GELANGGANG BIRAHI

 

GENRE : DRAMA EROTIC (FULL MULUSTRASI)
JUMLAH HALAMAN : 183 HALAMAN
HARGA: Rp 25.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY



PART 1

 

Suasana di arena pertandingan bergemuruh penuh semangat. Ratusan penonton bersorak ketika dua gerbang besar terbuka. Dari gerbang timur, muncul seorang pendekar tinggi tegap dengan kulit sawo matang yang berkilau oleh keringat. Ia mengenakan baju perang sederhana, hanya pelindung lengan dan tulang kering, tanpa pelindung kepala. Di tangannya, ia membawa jaring dan sebilah pedang, senjatanya yang terkenal sangat mematikan.

"Kita sambut inilah JAYA KUSUMA! Si Maung dari tanah Pasundan!" teriak sang pembawa acara.

Sorak-sorai penonton memecah udara. Banyak dari mereka mulai memasang taruhan. Tak lama kemudian, gerbang barat terbuka. Keluarlah lawannya, seorang pendekar gagah dengan tubuh tak kalah kekar. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, rambutnya panjang dibiarkan tergerai berkibar ditiup angin. Pedangnya tajam masih bernoda darah dari pertarungan sebelumnya, sementara perisai di tangan kirinya siap menangkis serangan.

Seketika, kerumunan penonton meledak dalam sorakan. Mereka mengenalinya sebagai sang jawara, pendekar yang belum pernah kalah dalam satu pun pertarungan di arena ini. Dia datang dengan membawa reputasi mengerikan, pembantai lima petarung sekaligus, penakluk harimau dan buaya, serta pendekar yang tak kenal belas kasihan.

"Inilah sang jawara kita, GALANG KENCANA! Si Elang Jawa!"

Sorak penonton memekakkan telinga, semua mata tertuju ke arena pertandingan. Kedua pendekar itu berjalan perlahan ke tengah, lalu membalikkan badan menghadap podium. Di sana, duduk para bangsawan, dan keluarga kerajaan Perak yang menyaksikan dengan antusias.

Sang pembawa acara mengangkat tangan, pertanda dimulainya pertarungan. Pukulan gong perang berbunyi nyaring. Jaya Kusuma langsung melesat seperti kilat, pedangnya menyambar ke arah Galang Kencana. Galang nyaris terlambat menghindar, namun perisainya berhasil menangkis serangan pertama itu. Dengan langkah gesit, ia mencoba mendekat, pedangnya siap mencabik.

PRANG!!

Jaya Kusuma tetap lincah, menjaga jarak sambil terus menghujamkan pedangnya ke arah Galang Kencana. Begitu Galang mundur, ia segera menyiapkan jaring. Dengan cepat, ia menancapkan pedang ke tanah agar tidak tersangkut, lalu memutar-mutar jaring di atas kepala sebelum melemparkannya. Jaring itu mengenai sasaran.

Galang Kencana bagaikan harimau yang terluka, meski terjerat jaring, ia terus merangsek maju. Pedangnya berkelebat, menancap di paha Jaya Kusuma hingga sang lawan terjatuh. Namun, dengan gerakan gesit, Jaya berguling dan bangkit tepat saat Galang hendak menyerang lengannya yang memegang jaring.

PRANG!

PRANG!!

Pedang kedua pendekar saling beradu hingga memercikkan bunga api. Perisai Galang menahan serangan demi serangan, tapi Jaya tak mau memberi kesempatan. Keduanya saling dorong, lalu melompat mundur, mengambil jarak lagi. Napas mereka berat, tapi sorot mata tetap tajam.

Penonton terpana, tak ada yang sempat berkedip. Pertarungan ini jauh lebih sengit dari bayangan mereka. Jaya Kusuma kembali menyerang. Pedangnya mengayun deras, mencoba menebas tubuh Galang. Perisai Galang menghantam pednag itu dengan keras, membuat tangan Jaya bergetar. Dalam sekejap, Galang memutar tubuhnya, lalu sikutnya menghantam punggung Jaya dengan dahsyat.

“Aaargh!!"

Jaya Kusuma mengerang kesakitan, punggungnya terasa seperti dipukul godam. Ia terhuyung, tapi sigap mengatur keseimbangan. Galang Kencana tak memberinya waktu, pedangnya menyambar cepat! Namun, Jaya sudah membaca gerakannya. Pedangnya melesat, menusuk ke depan.

