HIJAB DI NEGERI LIBERTY
PART 1
Aku menarik napas dalam-dalam saat
menggapai koper dan berjalan melewati kerumunan. Bandara JFK cukup ramai, tapi
aku terlalu lelah untuk peduli. Dengan langkah mantap, aku menuju pintu keluar
sambil menyeret koper di belakangku. Mataku menyapu sekeliling, orang-orang
sibuk dengan urusan mereka sendiri, tak ada yang mengenaliku di sini.
Meskipun ada beberapa orang yang
memandangku dengan tatapan aneh karena aku memakai hijab, tapi ini tak
membuatku risih atau terganggu. Setidaknya di sini tidak ada yang tiba-tiba
mendatangiku untuk meminta tanda tangan atau sekedar berfoto bersama.
"Aruna! Over here!!"
Suara seorang wanita melengking
tinggi, memecah konsentrasiku. Aku menoleh dan melihat Jane berdiri di dekat
tiang tanda exit, tangannya melambai-lambai. Senyum langsung merekah di
bibirku. Rasanya seperti menemukan oasis di tengah gurun.
"Jane! Oh God, how are you?!"
Kami berpelukan erat. Aroma parfumnya yang khas langsung membuat rasa lelahku
sedikit berkurang.
"Selamat datang di Amerika!"
bisiknya sambil menepuk punggungku.
Aku hanya mengangguk. Tubuhku masih
lelah, tapi setidaknya di sini, tak ada Ustadz Abdillah. Tak ada pertanyaan
menyakitkan dari wartawan. Hanya aku, Jane, dan kebebasan yang sudah lama
kurindukan. Sejak memutuskan untuk pergi dari Indonesia, kupahat niat kuat di
sanubariku untuk melupakan hal-hal menyakitkan beberapa bulan terakhir.
Pernahkah kalian naik roller
coaster? Sensasi jantung berdebar, perut melayang, antara ingin menjerit
dan tertawa? Itulah yang kurasakan dalam satu tahun terakhir. Namaku Aruna
Larasati, dan inilah kisahku tentang puncak ketenaran, jurang kehancuran,
cinta, serta pengkhianatan yang meninggalkan luka mendalam.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa
berdiri di depan kamera. Mama selalu bilang aku istimewa, bahwa dunia akan
mengenal namaku. Di usia lima tahun, saat anak-anak lain sibuk bermain boneka,
aku sudah harus belajar tersenyum sempurna di depan lensa. Gaun sutra yang
gatal, lampu panas yang menyengat, menjadi teman sehari-hariku. Aku tak pernah
merasakan masa kecil yang normal, waktu bermainku digantikan oleh jadwal
pemotretan padat.
Ketika remaja, hidupku berubah lebih drastis.
Wajahku mulai menghiasi sampul majalah, lalu melompat ke layar televisi sebagai
bintang iklan. Aku hafal betul aroma makeup tebal dan rasa lelah setelah
seharian syuting. Tapi di balik senyum manisku di layar televisi, ada seorang
gadis muda yang kesepian. Ketenaran memberiku segalanya, kecuali kebahagiaan
yang sesungguhnya. Party di klub-klub mewah menjadi pelarian. Awalnya hanya
minum cocktail, lalu berlanjut ke pil-pil kecil yang membuat dunia terasa lebih
ringan.
"Santai, ini cuma buat
hiburan," kata teman-temanku saat itu.
Aku percaya begitu saja. Hingga suatu
hari, Mama menemukanku di kamar dengan jarum suntik masih menancap di lengan.
Matanya merah, tangannya gemetar.
"Aku hanya ingin kamu sukses,
Nak. Kenapa harus seperti ini…?" bisik Mama, suaranya pecah.
Rehabilitasi adalah neraka. Tiga
bulan pertama, aku seperti binatang yang dikurung. Malam-malam diisi oleh
teriakan dan air mata. Aku mencoba kabur berkali-kali, tapi selalu gagal total.
Tubuhku memberontak, tapi perlahan, jiwaku mulai menyerah.
Lalu, dia datang.
Ustadz Abdillah Zulfikar, seorang dai
muda yang sedang naik daun karena
video-video ceramahnya seringkali trending di media sosial. Ustadz
Abdillah ternyata memiliki jadwal untuk mengisi kajian keagamaan di pusat
rehabilitasi. Aku yang beragama Nasrani awalnya tak tertarik menghadiri acara
tersebut, itu sangat bertentangan dengan keimanananku. Ya, meskipun aku sudah
lupa kapan terakhir kalinya mendatangi gereja.
