DENDAM DAN TRAUMA

 

GENRE : DRAMA EROTIC 
JUMLAH HALAMAN : 219 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000

ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

“Huuuuu…Huuuuu…Huuuuu…”

“Dasar cengeng!” Teriak seorang bocah laki-laki yang bertubuh gemuk.

“Eh mau dibawa kemana celana Dika?”

“Dibuang ke sungai aja!” Jawab Raihan menyambut pertanyaan Tomi.

 Bocah berusia delapan tahun itu segera berlari sambil membawa celana milik Dika yang tadi berhasil direbut paksa dan langsung membuangnya ke aliran sungai yang mengalir deras. Tak butuh waktu lama celana pendek itu hanyut dan raib dari pandangan mata.

“Huuuuu…Huuuuu…Huuuuuu..”

Tangis Dika makin pecah saat mengetahui penutup bagian bawah tubuhnya sudah hanyut. Dika menangis sambil berjongkok dikelilingi oleh Tomi, Raihan, dan tentu saja Bobi, tiga bocah serangkai yang setiap hari membully nya.

“Lu kalo nangis yang kenceng goblok!” Bobi yang memiliki tubuh paling bongsor diantara teman-temannya menoyor kepala Dika. Sesuatu yang sering dilakukannya sejak dulu.

“Eh, gimana kalo bajunya kita buang juga ke sungai? Biar dia pulang telanjang. Hahahahaha!” Ujar Raihan memberi saran.

“Jangan! Tolong jangan!!” Tolak Dika dengan mata berair penuh isak tangis. Senyum licik mengembang di bibir Bobi.

“Ide bagus tuh!” Celetuk bocah gendut itu mengamini ide jahat Raihan.

Benar saja, Bobi dan kedua temannya langsung mengerubungi tubuh kurus Dika. Raihan dan Tomi memegangi kedua tangan bocah culun itu. Dika bukannya tanpa perlawanan, dia meronta-ronta berusaha untuk melepaskan diri tapi kekuatannya sama sekali tak sebanding dengan Tomi maupun Raihan yang bertubuh lebih besar.

Bobi bersiap melepas paksa kaos yang dikenakan oleh Dika, menelanjangi sekaligus mempermalukannya sedemikian rupa. Namun belum sempat niat jelek itu terlaksana sebuah teriakan menggema dari arah belakang.

“Hei! Kalian ngapain??!!”

Bobi, Tomi dan Raihan tercekat kaget dan mendapati Ustadz Hanan sudah berjalan mendekati mereka. Dika, yang awalnya meraung-raung dengan tangis dan ketakutan bis asedikit bernafas lega, setidaknya kali ini nasib buruknya akan segera berakhir.

“Gawat! Ada Ustadz Hanan!” Pekik Raihan dnegan wajah panik.

“Kabur aja yuk!” Sahut Tomi tak kalah panik.

Bobi yang selalu jadi pemimpin tanpa  banyak bicara langsung lari tunggang langgang meninggalkan kedua orang temannya. Tomi dan Raihan yang sudah panik ikut lari dan membiarkan tubuh kurus Dika tergeletak di atas tanah lapang. Ustadz Hanan menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan tiga bocah nakal berlari menjauh, tatapan matanya berubah jadi prihatin saat mendapati Dika meringkuk berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Kamu kenapa Dika? Mana celanamu?” Tanya Ustadz Hanan dengan suara lembut. Dika masih terisak tangis.

“Dibuang Raihan ke sungai…Huhuuuu…Huuuu..” Jawab Dika dengan tangis yang kembali pecah. Ustadz Hanan sedikit berjongkok, matanya teduh sembari mengusap kepala Dika.

“Ya sudah, sekarang Ustadz antar pulang aja ya. Ini kamu pake sarung Ustadz.” Pria berusia tiga puluh tahun itu kemudian melepas sarungnya, beruntung Ustadz Hanan selalu memakai celana tiga perempat  di balik sarungnya. Malu-malu dan canggung Dika menerima sarung itu kemudian memakainya hanya untuk sekedar menutupi bagian bawah tubuhnya yang telanjang.

