GELANGGANG BIRAHI
PART 1
Suasana di arena pertandingan
bergemuruh penuh semangat. Ratusan penonton bersorak ketika dua gerbang besar
terbuka. Dari gerbang timur, muncul seorang pendekar tinggi tegap dengan kulit
sawo matang yang berkilau oleh keringat. Ia mengenakan baju perang sederhana,
hanya pelindung lengan dan tulang kering, tanpa pelindung kepala. Di tangannya,
ia membawa jaring dan sebilah pedang, senjatanya yang terkenal sangat mematikan.
"Kita sambut inilah JAYA KUSUMA!
Si Maung dari tanah Pasundan!" teriak sang pembawa acara.
Sorak-sorai penonton memecah udara. Banyak
dari mereka mulai memasang taruhan. Tak lama kemudian, gerbang barat terbuka.
Keluarlah lawannya, seorang pendekar gagah dengan tubuh tak kalah kekar.
Wajahnya dingin tanpa ekspresi, rambutnya panjang dibiarkan tergerai berkibar
ditiup angin. Pedangnya tajam masih bernoda darah dari pertarungan sebelumnya,
sementara perisai di tangan kirinya siap menangkis serangan.
Seketika, kerumunan penonton meledak
dalam sorakan. Mereka mengenalinya sebagai sang jawara, pendekar yang belum
pernah kalah dalam satu pun pertarungan di arena ini. Dia datang dengan membawa
reputasi mengerikan, pembantai lima petarung sekaligus, penakluk harimau dan
buaya, serta pendekar yang tak kenal belas kasihan.
"Inilah sang jawara kita, GALANG
KENCANA! Si Elang Jawa!"
Sorak penonton memekakkan telinga,
semua mata tertuju ke arena pertandingan. Kedua pendekar itu berjalan perlahan
ke tengah, lalu membalikkan badan menghadap podium. Di sana, duduk para
bangsawan, dan keluarga kerajaan Perak yang menyaksikan dengan antusias.
Sang pembawa acara mengangkat tangan,
pertanda dimulainya pertarungan. Pukulan gong perang berbunyi nyaring. Jaya
Kusuma langsung melesat seperti kilat, pedangnya menyambar ke arah Galang
Kencana. Galang nyaris terlambat menghindar, namun perisainya berhasil
menangkis serangan pertama itu. Dengan langkah gesit, ia mencoba mendekat,
pedangnya siap mencabik.
PRANG!!
Jaya Kusuma tetap lincah, menjaga
jarak sambil terus menghujamkan pedangnya ke arah Galang Kencana. Begitu Galang
mundur, ia segera menyiapkan jaring. Dengan cepat, ia menancapkan pedang ke tanah
agar tidak tersangkut, lalu memutar-mutar jaring di atas kepala sebelum
melemparkannya. Jaring itu mengenai sasaran.
Galang Kencana bagaikan harimau yang
terluka, meski terjerat jaring, ia terus merangsek maju. Pedangnya berkelebat,
menancap di paha Jaya Kusuma hingga sang lawan terjatuh. Namun, dengan gerakan
gesit, Jaya berguling dan bangkit tepat saat Galang hendak menyerang lengannya
yang memegang jaring.
PRANG!
PRANG!!
Pedang kedua pendekar saling beradu
hingga memercikkan bunga api. Perisai Galang menahan serangan demi serangan,
tapi Jaya tak mau memberi kesempatan. Keduanya saling dorong, lalu melompat
mundur, mengambil jarak lagi. Napas mereka berat, tapi sorot mata tetap tajam.
Penonton terpana, tak ada yang sempat
berkedip. Pertarungan ini jauh lebih sengit dari bayangan mereka. Jaya Kusuma
kembali menyerang. Pedangnya mengayun deras, mencoba menebas tubuh Galang. Perisai
Galang menghantam pednag itu dengan keras, membuat tangan Jaya bergetar. Dalam
sekejap, Galang memutar tubuhnya, lalu sikutnya menghantam punggung Jaya dengan
dahsyat.
“Aaargh!!"