Hingga di suatu hari hatiku tiba-tiba
tergerak untuk melihat kajian yang dipimpin oleh Ustadz Abdillah. Jujur,
pertama kali melihat ketampanannya aku langsung jatuh cinta. Ya, jatuh cinta
pada pandangan pertama! Sesuatu yang tak pernah terjadi padaku selama ini. Ada sesuatu tentang caranya berbicara, tentang
cara dia menyampaikan ayat-ayat Al-Quran seolah itu adalah puisi indah. Hatiku
bergetar bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga kedamaian yang kurasakan
setiap kali mendengarnya. Kalbuku bergetar, hatiku tergerak untuk mendalami
ajaran Islam.
Lalu momen spesial itu hadir ketika
Ustadz Abdillah mendatangiku, kami berdiskusi soal agama, sangat mendalam,
hingga kemudian dia menawariku untuk berpindah keyakinan. Aku tentu tak
langsung mengiyakannya, aku butuh waktu dan berdiskusi dengan Mamaku.
“Sesuaikan dengan kata hatimu, Mama
hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Aruna.” Begitu ucap Mama ketika aku
membicarakan rencana untuk berpindah keyakinan.
Setelah memantapkan hati dan mendapat
restu dari Mama, akhirnya aku berpindah keyakinan. Ustadz Abdillah adalah sosok
yang mengislamkanku, tak sampai di situ saja, dia juga membantuku belajar
ritual-ritual baru dalam agama yang baru aku anut. Aku makin jatuh cinta
padanya, sangat jatuh cinta. Hubungan kami semakin dekat dan intens. Kesabaran
serta kelembutannya membuat hidupku makin tenang dan damai.
Maka dua bulan setelah dinyatakan
bersih dari narkoba, aku menerima pinangan Ustadz Abdillah. Pernikahan kami
menjadi buah bibir. Media menjuluki kami "pasangan sempurna" mantan
model yang kini jadi muallaf dan dai muda yang terkenal. Aku pikir, akhirnya
aku menemukan kebahagiaan sejati. Tapi ternyata, cinta saja tidak cukup. Satu
tahun setelah pernikahan, suamiku tanpa ada angin dan hujan tiba-tiba meminta
ijin untuk melakukan poligami.
"Ini hakku sebagai suami, agama
mengijinkannya." katanya dengan tenang, seolah sedang membicarakan menu
makan malam.
Aku terpaku. Bagaimana mungkin pria
yang dulu membimbingku ke jalan Tuhan, kini menggunakan dalil agama untuk
menyakitiku? Hatiku hancur berkeping-keping, setelah banyak pengorbanan yang
kulakukan, sang ustadz justru ingin menduakan aku. Padahal selama pernikahan
kami, tak pernah sekalipun aku menolak keinginannya. Sebisa mungkin aku taat
padanya, jadi istri soleha sebagaimana isi ceramahnya. Tapi apa balasannya
untukku? Aku marah! Benar-benar marah!
Di tengah kekalutan yang melanda,
tanpa pikir panjang aku menggugat cerai Ustadz Abdillah. Media pun kembali
heboh. Ada yang memujiku sebagai wanita kuat, tapi lebih banyak yang mencapku sebagai
"istri durhaka." Kata-kata mereka menyakitkan, tapi tak lebih sakit
daripada pengkhianatan yang baru saja kualami. Mama bilang aku harus ikhlas,
bahwa ini adalah ujian. Tapi bagaimana bisa ikhlas ketika hatimu hancur
berkeping?
Aku memutuskan pergi ke Amerika. Jauh
dari sorotan media, jauh dari semua kenangan yang menyakitkan. Di sini, aku
belajar satu hal, hidup ini memang seperti roller coaster. Ada naik, ada
turun, dan kadang kita ingin berteriak minta berhenti. Tapi kita harus tetap
bertahan, karena hanya dengan begitu kita bisa sampai di garis akhir. Mungkin
suatu hari nanti, aku akan menemukan jawaban. Atau mungkin tidak. Tapi yang
pasti, aku tak mau lagi menjadi boneka dalam cerita orang lain.
