DENDAM DAN TRAUMA
PART 1
“Huuuuu…Huuuuu…Huuuuu…”
“Dasar cengeng!” Teriak seorang bocah
laki-laki yang bertubuh gemuk.
“Eh mau dibawa kemana celana Dika?”
“Dibuang ke sungai aja!” Jawab Raihan
menyambut pertanyaan Tomi.
Bocah berusia delapan tahun itu segera berlari
sambil membawa celana milik Dika yang tadi berhasil direbut paksa dan langsung
membuangnya ke aliran sungai yang mengalir deras. Tak butuh waktu lama celana
pendek itu hanyut dan raib dari pandangan mata.
“Huuuuu…Huuuuu…Huuuuuu..”
Tangis Dika makin pecah saat
mengetahui penutup bagian bawah tubuhnya sudah hanyut. Dika menangis sambil
berjongkok dikelilingi oleh Tomi, Raihan, dan tentu saja Bobi, tiga bocah
serangkai yang setiap hari membully nya.
“Lu kalo nangis yang kenceng goblok!”
Bobi yang memiliki tubuh paling bongsor diantara teman-temannya menoyor kepala
Dika. Sesuatu yang sering dilakukannya sejak dulu.
“Eh, gimana kalo bajunya kita buang
juga ke sungai? Biar dia pulang telanjang. Hahahahaha!” Ujar Raihan memberi
saran.
“Jangan! Tolong jangan!!” Tolak Dika
dengan mata berair penuh isak tangis. Senyum licik mengembang di bibir Bobi.
“Ide bagus tuh!” Celetuk bocah gendut
itu mengamini ide jahat Raihan.
Benar saja, Bobi dan kedua temannya
langsung mengerubungi tubuh kurus Dika. Raihan dan Tomi memegangi kedua tangan
bocah culun itu. Dika bukannya tanpa perlawanan, dia meronta-ronta berusaha
untuk melepaskan diri tapi kekuatannya sama sekali tak sebanding dengan Tomi
maupun Raihan yang bertubuh lebih besar.
Bobi bersiap melepas paksa kaos yang
dikenakan oleh Dika, menelanjangi sekaligus mempermalukannya sedemikian rupa.
Namun belum sempat niat jelek itu terlaksana sebuah teriakan menggema dari arah
belakang.
“Hei! Kalian ngapain??!!”
Bobi, Tomi dan Raihan tercekat kaget
dan mendapati Ustadz Hanan sudah berjalan mendekati mereka. Dika, yang awalnya
meraung-raung dengan tangis dan ketakutan bis asedikit bernafas lega,
setidaknya kali ini nasib buruknya akan segera berakhir.
“Gawat! Ada Ustadz Hanan!” Pekik
Raihan dnegan wajah panik.
“Kabur aja yuk!” Sahut Tomi tak kalah
panik.
Bobi yang selalu jadi pemimpin
tanpa banyak bicara langsung lari
tunggang langgang meninggalkan kedua orang temannya. Tomi dan Raihan yang sudah
panik ikut lari dan membiarkan tubuh kurus Dika tergeletak di atas tanah
lapang. Ustadz Hanan menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan tiga bocah nakal
berlari menjauh, tatapan matanya berubah jadi prihatin saat mendapati Dika
meringkuk berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Kamu kenapa Dika? Mana celanamu?”
Tanya Ustadz Hanan dengan suara lembut. Dika masih terisak tangis.
“Dibuang Raihan ke
sungai…Huhuuuu…Huuuu..” Jawab Dika dengan tangis yang kembali pecah. Ustadz Hanan
sedikit berjongkok, matanya teduh sembari mengusap kepala Dika.
“Ya sudah, sekarang Ustadz antar
pulang aja ya. Ini kamu pake sarung Ustadz.” Pria berusia tiga puluh tahun itu
kemudian melepas sarungnya, beruntung Ustadz Hanan selalu memakai celana tiga
perempat di balik sarungnya. Malu-malu
dan canggung Dika menerima sarung itu kemudian memakainya hanya untuk sekedar
menutupi bagian bawah tubuhnya yang telanjang.