Jaya Kusuma mengerang kesakitan,
punggungnya terasa seperti dipukul godam. Ia terhuyung, tapi sigap mengatur
keseimbangan. Galang Kencana tak memberinya waktu, pedangnya menyambar cepat!
Namun, Jaya sudah membaca gerakannya. Pedangnya melesat, menusuk ke depan.
SREETTT!
Perisai Galang berhasil menangkis,
tapi ujung pedang milik Jaya menggores lengan kirinya. Tak berhenti di situ,
Jaya memutar pedangnya, bagian bawah senjata itu menghantam kepala Galang
dengan keras. Hantaman itu membuat tubuh Galang limbung. Telinganya berdenging,
pandangannya berkunang-kunang. Kedua pendekar lalu saling menjauh, mengambil
napas, sambil mengamati gerak lawan.
Jaya terlihat unggul. Ia kembali
menyerang, kali ini dia melompat tinggi sebelum kemudian mendaratkan sebuah
tendangan tepat ke dada Galang. Untuk kedua kalinya serangan Jaya berhasil
membuat tubuh Galang limbung. Tapi Galang bukan pendekar sembarangan. Saat Jaya
lengah karena merasa mulai unggul, pedangnya menyambar seperti kilat, mengiris
lengan kanan Jaya yang memegang pedang.
SREETTT!
“AARGHHTT!!”
Sorak-sorai penonton meledak saat
darah pertama mengalir. Ada yang bersorak gembira, ada pula yang memalingkan
muka. Acara tarung jagad ini memang sebuah ironi, bagaimana tidak, hanya untuk
memuaskan hasrat para bangsawan kerajaan untuk menyaksikan sebuah pertarungan
antara para pendekar terbaik mereka rela menyuguhkan pertarungan berdarah
bahkan sampai ada yang mati. Beberapa cendekiawan kerap mencela kebiasaan ini sebagai
pertunjukan sirkus yang tak mempertontonkan kebiasaan bengis dan bertentangan
dengan nurani manusia.
"Galang! Galang! Galang!"
Nama sang jawara bergema di seluruh
arena. Jaya Kusuma berlutut, mencengkeram lengan kanannya yang nyaris putus.
Darah menggenangi tanah di sekelilingnya. Ia tahu pertarungan ini sudah
berakhir.
"Bajingan…" desis Jaya,
wajahnya berkerut menahan nyeri. Galang mendekat sembari menghunuskan pedang.
Jaya berusaha kembali menyerang
dengan sisa-sisa tenaga. Menyabetkan pedang ke kanan dan ke kiri bak banteng
ketataon yang terluka. Tak ada satupun serangan iti yang mengenai sasaran,
bahkan Galang dengan mudah menghujamkan pukulan ke wajah Jaya sebelum kemudian
menendang pedang sang lawan hingga menjauh. Jaya sudah tak punya kesempatan
kali ini. Nyawanya sudah ada di ujung tanduk.
"Cepat selesaikan ini! Kirim aku menemui
para dewa perang…" Desis Jaya bersiap menjemput maut. Galang Kencana
mengangguk, pedangnya diangkat perlahan.
"Terima kasih sudah jadi lawan yang
tangguh hari ini." Mata Jaya terpejam, siap menerima ayunan pedang dari
sang jawara.
Galang Kencana menatap ke arah
podium, suasana arena mendadak hening, semua penonton menahan napas. Patih
Ambaraka, salah satu pencetus acara tarung jagad berdiri dan mengangkat tangan,
keheningan makin terasa, hanya suara desir angin yang terdengar. Lalu tangan
Patih Ambaraka mengarah ke leher, seperti sedang menggorok. Teriakan penonton
pecah. Galang tak ragu lagi. Dengan sekali gerakan cepat, pedangnya menyambar
leher Jaya Kusuma dalam sekali tebas.
SREEEETTT!
Kepala pendekar gagah itu terjatuh ke
tanah, darahnya mengalir deras, menyatu dengan debu arena. Tiga orang prajurit
kerajaaan segera berlari masuk, menarik jasad Jaya keluar dari lapangan.
Sementara itu, sorak-sorai mengiringi kemenangan Galang Kencana yang berdiri
tegak di tengah arena. Tangannya terangkat dan mengepal. Hari ini, Galang
kembali mempertahankan gelarnya sebagai jawara yang tak terkalahkan.