SREETTT!

Perisai Galang berhasil menangkis, tapi ujung pedang milik Jaya menggores lengan kirinya. Tak berhenti di situ, Jaya memutar pedangnya, bagian bawah senjata itu menghantam kepala Galang dengan keras. Hantaman itu membuat tubuh Galang limbung. Telinganya berdenging, pandangannya berkunang-kunang. Kedua pendekar lalu saling menjauh, mengambil napas, sambil mengamati gerak lawan.

Jaya terlihat unggul. Ia kembali menyerang, kali ini dia melompat tinggi sebelum kemudian mendaratkan sebuah tendangan tepat ke dada Galang. Untuk kedua kalinya serangan Jaya berhasil membuat tubuh Galang limbung. Tapi Galang bukan pendekar sembarangan. Saat Jaya lengah karena merasa mulai unggul, pedangnya menyambar seperti kilat, mengiris lengan kanan Jaya yang memegang pedang.

SREETTT!

“AARGHHTT!!”

Sorak-sorai penonton meledak saat darah pertama mengalir. Ada yang bersorak gembira, ada pula yang memalingkan muka. Acara tarung jagad ini memang sebuah ironi, bagaimana tidak, hanya untuk memuaskan hasrat para bangsawan kerajaan untuk menyaksikan sebuah pertarungan antara para pendekar terbaik mereka rela menyuguhkan pertarungan berdarah bahkan sampai ada yang mati. Beberapa cendekiawan kerap mencela kebiasaan ini sebagai pertunjukan sirkus yang tak mempertontonkan kebiasaan bengis dan bertentangan dengan nurani manusia.

"Galang! Galang! Galang!"

Nama sang jawara bergema di seluruh arena. Jaya Kusuma berlutut, mencengkeram lengan kanannya yang nyaris putus. Darah menggenangi tanah di sekelilingnya. Ia tahu pertarungan ini sudah berakhir.

"Bajingan…" desis Jaya, wajahnya berkerut menahan nyeri. Galang mendekat sembari menghunuskan pedang.

Jaya berusaha kembali menyerang dengan sisa-sisa tenaga. Menyabetkan pedang ke kanan dan ke kiri bak banteng ketataon yang terluka. Tak ada satupun serangan iti yang mengenai sasaran, bahkan Galang dengan mudah menghujamkan pukulan ke wajah Jaya sebelum kemudian menendang pedang sang lawan hingga menjauh. Jaya sudah tak punya kesempatan kali ini. Nyawanya sudah ada di ujung tanduk.

 "Cepat selesaikan ini! Kirim aku menemui para dewa perang…" Desis Jaya bersiap menjemput maut. Galang Kencana mengangguk, pedangnya diangkat perlahan.

 "Terima kasih sudah jadi lawan yang tangguh hari ini." Mata Jaya terpejam, siap menerima ayunan pedang dari sang jawara.

Galang Kencana menatap ke arah podium, suasana arena mendadak hening, semua penonton menahan napas. Patih Ambaraka, salah satu pencetus acara tarung jagad berdiri dan mengangkat tangan, keheningan makin terasa, hanya suara desir angin yang terdengar. Lalu tangan Patih Ambaraka mengarah ke leher, seperti sedang menggorok. Teriakan penonton pecah. Galang tak ragu lagi. Dengan sekali gerakan cepat, pedangnya menyambar leher Jaya Kusuma dalam sekali tebas.

SREEEETTT!

Kepala pendekar gagah itu terjatuh ke tanah, darahnya mengalir deras, menyatu dengan debu arena. Tiga orang prajurit kerajaaan segera berlari masuk, menarik jasad Jaya keluar dari lapangan. Sementara itu, sorak-sorai mengiringi kemenangan Galang Kencana yang berdiri tegak di tengah arena. Tangannya terangkat dan mengepal. Hari ini, Galang kembali mempertahankan gelarnya sebagai jawara yang tak terkalahkan.

 

***

 

Di sebuah kamar kecil sederhana, Galang Kencana tampak menghitung keping-keping emas hadiah kemenangan pertarungannya hari ini. Matanya berbinar melihat pundi-pundi emas yang terus bertambah.

"Tak lama lagi aku akan pergi dari tempat terkutuk ini." Bisiknya dalam hati sambil memasukkan keping emas itu ke dalam kantong kain lusuh.