***
“Terima kasih banyak loh Ustadz, maaf
kalo merepotkan.” Bu Halimah nampak berdiri canggung di hadapan Ustadz Hanan,
sementara Dika berada di samping wanita berusia 40 tahunan itu.
“Sama-sama Bu, Dika nanti habis
magrib jangan lupa ngaji di Mushola ya. Nggak usah takut sama Bobi dan
teman-temannya lagi, biar nanti Ustadz nasehatin mereka.” Ustadz Hanan
tersenyum lembut ke arah Dika yang tertunduk.
“Ba-Baik Ustadz..” Ujar Dika lirih.
“Ini sarungnya biar saya cuciin
Ustadz, kotor habis dipake Dika.” Kata Bu Halimah masih dengan canggung.
“Oh nggak usah Bu, biar saya cuci
sendiri saja.”
“Sekali lagi saya mohon maaf loh Pak
Ustadz, gara-gara Dika Ustadz Hanan jadi repot-repot kayak gini.”
“Nggak apa-apa kok Bu. Saya pamit
dulu kali gitu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawab Bu Halimah
dan Dika nyaris bebarengan.
Ketika Ustadz Hanan sudah pergi
menjauh dari halaman rumah, mata tajam Bu Halimah langsung menyasar Dika. Bocah
kecil itu berusaha menjauh namun cengkraman kasar tangan Bu Halimah lebih
cepat.
“Bocah kurang ajar! Bikin malu aja!”
“Ampuuunnn Budhee! Ammpuunn!”
Bu Halimah langsung menyeret tubuh
kecil Dika ke dalam rumah. Dika meronta-ronta namun Bu Halimah sudah terlanjur
naik pitam. Dibawanya Dika menuju kamar mandi, sesampainya di sana wanita
bertubuh sedikit tambun itu langsung mengguyur tubuh Dika dengan air dingin.
“Ampuunn! Budhe!! Aaampunn!
Huhuhuhuhu! Huhuhuhuu!”
“Aku sudah bilang nggak usah main!
Masih aja pergi! Kurang ajar! Dasar anak setan!”
Bukanlah hal baru buat Dika menerima perlakuan
kasar dari Bu Halimah, wanita yang sejak tiga tahun silam bertindak sebagai
pengasuhnya setelah Ibunya memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Guyuran air
dingin hanyalah sebagian kecil hukuman yang harus diterima Dika saat Bu Halimah
emosi. Tak jarang pukulan, tamparan, bahkan tendangan seringkali diterima oleh
bocah bertubuh kurus itu jika memancing emosi Bu Halimah.
***
Senja telah menyingsing, langit
terang telah berganti gelap seiring perputaran waktu. Suasana damai di desa
menyiratkan kenyamanan, namun suasana tegang justru terjadi di dalam Mushola
saat Bobi, Tomi, dan Raihan sedang “disidang” oleh Ustadz Hanan akibat
kenakalan mereka pada Dika siang tadi.
“Ini sudah kejadian berapa kali?
Kalian masih nggak kapok-kapok, apa lebih baik Ustdaz aduin ke orang tua
kalian?” Ancam Ustadz Hanan.
“Jangan Ustadz, kami janji nggak akan
ganggu Dika lagi.” Ujar Raihan dengan wajah khawatir. Bocah kelas 4 SD itu
lebih dulu ketakutan membayangkan kemarahan Ayahnya yang seorang anggota
militer jika mendapat aduan dari Ustadz Hanan tentang kenakalannya.
“Bobi, kamu yang selalu jadi
provokator. Kamu mau diaduin ke Ibumu?” Pandangan tajam Ustadz Hanan kini
menyasar Bobi yang duduk di paling tengah dengan kepala tertunduk lesu.
“Jangan Ustadz…” Bocah bertubuh
gendut itu berkata lirih sambil menggelengkan kepalanya.