 

***

 

“Terima kasih banyak loh Ustadz, maaf kalo merepotkan.” Bu Halimah nampak berdiri canggung di hadapan Ustadz Hanan, sementara Dika berada di samping wanita berusia 40 tahunan itu.

“Sama-sama Bu, Dika nanti habis magrib jangan lupa ngaji di Mushola ya. Nggak usah takut sama Bobi dan teman-temannya lagi, biar nanti Ustadz nasehatin mereka.” Ustadz Hanan tersenyum lembut ke arah Dika yang tertunduk.

“Ba-Baik Ustadz..” Ujar Dika lirih.

“Ini sarungnya biar saya cuciin Ustadz, kotor habis dipake Dika.” Kata Bu Halimah masih dengan canggung.

“Oh nggak usah Bu, biar saya cuci sendiri saja.”

“Sekali lagi saya mohon maaf loh Pak Ustadz, gara-gara Dika Ustadz Hanan jadi repot-repot kayak gini.”

“Nggak apa-apa kok Bu. Saya pamit dulu kali gitu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawab Bu Halimah dan Dika nyaris bebarengan.

Ketika Ustadz Hanan sudah pergi menjauh dari halaman rumah, mata tajam Bu Halimah langsung menyasar Dika. Bocah kecil itu berusaha menjauh namun cengkraman kasar tangan Bu Halimah lebih cepat.

“Bocah kurang ajar! Bikin malu aja!”

“Ampuuunnn Budhee! Ammpuunn!”

Bu Halimah langsung menyeret tubuh kecil Dika ke dalam rumah. Dika meronta-ronta namun Bu Halimah sudah terlanjur naik pitam. Dibawanya Dika menuju kamar mandi, sesampainya di sana wanita bertubuh sedikit tambun itu langsung mengguyur tubuh Dika dengan air dingin.

“Ampuunn! Budhe!! Aaampunn! Huhuhuhuhu! Huhuhuhuu!”

“Aku sudah bilang nggak usah main! Masih aja pergi! Kurang ajar! Dasar anak setan!”

Bukanlah hal baru buat Dika menerima perlakuan kasar dari Bu Halimah, wanita yang sejak tiga tahun silam bertindak sebagai pengasuhnya setelah Ibunya memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Guyuran air dingin hanyalah sebagian kecil hukuman yang harus diterima Dika saat Bu Halimah emosi. Tak jarang pukulan, tamparan, bahkan tendangan seringkali diterima oleh bocah bertubuh kurus itu jika memancing emosi Bu Halimah.

 

***

 

Senja telah menyingsing, langit terang telah berganti gelap seiring perputaran waktu. Suasana damai di desa menyiratkan kenyamanan, namun suasana tegang justru terjadi di dalam Mushola saat Bobi, Tomi, dan Raihan sedang “disidang” oleh Ustadz Hanan akibat kenakalan mereka pada Dika siang tadi.

“Ini sudah kejadian berapa kali? Kalian masih nggak kapok-kapok, apa lebih baik Ustdaz aduin ke orang tua kalian?” Ancam Ustadz Hanan.

“Jangan Ustadz, kami janji nggak akan ganggu Dika lagi.” Ujar Raihan dengan wajah khawatir. Bocah kelas 4 SD itu lebih dulu ketakutan membayangkan kemarahan Ayahnya yang seorang anggota militer jika mendapat aduan dari Ustadz Hanan tentang kenakalannya.

“Bobi, kamu yang selalu jadi provokator. Kamu mau diaduin ke Ibumu?” Pandangan tajam Ustadz Hanan kini menyasar Bobi yang duduk di paling tengah dengan kepala tertunduk lesu.