"Apa aku mengganggumu sang jawara?" suara berat itu membuat Galang menoleh. Seorang lelaki berbadan tegap dengan kumis melintang sudah berdiri di dekat pintu kamar.

"Ah, Ki Ageng! Maafkan hamba yang tak menyadari kedatangan Tuan." Galang cepat bangkit dari tempat duduknya.

"Tenang saja, aku hanya ingin melihat keadaanmu."

Ki Ageng Wiratama, pemilik padepokan Brajamusti, tersenyum sambil melangkah masuk. Wajah pria berusia berusia empat puluh tahunan itu penuh kepuasan. Selama tiga tahun Galang bertarung di bawah bendera padepokan Brajamusti, ia telah membawa kejayaan dan kekayaan melimpah. Sebagai bukti penghargaan, Galang diberi kamar terpisah dari pendekar-pendekar lain. Ki Ageng Wiratama tersenyum puas, matanya berbinar seperti pedagang yang baru saja mendapat untung besar.

"Pertarungan yang luar biasa, Galang!" Ia menepuk bahu pendekar andalannya itu dengan bangga.

“Terima kasih Ki, ini semua karena latihan dan bimbingan dari Ki Ageng.” Ujar Galang.

"Kau selalu membawa kejayaan untuk padepokan ini." Galang menunduk hormat.

"Berjuang untuk padepokan Brajamusti adalah kehormatan bagi hamba." Ki Ageng mengangguk puas.

"Nanti malam, kita diundang ke pendopo Patih Ambaraka, bersiaplah. Tapi sebelum itu, Aku sudah menyiapkan hadiah khusus untukmu di kamar mandi."

“Baik Ki, sekali lagi terima kasih banyak.”

“Kalau begitu, aku pergi dulu. Ingat, nanti malam jangan sampai terlambat. Sekarang kau nikmati dulu hadiah yang sudah kusiapkan.”

“Baik Ki.”

 

PART 2

 

"Selamat datang, Tuan..."

Suara lembut itu datang dari seorang wanita muda yang berdiri di balik tirai bambu kamar mandi. Galang Kencana hanya mengangguk singkat sambil terus melangkah masuk. Inilah hadiah yang dimaksud Ki Ageng, seorang wanita muda yang siap memuaskan hasrat sang jawar. Memang seperti biasa, sang pemilik padepokan itu tak pernah pelit memberi penghargaan kepada pendekarnya yang memenangkan pertarungan.

Gadis itu berdiri di depan bak mandi, tubuhnya hanya dibalut kemben tipis yang nyaris transparan. Payudaranya begitu montok terlihat jelas di balik kain, putingnya pun sedikit mengeras karena udara dingin di sekitar.  Tanpa banyak bicara, gadis itu melangkah mendekati Galang. Jari-jarinya membuka pakaian lalu turun menuju ikat pinggang Galang, hingga seluruh penutup tubuh sang jawar terlepas. Saat cawatnya dibuka, gadis itu tak bisa menahan desahan pendek, kedua matanya terbelalak lebar.

"Dewa…Ini sungguh besar.." bisiknya dalam hati, matanya terpaku pada kontol Galang yang sudah setengah tegang. Panjangnya nyaris menggapai paha, urat-urat di sekitar batang terlihat jelas meskipun alat kawin sang jawara berwarna gelap.

Galang kemudian masuk ke bak mandi, airnya beriak saat tubuh kekarnya terendam. Gadis itu tak mau ketinggalan. Dengan gerakan perlahan, ia melepas kembennya hingga tubuhnya telanjang bulat. Payudaranya yang besar dan padat kini terbuka tanpa penghalang, putingnya berwarna merah muda dan sudah sepenuhnya mengeras.

"Ijinkan hamba melayani Tuan pendekar hari ini…"

Galang hanya menghela napas saat tubuhnya sudah sepenuhnya berada di dalam bak mandi. Hangatnya air menyapu lelah, seolah membasuh segala kenangan mengerikan pertarungan tadi siang. Di sisi luar bak, gadis itu mulai menyeka dada Galang, jarinya sesekali menekan otot-otot yang tegang.