“Kenapa melamun? Masih kepikiran
masalah di Indonesia ya?” Suara Jane yang sedang mengemudikan mobil membuyarkan
lamunanku, entah sudah berapa lama aku hanya berdiam seorang diri.
“Ah, nggak kok. Aku hanya capek aja.”
Jawabku beralasan.
“By the way, kamu masih memakai itu?” Tanya Jane
sambil melirik hijab yang kukenakan.
“Yup, aku nyaman memakainya.” Ujarku
sambil tersenyum.
“Kamu makin terlihat cantik saat
memakainya.” Sahut Jane.
“Yeah, setidaknya kamu melihatku
tidak seperti teroris yang sedang membawa bom.” Candaku yang langsung disambut
gelak tawa Jane.
Jane Natalie, bule pirang dengan mata
biru yang selalu bersinar adalah sahabat dekat sekaligus penyelamatku. Kami
pertama kali bertemu di sebuah pagelaran fashion show di New York
beberapa tahun lalu. Aku langsung merasa cocok dengannya. Entah mengapa, ada
energi hangat dari Jane yang membuatku nyaman bercerita tentang apapun,
termasuk kisruh rumah tanggaku yang berantakan.
"Kamu butuh liburan, Aruna. Come
to New York, stay at my place," katanya lewat pesan singkat suatu
malam. Dan sekarang, aku di sini mengikuti sarannya.
Mobil terus melaju menjauh dari
bandara saat langit mulai gelap. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Aku memandang keluar jendela, mencoba menikmati pemandangan kota New York yang
dihiasi lampu-lampu gemerlap dan gedung-gedung pencakar langit. Tak lama
kemudian, kami sampai di apartemen Jane. Mobil masuk ke basement, dan
kami segera membawa barang-barangku ke dalam.
"Selamat datang, Aruna!"
Jane membukakan pintu lebar-lebar.
“Terima kasih Jane.”
Aku melangkah masuk, mata langsung
menyapu apartemennya yang cukup luas dan elegan. Ruang tamu minimalis dengan
sofa berwarna abu-abu, di bagian belakang terdapat dapur mini yang bersih, beberapa
lukisan abstrak terpasang rapi di dinding, semua terlihat begitu Jane, simpel
tapi penuh gaya. Ada dua kamar tidur di sini, salah satunya adalah kamar tamu
yang akan kutempati selama berada di New York.
“Lebih baik kamu mandi sekarang,
setelah itu kita keluar mencari makan.”
“Sound good!” Balasku sebelum masuk ke kamar.
Setelah mandi air hangat, tubuhku
yang lelah akibat jatlag mulai terasa lebih ringan. Aku berganti baju santai
dan siap untuk makan malam. Jane mengajakku ke restoran Thai favoritnya. Aroma
tomyam asam pedas langsung menggugah selera begitu kami masuk. Sambil makan
malam kami mulai bercerita tentang segala hal, dunia modeling, kehidupan di New
York, hingga kisah-kisah lucu masa lalu.
"Aku senang sekali akhirnya kamu
bisa datang ke sini." ujar Jane sambil menyeruput minumannya.
"Hidup di kota besar seperti New
York terasa sepi, Aruna. Semua orang sibuk dengan dunianya sendiri. Tapi,
sekarang aku tidak kesepian lagi karena ada kamu.” Lanjutnya dengan mata
berbinar. Aku mengangguk paham. Rasanya aneh mendengar Jane, wanita kuat dan
mandiri ini, mengakui kesepian.
“Aku yang harusnya berterima kasih
karena mau menampungku sementara waktu. Aku butuh menjauh sampai masalahku di
Indonesia mereda.” Jane menggenggam tanganku.
“Apapun yang kamu butuhkan, aku
selalu siap membantu Aruna.” Ujarnya tulus.
“Lalu bagaimana dengan proses
perceraianmu?” Tanyanya kemudian, mataku menerawang menembus kaca restoran.
“Entahlah, aku menyerahkan semuanya
pada lawyer. Semoga saja nanti saat aku pulang ke Indonesia aku tak lagi
disibukkan dengan urusan-urusan menyebalkan lagi.” Suaraku terdengar lebih
rendah, aku sengaja untuk menyembunyikan emosiku.
“All is well Aruna. Aku janji, selama di sini
kamu akan jadi Aruna yang baru!”
