CERUK KENIKMATAN (SEASON 1)
PART 1
Setelah mematikan keran air, Farrah
mengambil handuk dan mengeringkan setiap bagian tubuhnya dengan seksama. Tanpa
busana, ia melangkah keluar dari kamar mandi. Udara dingin menyentuh kulitnya,
tapi ia tak tergesa. Setiap langkahnya terukur, seperti menari dalam sunyi.
Payudaranya yang berisi bergerak alami, mengikuti irama tubuhnya yang percaya
diri.
Kini wanita cantik bertubuh sintal
itu berdiri tegak di depan meja rias panjang, menatap pantulan dirinya di
cermin. Matanya perlahan menyusuri setiap lekuk tubuhnya sendiri. Nafasnya bergetar pelan. Dalam diam, ia
membayangkan tangan suaminya menyentuh kemaluannya yang sudah tercukur rapi,
membangkitkan kehangatan yang sudah terlalu lama tertunda.
Pandangannya kemudian bergerak naik
ke bagian perut, lalu berhenti di kedua payudaranya yang montok dan berukuran
besar. Putingnya yang berwarna merah gelap ia amati sejenak.
"Kapan Mas Bambang pulang?" tanyanya dalam hati sebelum menghela
napas panjang.
Hati Farrah merana, rindu belaian dan
sentuhan sang suami. Meski lelaki itu kini lebih sering di sisi istri kedua,
Farrah tetap menjaga tubuhnya. Tak sekalipun ada keinginan untuk mencari lelaki
lain untuk memuskan hasratnya. Farrah yakin suatu hari nanti, suaminya akan
kembali pulang.
Perlahan Farrah menuangkan krim
pelembab ke telapak tangannya. Hangat menyebar di kulitnya saat dioleskan
perlahan dari paha, pantat, hingga perutnya. Setiap usapan terasa seperti
pengganti tangan sang suami yang dirindukan.
Untuk payudara, Farrah punya krim
khusus, Farrah meyakini jika krim tersebut akan tetap menjaga keindahan bentuk
bukit kembarnya meskipun usianya sudah tak lagi muda. Jemarinya memijat dengan
gerakan memutar, memastikan setiap inci terolesi sempurna. Saat menyentuh
puting, Farrah menarik napas dalam. Sentuhan itu mengingatkan pada sesuatu yang
lama tak dirasakan.
Saat memijat, matanya terpejam. Ia
membayangkan suaminya berdiri di belakangnya, tangan hangat Bambang meraba
payudaranya sambil mencium lehernya. Lamunan itu membuat tangannya tanpa sadar
bergerak ke selangkangan, jemarinya mulai mengelus klitorisnya dengan lembut.
Saat menyentuh lubang vagina, ia merasakan sudah mulai basah. Keinginan untuk
memasukkan jarinya pun muncul. Dengan napas berat, Farrah merebahkan diri di
atas ranjang dan membuka lebar pahanya.
TRANG!
TRANG!
TRANG!
Suara pukulan di pagar besi rumahnya
membuat Farrah kaget. Dengan alis berkerut, ia bergegas ke jendela dan
mengintip melalui tirai. Di depan pintu, berdiri seorang pemuda tinggi tegap.
Dari atas, Farrah bisa melihat tubuh pria muda itu yang nampak tegap dan
atletis. Mengenakan kaus hitam ketat dan jeans biru, pemuda itu terlihat sangat
gagah dan stylish. Tak hanya itu, wajahnya juga sangat tampan. Farrah
tersenyum lebar.
***
Dengan cepat, Farrah mengambil bra
ukuran D-cup dari lemari dan mengenakannya. Kemudian ia memakai kaos nilon
hitam tipis yang memiliki garis leher V sangat rendah hingga memperlihatkan
lekuk payudaranya yang dalam. Terakhir, ia mengenakan celana pendek putih tanpa
memakai apapun di dalamnya.