“Jangan Ustadz…” Bocah bertubuh gendut itu berkata lirih sambil menggelengkan kepalanya.

“Dika itu teman kalian, nggak seharusnya kalian jahat sama dia. Apalagi sampai membuang celananya ke sungai. Astagfirullah…”

 Bobi, Tomi, dan Raihan hanya bisa tertundk lesu mendengar ceramah dari guru ngaji tersebut. Di sudut Mushola, Dika pun tak kalah ketakutan. Bukan karena takut dimarahi oleh Ustadz Hanan, namun bocah kecil itu khawatir jika tindakan sang guru ngaji makin membuat “komplotan” pembullynya makin muntab dan melakukan hal yang lebih keji lagi dibanding hanya membuang celananya kembali.

“Sekarang kalian minta maaf dulu sama Dika dan berjanji nggak akan mengulangi kejadian siang tadi.” Perintah Ustadz Hanan pada Bobi, Tomi dan Raihan. Ketiga bocah kecil itu tanpa banyak protes langsung melakukannya. Dika menyalami mereka satu persatu dengan gugup.

“Maafin kami ya Dik, kami janji nggak akan ganggu kamu lagi.” Kata Bobi dengan tatapan intimidasi. Dika terdiam, dia tau ucapan Bobi hanyalah cara mencegah kemarahan Ustadz Hanan.

Apa yang ditakutkan Dika akhirnya terjadi juga. Saat pulang dari Mushola Bobi dan gerombolannya menyeret tubuh Dika menuju sebuah kebun kosong tak jauh dari tempat mereka mengaji. Dika sudah meronta-ronta dan meminta ampun namun Bobi bergeming. Tomi dan Raihan mengikat tubuh kurus Dika pada sebuah pohon pisang.

“Tolong! Ampunn!” Air mata Dika sudah jatuh membasahi pipi.

“Dasar pengadu!”

“Hajar aja!”

Sahut menyahut Tomi dan Raihan mengompori Bobi yang terlihat begitu emosional setelah mendapat teguran dari Ustadz Hanan beberapa saat lalu. Bocah bertubuh gendut itu maju mendekati Dika yang tak berdaya. Entah apa yang ada di pikiran bocah kecil itu ketika tiba-tiba tangannya meraih sarung Dika dan melepasnya. Tomi dan Raihan saling pandang.

“Lu mau ngapain?” Tanya Tomi.

“Diem Lu!” Hardik Bobi dengan wajah marah.

“Ampuunn! Tolong lepasin aku! Aku mau pulaang!! Huaaaaa!”

Tangis Dika yang meraung-raung tak membuat Bobi menghentikan aksi. Bahkan setelah berhasil melepas sarung yang dikenakan oleh Dika, Bobi beralih pada celana pendek, menelanjangi Dika persis seperti yang telah dilakukannya siang tadi.

BUGH!

BUGH!

“Aaaacghhht!”

Dua bogem mentah Bobi mengarah ke perut Dika. Bocah bertubuh kurus itu meringis kesakitan, air matanya makin deras mengalir. Raihan dan Tomi yang sedari tadi hanya melihat kebiadaban Bobi ikut ketakutan.

“Udah Bob, lepasin aja.” Ujar Raihan memberi saran.

“Nggak akan! Gue belum puas ngehajar bocah culun ini!”

BUGH!

BUGH!

Dua pukulan Bobi kembali mendarat telak, kali ini menyasar wajah dan kepala Dika. Tak puas hanya dengan memukul, jemari Bobi turun ke selangkangan Dika dan langsung meremas penis bocah kecil itu. Sontak Dika berteriak kesakitan, namun Bobi makin meremas kemaluannya. Tomi dan Raihan makin panik, takut jika apa yang dilakukan oleh Bobi kembali diketahui oleh Ustadz Hanan.

“Udah Bob! Lepasin! Kasian Dika!” Ujar Tomi dengan wajah ketakutan.

