HIJAB DI NEGERI LIBERTY

 

GENRE : HIJAB EROTIC 
JUMLAH HALAMAN : 210 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000

ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Aku menarik napas dalam-dalam saat menggapai koper dan berjalan melewati kerumunan. Bandara JFK cukup ramai, tapi aku terlalu lelah untuk peduli. Dengan langkah mantap, aku menuju pintu keluar sambil menyeret koper di belakangku. Mataku menyapu sekeliling, orang-orang sibuk dengan urusan mereka sendiri, tak ada yang mengenaliku di sini.

Meskipun ada beberapa orang yang memandangku dengan tatapan aneh karena aku memakai hijab, tapi ini tak membuatku risih atau terganggu. Setidaknya di sini tidak ada yang tiba-tiba mendatangiku untuk meminta tanda tangan atau sekedar berfoto bersama.

"Aruna! Over here!!"

Suara seorang wanita melengking tinggi, memecah konsentrasiku. Aku menoleh dan melihat Jane berdiri di dekat tiang tanda exit, tangannya melambai-lambai. Senyum langsung merekah di bibirku. Rasanya seperti menemukan oasis di tengah gurun.

"Jane! Oh God, how are you?!" Kami berpelukan erat. Aroma parfumnya yang khas langsung membuat rasa lelahku sedikit berkurang.

"Selamat datang di Amerika!" bisiknya sambil menepuk punggungku.

Aku hanya mengangguk. Tubuhku masih lelah, tapi setidaknya di sini, tak ada Ustadz Abdillah. Tak ada pertanyaan menyakitkan dari wartawan. Hanya aku, Jane, dan kebebasan yang sudah lama kurindukan. Sejak memutuskan untuk pergi dari Indonesia, kupahat niat kuat di sanubariku untuk melupakan hal-hal menyakitkan beberapa bulan terakhir.

Pernahkah kalian naik roller coaster? Sensasi jantung berdebar, perut melayang, antara ingin menjerit dan tertawa? Itulah yang kurasakan dalam satu tahun terakhir. Namaku Aruna Larasati, dan inilah kisahku tentang puncak ketenaran, jurang kehancuran, cinta, serta pengkhianatan yang meninggalkan luka mendalam.

Sejak kecil, aku sudah terbiasa berdiri di depan kamera. Mama selalu bilang aku istimewa, bahwa dunia akan mengenal namaku. Di usia lima tahun, saat anak-anak lain sibuk bermain boneka, aku sudah harus belajar tersenyum sempurna di depan lensa. Gaun sutra yang gatal, lampu panas yang menyengat, menjadi teman sehari-hariku. Aku tak pernah merasakan masa kecil yang normal, waktu bermainku digantikan oleh jadwal pemotretan padat.

Ketika remaja, hidupku berubah lebih drastis. Wajahku mulai menghiasi sampul majalah, lalu melompat ke layar televisi sebagai bintang iklan. Aku hafal betul aroma makeup tebal dan rasa lelah setelah seharian syuting. Tapi di balik senyum manisku di layar televisi, ada seorang gadis muda yang kesepian. Ketenaran memberiku segalanya, kecuali kebahagiaan yang sesungguhnya. Party di klub-klub mewah menjadi pelarian. Awalnya hanya minum cocktail, lalu berlanjut ke pil-pil kecil yang membuat dunia terasa lebih ringan.

"Santai, ini cuma buat hiburan," kata teman-temanku saat itu.

Aku percaya begitu saja. Hingga suatu hari, Mama menemukanku di kamar dengan jarum suntik masih menancap di lengan. Matanya merah, tangannya gemetar.

"Aku hanya ingin kamu sukses, Nak. Kenapa harus seperti ini…?" bisik Mama, suaranya pecah.

Rehabilitasi adalah neraka. Tiga bulan pertama, aku seperti binatang yang dikurung. Malam-malam diisi oleh teriakan dan air mata. Aku mencoba kabur berkali-kali, tapi selalu gagal total. Tubuhku memberontak, tapi perlahan, jiwaku mulai menyerah.

Lalu, dia datang.