“Dika itu teman kalian, nggak
seharusnya kalian jahat sama dia. Apalagi sampai membuang celananya ke sungai.
Astagfirullah…”
Bobi, Tomi, dan Raihan hanya bisa tertundk
lesu mendengar ceramah dari guru ngaji tersebut. Di sudut Mushola, Dika pun tak
kalah ketakutan. Bukan karena takut dimarahi oleh Ustadz Hanan, namun bocah
kecil itu khawatir jika tindakan sang guru ngaji makin membuat “komplotan”
pembullynya makin muntab dan melakukan hal yang lebih keji lagi dibanding hanya
membuang celananya kembali.
“Sekarang kalian minta maaf dulu sama
Dika dan berjanji nggak akan mengulangi kejadian siang tadi.” Perintah Ustadz
Hanan pada Bobi, Tomi dan Raihan. Ketiga bocah kecil itu tanpa banyak protes
langsung melakukannya. Dika menyalami mereka satu persatu dengan gugup.
“Maafin kami ya Dik, kami janji nggak
akan ganggu kamu lagi.” Kata Bobi dengan tatapan intimidasi. Dika terdiam, dia
tau ucapan Bobi hanyalah cara mencegah kemarahan Ustadz Hanan.
Apa yang ditakutkan Dika akhirnya
terjadi juga. Saat pulang dari Mushola Bobi dan gerombolannya menyeret tubuh
Dika menuju sebuah kebun kosong tak jauh dari tempat mereka mengaji. Dika sudah
meronta-ronta dan meminta ampun namun Bobi bergeming. Tomi dan Raihan mengikat
tubuh kurus Dika pada sebuah pohon pisang.
“Tolong! Ampunn!” Air mata Dika sudah
jatuh membasahi pipi.
“Dasar pengadu!”
“Hajar aja!”
Sahut menyahut Tomi dan Raihan
mengompori Bobi yang terlihat begitu emosional setelah mendapat teguran dari
Ustadz Hanan beberapa saat lalu. Bocah bertubuh gendut itu maju mendekati Dika
yang tak berdaya. Entah apa yang ada di pikiran bocah kecil itu ketika
tiba-tiba tangannya meraih sarung Dika dan melepasnya. Tomi dan Raihan saling
pandang.
“Lu mau ngapain?” Tanya Tomi.
“Diem Lu!” Hardik Bobi dengan wajah
marah.
“Ampuunn! Tolong lepasin aku! Aku mau
pulaang!! Huaaaaa!”
Tangis Dika yang meraung-raung tak
membuat Bobi menghentikan aksi. Bahkan setelah berhasil melepas sarung yang
dikenakan oleh Dika, Bobi beralih pada celana pendek, menelanjangi Dika persis
seperti yang telah dilakukannya siang tadi.
BUGH!
BUGH!
“Aaaacghhht!”
Dua bogem mentah Bobi mengarah ke
perut Dika. Bocah bertubuh kurus itu meringis kesakitan, air matanya makin
deras mengalir. Raihan dan Tomi yang sedari tadi hanya melihat kebiadaban Bobi
ikut ketakutan.
“Udah Bob, lepasin aja.” Ujar Raihan
memberi saran.
“Nggak akan! Gue belum puas ngehajar
bocah culun ini!”
BUGH!
BUGH!
Dua pukulan Bobi kembali mendarat
telak, kali ini menyasar wajah dan kepala Dika. Tak puas hanya dengan memukul,
jemari Bobi turun ke selangkangan Dika dan langsung meremas penis bocah kecil
itu. Sontak Dika berteriak kesakitan, namun Bobi makin meremas kemaluannya.
Tomi dan Raihan makin panik, takut jika apa yang dilakukan oleh Bobi kembali
diketahui oleh Ustadz Hanan.
“Udah Bob! Lepasin! Kasian Dika!”
Ujar Tomi dengan wajah ketakutan.
“Lu kalo takut pergi aja dari sini!”
Balas Bobi.
“Udah mending kita cabut aja yuk
Tom!” Sahut Raihan.