Kini ia berdiri di depan cermin, membenahi
rambutnya agar terlihat rapi. Ia menepuk-nepuk sedikit debu di pahanya yang
putih mulus. Dengan cepat dia berjalan keluar dari kamarnya menuju pintu depan.
Farrah membuka pintu lebar-lebar. Pemuda tampan itu melambaikan tangan
kepadanya sambil tersenyum manis. Farrah membalas dengan senyum ceria dan
segera berlari menuju pintu pagar.
Pemuda itu bernama Arjuna, dia adalah
anak ketiga dari kakak perempuan Farrah. Arjuna satu bulan lalu baru saja
diterima kerja di pusat kota, karena kebetulan kantor dan rumah Farrah tak
begitu jauh, wanita cantik itu menawarkan pada kakak perempuannya agar Juna
tinggal di rumahnya saja sampai pemuda itu mendapatkan tempat kos atau
kontrakan yang lebih layak.
“Ibumu tadi bilang kamu datang jam 2
siang, kenapa kamu malah udah nyampek jam segini?” Ujar Farrah sambil membuka
gembok pintu pagar.
“Loh, ayah nggak ngasih taau tante ya
kalo aku berangkat lebih awal”
Juna tak bisa menjaga pandangan
matanya dari payudara Farrah yang berukuran sangat besar. Juna sama sekali tak
menduga jika saat berada di rumah, Farrah akan mengenakan pakaian yang “sangat”
terbuka, mengingat saat bersama keluarga besar, Farrah selalu tampil tertutup
dengan hijab berukuran lebar.
“Iya kah? Duh, HP Tante pasti mati,
lupa nge-charge. Eh, cepetan masuk Jun. Panas nih.” ujar Farrah sambil membuka
tangannya untuk memeluk keponakan kesayangannya itu.
“Terima kasih. Tante sehat?” tanya Juna
sambil memeluk tantenya erat. Aroma wangi tubuh Farrah tercium jelas oleh
pemuda tampan itu.
“Tante sehat, Alhamdulillah. Ayo
masuk.”
“Oi, Farrah!”
Farrah dan Juna langsung menoleh ke
kiri secara bersamaan. Terlihat Naura, tetangga sebelah rumah Farrah,
menyeringai sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
“Jun, kenalin nih, tetangga
favoritku. Namanya Naura.”
“Udah kenal kok, tadi sempat ketuk
pintu rumahnya, aku kira itu rumah Tante Farrah.” jawab Juna sambil melambaikan
tangan ke arah Naura.
“Oh ya? Oke deh, kamu masuk duluan
ya, Tante mau ngobrol sebentar.” balas Farrah.
“Oke.” jawab Juna singkat, lalu
menarik koper besarnya masuk ke dalam rumah.
“Eh keponakanmu ganteng banget.
Badannya berotot pula.” bisik Naura pelan sambil nyengir. Janda satu anak itu
senyum-senyum sendiri seperti orang yang baru dapat undian berhadiah. Farrah
membelalakkan matanya dan mendekat ke dinding pemisah rumah mereka.
“Ih, kamu ini, dia keponakanku yang
pernah aku ceritain waktu dulu. Yang dari Jawa.”
“Iya, aku tahu. Kamu kan pernah
cerita waktu itu. Kalau seganteng ini, nggak usah cari tempat tinggal lain deh.
Suruh aja tinggal di sini selamanya. Nanti aku pinjam semalam aja, boleh
nggak?”
“Ih, kamu ini nggak ada habisnya ya
godain orang?”
“Ah, kayak kamu sendiri nggak pernah
genit aja. Jangan-jangan malam ini malah kamu yang duluan deketin dia.” kata Naura
sambil tertawa kecil. Farrah kembali membelalakkan matanya. Baginya, itu sama
sekali tidak lucu.
"Nggak mungkin! Juna kan keponakanku,
aku nggak akan tega ngentot sama keponakan sendiri!”
"Oh, cuma keponakan, bukan anak
kandung. Kamu kan masih bisa main-main. Aku yakin pasti enak kalau dientot sama
Juna.”