Ustadz Abdillah Zulfikar, seorang dai muda yang sedang naik daun karena  video-video ceramahnya seringkali trending di media sosial. Ustadz Abdillah ternyata memiliki jadwal untuk mengisi kajian keagamaan di pusat rehabilitasi. Aku yang beragama Nasrani awalnya tak tertarik menghadiri acara tersebut, itu sangat bertentangan dengan keimanananku. Ya, meskipun aku sudah lupa kapan terakhir kalinya mendatangi gereja.

Hingga di suatu hari hatiku tiba-tiba tergerak untuk melihat kajian yang dipimpin oleh Ustadz Abdillah. Jujur, pertama kali melihat ketampanannya aku langsung jatuh cinta. Ya, jatuh cinta pada pandangan pertama! Sesuatu yang tak pernah terjadi padaku selama ini.  Ada sesuatu tentang caranya berbicara, tentang cara dia menyampaikan ayat-ayat Al-Quran seolah itu adalah puisi indah. Hatiku bergetar bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga kedamaian yang kurasakan setiap kali mendengarnya. Kalbuku bergetar, hatiku tergerak untuk mendalami ajaran Islam.

Lalu momen spesial itu hadir ketika Ustadz Abdillah mendatangiku, kami berdiskusi soal agama, sangat mendalam, hingga kemudian dia menawariku untuk berpindah keyakinan. Aku tentu tak langsung mengiyakannya, aku butuh waktu dan berdiskusi dengan Mamaku.

“Sesuaikan dengan kata hatimu, Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Aruna.” Begitu ucap Mama ketika aku membicarakan rencana untuk berpindah keyakinan.

Setelah memantapkan hati dan mendapat restu dari Mama, akhirnya aku berpindah keyakinan. Ustadz Abdillah adalah sosok yang mengislamkanku, tak sampai di situ saja, dia juga membantuku belajar ritual-ritual baru dalam agama yang baru aku anut. Aku makin jatuh cinta padanya, sangat jatuh cinta. Hubungan kami semakin dekat dan intens. Kesabaran serta kelembutannya membuat hidupku makin tenang dan damai.

Maka dua bulan setelah dinyatakan bersih dari narkoba, aku menerima pinangan Ustadz Abdillah. Pernikahan kami menjadi buah bibir. Media menjuluki kami "pasangan sempurna" mantan model yang kini jadi muallaf dan dai muda yang terkenal. Aku pikir, akhirnya aku menemukan kebahagiaan sejati. Tapi ternyata, cinta saja tidak cukup. Satu tahun setelah pernikahan, suamiku tanpa ada angin dan hujan tiba-tiba meminta ijin untuk melakukan poligami.

"Ini hakku sebagai suami, agama mengijinkannya." katanya dengan tenang, seolah sedang membicarakan menu makan malam.

Aku terpaku. Bagaimana mungkin pria yang dulu membimbingku ke jalan Tuhan, kini menggunakan dalil agama untuk menyakitiku? Hatiku hancur berkeping-keping, setelah banyak pengorbanan yang kulakukan, sang ustadz justru ingin menduakan aku. Padahal selama pernikahan kami, tak pernah sekalipun aku menolak keinginannya. Sebisa mungkin aku taat padanya, jadi istri soleha sebagaimana isi ceramahnya. Tapi apa balasannya untukku? Aku marah! Benar-benar marah!

Di tengah kekalutan yang melanda, tanpa pikir panjang aku menggugat cerai Ustadz Abdillah. Media pun kembali heboh. Ada yang memujiku sebagai wanita kuat, tapi lebih banyak yang mencapku sebagai "istri durhaka." Kata-kata mereka menyakitkan, tapi tak lebih sakit daripada pengkhianatan yang baru saja kualami. Mama bilang aku harus ikhlas, bahwa ini adalah ujian. Tapi bagaimana bisa ikhlas ketika hatimu hancur berkeping?

Aku memutuskan pergi ke Amerika. Jauh dari sorotan media, jauh dari semua kenangan yang menyakitkan. Di sini, aku belajar satu hal, hidup ini memang seperti roller coaster. Ada naik, ada turun, dan kadang kita ingin berteriak minta berhenti. Tapi kita harus tetap bertahan, karena hanya dengan begitu kita bisa sampai di garis akhir. Mungkin suatu hari nanti, aku akan menemukan jawaban. Atau mungkin tidak. Tapi yang pasti, aku tak mau lagi menjadi boneka dalam cerita orang lain.