***
Di sebuah kamar kecil sederhana,
Galang Kencana tampak menghitung keping-keping emas hadiah kemenangan
pertarungannya hari ini. Matanya berbinar melihat pundi-pundi emas yang terus
bertambah.
"Tak lama lagi aku akan pergi
dari tempat terkutuk ini." Bisiknya dalam hati sambil memasukkan keping emas itu ke
dalam kantong kain lusuh.
"Apa aku mengganggumu sang
jawara?" suara berat itu membuat Galang menoleh. Seorang lelaki berbadan
tegap dengan kumis melintang sudah berdiri di dekat pintu kamar.
"Ah, Ki Ageng! Maafkan hamba
yang tak menyadari kedatangan Tuan." Galang cepat bangkit dari tempat
duduknya.
"Tenang saja, aku hanya ingin
melihat keadaanmu."
Ki Ageng Wiratama, pemilik padepokan
Brajamusti, tersenyum sambil melangkah masuk. Wajah pria berusia berusia empat
puluh tahunan itu penuh kepuasan. Selama tiga tahun Galang bertarung di bawah
bendera padepokan Brajamusti, ia telah membawa kejayaan dan kekayaan melimpah.
Sebagai bukti penghargaan, Galang diberi kamar terpisah dari pendekar-pendekar
lain. Ki Ageng Wiratama tersenyum puas, matanya berbinar seperti pedagang yang
baru saja mendapat untung besar.
"Pertarungan yang luar biasa,
Galang!" Ia menepuk bahu pendekar andalannya itu dengan bangga.
“Terima kasih Ki, ini semua karena
latihan dan bimbingan dari Ki Ageng.” Ujar Galang.
"Kau selalu membawa kejayaan
untuk padepokan ini." Galang menunduk hormat.
"Berjuang untuk padepokan Brajamusti
adalah kehormatan bagi hamba." Ki Ageng mengangguk puas.
"Nanti malam, kita diundang ke
pendopo Patih Ambaraka, bersiaplah. Tapi sebelum itu, Aku sudah menyiapkan
hadiah khusus untukmu di kamar mandi."
“Baik Ki, sekali lagi terima kasih
banyak.”
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Ingat,
nanti malam jangan sampai terlambat. Sekarang kau nikmati dulu hadiah yang
sudah kusiapkan.”
“Baik Ki.”
PART 2
"Selamat datang, Tuan..."
Suara lembut itu datang dari seorang
wanita muda yang berdiri di balik tirai bambu kamar mandi. Galang Kencana hanya
mengangguk singkat sambil terus melangkah masuk. Inilah hadiah yang dimaksud Ki
Ageng, seorang wanita muda yang siap memuaskan hasrat sang jawar. Memang
seperti biasa, sang pemilik padepokan itu tak pernah pelit memberi penghargaan kepada
pendekarnya yang memenangkan pertarungan.
Gadis itu berdiri di depan bak mandi,
tubuhnya hanya dibalut kemben tipis yang nyaris transparan. Payudaranya begitu montok
terlihat jelas di balik kain, putingnya pun sedikit mengeras karena udara
dingin di sekitar. Tanpa banyak bicara,
gadis itu melangkah mendekati Galang. Jari-jarinya membuka pakaian lalu turun
menuju ikat pinggang Galang, hingga seluruh penutup tubuh sang jawar terlepas. Saat
cawatnya dibuka, gadis itu tak bisa menahan desahan pendek, kedua matanya
terbelalak lebar.
"Dewa…Ini sungguh besar.."
bisiknya dalam hati, matanya terpaku pada kontol Galang yang sudah setengah
tegang. Panjangnya nyaris menggapai paha, urat-urat di sekitar batang terlihat
jelas meskipun alat kawin sang jawara berwarna gelap.
Galang kemudian masuk ke bak mandi,
airnya beriak saat tubuh kekarnya terendam. Gadis itu tak mau ketinggalan.
Dengan gerakan perlahan, ia melepas kembennya hingga tubuhnya telanjang bulat.
Payudaranya yang besar dan padat kini terbuka tanpa penghalang, putingnya
berwarna merah muda dan sudah sepenuhnya mengeras.