Galang bersandar di bak mandi, otot-ototnya yang kekar meregang saat air hangat membasuh tubuhnya. Matanya setengah terpejam, tapi sorotannya tajam mengamati setiap lekuk tubuh gadis di hadapannya. Kulitnya putih bersih, kontras dengan kulit  Galang yang kecokelatan. Payudaranya bulat sempurna, puting berwarna merah muda mengeras indah. Di bawah, bulu kemaluannya lebat, basah oleh uap air, menggoda di antara paha yang ramping.

"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Siapa namamu?"

"Nama saya Sekar, Tuan." jawabnya sambil mengusap bahu Galang denganhanduk basah.

 Jari Sekar sempat gemetar saat menyentuh lengan kanan Galang yang dipenuhi bekas luka sayatan benda tajam, setiap garis seperti menceritakan pertempuran mengerikan yang pernah dialami oleh sang jawara.

“Hmmm, nama yang indah. Seperti orangnya.” desis Galang, matanya mengikuti gerakan tangan Sekar yang perlahan mengelus ke bawah. Sekar tersipu menerima pujian.

“Terima kasih Tuan…”

"Logat bicaramu terdengar asing. Dari mana asalmu? Pasundan? Melayu?" Sekar menggeleng, rambutnya yang hitam legam berjatuhan di bahu.

“Lebih jauh lagi Tuan…” Tangan Galang meraih pergelangan tangan Sekar, menariknya lebih dekat.

“Campa…?” Kali ini, Sekar mengangguk.

“Luar biasa, benar kata orang kalau paras gadis-gadis Campa menyamai kecantikan dewi kahyangan.”

“Tuan, terlalu baik…” Sekar kembali tersipu malu, jemarinya gemulai menggosok perut Galang.

“Tapi bagaimana ceritanya sampai bisa kamu berada di tenpat seperti ini?” Tanya Galan sekali lagi, kali ini raut wajahnya lebih penasaran.

 "Kami datang dari Timur jauh setelah berdagang, tapi di tengah perjalanan kapal kami bertemu dengan perompak laut Pasundan. Semua orang dibunuh termasuk kedua orang tua saya, harta kami dirampas. Hanya beberapa orang saja yang dibiarkan hidup dan dijual sebagai budak.”

Mata Sekar menerawang langit-langit, suaranya terdengar lirih seperti menahan rasa sakit yang begitu dalam. Meskipun begitu, tangannya tak berhenti bekerja membersihkan tubuh Galang, jemarinya menelusuri setiap tonjolan otot kekar sang jawara.

"Kau sudah tak punya siapa-siapa lagi?" Sekar menggeleng lemah.

"Saya hanya sendirian di sini Tuan. Tidak punya siapa-siapa lagi." Galang merasakan sesuatu mengeras di dalam dirinya, bukan hanya hasrat, tapi juga sesuatu yang lebih dalam.

“Nasibmu hampir sama denganku. Aku punya pesan untukmu agar tetap bisa bertahan hidup di tempat ini. Tetaplah keras pada dirimu sendiri, jangan percaya siapapun. Satu-satunya yang bisa kau percayai hanyalah dirimu sendiri.”

“Terima kasih, saya akan melakukan apa yang Tuan sarankan.”

“Gadis pintar, sekarang lakukan tugas utamamu, jadilah hadiah yang memuaskanku.”

Tanpa diminta, Sekar bangkit berdiri di tepi bak mandi. Tubuhnya yang begitu indah bak batu pualam terpampang makin jelas di hadapan mata sang jawara. Tangan Galang yang kekar mencengkeram pantat Sekar, menariknya kasar hingga celah kemaluan gadis cantik itu terbuka lebar, begitu dekat dengan wajah Galang, bahkan aroma kewanitaan yang semerbak bisa diciumnya. Napas panas Galang serasa membakar kulit Sekar yang halus.

"Ah! T-Tuan...?"

Galang tak menjawab. Tanpa peringatan, lidahnya sudah terjulur keluar, menyapu permukaan vagina milik Sekar dari bawah ke atas dalam sekali jilatan panjang.

"Nnngh! Aaahh!"

Sekar menjerit, tangannya mencengkeram tepi bak mandi. Rasanya seperti tersambar petir, lidah Galang bergerak seperti ular, mengitari klitorisnya yang sudah membengkak, lalu masuk lebih dalam, menusuk-nusak lubang vaginanya. Galang mendongak, bibirnya mengkilat oleh cairan kewanitaan.