“Kenapa melamun? Masih kepikiran masalah di Indonesia ya?” Suara Jane yang sedang mengemudikan mobil membuyarkan lamunanku, entah sudah berapa lama aku hanya berdiam seorang diri.

“Ah, nggak kok. Aku hanya capek aja.” Jawabku beralasan.

“By the way, kamu masih memakai itu?” Tanya Jane sambil melirik hijab yang kukenakan.

“Yup, aku nyaman memakainya.” Ujarku sambil tersenyum.

“Kamu makin terlihat cantik saat memakainya.” Sahut Jane.

“Yeah, setidaknya kamu melihatku tidak seperti teroris yang sedang membawa bom.” Candaku yang langsung disambut gelak tawa Jane.

Jane Natalie, bule pirang dengan mata biru yang selalu bersinar adalah sahabat dekat sekaligus penyelamatku. Kami pertama kali bertemu di sebuah pagelaran fashion show di New York beberapa tahun lalu. Aku langsung merasa cocok dengannya. Entah mengapa, ada energi hangat dari Jane yang membuatku nyaman bercerita tentang apapun, termasuk kisruh rumah tanggaku yang berantakan.

"Kamu butuh liburan, Aruna. Come to New York, stay at my place," katanya lewat pesan singkat suatu malam. Dan sekarang, aku di sini mengikuti sarannya.

Mobil terus melaju menjauh dari bandara saat langit mulai gelap. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku memandang keluar jendela, mencoba menikmati pemandangan kota New York yang dihiasi lampu-lampu gemerlap dan gedung-gedung pencakar langit. Tak lama kemudian, kami sampai di apartemen Jane. Mobil masuk ke basement, dan kami segera membawa barang-barangku ke dalam.

"Selamat datang, Aruna!" Jane membukakan pintu lebar-lebar.

“Terima kasih Jane.”

Aku melangkah masuk, mata langsung menyapu apartemennya yang cukup luas dan elegan. Ruang tamu minimalis dengan sofa berwarna abu-abu, di bagian belakang terdapat dapur mini yang bersih, beberapa lukisan abstrak terpasang rapi di dinding, semua terlihat begitu Jane, simpel tapi penuh gaya. Ada dua kamar tidur di sini, salah satunya adalah kamar tamu yang akan kutempati selama berada di New York.

“Lebih baik kamu mandi sekarang, setelah itu kita keluar mencari makan.”

“Sound good!” Balasku sebelum masuk ke kamar.

Setelah mandi air hangat, tubuhku yang lelah akibat jatlag mulai terasa lebih ringan. Aku berganti baju santai dan siap untuk makan malam. Jane mengajakku ke restoran Thai favoritnya. Aroma tomyam asam pedas langsung menggugah selera begitu kami masuk. Sambil makan malam kami mulai bercerita tentang segala hal, dunia modeling, kehidupan di New York, hingga kisah-kisah lucu masa lalu.

"Aku senang sekali akhirnya kamu bisa datang ke sini." ujar Jane sambil menyeruput minumannya.

"Hidup di kota besar seperti New York terasa sepi, Aruna. Semua orang sibuk dengan dunianya sendiri. Tapi, sekarang aku tidak kesepian lagi karena ada kamu.” Lanjutnya dengan mata berbinar. Aku mengangguk paham. Rasanya aneh mendengar Jane, wanita kuat dan mandiri ini, mengakui kesepian.

“Aku yang harusnya berterima kasih karena mau menampungku sementara waktu. Aku butuh menjauh sampai masalahku di Indonesia mereda.” Jane menggenggam tanganku.

“Apapun yang kamu butuhkan, aku selalu siap membantu Aruna.” Ujarnya tulus.

“Lalu bagaimana dengan proses perceraianmu?” Tanyanya kemudian, mataku menerawang menembus kaca restoran.

“Entahlah, aku menyerahkan semuanya pada lawyer. Semoga saja nanti saat aku pulang ke Indonesia aku tak lagi disibukkan dengan urusan-urusan menyebalkan lagi.” Suaraku terdengar lebih rendah, aku sengaja untuk menyembunyikan emosiku.