“Ya udah terserah Lu aja deh Bob,
kita nggak ikut-ikut!” Akhirnya Tomi dan Raihan memilih untuk pergi dari kebun,
meninggalkan Bobi dan Dika.
“Dasar pengecut kalian!” Umpat Bobi
saat dua temannya pergi.
“Ampunnn! Tolong lepasin
aku…Huhuuhuhu…” Dika masih berusaha mengiba dengan air mata berderai.
“Nggak akan Gua kasih ampun Lu hari
ini!”
BUGH!
BUGH!
Malam itu Dika mengalami perundungan
hebat. Bukan hanya secara fisik tapi juga secara mental. Apa yang dilakukan
Bobi pada tubuhnya membekas dan tak akan pernah dilupakan sepanjang hidup Dika.
PART 2
17 TAHUN KEMUDIAN
Dika duduk tenang di sebuah ruangan
yang dipergunakan untuk interview. Di hadapannya seorang pria dari bagian HRD
sedang membaca berkas-berkas yang dibawa oleh Dika. Sesekali pria HRD yang
bernama Setyo itu tersenyum saat membaca beberapa deret prestasi kerja yang
diperoleh oleh Dika di kantor lama.
“Oke, sepertinya sudah tidak ada lagi
yang perlu saya tanyakan pada Pak Dika kecuali satu hal penting.”
“Apa itu Pak?” Tanya Dika.
“Berapa besar gaji yang diinginkan
Pak Dika dari perusahaan ini?” Tanya Setyo sembari meletakkan berkas di atas
meja kerjanya.
“Saya profesional saja, saya yakin
perusahaan dengan nama besar seperti Cerion ini akan menghargai sumbangsih
karyawan yang berprestasi.” Ujar Dika penuh diplomasi.
“Hmm, menarik. Tapi saya butuh angka
pastinya Pak Dika. Karena saya yakin dengan prestasi seperti yang tertera di
berkas-berkas ini, di tempat lama pasti anda mendapat gaji tidak kurang dari
dua digit.”
“Seperti yang sudah saya jelaskan di
awal tadi Pak, tujuan saya melamar di perusahaan ini adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan keahlian, karena di tempat lama saya merasa stuck. Saya butuh
tantangan baru, untuk masalah gaji saya serahkan sepenuhnya pada perusahaan.”
“Baik kalau begitu Pak Dika, selamat
datang di Cerion.” Setyo bangkit dari kursinya dan menjabat tangan Dika.
“Terima kasih Pak, saya tidak akan
mengecewakan kepercayaan besar ini.”
“Sama-sama Pak Dika, semoga betah di
sini.”
“Oh ya, biar saya panggil dulu kepala
supervisor lapangan yang akan bekerja dengan Pak Dika. Mohon ditunggu
sebentar.” Setyo melangkah meninggalkan ruang kerjanya. Selang beberapa saat
pria itu kembali bersama seorang pria yang sangat dikenal oleh Dika. Pria berkacamata
minus itu bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Loh??? Dika???”
“Ha-Halo Bobi…” Bibir Dika mendadak
kering, sama sekali tak menyangka akan satu kantor dengan pembully nya di masa
kecil.
***
Gelak tawa Bobi membahana di kantin
kantor kala menceritakan kenakalannya di masa kecil. Bobi seolah tak menyadari
jika apa yang dilakukannya dulu meninggalkan trauma mendalam bagi Dika. Pria
berkacamata minus itu hanya duduk terdiam sembari mendengarkan ocehan Bobi yang
sudah hampir setengah jam lamanya. Dika sebenarnya enggan untuk menemani Bobi
ke kantin saat jam istrirahat makan siang, namun pria bertubuh gempal itu
memaksa atau lebih tepatnya mengintimidasi. Dika tentu tak ingin terlibat
keributan di hari pertamanya kerja, alhasil dia hanya menuruti saja kemauan
Bobi.