"Ijinkan hamba melayani Tuan pendekar
hari ini…"
Galang hanya menghela napas saat
tubuhnya sudah sepenuhnya berada di dalam bak mandi. Hangatnya air menyapu
lelah, seolah membasuh segala kenangan mengerikan pertarungan tadi siang. Di sisi
luar bak, gadis itu mulai menyeka dada Galang, jarinya sesekali menekan
otot-otot yang tegang.
Galang bersandar di bak mandi,
otot-ototnya yang kekar meregang saat air hangat membasuh tubuhnya. Matanya
setengah terpejam, tapi sorotannya tajam mengamati setiap lekuk tubuh gadis di
hadapannya. Kulitnya putih bersih, kontras dengan kulit Galang yang kecokelatan. Payudaranya bulat
sempurna, puting berwarna merah muda mengeras indah. Di bawah, bulu kemaluannya
lebat, basah oleh uap air, menggoda di antara paha yang ramping.
"Aku belum pernah melihatmu
sebelumnya. Siapa namamu?"
"Nama saya Sekar, Tuan."
jawabnya sambil mengusap bahu Galang denganhanduk basah.
Jari Sekar sempat gemetar saat menyentuh
lengan kanan Galang yang dipenuhi bekas luka sayatan benda tajam, setiap garis seperti
menceritakan pertempuran mengerikan yang pernah dialami oleh sang jawara.
“Hmmm, nama yang indah. Seperti
orangnya.” desis Galang, matanya mengikuti gerakan tangan Sekar yang perlahan
mengelus ke bawah. Sekar tersipu menerima pujian.
“Terima kasih Tuan…”
"Logat bicaramu terdengar asing.
Dari mana asalmu? Pasundan? Melayu?" Sekar menggeleng, rambutnya yang
hitam legam berjatuhan di bahu.
“Lebih jauh lagi Tuan…” Tangan Galang
meraih pergelangan tangan Sekar, menariknya lebih dekat.
“Campa…?” Kali ini, Sekar mengangguk.
“Luar biasa, benar kata orang kalau paras
gadis-gadis Campa menyamai kecantikan dewi kahyangan.”
“Tuan, terlalu baik…” Sekar kembali
tersipu malu, jemarinya gemulai menggosok perut Galang.
“Tapi bagaimana ceritanya sampai bisa
kamu berada di tenpat seperti ini?” Tanya Galan sekali lagi, kali ini raut
wajahnya lebih penasaran.
"Kami datang dari Timur jauh setelah berdagang,
tapi di tengah perjalanan kapal kami bertemu dengan perompak laut Pasundan.
Semua orang dibunuh termasuk kedua orang tua saya, harta kami dirampas. Hanya
beberapa orang saja yang dibiarkan hidup dan dijual sebagai budak.”
Mata Sekar menerawang langit-langit,
suaranya terdengar lirih seperti menahan rasa sakit yang begitu dalam. Meskipun
begitu, tangannya tak berhenti bekerja membersihkan tubuh Galang, jemarinya
menelusuri setiap tonjolan otot kekar sang jawara.
"Kau sudah tak punya siapa-siapa
lagi?" Sekar menggeleng lemah.
"Saya hanya sendirian di sini
Tuan. Tidak punya siapa-siapa lagi." Galang merasakan sesuatu mengeras di
dalam dirinya, bukan hanya hasrat, tapi juga sesuatu yang lebih dalam.
“Nasibmu hampir sama denganku. Aku
punya pesan untukmu agar tetap bisa bertahan hidup di tempat ini. Tetaplah
keras pada dirimu sendiri, jangan percaya siapapun. Satu-satunya yang bisa kau
percayai hanyalah dirimu sendiri.”
“Terima kasih, saya akan melakukan
apa yang Tuan sarankan.”
“Gadis pintar, sekarang lakukan tugas
utamamu, jadilah hadiah yang memuaskanku.”