"Kenapa? Apa jilatanku tidak enak?"

“Ti-Tidak Tuan…Jilatan Tuan enak sekali, saya belum pernah merasakan yang seperti ini.” Jawab Sekar dengan rona wajah memerah, entah karena malu atau justru karena terangsang. Galang hanya tersenyum sebelum lidahnya kembali menyelam di dalam vagina.

Tak puas hanya menggunakan lidahnya saja, kali ini dua jari Galang ikut tenggelam dalam vagina. Jari-jari kekar itu bergerak keluar masuk di dalam rongga alat kawin Sekar, mengocok, mengobel, sementara lidahnya beralih menjilati bagian kelentit.

Diperlakukan seperti itu membuat Sekar menggigit bibirnya sendiri, tubuhnya bergetar tak terkendali. Selangkangannya sudah basah kuyup dan semakin menekan wajah Galang agar sedekat mungkin dengan vaginanya. Tangan Sekar bergerak meremas rambut sang jawara seperti orang tenggelam yang mencengkeram tali penyelamat.

"Aahh! Tuaan! Teruss Tuan! Enak banget!!"

Lidah Galang seperti pedang terlatih, menusuk, menggesek, dan memutar di permukaan klitoris. Setiap jilatannya membuat tubuh Sekar menggeliat tak berdaya, pinggulnya bergoyang liar mencari kenikmatan lebih.

"Kau suka ini, ya?" goda Galang di tengah cumbuan, suaranya parau karena birahi.

“I-Iya Tuan…Saya suka…” Desis Sekar dengan ekspresi pasrah.

Bibir Galang kembali menghisap klitoris kali ini hisapannya lebih kuat dari sebelumnya, sementara itu dua jariny keluar masuk di dalam vagina Sekar yang sempit, mengocok begitu cepat dan keras.

"Nggghh! Ampuunn Tuan!! Aaahhhh!" Sekar menjerit untuk kesekian kalinya, keningnya berkilat oleh peluh.

Di saat orgasme Sekar nyaris tiba, Galang justru sengaja memperlambat kocokan jarinya di dalam liang senggama. Ia menatap dengan mata penuh nafsu saat tubuh Sekar menggelinjang meronta-ronta bak cacing kepanasan. Raut wajah Sekar nyaris berubah, ada semburat kekecewaan di sana. Galang tersenyum, dia tau sudah berhasil mempermainkan birahi hadiahnya itu.

"Tidak sabar ya?" Galang menyeringai, lidahnya kembali menyambar klitoris Sekar yang berdenyut-denyut menagih untuk terus dipuaskan.

“Ouucchhhh…”

Galang menjeda aksi mulut cabulnya pada vagina Sekar. Pria dengan postur tinggi tegap itu kemudian keluar dari bak mandi. Sekar kembali bisa menyaksikan alat kawin sang jawara yang begitu besar nan panjang. Sekar meneguk ludahnya berkali-kali, membayangkan bagaimana rasanya nanti saat liang senggamanya disesaki kontol sebesar itu.

“Sekarang kamu nungging!” Perintah Galang begitu tubuhnya sudah ada di belakang Sekar.

Sekar segera menuruti perintah sang jawara, tubuhnya berputar hingga posisinya menungging di tepi bak mandi. Tangannya mencengkeram bibir bak. Pantatnya yang bulat terangkat tepat di hadapan Galang.

"T-Tuan...?" Sekar menoleh ke belakang, meyaksikan tubuh Galang merunduk dengan wajah tepat menghadap ke arah pantatnya.

“Ouucchhh! Tuaaan!!”

Sekar mengerang kala merasakan lidah kasar Galang menyapu lubang kawinnya dari belakang. Lidah pendekar itu menyusuri tiap jengkal mulai dari lubang pantat, kemudian bergerak turun ke selangkangan yang sudah basah.

"Nnnggh! Aaachhh! Tuaaann!" Sekar kembali menjerit, tapi Galang tak peduli. Lidahnya menyelip di antara bibir vagina, lalu naik lagi ke anus, mengitari dengan gerakan memutar yang begitu mahir.

"Ouucch Tuan... kumohon... aku sudah tak tahan!" Sekar merengek, tangannya gemetar mencengkeram tepian bak mandi.