“Aku nggak nyangka kita bisa ketemu
lagi Dik! Apalagi sekarang kamu malah jadi atasanku. Hahahahaha!” Bobi
menyruput kopi hangat yang dipesannya sebelum kemudian menyalakan satu batang
rokok dan mulai menghisapnya dalam-dalam.
“Yah, aku juga nggak menyangka akan
seperti ini.” Sahut Dika, matanya menjelajahi isi kantin yang terlihat
lenggang. Para karyawan lain lebih memilih untuk menyantap makan siang di luar.
“Tapi aku bersyukur Dik, setidaknya
kamu bisa menolongku sekarang.” Bobi mengeluarkan sebuah map kecil dari dalam
tasnya dan menyerahkannya pada Dika.
“Apa ini?” Tanya Dika.
“Buka aja dulu, nanti kamu juga tau
sendiri.” Ujar Bobi santai sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
Dika membuka map itu dan mendapati
dua lembar surat peringatan yang ditujukan pada Bobi. Surat terakhir tertanggal
lima Juni, itu artinya baru satu minggu yang lalu. Dika mengrenyitkan dahi tak
mengerti apa maksud Bobi menunjukkan surat itu padanya.
“Kurang satu SP lagi karierku bakalan
tamat Dik.” Ujar Bobi, kali ini pandangan matanya menerawang langit-langit
kantin, kosong tanpa arah.
“Ya jangan bikin kesalahan lagi kalo
gitu.” Balas Dika sembari meletakkan map di atas meja.
“Nah itu masalahnya! Sebelum kamu
datang menggantikan Pak Hendro, bajingan itu memberiku tugas berat. Ada masalah
yang belum terselesaikan. Hanya kamu yang bisa membantuku Dik!” Mata Bobi yang
sempat kosong kini berubah berbinar, seolah mendapat pencerahan.
“Masalah apa?”
Bobi menghela nafas panjang sebelum
menceritakan masalah yang membuatnya terancam kehilangan pekerjaan. Delapan
bulan lalu, Hendro, Kepala Divisi Lapangan yang lama mendapat tanggung jawab
untuk menyelesaikan proyek pembangunan mercusuar di lepas Pantai Banda. Bobi
yang berposisi sebagai supervisor jadi tangan kanannya. Proyek besar tersebut terkendala
dan tak bisa dilanjutkan karena telah terjadi skandal keuangan yang melibatkan
Hendro.
Bobi masih beruntung karena tak
langsung dipecat, tapi satu minggu lagi audit internal akan dilakukan kembali
untuk memastikan jika penyelesaian proyek mercusuar sudah tuntas. Ada beberapa
detail kontrak yang luput dalam investigasi awal, dan itu akan terbuka saat
audit internal dilakukan. Karier Bobi terancam karena dalam kontrak-kontrak
tersebut melibatkannya secara langsung.
“Istriku sedang hamil besar sekarang
Dik. Kalau aku jadi pengangguran, bagaimana dengan biaya persalinannya?” Keluh
Bobi dengan wajah memelas.
“Lalu aku harus bantu apa? Aku masih
satu hari di sini, nggak mungkin bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk
tidak melakukan audit internal.” Ujar Dika. Bobi tersenyum penuh arti, matanya
tajam menyorot wajah “teman” masa kecilnya itu.
“Jabatanmu di sini udah top Dik!
Nggak sulit kan buat mengakses kontrak-kontrak lama dan merubahnya sedikit?”
Bobi memberi tekanan pada suaranyaagar tak terdengar seperti sebuah permohonan
tapi lebih pada perintah.
“Gila kamu! Mana mungkin aku
melakukan hal kayak gitu?” Dika langsung menolak mentah-mentah permintaan Bobi.
“Jadi kamu nggak mau membantuku Dik?”
Keduanya saling tatap.
“Kamu yakin nggak mau menolongku?”
Bobi beranjak dari bangkunya dan
mendekati Dika. Tangannya yang besar langsung merangkul leher Dika, tentu bukan
rangkulan persahabatan tapi lebih pada upaya intimidasi. Bobi sengaja menekan
lengannya pada leher Dika agar pria berkacamata itu merasa terancam.