“Apa maksudmu?” Tanyaku, pandanganku
beralih padanya. Senyum simpul terlihat di wajah Jane.
“Aku akan membuatmu lupa dengan semua
masalah di Indonesia.” Jane kembali menyeruput minumannya.
“Bagaimana caranya?” Aku makin
penasaran.
“Hahahaha! Kita lihat saja nanti. Aku
berharap kamu bisa happy di sini ya.”
“Terima kasih Jane..”
***
Sinar matahari pagi menyelinap lewat
tirai jendela kamar, membangunkanku dari tidur yang nyenyak sejak semalam. Aku
mengedip-ngedipkan mata, perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya. Aku
meregangkan badan, lalu menjejakkan kaki di lantai yang dingin. Gaun tidurku
melorot sedikit, tapi tak kuhiraukan. Tenggorokanku terasa kering, jadi kuambil
gelas air di bufet kecil dekat ranjang dan meneguknya perlahan.
"Jane…?" panggilku pelan
sambil berjalan keluar kamar.
Begitu kubuka pintu kamar, suasana
apartemen nampak sunyi, tapi telingaku menangkap sesuatu.
“Aaachhh! Fuck! Fuck…!”
Desahan.
Napas berat.
Dan geraman seorang pria.
Jantungku berdegup kencang. Aku
menahan napas, melangkah pelan-pelan mendekati sumber suara. Perlahan,
kusandarkan tubuh ke tembok dan mengintip ke arah dapur yang berada tak jauh dari
kamarku..
Ya Tuhan!
Kulihat Jane berdiri sedikit
menungging, kedua tangannya menekan permukaan kulkas. Kemeja tidurnya yang
longgar terbuka lebar, memperlihatkan payudaranya yang bulat. Celana dalamnya pun
telah melorot sampai lutut, dan di belakangnya seorang pria berkumis, bertubuh
kekar dengan kulit sawo matang menggenggam erat pinggul Jane, menggenjotnya
dengan kasar. Aku langsung menarik diri, punggungku menempel dingin di tembok.
Apa yang harus kulakukan? Terus melihat mereka? Atau pura-pura tidak tau dan
kembali ke kamar?
“Ooh yes! Ssshh! Fuck!"
Jane mendesah, saat pria itu menghantamnya dari belakang lebih dalam.
“Why honey??”
“Enaaakkk! Fuck! Fuck!”
Suara desahan Jane memaksaku untuk
kembali mengintip. Tangan kekar pria itu bergerak ke depan, menangkup kedua
payudara Jane dan meremasnya sambil terus menggenjot vagina Jane dari belakang.
Sesekali dia mendengus saat hentakannya membuat tubuh Jane terdorong nyaris
menghantam pintu lemari es.
"Vaginamu sesak sekali,
sayang..." Ujar pria beretnis India itu sambil terus menggerakkan
pinggulnya dengan irama cepat.
Lemari es bergetar keras setiap kali
tubuh Jane terhempas akibat sodokan pria itu. Kedua kakinya yang jenjang
terentang lebar, celana dalamnya kini sudah tersangkut di salah satu mata kaki.
Aku bisa melihat semuanya dengan jelas, bagaimana penis besar masuk-keluar di dalam
vagina Jane, basah oleh cairan mereka yang bercampur. Suara tumbukan kulit yang
saling bersentuhan keras memenuhi ruangan.
PLAK!
PLAK!
PLAK!
"Ah! God! Right there!
Jangan berhenti!" Jane menjerit, tangannya mencengkeram gagang pintu
lemari es kuat-kuat, ekspresi wajahnya menggambarkan kenikmatan luar biasa.
Tubuhku bereaksi sendiri tanpa bisa
kucegah. Tangan kiriku meremas payudara, sementara jemari kananku sudah
menyelinap masuk ke celana dalam. Aku merasakan vagina berdenyut-denyut
mengikuti irama hentakan tubuh mereka. Aku merasakan sesuatu yang aneh.
Jantungku berdegup kencang, tapi bukan hanya karena terkejut. Ada panas yang
tiba-tiba menjalar. Jariku mulai bergerak, mengelus permukaan vagina yang sudah
lembab dan basah.
Tidak! Apa yang kulakukan?