“All is well Aruna. Aku janji, selama di sini kamu akan jadi Aruna yang baru!”

“Apa maksudmu?” Tanyaku, pandanganku beralih padanya. Senyum simpul terlihat di wajah Jane.

“Aku akan membuatmu lupa dengan semua masalah di Indonesia.” Jane kembali menyeruput minumannya.

“Bagaimana caranya?” Aku makin penasaran.

“Hahahaha! Kita lihat saja nanti. Aku berharap kamu bisa happy di sini ya.”

“Terima kasih Jane..”

 

***

 

Sinar matahari pagi menyelinap lewat tirai jendela kamar, membangunkanku dari tidur yang nyenyak sejak semalam. Aku mengedip-ngedipkan mata, perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya. Aku meregangkan badan, lalu menjejakkan kaki di lantai yang dingin. Gaun tidurku melorot sedikit, tapi tak kuhiraukan. Tenggorokanku terasa kering, jadi kuambil gelas air di bufet kecil dekat ranjang dan meneguknya perlahan.

"Jane…?" panggilku pelan sambil berjalan keluar kamar.

Begitu kubuka pintu kamar, suasana apartemen nampak sunyi, tapi telingaku menangkap sesuatu.

“Aaachhh! Fuck! Fuck…!”

Desahan.

Napas berat.

Dan geraman seorang pria.

Jantungku berdegup kencang. Aku menahan napas, melangkah pelan-pelan mendekati sumber suara. Perlahan, kusandarkan tubuh ke tembok dan mengintip ke arah dapur yang berada tak jauh dari kamarku..

Ya Tuhan!

Kulihat Jane berdiri sedikit menungging, kedua tangannya menekan permukaan kulkas. Kemeja tidurnya yang longgar terbuka lebar, memperlihatkan payudaranya yang bulat. Celana dalamnya pun telah melorot sampai lutut, dan di belakangnya seorang pria berkumis, bertubuh kekar dengan kulit sawo matang menggenggam erat pinggul Jane, menggenjotnya dengan kasar. Aku langsung menarik diri, punggungku menempel dingin di tembok. Apa yang harus kulakukan? Terus melihat mereka? Atau pura-pura tidak tau dan kembali ke kamar?

“Ooh yes! Ssshh! Fuck!" Jane mendesah, saat pria itu menghantamnya dari belakang lebih dalam.

“Why honey??”

“Enaaakkk! Fuck! Fuck!”

Suara desahan Jane memaksaku untuk kembali mengintip. Tangan kekar pria itu bergerak ke depan, menangkup kedua payudara Jane dan meremasnya sambil terus menggenjot vagina Jane dari belakang. Sesekali dia mendengus saat hentakannya membuat tubuh Jane terdorong nyaris menghantam pintu lemari es.

"Vaginamu sesak sekali, sayang..." Ujar pria beretnis India itu sambil terus menggerakkan pinggulnya dengan irama cepat.

Lemari es bergetar keras setiap kali tubuh Jane terhempas akibat sodokan pria itu. Kedua kakinya yang jenjang terentang lebar, celana dalamnya kini sudah tersangkut di salah satu mata kaki. Aku bisa melihat semuanya dengan jelas, bagaimana penis besar masuk-keluar di dalam vagina Jane, basah oleh cairan mereka yang bercampur. Suara tumbukan kulit yang saling bersentuhan keras memenuhi ruangan.

PLAK!

PLAK!

PLAK!

"Ah! God! Right there! Jangan berhenti!" Jane menjerit, tangannya mencengkeram gagang pintu lemari es kuat-kuat, ekspresi wajahnya menggambarkan kenikmatan luar biasa.

Tubuhku bereaksi sendiri tanpa bisa kucegah. Tangan kiriku meremas payudara, sementara jemari kananku sudah menyelinap masuk ke celana dalam. Aku merasakan vagina berdenyut-denyut mengikuti irama hentakan tubuh mereka. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan hanya karena terkejut. Ada panas yang tiba-tiba menjalar. Jariku mulai bergerak, mengelus permukaan vagina yang sudah lembab dan basah.

Tidak! Apa yang kulakukan?