“Lu kalo takut pergi aja dari sini!” Balas Bobi.

“Udah mending kita cabut aja yuk Tom!” Sahut Raihan.

“Ya udah terserah Lu aja deh Bob, kita nggak ikut-ikut!” Akhirnya Tomi dan Raihan memilih untuk pergi dari kebun, meninggalkan Bobi dan Dika.

“Dasar pengecut kalian!” Umpat Bobi saat dua temannya pergi.

“Ampunnn! Tolong lepasin aku…Huhuuhuhu…” Dika masih berusaha mengiba dengan air mata berderai.

“Nggak akan Gua kasih ampun Lu hari ini!”

BUGH!

BUGH!

Malam itu Dika mengalami perundungan hebat. Bukan hanya secara fisik tapi juga secara mental. Apa yang dilakukan Bobi pada tubuhnya membekas dan tak akan pernah dilupakan sepanjang hidup Dika.

PART 2

 

17 TAHUN KEMUDIAN

 

Dika duduk tenang di sebuah ruangan yang dipergunakan untuk interview. Di hadapannya seorang pria dari bagian HRD sedang membaca berkas-berkas yang dibawa oleh Dika. Sesekali pria HRD yang bernama Setyo itu tersenyum saat membaca beberapa deret prestasi kerja yang diperoleh oleh Dika di kantor lama.

“Oke, sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu saya tanyakan pada Pak Dika kecuali satu hal penting.”

“Apa itu Pak?” Tanya Dika.

“Berapa besar gaji yang diinginkan Pak Dika dari perusahaan ini?” Tanya Setyo sembari meletakkan berkas di atas meja kerjanya.

“Saya profesional saja, saya yakin perusahaan dengan nama besar seperti Cerion ini akan menghargai sumbangsih karyawan yang berprestasi.” Ujar Dika penuh diplomasi.

“Hmm, menarik. Tapi saya butuh angka pastinya Pak Dika. Karena saya yakin dengan prestasi seperti yang tertera di berkas-berkas ini, di tempat lama pasti anda mendapat gaji tidak kurang dari dua digit.”

“Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi Pak, tujuan saya melamar di perusahaan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian, karena di tempat lama saya merasa stuck. Saya butuh tantangan baru, untuk masalah gaji saya serahkan sepenuhnya pada perusahaan.”

“Baik kalau begitu Pak Dika, selamat datang di Cerion.” Setyo bangkit dari kursinya dan menjabat tangan Dika.

“Terima kasih Pak, saya tidak akan mengecewakan kepercayaan besar ini.”

“Sama-sama Pak Dika, semoga betah di sini.”

“Oh ya, biar saya panggil dulu kepala supervisor lapangan yang akan bekerja dengan Pak Dika. Mohon ditunggu sebentar.” Setyo melangkah meninggalkan ruang kerjanya. Selang beberapa saat pria itu kembali bersama seorang pria yang sangat dikenal oleh Dika. Pria berkacamata minus itu bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Loh??? Dika???”

“Ha-Halo Bobi…” Bibir Dika mendadak kering, sama sekali tak menyangka akan satu kantor dengan pembully nya di masa kecil.

***

 

Gelak tawa Bobi membahana di kantin kantor kala menceritakan kenakalannya di masa kecil. Bobi seolah tak menyadari jika apa yang dilakukannya dulu meninggalkan trauma mendalam bagi Dika. Pria berkacamata minus itu hanya duduk terdiam sembari mendengarkan ocehan Bobi yang sudah hampir setengah jam lamanya. Dika sebenarnya enggan untuk menemani Bobi ke kantin saat jam istrirahat makan siang, namun pria bertubuh gempal itu memaksa atau lebih tepatnya mengintimidasi. Dika tentu tak ingin terlibat keributan di hari pertamanya kerja, alhasil dia hanya menuruti saja kemauan Bobi.

“Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi Dik! Apalagi sekarang kamu malah jadi atasanku. Hahahahaha!” Bobi menyruput kopi hangat yang dipesannya sebelum kemudian menyalakan satu batang rokok dan mulai menghisapnya dalam-dalam.

“Yah, aku juga nggak menyangka akan seperti ini.” Sahut Dika, matanya menjelajahi isi kantin yang terlihat lenggang. Para karyawan lain lebih memilih untuk menyantap makan siang di luar.

“Tapi aku bersyukur Dik, setidaknya kamu bisa menolongku sekarang.” Bobi mengeluarkan sebuah map kecil dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Dika.

“Apa ini?” Tanya Dika.

“Buka aja dulu, nanti kamu juga tau sendiri.” Ujar Bobi santai sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

Dika membuka map itu dan mendapati dua lembar surat peringatan yang ditujukan pada Bobi. Surat terakhir tertanggal lima Juni, itu artinya baru satu minggu yang lalu. Dika mengrenyitkan dahi tak mengerti apa maksud Bobi menunjukkan surat itu padanya.

“Kurang satu SP lagi karierku bakalan tamat Dik.” Ujar Bobi, kali ini pandangan matanya menerawang langit-langit kantin, kosong tanpa arah.

“Ya jangan bikin kesalahan lagi kalo gitu.” Balas Dika sembari meletakkan map di atas meja.

“Nah itu masalahnya! Sebelum kamu datang menggantikan Pak Hendro, bajingan itu memberiku tugas berat. Ada masalah yang belum terselesaikan. Hanya kamu yang bisa membantuku Dik!” Mata Bobi yang sempat kosong kini berubah berbinar, seolah mendapat pencerahan.

“Masalah apa?”

Bobi menghela nafas panjang sebelum menceritakan masalah yang membuatnya terancam kehilangan pekerjaan. Delapan bulan lalu, Hendro, Kepala Divisi Lapangan yang lama mendapat tanggung jawab untuk menyelesaikan proyek pembangunan mercusuar di lepas Pantai Banda. Bobi yang berposisi sebagai supervisor jadi tangan kanannya. Proyek besar tersebut terkendala dan tak bisa dilanjutkan karena telah terjadi skandal keuangan yang melibatkan Hendro.

Bobi masih beruntung karena tak langsung dipecat, tapi satu minggu lagi audit internal akan dilakukan kembali untuk memastikan jika penyelesaian proyek mercusuar sudah tuntas. Ada beberapa detail kontrak yang luput dalam investigasi awal, dan itu akan terbuka saat audit internal dilakukan. Karier Bobi terancam karena dalam kontrak-kontrak tersebut melibatkannya secara langsung.

“Istriku sedang hamil besar sekarang Dik. Kalau aku jadi pengangguran, bagaimana dengan biaya persalinannya?” Keluh Bobi dengan wajah memelas.

“Lalu aku harus bantu apa? Aku masih satu hari di sini, nggak mungkin bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk tidak melakukan audit internal.” Ujar Dika. Bobi tersenyum penuh arti, matanya tajam menyorot wajah “teman” masa kecilnya itu.

“Jabatanmu di sini udah top Dik! Nggak sulit kan buat mengakses kontrak-kontrak lama dan merubahnya sedikit?” Bobi memberi tekanan pada suaranyaagar tak terdengar seperti sebuah permohonan tapi lebih pada perintah.

“Gila kamu! Mana mungkin aku melakukan hal kayak gitu?” Dika langsung menolak mentah-mentah permintaan Bobi.

“Jadi kamu nggak mau membantuku Dik?” Keduanya saling tatap.

“Kamu yakin nggak mau menolongku?”

Bobi beranjak dari bangkunya dan mendekati Dika. Tangannya yang besar langsung merangkul leher Dika, tentu bukan rangkulan persahabatan tapi lebih pada upaya intimidasi. Bobi sengaja menekan lengannya pada leher Dika agar pria berkacamata itu merasa terancam.