Galang akhirnya berdiri, air menetes dari tubuh kekarnya. Kontolnya sudah tegak sepenuhnya, besar, berurat, dan tentu saja sangat panjang. Tubuh Sekar begidik saat penis jumbo itu menyentuh pahanya beberapa kali.

"Kau mau ini?" bisik Galing sambil menggesek-gesek kepala kontolnya di celah senggama milik Sekar.

"i-Iya Tuan…Saya mau kontol Tuan!"

Ucapan Sekar layaknya sebuah tantangan terbuka bagi petarungan birahi Galang. Maka tanpa peringatan lagi, Galang langsung melesakkan alat kawinnya ke dalam liang senggama sang betina muda. Pinggul pendekar itu menyentak kuat, keras dan kasar. Bahkan sampai membuat tubuh Sekar terdorong ke depan.

"AAAKHHHH!!"

Hanya dengan sekali dorong, vagina Sekar terasa begitu penuh dan sesak! Sekar menjerit, tubuhnya melengkung seperti panah. Rasanya seperti ditusuk pedang, panas, sakit, tapi sekaligus nikmat. Galang tak memberinya waktu beradaptasi lagi.

"Sekarang rasakan kontolku!"

Tangan kiri Galang menjambak rambut Sekar dari belakang, sementara tangan kanannya meremas payudara Sekar yang terguncang bebas mengikuti irama sodokan kontol. Galang mulai mengayunkan pinggul, awalnya pelan dulu, lalu semakin lama semakin kencang. Setiap dorongan membuat tubuh Sekar terhantam godam birahi bercampur nafsu. Kontol besar sang jawara benar-benar membuat gadis cantik itu kewalahan.

"Kau suka disetubuhi kasar seperti ini, bukan?" Galang menggeram, napasnya memburu. Pinggulnya terus bergerak maju mundur menyodok vagina Sekar dari belakang.

“Eeennghhh! Aaachhh!!!”

Sekar hanya bisa mengangguk sambil terus mengerang, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan erangan tak karuan. Tak jarang untuk meredam rasa sakit serta ngilu di bagian selangkangan, Sekar menggigit bibirnya sendiri. Meski vaginanya sudah basah oleh ludah dan cairannya sendiri, hantaman kontol Galang yang sebesar gagang pedang itu tetap terasa seperti membelah tubuhnya menjadi dua.

"Aahh! Sakit... tapi... Nggghh...!"

Galang tersenyum, melihat tubuh Sekar menggeliat di bawah kekuatannya. Tangannya kemudian merayap dari pinggang ramping Sekar, lalu mengarah pada payudara montok yang bergetar keras.

"Eeeemmcchhh! Kamu tidak boleh meminta ampun sebelum aku benar-benar puas! Kamu milikku sekarang!" desis Galang penuh ancaman.

Jari-jarinya mencubit, menarik kasar puting Sekar, membuatnya semakin keras. Pinggul Galang bergerak seperti mesin, setiap dorongan membuat tubuh Sekar terguncang, bahkan sampai membuat air di bak mandi jatuh berhamburan ke lantai.

"Aaachhh! Tuaan! Tolong pelanin sedikit! Aaachh! Kontolmu gede banget Tuan!!" Bukannya menuruti rengekan Sekar, Galang malah makin mempercepat sodokan penisnya.

"Diam!" hardik Galang yang sduah dibutakan oleh nafsu hewan, tangan kirinya kembali menarik rambut sang betina ke belakang.

"Kau hanya perlu merasakan kontolku! Persetan perkara enak atau tidak!"

Setiap hantaman pinggul Galang sekarang membuat kontol pendekar itu nyaris mencapai dasar rahim. Sekar menjerit, air mata meleleh di pipinya. Tapi anehnya, rasa sakit itu berubah jadi sensasi asing yang makin membuat tubuh Sekar menghangat. Semakin dalam kontol Galang menusuk, semakin panas tubuh Sekar.

"Aaacchh! Kontolmu sesak bangit Tuan! Aaachhh!"

“Eeemmchhhh..Eeemmchhh..” Rupanya vagina Sekar mulai berusaha merasaka mencengkeram kontol sang jawara seperti ingin melahap seluruhnya.

"Ini baru perempuan!" dengus Galang kala merasakan vagina Sekar menyedot kontolnya dari dalam, napasnya memburu seperti banteng terluka.