"Ish! Mulutmu Naura! Gini ya
kalau udah lama nggak ngrasain kontol?" kata Farrah sambil tertawa. Dia
tahu tetangganya itu cuma bercanda.
"Tentu saja. Eh, besok pagi kamu
jadi ke rumahku kan?" tanya Naura lagi.
"Aku ke sana jam 11. Nanti aku
whatsapp. Bye!”
Tanpa menunggu balasan dari
tetangganya, Farrah berbalik dan melangkah cepat masuk ke dalam rumahnya. Juna
sudah duduk dengan nyaman di sofa menghadap TV yang belum dinyalakan. Setelah
menutup pintu, Farrah duduk di sebelah Juna.
“Maaf ya, Jun. Tetangga sebelah itu
agak cerewet sedikit.”
“Oh, nggak apa-apa kok. Malah bagus
punya tetangga kayak gitu. Jadi rame. Tante juga nggak terlalu kesepian kan?
Ada teman ngobrol.”
“Iya juga, kalau nggak ada dia, ya TV
jadi sahabat baik Tante. Eh, kenapa nggak nyalain TV?” tanya Farrah saat
menyadari Juna sedang menatap TV yang belum menyala.
“Eh, sungkan lah Tante, Juna baru aja
sampai, masa udah langsung pegang-pegang barang Tante?”
"Lah, kok jadi malu-malu gini
sih? Ini kan rumah Tante. Lagian kamu kan mau tinggal di sini lama. Anggap aja
rumah ini kayak rumahmu sendiri. Mau pegang apa aja bebas. Mau pegang Tante
juga boleh lho..."
Kalimat terakhir Farrah membuat Juna
terdiam sejenak.
PART 2
“Pegang bagian mana nih Tante?” tanya
Juna seraya melirik paha Farrah yang putih mulus.
“Pegang kepala, bahu gitu.
Kadang-kadang kepala Tante suka pusing, bahu juga pegal-pegal. Juna bisa bantu
pijitin sedikit, kan? Dulu waktu Om Bambang masih sering pulang, dia yang biasa
mijitin. Kalau Om mu itu pulang, tugasku hanya terlentang di atas ranjang
sambil telanjang, dia yang bakal mijitin tante sampai puas.”
Seketika Juna menelan ludahnya
sendiri karena membayangkan tubuh tantenya yang telanjang di ranjang,
telentang.
“Oh, boleh kok, Tante. Mau dipijitin,
diurut, atau aku bantuin nyari kutu juga boleh!” kata Juna sambil tertawa
spontan. Farrah langsung membalikkan badan dan mencubit dada Juna.
“Ih! Jadi maksudmu rambut Tante ada
kutunya, gitu?!” serunya setengah kesal.
“Aduh! Bercanda kok, Tante.” kata Juna
sambil mengusap dadanya. Matanya menangkap puting payudara Farrah. Namun, ia
segera mengalihkan pandangan, takut ketahuan.
“Wah, udah tiga tahun nggak ketemu,
makin usil aja ya kamu. Dada juga sekarang keras banget, kayak batu.” kata Farrah
sambil melirik keponakannya itu.
“Bercanda dikit aja kok, Tante nggak
marah kan? Dari dulu juga Tante orangnya asyik. Makanya selalu kelihatan muda.”
“Iya kah, muda? Padahal Tante udah 37
lho. Nggak lama lagi masuk usia 40-an. Tua!”
“Ah, yang penting wajah Tante tetap
kelihatan ceria dan cantik.”
Farrah kembali melirik Juna, tapi
kali ini dengan tatapan lebih lembut dari sebelumnya. Hatinya sedikit berbunga
mendengar pujian itu, apalagi datang dari keponakannya yang tampan.
“Percuma cantik kalau nggak bisa
punya anak. Sampai-sampai Om Bambang cari istri baru, cuma buat dapat anak.” Farrah
memeluk tubuhnya sendiri dan bersandar di punggung sofa. Wajahnya tampak
murung.