Sebagian otak warasku menolak gerakan
tanganku, tapi sebagian lagi merespon apa yang sedang kulihat saat ini. Pria
itu kini memegangi pinggul Jane dengan kedua tangan, menariknya ke belakang
untuk menancapkan penisnya lebih dalam. Aku terhenyak, sekelebat bayangan masa
lalu saat Ustadz Abdillah menyetubuhiku kembali terbayang. Jujur, aku juga
rindu disentuh oleh laki-laki setelah sekian lama tak pernah mendapatkannya.
"Kamu suka digenjot kasar
seperti ini ya?!"
Jane hanya bisa mengangguk tak
karuan, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan desahan-desahan pendek. Aku tak
bisa memalingkan muka bahkan jika ingin. Ini jauh lebih panas dari semua cerita
vulgar Jane yang pernah kudengar.
"Ooohh…God…yess….!
Eeeenngghhh!!"
Jane mengerang panjang, tubuhnya melengkung
seperti busur yang tegang sebelum akhirnya menggeliat tak terkendali. Kulihat
betapa dalam pria itu menancapkan penisnya, setiap dorongan membuat pantat bergetar. Aku yakin vagina Jane pasti sudah
sangat becek oleh cairannya sendiri. Pria itu tak berhenti, terus menggenjot
bahkan saat tubuh Jane sudah kejang-kejang kecil. Hingga beberapa menit
kemudian pria itu melepas keluar batang penisnya dari dalam vagina.
Oh Tuhan!
Penisnya berwarna hitam legam, bentuknya
tebal dan panjang, masih mengkilap dan basah. Jane, dengan napas tersengal
kemudian jatuh berlutut di depan pria itu. Tangan Jane meraih batang penis
kemudian mulai mengusap-usap dari pangkal hingga ke ujung dengan gerakan
perlahan. Aku menggigit bibir bawahku sendiri. Tanganku bergerak lebih cepat di
antara paha, jariku menyelip masuk ke dalam vagina yang sudah basah kuyup.
Dulu saat masih bersama Ustadz
Abdillah, aku tak pernah merasakan kenikmatan bercinta. Mantan suamiku itu
selain tak memiliki penis sebesar pria yang sedang menyetubuhi Jane saat ini,
dia juga tak pernah bisa bertahan lama. Memang laki-laki brengsek, bisa-bisanya
dia punya pikiran memiliki dua istri sementara denganku saja tak pernah bisa
memuaskan di ranjang.
Aku menelan ludah saat melihat Jane harus
menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam penis pria itu. Belum pernah
kulihat yang sebesar itu, bahkan di film porno sekalipun. Jane kemudian menjilat
dari pangkal hingga ke ujung penis, lidahnya melilit perlahan seperti ular.
"Keluarin di mulutku, please!"
rengek Jane sebelum mengulum batang besar itu. Pria itu mengerang, kepalanya
terlempar ke belakang.
"Uuhh yeah! Good girl!"
Tangannya mencengkeram rambut pirang Jane, mendorong kepalanya maju-mundur
dengan kecepatan tunggi, aku bisa melihat rongga mult Jane begitu sesak
dipenuhi penis yang begitu luar biasa besar.
Aku merasakan panas di antara pahaku
sendiri. Jari-jariku bergerak lebih cepat, menggosok klitoris yang sudah
membengkak, membayangkan bagaimana rasanya jika penis sebesar itu yang memenuhi
vaginaku. Aku bukan Jane yang begitu binal dan bisa tidur dengan sembarang pria.
Tapi tubuhku membantah. Putingku mengeras, cairan dari vaginaku merembes makin
banyak.
"I’m cumming! Occhh! Fucckkk!!”
Tak lama pria India itu mengerang
panjang, sperma kental muncrat begitu deras dari lubang kencingnya. Jane
menelan setiap tetes sperma itu, mulutnya menyedot kuat kepala penis, tangan
kanannya mengocok batang penis yang masih berdenyut. Tak setetes pun sperma terbuang.
Pria itu akhirnya melepaskan genggaman di rambut Jane, tubuhnya lunglai,
punggungnya bersandar di meja dapur. Penisnya terlihat masih besar, bahkan
dalam keadaan lemas sekalipun, menggantung gagah di antara pahanya.
Aku menarik napas dalam-dalam,
mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan penis hitam itu masih membakar
pikiranku. Aku menarik diri pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara.
Jantungku masih berdegup kencang saat menyelinap kembali masuk ke kamar dan
langsung menuju kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menelanjangi
tubuhku sendiri.