“Oke…Oke..Aku akan bantu sebisanya.” Akhirnya Dika berucap.

“Hahahahaha! Aku tau kamu pasti mau membantuku Dik! Hahahahaha!”

Bobi akhirnya melepaskan leher Dika dari cengkramannya. Pria berbadan besar itu kemudian mengambil ponsel dari saku celana sebelum kemudian mencari nomor kontak seseorang. Selang beberapa waktu, Bobi menelepon orang tersebut.

“Halo Tom! Lu ada dimana sekarang?”

Dika terperanjat kaget mendengar nama panggilan itu. Tomi, salah satu gerombolan Bobi di masa kecil, orang yang selalu membantu Bobi mengerjainya dulu.

“Nanti pulang kerja kita nongkrong di tempat biasa ya? Ada teman kita mau ketemu.” Ujar Bobi sambil melirik Dika yang masih kebingungan.

“Iyaaa, di tempat biasanya. Oh ya, jangan lupa ajak Raihan sekalian.” Dika makin keget, nama terakhir yang disebut oleh Bobi adalah “kepingan” terakhir di masa kecilnya.

“Oke, tenang aja. Nanti kawan kita ini yang traktir kok. Hehehehehe.” Bobi mengakhiri panggilan teleponnya. Senyumnya kembali melebar.

“Nanti pulang kerja kita nongkrong dulu.” Ujarnya sembari kembali menyalakan satu batang rokok lagi.

“Ta-Tapi Aku nggak bisa, istriku sendirian di rumah.” Ucap Dika beralasan untuk menolak ajakan Bobi.

“Ayolah Dik, kamu masa nggak kangen sama temen-temenmu dulu? Hmmm? Bisa kan?” Bobi kembali memberi tatapan tajam, tangannya kembali merangkul leher Dika yang duduk di sampingnya.

“Oke, aku bisa…” Dika tak punya pilihan lain selain menerima ajakan pria bertubuh besar itu. Gelak tawa Bobi kembali terdengar membahana.

 

***

 

Suasana di dalam sebuah bar pusat kota terlihat begitu ramai. Hingar bingar musik live yang tersaji makin menambah kemeriahan, sementara banyak para pengunjung sibuk dengan minuman dan canda tawa mereka. Di salah satu meja Bobi, Tomi, Raihan, dan Dika pun demikian. Kecuali Dika, ketiga pria itu saling tertawa mengingat masa kecil mereka. Tak jarang ketiganya juga mengingat bagaimana banyak “keisengan” yang menyasar Dika. Mereka bahkan sama sekali tak peduli sejak pertama kali bertemu, Dika sama sekali tak exited dan terkesan tak nyaman.

“Wah! Jadi Lu sekarang jadi anak buahnya Dika dong?!” Ujar Tomi dengan suara meninggi agar tak kalah dengan bunyi live musik.

“Yoi bro! Dika sekarang jadi bos Gue! Hahahaha!” Balas Bobi sembari mengguncang-guncangkan pundak Dika. Wajahnya sudah merah efek dari minuman keras yang ditenggaknya dari tadi.

“Hebat Lu Dik! Nggak nyangka sekarang Lu bisa di posisi seperti ini! Salut!” Sambut Raihan yang baru beberapa bulan resmi menjadi seorang pengacara profesional itu.

“Terima kasih Han, aku juga nggak tau kalo Bobi kerja di Cerion.” Ujar Dika.

“Terus kenapa Lu cabut drai kantor lama Dik? Denger-denger posisi Lu di sana udah sekelas manager?” Sambung Raihan.

“Udah nggak nyaman aja, pengen nyoba tantangan baru.” Dika meminum coke dingin di hadapannya.