“Hmm... tapi kata Ibu, Tante sendiri
yang merestui Om Bambang menikah lagi, ya?”
“Iya lah, mau bagaimana lagi. Tante
nggak mau egois. Dokter sudah pastikan Tante nggak bisa punya anak. Jadi Tante
izinkan Om Bambang nikah lagi. Udah hampir setahun dia tinggal sama istri
barunya, nggak tahu deh udah hamil atau belum, nggak ada kabar.”
“Wah, lumayan lama juga dia di sana. Tante
nggak takut tinggal sendirian di sini?”
“Nggak, udah biasa. Cuma ya,
kadang-kadang sepi aja. Makanya si Naura itu jadi sahabat dekat Tante. Kadang
dia nginep di sini, kadang Tante yang nginep di rumah dia. Dia itu janda satu
anak. Kapan aja bisa nikah lagi, tapi nggak juga. Kadang anak perempuannya
nginep di sini juga.”
“Oh, anaknya sekarang tinggal di
mana?”
“Tinggal sama teman-temannya, ngekos
di deket kampusnya. Maklum, anak gadis. Lagi senang-senangnya pengen bebas.” Tiba-tiba
perut Farrah berbunyi karena lapar.
“Eh, kamu lapar nggak, Jun?”
“Lapar juga sih. Tadi cuma sempat
makan roti.”
“Oke, Tante sebenarnya mau masak
sebelum kamu datang. Tapi nggak tahu kamu datang lebih awal. Yuk, Tante
tunjukin kamarnya dulu. Kamu beresin barang dulu, nanti Tante masakin.”
“Oke, ayo.”
Farrah berdiri cepat dan berjalan
menuju kamar tidur tamu tak jauh dari ruang tamu. Sementara itu, Juna sempat
menatap pinggul serta pantat Farrah yang bahenol, begitu menggoda selera saat berjalan
perlahan menuju kamar.
“Jun, tolong rapikan baju kamu di
lemari, ya. Kalau bisa jangan berantakin kamar ini. Baju kotor taruh aja di
keranjang di dapur, nanti Tante cuciin. Kalau ada yang kotor, tolong bersihin
sendiri, ya.”
“Oke, makasih Tante. Juna mau tanya,
kalau di rumah ini aku cuma pakai celana pendek aja, boleh nggak? Soalnya Ibu
bilang nggak boleh, harus jaga sopan santun.”
Farrah tertawa kecil. Dia sangat
paham dengan sikap kakaknya itu, terkesan alim, tapi kalau sudah birahi, setan
pun bisa kalah.
“Ah, ibumu itu. Ini nggak boleh, itu
nggak boleh. Dulu waktu Tante ke rumah kalian nggak pakai jilbab aja langsung
ngomel seharian. Kalau kamu mau pakai celana pendek ya nggak apa-apa. Nih
lihat, Tante juga pakai celana pendek juga kan? Panas banget sih di sini. Gerah
kalau harus pakai celana panjang di rumah. Tante sering kok hanya pakai celana
dalam saja, bahkan sering telanjang kalo di dalem rumah.”
Darah muda Juna mendidih. Ia
membayangkan tubuh molek sang tante dalam keadaan telanjang, berjalan di
sekitar rumah tanpa perasaan malu sedikitpun.
“Aduh, nyesel deh nggak datang dari
tadi. Kita kan bisa selfie bareng,” kata Juna sambil tertawa. Sekali lagi, Farrah
mencubit dada Juna.
“Ih kamu ini. Udah gede masih suka
usil, ya.”
“Aww! Oke! Oke! Maaf!”
“Tapi ya sudahlah, Tante nggak
masalah kok. Kita ini kan masih saudara. Lagian masa sih Juna mau sama
perempuan tua kayak Tante? Bener nggak?”
Juna cuma mengangguk, tapi pikirannya
kembali membayangkan tubuh Farrah yang telanjang. Matanya spontan tertuju pada
payudara besar tantenya. Tapi secepat kilat, ia mengalihkan pandangannya.
