dalam hati bahwa ia masih istri orang lain dan Juna adalah keponakannya. Tidaklah salah baginya untuk menyentuh, membelai, dan menghisap...

“Maaf ya, Tante, aku mandi dulu. Lima menit aja.”

Farrah kembali tersentak, kali ini dari lamunannya sendiri. Ia menengadah dan melihat Juna berjalan cepat menuju kamar mandi yang terletak di ujung dapur. Pemuda itu hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang, sementara bagian atas tubuhnya mengenakan singlet yang biasa dipakainya saat pergi ke gym. Farrah membayangkan kontol besar yang tersembunyi di balik handuk itu. Kalau mau menuruti kata hatinya, ia tinggal menarik handuk itu.

“Nggak! Nggak! Juna keponakanku! Aku nggak boleh bertingkah gila dengannya!” Farrah berusaha keras mengusir pikiran-pikiran nakal yang menyerangnya bertubi-tubi.

Lima menit kemudian, seperti yang dijanjikan, Juna sudah duduk di meja makan, berhadapan langsung dengan Farrah.

“Wah, beneran lima menit. Mandi kilat rupanya. Emang bersih?” Ujar Farrah sambil menyendokkan nasi goreng ke piring.

“Bersih lah. Lima menit cukup kok buat sabunin seluruh badan. Nih, ketiak Juna sampai wangi banget!” jawab Juna sambil mengangkat ketiaknya dan menciumnya sendiri.

“Iya deh bersih. Kalau Tante yang mandi, minimal dua puluh menit. Banyak bagian yang harus disabunin.”

Juna memandangi tubuh montok tantenya dari atas sampai bawah. Farrah hanya mengenakan celana pendek katun bermotif bunga dan singlet tali spaghetti merah. Sebagian besar paha montoknya terlihat jelas.

"Biasalah perempuan, tapi kalau aku yang memandikan Tante, satu jam pun tidak cukup. Banyak tempat yang  perlu dibersihkan." seloroh Juna sambil tertawa kecil.

Farrah memutar tubuhnya dan mengangkat sendok besar yang dipegangnya. Matanya membelalak, menatap Juna tajam.

“Apa yang kamu bilang tadi, Jun?” tanyanya dengan suara tegas. Sedikit nasi goreng tercecer di lantai.

“Bercanda! Bercanda! Tuh kan, nasinya jadi berantakan di lantai.” jawab Juna sambil tertawa kecil.

Tanpa menunggu lama, Juna mengambil tissu dari atas meja dan berjalan ke wastafel untuk membasahinya. Tapi sebelum dia sempat membuka keran, Farrah menyelinap di depannya dan mengambil tissu itu dari tangannya. Tak sengaja punggung Farrah yang bergesekkan langsung dengan selangkangan Juna.

“Sana makan dulu. Biar Tante aja yang bersihin.” Mata Juna tiba-tiba menangkap sesuatu.

“Tante, ada nasi di... hmm, di situ,” kata Juna sambil menunjuk ke arah yang sulit ditebak oleh Farrah.

“Hah? Di mana?” tanyanya sambil mencoba melihat ke arah yang dimaksud.

"Oh, tangan Tante sudah basah ini. Bisa tolong bersihkan?" Tanpa peringatan, Juna mengambil sebutir nasi yang jatuh di lekukan dada Farrah dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya.

"Wow! Tidak sayang jarimu ya?" tanya Farrah dengan nada setengah keras.

"Tadi kan tante suruh ambil. Jadi ya aku ambil aja." balas Juna seolah tidak bersalah.

"Lain kali kalau mau masuk ke mulut, ambil saja pakai mulut, tidak usah pakai jari. Nggak efisien." Mata Juna melotot mendengar balasan lembut dari tantenya.

"Okay tunggu ya, biar Juna ambilo nasi lebih banyak lagi terus taroh ke dada Tante, Juna makan langsung dari situ." Dengan cepat, Farrah mengambil air dan menyiramkan ke wajah Juna.

"Dasar nakal! Sudah pergi makan sana." Nada suaranya keras, tapi dia sempat tertawa saat melihat wajah Juna yang basah.

Juna juga ikut tertawa dan langsung kembali ke tempat duduknya. Ia sempat mengintip payudara Farrah saat wanita itu sedang membungkuk mengelap nasi di atas lantai. Tidak lama kemudian, Farrah pun duduk di depan meja makan dan mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

"Enak sekali nasi gorengnya tante." Farrah tersenyum mendengar pujian itu.

"Hmmm, terima kasih," jawabnya singkat sebelum menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Waktu Tante datang ke rumahku tiga tahun lalu, masakan Tante paling enak. Semua orang bilang begitu, sampai ibu jadi cemburu."

"Benarkah? Ibumu juga bilang begitu?" tanya Farrah.

"Yup!" Juna menyuap satu sendok besar nasi goreng ke mulutnya.

"Tante juga cemburu dengan ibumu dulu. Cemburu dengan tubuhnya. Mudah banget dapat keturunan. Sampai 4 anak lagi. Setelah itu, tubuhnya tetap saja langsing dan terawat." kata Farrah sambil menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Nggak usah jadi pikiran, tubuh Tante juga cukup... hmmm... seksi." kata Juna.

Tutur katanya lembut sebelum melirik ke payudara Farrah. Tak bisa dipungkiri, pakaian tantenya itu sedikit banyak menggoyahkan imannya.

"Seksi? Mana ada seksi? Gemuk kalo kayak tente gini." Farrah menyadari bahwa Juna telah melirik payudaranya untuk yang kedua kalinya.

"Seksi karena payudara Tante? Besar ya? Dari tadi kamu terus melihatnya kan?" tanya Farrah dengan tegas. Hampir saja nasi tersembur dari mulut Juna, membuat Farrah tertawa.