Tanpa diminta, Sekar bangkit berdiri
di tepi bak mandi. Tubuhnya yang begitu indah bak batu pualam terpampang makin
jelas di hadapan mata sang jawara. Tangan Galang yang kekar mencengkeram pantat
Sekar, menariknya kasar hingga celah kemaluan gadis cantik itu terbuka lebar,
begitu dekat dengan wajah Galang, bahkan aroma kewanitaan yang semerbak bisa
diciumnya. Napas panas Galang serasa membakar kulit Sekar yang halus.
"Ah! T-Tuan...?"
Galang tak menjawab. Tanpa
peringatan, lidahnya sudah terjulur keluar, menyapu permukaan vagina milik
Sekar dari bawah ke atas dalam sekali jilatan panjang.
"Nnngh! Aaahh!"
Sekar menjerit, tangannya
mencengkeram tepi bak mandi. Rasanya seperti tersambar petir, lidah Galang
bergerak seperti ular, mengitari klitorisnya yang sudah membengkak, lalu masuk
lebih dalam, menusuk-nusak lubang vaginanya. Galang mendongak, bibirnya
mengkilat oleh cairan kewanitaan.
"Kenapa? Apa jilatanku tidak
enak?"
“Ti-Tidak Tuan…Jilatan Tuan enak
sekali, saya belum pernah merasakan yang seperti ini.” Jawab Sekar dengan rona
wajah memerah, entah karena malu atau justru karena terangsang. Galang hanya
tersenyum sebelum lidahnya kembali menyelam di dalam vagina.
Tak puas hanya menggunakan lidahnya
saja, kali ini dua jari Galang ikut tenggelam dalam vagina. Jari-jari kekar itu
bergerak keluar masuk di dalam rongga alat kawin Sekar, mengocok, mengobel,
sementara lidahnya beralih menjilati bagian kelentit.
Diperlakukan seperti itu membuat
Sekar menggigit bibirnya sendiri, tubuhnya bergetar tak terkendali.
Selangkangannya sudah basah kuyup dan semakin menekan wajah Galang agar sedekat
mungkin dengan vaginanya. Tangan Sekar bergerak meremas rambut sang jawara
seperti orang tenggelam yang mencengkeram tali penyelamat.
"Aahh! Tuaan! Teruss Tuan! Enak
banget!!"
Lidah Galang seperti pedang terlatih,
menusuk, menggesek, dan memutar di permukaan klitoris. Setiap jilatannya
membuat tubuh Sekar menggeliat tak berdaya, pinggulnya bergoyang liar mencari
kenikmatan lebih.
"Kau suka ini, ya?" goda
Galang di tengah cumbuan, suaranya parau karena birahi.
“I-Iya Tuan…Saya suka…” Desis Sekar
dengan ekspresi pasrah.
Bibir Galang kembali menghisap
klitoris kali ini hisapannya lebih kuat dari sebelumnya, sementara itu dua
jariny keluar masuk di dalam vagina Sekar yang sempit, mengocok begitu cepat
dan keras.
"Nggghh! Ampuunn Tuan!! Aaahhhh!"
Sekar menjerit untuk kesekian kalinya, keningnya berkilat oleh peluh.
Di saat orgasme Sekar nyaris tiba, Galang
justru sengaja memperlambat kocokan jarinya di dalam liang senggama. Ia menatap
dengan mata penuh nafsu saat tubuh Sekar menggelinjang meronta-ronta bak cacing
kepanasan. Raut wajah Sekar nyaris berubah, ada semburat kekecewaan di sana.
Galang tersenyum, dia tau sudah berhasil mempermainkan birahi hadiahnya itu.
"Tidak sabar ya?" Galang
menyeringai, lidahnya kembali menyambar klitoris Sekar yang berdenyut-denyut
menagih untuk terus dipuaskan.
“Ouucchhhh…”
Galang menjeda aksi mulut cabulnya
pada vagina Sekar. Pria dengan postur tinggi tegap itu kemudian keluar dari bak
mandi. Sekar kembali bisa menyaksikan alat kawin sang jawara yang begitu besar
nan panjang. Sekar meneguk ludahnya berkali-kali, membayangkan bagaimana
rasanya nanti saat liang senggamanya disesaki kontol sebesar itu.
“Sekarang kamu nungging!” Perintah
Galang begitu tubuhnya sudah ada di belakang Sekar.