“Eh, lihat apa sih? Udah deh, Tante
mau masak dulu. Kamu beresin aja dulu barang-barangmu. Nanti kalau makanannya
udah siap, Tante panggil, ya.”
“Okeee, Tante.” jawab Juna sambil
nyengir.
Kemudian pemuda itu membalikkan
badannya dan mulai membereskan barang-barang dari dalam koper. Sesaat Farrah berbalik
badan dan menatap punggung Juna. Senyum nakal muncul di bibirnya.
***
Keesokan harinya...
Aroma lezat nasi goreng memenuhi
seluruh dapur. Farrah tersenyum puas melihat hasil masakannya. Ia melirik ke
arah jam dinding.
“Eh, udah jam 10 pagi? Ke mana si Juna?
Masih belum bangun juga?” gumamnya dalam hati. Ia mengelap tangannya di celemek, lalu melangkah
pelan ke arah kamar tamu tempat Juna tidur.
“Kalau dibiarin, sampai Dzuhur pun
belum tentu bangun.” katanya sambil terkekeh kecil.
Dia berjalan keluar dari dapur menuju
kamar keponakannya dan menyadari pintu kamar itu tidak tertutup rapat. Dengan
pelan, dia mendorong pintu sedikit dan mengintip ke dalam. Betapa terkejutnya
Farrah saat melihat Juna berbaring telentang di ranjang, tanpa busana.
TELANJANG BULAT!
Farrah berdiri mematung di depan
pintu, terpana saat melihat kontol Juna yang terlihat jelas dari tempatnya
berdiri. Besar dan panjang. Dia pikir, Juna hanya ingin bercanda dengannya,
tetapi ketika dia mendengar suara dengkuran pemuda itu, dia pun berubah
pikiran.
Dia mempertimbangkan apakah akan diam
saja, menutup pintu, dan kembali ke dapur, atau memanggil nama Juna untuk
membangunkan keponakannya itu. Namun dia mulai berjalan perlahan menuju tempat
tidur Juna. Takut kalau pemuda itu terbangun. Seketika, jantungnya berdebar
kencang.
Pandangannya tertuju pada kontol
keras Juna. Semakin dekat, semakin menggairahkan, semakin cepat jantungnya
berdetak. Tak sehelai rambut pun terlihat di selangkangan pemuda itu, semuanya
tercukur rapi. Dari buah zakarnya hingga batangnya yang berurat semuanya begitu
terawat, panjangnya bahkan hampir mencapai pusar. Ingin mengikuti kata hati, Farrah
ingin menyentuh batang keponakannya itu, ia membayangkan bagaimana kalo kontol
Juna menyesaki liangnya.
"Tante…?"
Farrah tersentak saat mendengar
panggilan setengah sadar dari Juna. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya
dari batang kontol Juna yang besar.
“Udah jam 10 nih. Cepat mandi. Tante
udah masak nasi goreng. Tante tunggu di dapur ya.”
Tanpa menunggu jawaban apa pun, Farrah
buru-buru berjalan keluar dari kamar Juna. Ia sempat menoleh ke belakang untuk
melihat kontol Juna sekali lagi. Juna mengusap wajah dan matanya untuk
menghilangkan rasa kantuk. Dia bangkit dan duduk tegak di tepi tempat tidur.
Dari situ, dia sadar bahwa dia sedang telanjang bulat. Seketika dia menepuk
jidatnya, menyesali kecerobohannya semalam yang melepas seluruh pakaian karena
merasa gerah di dalam kamar.
Farrah menyandarkan punggungnya di
kursi makan di dapur. Jantungnya berdegup kencang. Entah mengapa, kontol besar Juna
membangkitkan nafsu birahinya. Nafsu birahi yang sudah hampir setahun ia
pendam. Namun, ia berkata dalam hati bahwa ia masih istri orang lain dan Juna
adalah keponakannya. Tidaklah salah baginya untuk menyentuh, membelai, dan
menghisap...