Sebagian otak warasku menolak gerakan tanganku, tapi sebagian lagi merespon apa yang sedang kulihat saat ini. Pria itu kini memegangi pinggul Jane dengan kedua tangan, menariknya ke belakang untuk menancapkan penisnya lebih dalam. Aku terhenyak, sekelebat bayangan masa lalu saat Ustadz Abdillah menyetubuhiku kembali terbayang. Jujur, aku juga rindu disentuh oleh laki-laki setelah sekian lama tak pernah mendapatkannya.

"Kamu suka digenjot kasar seperti ini ya?!"

Jane hanya bisa mengangguk tak karuan, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan desahan-desahan pendek. Aku tak bisa memalingkan muka bahkan jika ingin. Ini jauh lebih panas dari semua cerita vulgar Jane yang pernah kudengar.

"Ooohh…God…yess….! Eeeenngghhh!!"

 Jane mengerang panjang, tubuhnya melengkung seperti busur yang tegang sebelum akhirnya menggeliat tak terkendali. Kulihat betapa dalam pria itu menancapkan penisnya, setiap dorongan membuat pantat  bergetar. Aku yakin vagina Jane pasti sudah sangat becek oleh cairannya sendiri. Pria itu tak berhenti, terus menggenjot bahkan saat tubuh Jane sudah kejang-kejang kecil. Hingga beberapa menit kemudian pria itu melepas keluar batang penisnya dari dalam vagina.

Oh Tuhan!

Penisnya berwarna hitam legam, bentuknya tebal dan panjang, masih mengkilap dan basah. Jane, dengan napas tersengal kemudian jatuh berlutut di depan pria itu. Tangan Jane meraih batang penis kemudian mulai mengusap-usap dari pangkal hingga ke ujung dengan gerakan perlahan. Aku menggigit bibir bawahku sendiri. Tanganku bergerak lebih cepat di antara paha, jariku menyelip masuk ke dalam vagina yang sudah basah kuyup.

Dulu saat masih bersama Ustadz Abdillah, aku tak pernah merasakan kenikmatan bercinta. Mantan suamiku itu selain tak memiliki penis sebesar pria yang sedang menyetubuhi Jane saat ini, dia juga tak pernah bisa bertahan lama. Memang laki-laki brengsek, bisa-bisanya dia punya pikiran memiliki dua istri sementara denganku saja tak pernah bisa memuaskan di ranjang.

 Aku menelan ludah saat melihat Jane harus menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam penis pria itu. Belum pernah kulihat yang sebesar itu, bahkan di film porno sekalipun. Jane kemudian menjilat dari pangkal hingga ke ujung penis, lidahnya  melilit perlahan seperti ular.

"Keluarin di mulutku, please!" rengek Jane sebelum mengulum batang besar itu. Pria itu mengerang, kepalanya terlempar ke belakang.

"Uuhh yeah! Good girl!" Tangannya mencengkeram rambut pirang Jane, mendorong kepalanya maju-mundur dengan kecepatan tunggi, aku bisa melihat rongga mult Jane begitu sesak dipenuhi penis yang begitu luar biasa besar.

Aku merasakan panas di antara pahaku sendiri. Jari-jariku bergerak lebih cepat, menggosok klitoris yang sudah membengkak, membayangkan bagaimana rasanya jika penis sebesar itu yang memenuhi vaginaku. Aku bukan Jane yang begitu binal dan bisa tidur dengan sembarang pria. Tapi tubuhku membantah. Putingku mengeras, cairan dari vaginaku merembes makin banyak.

"I’m cumming! Occhh! Fucckkk!!”

Tak lama pria India itu mengerang panjang, sperma kental muncrat begitu deras dari lubang kencingnya. Jane menelan setiap tetes sperma itu, mulutnya menyedot kuat kepala penis, tangan kanannya mengocok batang penis yang masih berdenyut. Tak setetes pun sperma terbuang. Pria itu akhirnya melepaskan genggaman di rambut Jane, tubuhnya lunglai, punggungnya bersandar di meja dapur. Penisnya terlihat masih besar, bahkan dalam keadaan lemas sekalipun, menggantung gagah di antara pahanya.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan penis hitam itu masih membakar pikiranku. Aku menarik diri pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara. Jantungku masih berdegup kencang saat menyelinap kembali masuk ke kamar dan langsung menuju kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menelanjangi tubuhku sendiri.