“Oke…Oke..Aku akan bantu sebisanya.”
Akhirnya Dika berucap.
“Hahahahaha! Aku tau kamu pasti mau
membantuku Dik! Hahahahaha!”
Bobi akhirnya melepaskan leher Dika
dari cengkramannya. Pria berbadan besar itu kemudian mengambil ponsel dari saku
celana sebelum kemudian mencari nomor kontak seseorang. Selang beberapa waktu,
Bobi menelepon orang tersebut.
“Halo Tom! Lu ada dimana sekarang?”
Dika terperanjat kaget mendengar nama
panggilan itu. Tomi, salah satu gerombolan Bobi di masa kecil, orang yang
selalu membantu Bobi mengerjainya dulu.
“Nanti pulang kerja kita nongkrong di
tempat biasa ya? Ada teman kita mau ketemu.” Ujar Bobi sambil melirik Dika yang
masih kebingungan.
“Iyaaa, di tempat biasanya. Oh ya,
jangan lupa ajak Raihan sekalian.” Dika makin keget, nama terakhir yang disebut
oleh Bobi adalah “kepingan” terakhir di masa kecilnya.
“Oke, tenang aja. Nanti kawan kita
ini yang traktir kok. Hehehehehe.” Bobi mengakhiri panggilan teleponnya.
Senyumnya kembali melebar.
“Nanti pulang kerja kita nongkrong
dulu.” Ujarnya sembari kembali menyalakan satu batang rokok lagi.
“Ta-Tapi Aku nggak bisa, istriku
sendirian di rumah.” Ucap Dika beralasan untuk menolak ajakan Bobi.
“Ayolah Dik, kamu masa nggak kangen
sama temen-temenmu dulu? Hmmm? Bisa kan?” Bobi kembali memberi tatapan tajam,
tangannya kembali merangkul leher Dika yang duduk di sampingnya.
“Oke, aku bisa…” Dika tak punya
pilihan lain selain menerima ajakan pria bertubuh besar itu. Gelak tawa Bobi
kembali terdengar membahana.
***
Suasana di dalam sebuah bar pusat
kota terlihat begitu ramai. Hingar bingar musik live yang tersaji makin
menambah kemeriahan, sementara banyak para pengunjung sibuk dengan minuman dan
canda tawa mereka. Di salah satu meja Bobi, Tomi, Raihan, dan Dika pun
demikian. Kecuali Dika, ketiga pria itu saling tertawa mengingat masa kecil
mereka. Tak jarang ketiganya juga mengingat bagaimana banyak “keisengan” yang
menyasar Dika. Mereka bahkan sama sekali tak peduli sejak pertama kali bertemu,
Dika sama sekali tak exited dan terkesan tak nyaman.
“Wah! Jadi Lu sekarang jadi anak
buahnya Dika dong?!” Ujar Tomi dengan suara meninggi agar tak kalah dengan
bunyi live musik.
“Yoi bro! Dika sekarang jadi bos Gue!
Hahahaha!” Balas Bobi sembari mengguncang-guncangkan pundak Dika. Wajahnya
sudah merah efek dari minuman keras yang ditenggaknya dari tadi.
“Hebat Lu Dik! Nggak nyangka sekarang
Lu bisa di posisi seperti ini! Salut!” Sambut Raihan yang baru beberapa bulan
resmi menjadi seorang pengacara profesional itu.
“Terima kasih Han, aku juga nggak tau
kalo Bobi kerja di Cerion.” Ujar Dika.
“Terus kenapa Lu cabut drai kantor
lama Dik? Denger-denger posisi Lu di sana udah sekelas manager?” Sambung
Raihan.
“Udah nggak nyaman aja, pengen nyoba
tantangan baru.” Dika meminum coke dingin di hadapannya.