“Maaf ya, Tante, aku mandi dulu. Lima
menit aja.”
Farrah kembali tersentak, kali ini
dari lamunannya sendiri. Ia menengadah dan melihat Juna berjalan cepat menuju
kamar mandi yang terletak di ujung dapur. Pemuda itu hanya mengenakan handuk
yang melilit di pinggang, sementara bagian atas tubuhnya mengenakan singlet
yang biasa dipakainya saat pergi ke gym. Farrah membayangkan kontol besar yang
tersembunyi di balik handuk itu. Kalau mau menuruti kata hatinya, ia tinggal
menarik handuk itu.
“Nggak! Nggak! Juna keponakanku! Aku
nggak boleh bertingkah gila dengannya!” Farrah berusaha keras mengusir pikiran-pikiran nakal yang
menyerangnya bertubi-tubi.
Lima menit kemudian, seperti yang
dijanjikan, Juna sudah duduk di meja makan, berhadapan langsung dengan Farrah.
“Wah, beneran lima menit. Mandi kilat
rupanya. Emang bersih?” Ujar Farrah sambil menyendokkan nasi goreng ke piring.
“Bersih lah. Lima menit cukup kok
buat sabunin seluruh badan. Nih, ketiak Juna sampai wangi banget!” jawab Juna
sambil mengangkat ketiaknya dan menciumnya sendiri.
“Iya deh bersih. Kalau Tante yang
mandi, minimal dua puluh menit. Banyak bagian yang harus disabunin.”
Juna memandangi tubuh montok tantenya
dari atas sampai bawah. Farrah hanya mengenakan celana pendek katun bermotif
bunga dan singlet tali spaghetti merah. Sebagian besar paha montoknya terlihat
jelas.
"Biasalah perempuan, tapi kalau aku
yang memandikan Tante, satu jam pun tidak cukup. Banyak tempat yang perlu dibersihkan." seloroh Juna sambil
tertawa kecil.
Farrah memutar tubuhnya dan
mengangkat sendok besar yang dipegangnya. Matanya membelalak, menatap Juna
tajam.
“Apa yang kamu bilang tadi, Jun?”
tanyanya dengan suara tegas. Sedikit nasi goreng tercecer di lantai.
“Bercanda! Bercanda! Tuh kan, nasinya
jadi berantakan di lantai.” jawab Juna sambil tertawa kecil.
Tanpa menunggu lama, Juna mengambil
tissu dari atas meja dan berjalan ke wastafel untuk membasahinya. Tapi sebelum
dia sempat membuka keran, Farrah menyelinap di depannya dan mengambil tissu itu
dari tangannya. Tak sengaja punggung Farrah yang bergesekkan langsung dengan
selangkangan Juna.
“Sana makan dulu. Biar Tante aja yang
bersihin.” Mata Juna tiba-tiba menangkap sesuatu.
“Tante, ada nasi di... hmm, di situ,”
kata Juna sambil menunjuk ke arah yang sulit ditebak oleh Farrah.
“Hah? Di mana?” tanyanya sambil
mencoba melihat ke arah yang dimaksud.
"Oh, tangan Tante sudah basah
ini. Bisa tolong bersihkan?" Tanpa peringatan, Juna mengambil sebutir nasi
yang jatuh di lekukan dada Farrah dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Wow! Tidak sayang jarimu
ya?" tanya Farrah dengan nada setengah keras.
"Tadi kan tante suruh ambil.
Jadi ya aku ambil aja." balas Juna seolah tidak bersalah.
"Lain kali kalau mau masuk ke
mulut, ambil saja pakai mulut, tidak usah pakai jari. Nggak efisien." Mata
Juna melotot mendengar balasan lembut dari tantenya.
"Okay tunggu ya, biar Juna ambilo
nasi lebih banyak lagi terus taroh ke dada Tante, Juna makan langsung dari
situ." Dengan cepat, Farrah mengambil air dan menyiramkan ke wajah Juna.