“Ooohh...Sssshhhhhh…!”
Sensasi geli langsung menyambar
begitu jariku menyentuh bibir vagina. Aku menggesek-gesekkan jari di sekitar
klitoris, sementara tangan tangan kiri meremas payudaraku sendiri, memilin
puting yang sudah keras seperti kelereng.
"Ahh..." Bibirku mendesah.
Aku membayangkan bagaimana rasanya
jika penis besar si pria India yang memenuhi vaginaku. Jari-jariku bergerak
lebih cepat. Sekitar lima menit kemudian, tubuhku tiba-tiba menegang. Gelombang
dahsyat mulai menerpaku tanpa ampun.
"Nnngh...!"
Orgasme benar-benar menghantamku.
Kakiku gemetar saat cairan hangat mengalir dari vagina, membasahi jariku yang
masih bergerak di sekitar klitoris. Tubuhku melorot lemas di lantai, bersandar
di dinding kamar mandi. Saat melihat ke bawah, kulihat cairan bening lengket di
antara jariku.
“Aaahhhhh…”
Sejenak kutenangkan deru nafasku yang
menggebu, ada semacam kepuasan tersendiri meskipun ini hanya akibat dari
masturbasi. Setidaknya orgasmeku barusan bisa mengalihkan pikiran dari segala
macam masalahku di Indonesia. Setelah membersihkan badan sekaligus mandi, aku
bergegas keluar kamar. Baru saja kubuka pintu kamar, Jane sudah menyambutku
dengan senyum lebar.
"Aruna!" Aku bisa melihat
matanya yang masih berbinar, sisa nafsu yang belum sepenuhnya hilang.
Jane tak sendirian, dia masih bersama
si pria India yang penisnya sesaat lalu jadi bahan fantasiku. Aku bersikap
setenang mungkin agar tak memancing kecurigaan. Mereka sudah rapi. Jane sudah memakai
kemejanya, rambut pirangnya tersisir rapi. Sementara si pria India memakai polo
t-shirt dan celana jeans, terlihat jauh lebih santai dan rapi.
"Kau sudah bangun? Aku baru saja
mau mengantar Kumar keluar." ujar Jane dengan santai, seolah tidak terjadi
apa-apa.
Kumar, ternyata itu nama si pria
India berpenis monster, ia mengangguk sopan padaku. Matanya yang hitam
mengamatiku dari ujung kepala sampai kaki, membuatku tiba-tiba sadar bahwa aku
hanya memakai celana hotpants dan tanktop tipis.
"Oh ya, kenalin ini Kumar. Dia
tukang listrik, baru saja benerin fan kitchenku." ujar Jane dengan nada
terlalu riang, seolah mencoba meyakinkanku bahwa suara desahan tadi hanyalah
suara mesin yang sedang diperbaiki. Aku hanya mengangguk. Kumar menjulurkan
tangannya.
"Hi, nice to meet you, welcome to the
US!"
"Hello, nice to meet you too,"
balasku, mencoba tersenyum sopan.
Tangannya terasa hangat dan kuat saat
menjabat tanganku terlalu lama. Aku bisa merasakan matanya kembali menyapu
tubuhku, mulai dari paha hingga ke belahan dada. Napasku sedikit tersendat saat
jempolnya tanpa malu mengusap lembut punggung tanganku. Apa dia tahu aku
melihat persetubuhannya tadi? Kumar akhirnya melepaskan genggamanku, tapi
senyum masih menggantung di bibirnya.
"Well, ladies, I gotta go. Have
a nice day,"
ucapnya sebelum berbalik dan melangkah keluar. Begitu pintu tertutup, Jane
langsung menarik napas panjang.
"Ayo sarapan, Aruna!" serunya sambil
berjalan menuju meja dapur, tempat yang sama di mana tadi aku melihatnya menghisap
penis Kumar hingga spermanya muncrat.
Aku mengikuti Jane dengan langkah
gugup. Dapur masih terasa hangat, Jane dengan santai mengambil mangkuk sereal,
seolah tidak ada yang terjadi. Aku mengambil kursi memperhatikan sosok wanita
binal yang baru saja dipuaskan oleh penis raksasa. Aku mencoba untuk tenang,
setidaknya aku tau bagaimana gaya hidup di sini mulai sekarang.

Posting Komentar
0 Komentar