“Ooohh...Sssshhhhhh…!”

Sensasi geli langsung menyambar begitu jariku menyentuh bibir vagina. Aku menggesek-gesekkan jari di sekitar klitoris, sementara tangan tangan kiri meremas payudaraku sendiri, memilin puting yang sudah keras seperti kelereng.

"Ahh..." Bibirku mendesah.

Aku membayangkan bagaimana rasanya jika penis besar si pria India yang memenuhi vaginaku. Jari-jariku bergerak lebih cepat. Sekitar lima menit kemudian, tubuhku tiba-tiba menegang. Gelombang dahsyat mulai menerpaku tanpa ampun.

"Nnngh...!"

Orgasme benar-benar menghantamku. Kakiku gemetar saat cairan hangat mengalir dari vagina, membasahi jariku yang masih bergerak di sekitar klitoris. Tubuhku melorot lemas di lantai, bersandar di dinding kamar mandi. Saat melihat ke bawah, kulihat cairan bening lengket di antara jariku.

“Aaahhhhh…”

Sejenak kutenangkan deru nafasku yang menggebu, ada semacam kepuasan tersendiri meskipun ini hanya akibat dari masturbasi. Setidaknya orgasmeku barusan bisa mengalihkan pikiran dari segala macam masalahku di Indonesia. Setelah membersihkan badan sekaligus mandi, aku bergegas keluar kamar. Baru saja kubuka pintu kamar, Jane sudah menyambutku dengan senyum lebar.

"Aruna!" Aku bisa melihat matanya yang masih berbinar, sisa nafsu yang belum sepenuhnya hilang.

Jane tak sendirian, dia masih bersama si pria India yang penisnya sesaat lalu jadi bahan fantasiku. Aku bersikap setenang mungkin agar tak memancing kecurigaan. Mereka sudah rapi. Jane sudah memakai kemejanya, rambut pirangnya tersisir rapi. Sementara si pria India memakai polo t-shirt dan celana jeans, terlihat jauh lebih santai dan rapi.

"Kau sudah bangun? Aku baru saja mau mengantar Kumar keluar." ujar Jane dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa.

Kumar, ternyata itu nama si pria India berpenis monster, ia mengangguk sopan padaku. Matanya yang hitam mengamatiku dari ujung kepala sampai kaki, membuatku tiba-tiba sadar bahwa aku hanya memakai celana hotpants dan tanktop tipis.

"Oh ya, kenalin ini Kumar. Dia tukang listrik, baru saja benerin fan kitchenku." ujar Jane dengan nada terlalu riang, seolah mencoba meyakinkanku bahwa suara desahan tadi hanyalah suara mesin yang sedang diperbaiki. Aku hanya mengangguk. Kumar menjulurkan tangannya.

 "Hi, nice to meet you, welcome to the US!"

"Hello, nice to meet you too," balasku, mencoba tersenyum sopan.

Tangannya terasa hangat dan kuat saat menjabat tanganku terlalu lama. Aku bisa merasakan matanya kembali menyapu tubuhku, mulai dari paha hingga ke belahan dada. Napasku sedikit tersendat saat jempolnya tanpa malu mengusap lembut punggung tanganku. Apa dia tahu aku melihat persetubuhannya tadi? Kumar akhirnya melepaskan genggamanku, tapi senyum masih menggantung di bibirnya.

"Well, ladies, I gotta go. Have a nice day," ucapnya sebelum berbalik dan melangkah keluar. Begitu pintu tertutup, Jane langsung menarik napas panjang.

 "Ayo sarapan, Aruna!" serunya sambil berjalan menuju meja dapur, tempat yang sama di mana tadi aku melihatnya menghisap penis Kumar hingga spermanya muncrat.

Aku mengikuti Jane dengan langkah gugup. Dapur masih terasa hangat, Jane dengan santai mengambil mangkuk sereal, seolah tidak ada yang terjadi. Aku mengambil kursi memperhatikan sosok wanita binal yang baru saja dipuaskan oleh penis raksasa. Aku mencoba untuk tenang, setidaknya aku tau bagaimana gaya hidup di sini mulai sekarang.


Posting Komentar

0 Komentar