"Dasar nakal! Sudah pergi makan
sana." Nada suaranya keras, tapi dia sempat tertawa saat melihat wajah Juna
yang basah.
Juna juga ikut tertawa dan langsung
kembali ke tempat duduknya. Ia sempat mengintip payudara Farrah saat wanita itu
sedang membungkuk mengelap nasi di atas lantai. Tidak lama kemudian, Farrah pun
duduk di depan meja makan dan mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
"Enak sekali nasi gorengnya
tante." Farrah tersenyum mendengar pujian itu.
"Hmmm, terima kasih,"
jawabnya singkat sebelum menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Waktu Tante datang ke rumahku tiga
tahun lalu, masakan Tante paling enak. Semua orang bilang begitu, sampai ibu
jadi cemburu."
"Benarkah? Ibumu juga bilang
begitu?" tanya Farrah.
"Yup!" Juna menyuap satu
sendok besar nasi goreng ke mulutnya.
"Tante juga cemburu dengan ibumu
dulu. Cemburu dengan tubuhnya. Mudah banget dapat keturunan. Sampai 4 anak
lagi. Setelah itu, tubuhnya tetap saja langsing dan terawat." kata Farrah
sambil menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Nggak usah jadi pikiran, tubuh Tante
juga cukup... hmmm... seksi." kata Juna.
Tutur katanya lembut sebelum melirik
ke payudara Farrah. Tak bisa dipungkiri, pakaian tantenya itu sedikit banyak
menggoyahkan imannya.
"Seksi? Mana ada seksi? Gemuk kalo
kayak tente gini." Farrah menyadari bahwa Juna telah melirik payudaranya
untuk yang kedua kalinya.
"Seksi karena payudara Tante?
Besar ya? Dari tadi kamu terus melihatnya kan?" tanya Farrah dengan tegas.
Hampir saja nasi tersembur dari mulut Juna, membuat Farrah tertawa.
"Ti-Tidak sengaja Tante. Lagipula
Tante juga pake pakaian seksi kayak gitu, gimana Juna nggak lihat?" Farrah
menunduk dan melihat dadanya. Memang, bentuk kedua payudaranya jelas terpampang
untuk santapan mata nakal keponakannya.
"Udara di sini panas sekali.
Makanya tante pakai pakaian seperti ini biar lebih adem. Lihat saja kamu juga
pakai celana pendek dan kaos gym. Dada kamu kan jelas kelihatan? Lagipula kamu
kan keponakanku, nggak masalah to?" jawab Farrah sambil matanya tertuju
pada lengan berotot Juna.
Juna hanya mengangguk sambil
menyendok nasi goreng terakhir, berusaha keras tidak melirik payudara tantenya.
"Kamu belum jawab pertanyaanku
tadi. Payudaraku besar nggak?" Kali ini Juna tak bisa menahan diri.
Dipandanginya payudara Farrah dengan jelas.
"Besar...Seingatku tiga tahun
lalu belum sebesar itu?"
"Wah... Jadi sudah dari dulu
kamu memperhatikan payudara tante ya?"
"Nggak sengaja lihat, beneran!"
Farrah tersenyum lebar, begitu pula Juna.
"Dasar kamu! Jangan sampai suatu
hari nggak sengaja pegang ya!" Dada Juna berdebar.
Apa mungkin?
"Tadi kan sudah nggak sengaja
pegang. Tante nggak marah juga kan." Farrah membelalak, lalu mencubit
lengan Juna.
"Aduh!" Juna mengusap
lengannya sambil cemberut. Farrah tertawa melihat reaksinya.
"Dulu lenganmu empuk, enak
dicubit. Sekarang keras begini malah sakitin jariku! Jangan gym mulu dong,
nanti aku nggak bisa cubit lagi."
"Juna pengen punya badan bagus.
Itulah sebabnya aku pergi ke gym setiap minggu."