“Wah hebat banget Lu Dik! Di saat
ekonomi lesu kayak gini berani ngambil langkah drastis cuma gara-gara ngrasa
nggak nyaman? Gokil!” Celetuk Tomi menimpali. Sama seperti Bobi, pria yang
bekerja sebagai seorang kontraktor itu juga mulai mabuk. Wajahnya merah akibat
pengaruh alkohol.
“Cerion juga perusahaan gede kok, aku
sih yakin karierku bisa lebih berkembang di tempat baru.” Ucap Dika.
“Stop ngomongin kerjaan, waktunya
kita happy-happy!” Pekik Bobi seraya mengangkat gelasnya yang berisi beer.
“Ayo minum lah Dik! Jangan kayak
bencong!” Bobi menyodorkan segelas beer pada Dika namun pria berkacamata minus
itu menolaknya.
“Nggak usah, aku nggak minum.” Dika
merusaha menjauhkan gelas yang disodorkan oleh Bobi.
“Ayolah Dik, sekali ini aja langgar
prinsip hidupmu.” Seloroh Tomi.
“Ayo Dik, minum aja sedikit.” Raihan
ikut-ikutan mengompori.
Dika kembali terjebak pada situasi
tak bisa menolak sesuatu yang ditentangnya. Ragu-ragu pria itu menerima gelas yang disodorkan oleh
Bobi dan perlahan meneguk isinya. Reaksi yang diberikan oleh Dika langsung
mengundang gelak tawa Bobi, Tomi, dan Raihan. Ketiganya yakin benar jika inilah
kali pertama Dika menenggak minuman keras.
“Hahahahaha! Dika udah mulai nakal
sekarang! My Man!” Pekik Bobi sambil menepuk-nepuk pundak Dika.
Satu gelas, dua gelas, tiga gelas,
hingga gelas-gelas berikutnya habis oleh keempat pria itu. Tak butuh waktu lama
bagi Dika untuk menjadi orang yang paling duluan mabuk dan teler. Pengaruh
allohol membuat otaknya tak bisa berpikir jernih lagi, kesadarannya raib begitu
saja.
“Yah, dia udah teler berat. Terus
sekarang gimana? Siapa yang antar dia pulang?” Tanya Raihan saat melihat Dika
sudah meletakkan kepalanya di atas meja.
“Aku punya ide menarik!” Ujar Bobi
yang entah kenapa sebanyak apapun minuman keras telah ditenggaknya tapi masih
bisa mengontrol gerak tubuh layaknya orang normal.
“Lihat ini! Gimana? Cantik
bukan?” Bobi menunjukkan wallpaper
ponsel Dika yang tergeletak begitu saja di atas meja. Terliha foto seorang
wanita cantik dengan gigi gingsul menawan.
“Waahhh! Itu sih nggak cantik lagi
tapi sempurna!” Pekik Tomi yang langsung meraih ponsel Dika dari tangan Bobi.
“Itu istrinya Dika?” Tanya Raihan
yang tak kalah antusias.
“Kayaknya begitu, gimana kalo kita
nganterin dia pulang sekaligus bersilaturahmi dengan istrinya?” Bobi memberi
tekanan pada kalimat “silaturahmi” pada kedua temannya. Raihan dan Tomi saling
pandang seolah tau apa yang sedang dipikirkan oleh pria bertubuh besar itu.
“Lu yakin? Aman nggak?” Tanya Raihan.
“Alaahhh, masa Lu takut sama modelan
cowok culun kayak gini sih? Dia mau apa kalo malam ini kita ngerjain istrinya?”
Bobi dengan sengaja menoyor kepala Dika beberapa kali, memberi tanda jika pria
itu sama sekali sudah tak berdaya.
“Dunia memang nggak adil ya, Dika
yang culun bisa punya kerjaan mentereng dan istri secantik ini.” Gerutu Tomi
masih sambil memandangi layar ponsel Dika.
“Justru karena itu, malam ini kita
coba cicipi salah satu ketidakadilan itu. Hehehehehe.” Seloroh Bobi yang
langsung diaminkan oleh kedua temannya.

Posting Komentar
0 Komentar