Sekar segera menuruti perintah sang
jawara, tubuhnya berputar hingga posisinya menungging di tepi bak mandi.
Tangannya mencengkeram bibir bak. Pantatnya yang bulat terangkat tepat di
hadapan Galang.
"T-Tuan...?" Sekar menoleh
ke belakang, meyaksikan tubuh Galang merunduk dengan wajah tepat menghadap ke
arah pantatnya.
“Ouucchhh! Tuaaan!!”
Sekar mengerang kala merasakan lidah
kasar Galang menyapu lubang kawinnya dari belakang. Lidah pendekar itu
menyusuri tiap jengkal mulai dari lubang pantat, kemudian bergerak turun ke
selangkangan yang sudah basah.
"Nnnggh! Aaachhh! Tuaaann!"
Sekar kembali menjerit, tapi Galang tak peduli. Lidahnya menyelip di antara
bibir vagina, lalu naik lagi ke anus, mengitari dengan gerakan memutar yang
begitu mahir.
"Ouucch Tuan... kumohon... aku
sudah tak tahan!" Sekar merengek, tangannya gemetar mencengkeram tepian
bak mandi.
Galang akhirnya berdiri, air menetes
dari tubuh kekarnya. Kontolnya sudah tegak sepenuhnya, besar, berurat, dan tentu
saja sangat panjang. Tubuh Sekar begidik saat penis jumbo itu menyentuh pahanya
beberapa kali.
"Kau mau ini?" bisik Galing
sambil menggesek-gesek kepala kontolnya di celah senggama milik Sekar.
"i-Iya Tuan…Saya mau kontol
Tuan!"
Ucapan Sekar layaknya sebuah
tantangan terbuka bagi petarungan birahi Galang. Maka tanpa peringatan lagi,
Galang langsung melesakkan alat kawinnya ke dalam liang senggama sang betina
muda. Pinggul pendekar itu menyentak kuat, keras dan kasar. Bahkan sampai
membuat tubuh Sekar terdorong ke depan.
"AAAKHHHH!!"
Hanya dengan sekali dorong, vagina
Sekar terasa begitu penuh dan sesak! Sekar menjerit, tubuhnya melengkung
seperti panah. Rasanya seperti ditusuk pedang, panas, sakit, tapi sekaligus nikmat.
Galang tak memberinya waktu beradaptasi lagi.
"Sekarang rasakan kontolku!"
Tangan kiri Galang menjambak rambut Sekar
dari belakang, sementara tangan kanannya meremas payudara Sekar yang terguncang
bebas mengikuti irama sodokan kontol. Galang mulai mengayunkan pinggul, awalnya
pelan dulu, lalu semakin lama semakin kencang. Setiap dorongan membuat tubuh
Sekar terhantam godam birahi bercampur nafsu. Kontol besar sang jawara
benar-benar membuat gadis cantik itu kewalahan.
"Kau suka disetubuhi kasar
seperti ini, bukan?" Galang menggeram, napasnya memburu. Pinggulnya terus
bergerak maju mundur menyodok vagina Sekar dari belakang.
“Eeennghhh! Aaachhh!!!”
Sekar hanya bisa mengangguk sambil
terus mengerang, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan erangan tak karuan. Tak
jarang untuk meredam rasa sakit serta ngilu di bagian selangkangan, Sekar
menggigit bibirnya sendiri. Meski vaginanya sudah basah oleh ludah dan
cairannya sendiri, hantaman kontol Galang yang sebesar gagang pedang itu tetap
terasa seperti membelah tubuhnya menjadi dua.
"Aahh! Sakit... tapi... Nggghh...!"
Galang tersenyum, melihat tubuh Sekar
menggeliat di bawah kekuatannya. Tangannya kemudian merayap dari pinggang
ramping Sekar, lalu mengarah pada payudara montok yang bergetar keras.
"Eeeemmcchhh! Kamu tidak boleh
meminta ampun sebelum aku benar-benar puas! Kamu milikku sekarang!" desis
Galang penuh ancaman.
Jari-jarinya mencubit, menarik kasar puting
Sekar, membuatnya semakin keras. Pinggul Galang bergerak seperti mesin, setiap
dorongan membuat tubuh Sekar terguncang, bahkan sampai membuat air di bak mandi
jatuh berhamburan ke lantai.