“Wah hebat banget Lu Dik! Di saat ekonomi lesu kayak gini berani ngambil langkah drastis cuma gara-gara ngrasa nggak nyaman? Gokil!” Celetuk Tomi menimpali. Sama seperti Bobi, pria yang bekerja sebagai seorang kontraktor itu juga mulai mabuk. Wajahnya merah akibat pengaruh alkohol.

“Cerion juga perusahaan gede kok, aku sih yakin karierku bisa lebih berkembang di tempat baru.” Ucap Dika.

“Stop ngomongin kerjaan, waktunya kita happy-happy!” Pekik Bobi seraya mengangkat gelasnya yang berisi beer.

“Ayo minum lah Dik! Jangan kayak bencong!” Bobi menyodorkan segelas beer pada Dika namun pria berkacamata minus itu menolaknya.

“Nggak usah, aku nggak minum.” Dika merusaha menjauhkan gelas yang disodorkan oleh Bobi.

“Ayolah Dik, sekali ini aja langgar prinsip hidupmu.” Seloroh Tomi.

“Ayo Dik, minum aja sedikit.” Raihan ikut-ikutan mengompori.

Dika kembali terjebak pada situasi tak bisa menolak sesuatu yang ditentangnya. Ragu-ragu  pria itu menerima gelas yang disodorkan oleh Bobi dan perlahan meneguk isinya. Reaksi yang diberikan oleh Dika langsung mengundang gelak tawa Bobi, Tomi, dan Raihan. Ketiganya yakin benar jika inilah kali pertama Dika menenggak minuman keras.

“Hahahahaha! Dika udah mulai nakal sekarang! My Man!” Pekik Bobi sambil menepuk-nepuk pundak Dika.

Satu gelas, dua gelas, tiga gelas, hingga gelas-gelas berikutnya habis oleh keempat pria itu. Tak butuh waktu lama bagi Dika untuk menjadi orang yang paling duluan mabuk dan teler. Pengaruh allohol membuat otaknya tak bisa berpikir jernih lagi, kesadarannya raib begitu saja.

“Yah, dia udah teler berat. Terus sekarang gimana? Siapa yang antar dia pulang?” Tanya Raihan saat melihat Dika sudah meletakkan kepalanya di atas meja.

“Aku punya ide menarik!” Ujar Bobi yang entah kenapa sebanyak apapun minuman keras telah ditenggaknya tapi masih bisa mengontrol gerak tubuh layaknya orang normal.

“Lihat ini! Gimana? Cantik bukan?”  Bobi menunjukkan wallpaper ponsel Dika yang tergeletak begitu saja di atas meja. Terliha foto seorang wanita cantik dengan gigi gingsul menawan.

“Waahhh! Itu sih nggak cantik lagi tapi sempurna!” Pekik Tomi yang langsung meraih ponsel Dika dari tangan Bobi.

“Itu istrinya Dika?” Tanya Raihan yang tak kalah antusias.

“Kayaknya begitu, gimana kalo kita nganterin dia pulang sekaligus bersilaturahmi dengan istrinya?” Bobi memberi tekanan pada kalimat “silaturahmi” pada kedua temannya. Raihan dan Tomi saling pandang seolah tau apa yang sedang dipikirkan oleh pria bertubuh besar itu.

“Lu yakin? Aman nggak?” Tanya Raihan.

“Alaahhh, masa Lu takut sama modelan cowok culun kayak gini sih? Dia mau apa kalo malam ini kita ngerjain istrinya?” Bobi dengan sengaja menoyor kepala Dika beberapa kali, memberi tanda jika pria itu sama sekali sudah tak berdaya.

“Dunia memang nggak adil ya, Dika yang culun bisa punya kerjaan mentereng dan istri secantik ini.” Gerutu Tomi masih sambil memandangi layar ponsel Dika.

“Justru karena itu, malam ini kita coba cicipi salah satu ketidakadilan itu. Hehehehehe.” Seloroh Bobi yang langsung diaminkan oleh kedua temannya.

 

 


Posting Komentar

0 Komentar