"Ti-Tidak sengaja Tante. Lagipula Tante juga pake pakaian seksi kayak gitu, gimana Juna nggak lihat?" Farrah menunduk dan melihat dadanya. Memang, bentuk kedua payudaranya jelas terpampang untuk santapan mata nakal keponakannya.

"Udara di sini panas sekali. Makanya tante pakai pakaian seperti ini biar lebih adem. Lihat saja kamu juga pakai celana pendek dan kaos gym. Dada kamu kan jelas kelihatan? Lagipula kamu kan keponakanku, nggak masalah to?" jawab Farrah sambil matanya tertuju pada lengan berotot Juna.

Juna hanya mengangguk sambil menyendok nasi goreng terakhir, berusaha keras tidak melirik payudara tantenya.

"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Payudaraku besar nggak?" Kali ini Juna tak bisa menahan diri. Dipandanginya payudara Farrah dengan jelas.

"Besar...Seingatku tiga tahun lalu belum sebesar itu?"

"Wah... Jadi sudah dari dulu kamu memperhatikan payudara tante ya?"

"Nggak sengaja lihat, beneran!" Farrah tersenyum lebar, begitu pula Juna.

"Dasar kamu! Jangan sampai suatu hari nggak sengaja pegang ya!" Dada Juna berdebar.

Apa mungkin?

"Tadi kan sudah nggak sengaja pegang. Tante nggak marah juga kan." Farrah membelalak, lalu mencubit lengan Juna.

"Aduh!" Juna mengusap lengannya sambil cemberut. Farrah tertawa melihat reaksinya.

"Dulu lenganmu empuk, enak dicubit. Sekarang keras begini malah sakitin jariku! Jangan gym mulu dong, nanti aku nggak bisa cubit lagi."

"Juna pengen punya badan bagus. Itulah sebabnya aku pergi ke gym setiap minggu."

"Sebenernya Tante juga ingin punya tubuh seksi seperti ibumu. Tante juga rajin berolahraga. Setelah itu, Tante rajin mengoleskan krim di payudara. Setiap sabtu dan minggu pagi Tante oleskan. Supaya lebih besar. Seperti punya ibumu." Juna mengangguk. Kini dia tidak merasa malu lagi untuk menatap payudara Farrah.

"Mmmm…Sepertinya krim itu bekerja dengan baik.”

Juna menjilat bibirnya. Mata Farrah terbelalak dan langsung mendorong wajah keponakannya itu. Kemudian mereka tertawa.

"Melihat payudara Tante sampai menjilat bibir kayak gitu? Kamu suka perempuan dengan payudara besar ya?" Juna mengalihkan pandangannya dan melihat wajah mulus Farrah dengan senyuman manis.

"Suka. Mana ada cowok yang nggak suka sama cewek tobrut?"

"Nanti kalo bisa carilah istri yang payudaranya besar biar kamu nggak lirik kanan kiri lagi kayak Om Bambang."

"Bukan cuma payudara besar, Tante. Aku mau punya istri yang lucu, pandai masak, dan cantik seperti Tante." Farrah menunduk dan tersenyum. Sekali lagi, hatinya berbunga-bunga mendengar pujian dari Juna.

"Eh, jadi waktu Juna datang kemarin Tante sedang…"

"Iya, aku sedang mengoleskan krim di payudara. Tiba-tiba kamu datang." potong Farrah sebelum Juna selesai berbicara seolah tau isi kepala pemuda itu.

Kontol Juna mulai mengeras. Dia membayangkan tantenya terbaring telentang di atas tempat tidur dalam keadaan telanjang, mengoleskan krim ke seluruh payudaranya.

"Kamu semalam tidur jam berapa? Udah siang kok masih tidur?”

“Nggak malam-malam banget kok, mungkin karena Juna kelelahan aja.”

"Maaf, tadi tante langsung masuk ke kamarmu.” Juna menatap Farrah, dia ingat bagaimana tadi terbangun dalam keadaan telanjang. Kesalahan bodoh di hari pertama saat tinggal bersama Farrah.

"Maaf ya tante, semalam udaranya panas banget. Itu sebabnya Juna tidur nggak pake apa-apa.”

"Iya nggak apa-apa. Tante mengerti. Tante juga kadang-kadang tidur pakai celana dalam saja kok, bahkan telanjang. Tapi lain kali tutup pintu kamarmu rapat-rapat ya."

Sekali lagi, Juna membayangkan Farrah berbaring telentang di tempat tidur tanpa pakaian. Kontolnya sudah mengeras sepenuhnya. Pemuda itu ingin melangkah lebih jauh lagi untuk memuaskan rasa penasarannya.

"Hmmm…Menurut tante, kontol Juna gede nggak?" Dahi Farrah berkerut mendengar pertanyaan Juna itu.

"Kenapa sih tanya Tante begitu? Ada-ada aja kamu ini?" Juna menunduk malu. Dia tak menyangka pertanyaan seperti itu akan melampaui batas dan membuat Farrah tersinggung.

"Maaf... maaf. Jangan marah ya, Tante." Farrah mengulurkan tangannya dan mengusap tangan Juna yang berotot itu.

"Tante nggak marah kok, asal Juna tau ya, kontolmu itu kecil." Juna terkejut mendengarnya. Farrah tertawa terbahak-bahak melihat reaksi keponakannya itu.

"Ha! Benarkah?" Juna terkejut saat mengajukan pertanyaan itu. Alat kelaminnya yang tadi keras tiba-tiba menjadi mengecil dengan sendirinya.

"Sudahlah. Tante mau pergi ke rumah sebelah.” Juna masih bengong di meja makan, harga dirinya terasa tercabik-cabik.

 





Posting Komentar

0 Komentar