"Sebenernya Tante juga ingin punya
tubuh seksi seperti ibumu. Tante juga rajin berolahraga. Setelah itu, Tante
rajin mengoleskan krim di payudara. Setiap sabtu dan minggu pagi Tante oleskan.
Supaya lebih besar. Seperti punya ibumu." Juna mengangguk. Kini dia tidak
merasa malu lagi untuk menatap payudara Farrah.
"Mmmm…Sepertinya krim itu
bekerja dengan baik.”
Juna menjilat bibirnya. Mata Farrah
terbelalak dan langsung mendorong wajah keponakannya itu. Kemudian mereka
tertawa.
"Melihat payudara Tante sampai
menjilat bibir kayak gitu? Kamu suka perempuan dengan payudara besar ya?" Juna
mengalihkan pandangannya dan melihat wajah mulus Farrah dengan senyuman manis.
"Suka. Mana ada cowok yang nggak
suka sama cewek tobrut?"
"Nanti kalo bisa carilah istri
yang payudaranya besar biar kamu nggak lirik kanan kiri lagi kayak Om Bambang."
"Bukan cuma payudara besar, Tante.
Aku mau punya istri yang lucu, pandai masak, dan cantik seperti Tante." Farrah
menunduk dan tersenyum. Sekali lagi, hatinya berbunga-bunga mendengar pujian
dari Juna.
"Eh, jadi waktu Juna datang
kemarin Tante sedang…"
"Iya, aku sedang mengoleskan
krim di payudara. Tiba-tiba kamu datang." potong Farrah sebelum Juna
selesai berbicara seolah tau isi kepala pemuda itu.
Kontol Juna mulai mengeras. Dia
membayangkan tantenya terbaring telentang di atas tempat tidur dalam keadaan
telanjang, mengoleskan krim ke seluruh payudaranya.
"Kamu semalam tidur jam berapa?
Udah siang kok masih tidur?”
“Nggak malam-malam banget kok,
mungkin karena Juna kelelahan aja.”
"Maaf, tadi tante langsung masuk
ke kamarmu.” Juna menatap Farrah, dia ingat bagaimana tadi terbangun dalam
keadaan telanjang. Kesalahan bodoh di hari pertama saat tinggal bersama Farrah.
"Maaf ya tante, semalam udaranya
panas banget. Itu sebabnya Juna tidur nggak pake apa-apa.”
"Iya nggak apa-apa. Tante
mengerti. Tante juga kadang-kadang tidur pakai celana dalam saja kok, bahkan
telanjang. Tapi lain kali tutup pintu kamarmu rapat-rapat ya."
Sekali lagi, Juna membayangkan Farrah
berbaring telentang di tempat tidur tanpa pakaian. Kontolnya sudah mengeras
sepenuhnya. Pemuda itu ingin melangkah lebih jauh lagi untuk memuaskan rasa
penasarannya.
"Hmmm…Menurut tante, kontol Juna
gede nggak?" Dahi Farrah berkerut mendengar pertanyaan Juna itu.
"Kenapa sih tanya Tante begitu?
Ada-ada aja kamu ini?" Juna menunduk malu. Dia tak menyangka pertanyaan
seperti itu akan melampaui batas dan membuat Farrah tersinggung.
"Maaf... maaf. Jangan marah ya, Tante."
Farrah mengulurkan tangannya dan mengusap tangan Juna yang berotot itu.
"Tante nggak marah kok, asal
Juna tau ya, kontolmu itu kecil." Juna terkejut mendengarnya. Farrah
tertawa terbahak-bahak melihat reaksi keponakannya itu.
"Ha! Benarkah?" Juna
terkejut saat mengajukan pertanyaan itu. Alat kelaminnya yang tadi keras
tiba-tiba menjadi mengecil dengan sendirinya.
"Sudahlah. Tante mau pergi ke
rumah sebelah.” Juna masih bengong di meja makan, harga dirinya terasa
tercabik-cabik.

Posting Komentar
0 Komentar