Punggung Sekar perlahan sedikit naik, dari belakang lengan Galang yang kekar memeluknya. Ciuman bibir pendekar itu menjelajah mulai dari, pipi, leher, tengkuk, lalu hinggap cukup lama di bibir ranum milik Sekar. Tangan Galang menagkup kedua payudara Sekar, meremas-remas daging lembut itu seperti adonan roti. Putingnya yang keras tak pernah lolos dari cubitan jahil jemari Galang.

"Nnghh!! Tuaann! Ouuchhh!" erang Sekar seoalh kesakitan, tapi tubuhnya justru melengkung mendorong payudaranya lebih dalam pada genggaman jemari Galang.

Pinggul sang pendekar bergerak seperti piston, setiap dorongannya yang dalam membuat bibir vagina membara terlipat keluar masuk. Suara tumbukan antara kulit keduanya bergema di kamar mandi, bercampur dengan jeritan serta erangan manja Sekar.

"Ahh! Ahh! Ya... seperti itu! Lebih keras Tuan!"

Rasa sakit kini sudah berubah seluruhnya menjadi gelombang nikmat yang menggila. Vagina Seka sekarang mencengkeram erat batang kontol sang pejantan, seolah tak mau melepaskannya.

"Dasar pelacur!"

“I-Iya Tuan! Aku pelacurmu! Aaachh!!” Umpatan galang sama sekali tak membuat hati Sekar tersakiti tapi justru makin membuatnya terbakar birahi.

"Tadi merintih sakit, sekarang malah minta lebih?"

Galang mempercepat tempo genjotan, kedua tangannya sekarang mencengkeram pinggul Sekar, menariknya mundur untuk memenuhi setiap hantaman kontolnya dari belakang.

"Aku... aku mau keluar...!!" teriak Sekar, matanya melotot. Galang menyeringai penuh kemenangan, rupanya dia tak hanya tangguh di medan pertempuran, tapi juga begitu mahir membuat tubuh wanita manapun mendapatkan kenikmatan sejati.

"Tahan! Aku belum selesai denganmu!"

"Aahh! Terus, Tuan! Jangan berhenti!"

Sekar yang awalnya malu-malu kucing kini berubah menjadi lebih liar, tubuhnya yang semula pasrah kini bergerak mengimbangi setiap hantaman kontol Galang. Tangannya mencengkeram tepi bak mandi hingga kepalanya nyaris terendam air, pantatnya yang bulat memantul-mantul menabrak pangkal paha sang pendekar. Galang menggeram, kedua tangannya fokus mencengkram pinggul sang betina agar tak bergerak terlalu liar.

“AARGTHHTTT! SEKARANG RASAKAN PEJUKU!" pekik Galang, sebelum mendorong begitu dalam batang kontolnya, sampai rahim Sekar bergetar.

"Nnghh! Aku... aku keluar juga—!"

Bersamaan dengan erangan Galang, kontolnya yang berdenyut-denyut mulai memuntahkan cairan hangat nan kental ke dalam rahim Sekar. Semburan demi semburan membanjiri liang kawin wanita cantik itu, bercampur dengan cairan orgasme yang mengalir tak kalah deras. Vagina Sekar seolah enggan melepaskan kontol Galang, masih mencengkeram erat meski sang jawara sudah selesai menuntaskan hajat birahi.

"Aaargghhhttt! Luar biasa! Vaginamu luar biasa enak." dengus Galang, napasnya masih tersengal.

Sementara itu tubuh Sekar ambruk lemas, kepalanya bersandar di tepi bak. Tubuh Galang yang kekar masih menindihnya sebentar sebelum akhirnya menarik kontolnya keluar dari dalam vagina yang sudah mulai lemas. Saat keluar, aliran sperma kental mengalir perlahan dari selangkangan Sekar, membasahi pahanya yang indah.

"Lihatlah…" bisik Galang sambil mencolek sperma dengan jarinya, lalu mengoleskannya ke bibir Sekar.

"Rasakan spermaku…" Sekar dengan pasrah membuka mulutnya dan mulai menjilati sisa sperma Galang.

“Kau ternyata bukan gadis polos, ya?" Galang tertawa kasar, tangannya yang besar mengusap-usap perut Sekar. Gadis cantik itu tersipu, matanya berbinar penuh rasa puas. Mungkin ini adalah seks ternikamt sepanjang hidupnya.


Posting Komentar

0 Komentar