"Aaachhh! Tuaan! Tolong pelanin
sedikit! Aaachh! Kontolmu gede banget Tuan!!" Bukannya menuruti rengekan
Sekar, Galang malah makin mempercepat sodokan penisnya.
"Diam!" hardik Galang yang
sduah dibutakan oleh nafsu hewan, tangan kirinya kembali menarik rambut sang
betina ke belakang.
"Kau hanya perlu merasakan kontolku!
Persetan perkara enak atau tidak!"
Setiap hantaman pinggul Galang
sekarang membuat kontol pendekar itu nyaris mencapai dasar rahim. Sekar
menjerit, air mata meleleh di pipinya. Tapi anehnya, rasa sakit itu berubah
jadi sensasi asing yang makin membuat tubuh Sekar menghangat. Semakin dalam kontol
Galang menusuk, semakin panas tubuh Sekar.
"Aaacchh! Kontolmu sesak bangit
Tuan! Aaachhh!"
“Eeemmchhhh..Eeemmchhh..” Rupanya
vagina Sekar mulai berusaha merasaka mencengkeram kontol sang jawara seperti
ingin melahap seluruhnya.
"Ini baru perempuan!"
dengus Galang kala merasakan vagina Sekar menyedot kontolnya dari dalam,
napasnya memburu seperti banteng terluka.
Punggung Sekar perlahan sedikit naik,
dari belakang lengan Galang yang kekar memeluknya. Ciuman bibir pendekar itu
menjelajah mulai dari, pipi, leher, tengkuk, lalu hinggap cukup lama di bibir
ranum milik Sekar. Tangan Galang menagkup kedua payudara Sekar, meremas-remas
daging lembut itu seperti adonan roti. Putingnya yang keras tak pernah lolos
dari cubitan jahil jemari Galang.
"Nnghh!! Tuaann! Ouuchhh!"
erang Sekar seoalh kesakitan, tapi tubuhnya justru melengkung mendorong
payudaranya lebih dalam pada genggaman jemari Galang.
Pinggul sang pendekar bergerak
seperti piston, setiap dorongannya yang dalam membuat bibir vagina membara
terlipat keluar masuk. Suara tumbukan antara kulit keduanya bergema di kamar
mandi, bercampur dengan jeritan serta erangan manja Sekar.
"Ahh! Ahh! Ya... seperti itu!
Lebih keras Tuan!"
Rasa sakit kini sudah berubah
seluruhnya menjadi gelombang nikmat yang menggila. Vagina Seka sekarang
mencengkeram erat batang kontol sang pejantan, seolah tak mau melepaskannya.
"Dasar pelacur!"
“I-Iya Tuan! Aku pelacurmu! Aaachh!!”
Umpatan galang sama sekali tak membuat hati Sekar tersakiti tapi justru makin
membuatnya terbakar birahi.
"Tadi merintih sakit, sekarang
malah minta lebih?"
Galang mempercepat tempo genjotan,
kedua tangannya sekarang mencengkeram pinggul Sekar, menariknya mundur untuk
memenuhi setiap hantaman kontolnya dari belakang.
"Aku... aku mau
keluar...!!" teriak Sekar, matanya melotot. Galang menyeringai penuh
kemenangan, rupanya dia tak hanya tangguh di medan pertempuran, tapi juga
begitu mahir membuat tubuh wanita manapun mendapatkan kenikmatan sejati.
"Tahan! Aku belum selesai
denganmu!"
"Aahh! Terus, Tuan! Jangan
berhenti!"
Sekar yang awalnya malu-malu kucing
kini berubah menjadi lebih liar, tubuhnya yang semula pasrah kini bergerak
mengimbangi setiap hantaman kontol Galang. Tangannya mencengkeram tepi bak
mandi hingga kepalanya nyaris terendam air, pantatnya yang bulat
memantul-mantul menabrak pangkal paha sang pendekar. Galang menggeram, kedua
tangannya fokus mencengkram pinggul sang betina agar tak bergerak terlalu liar.
“AARGTHHTTT! SEKARANG RASAKAN PEJUKU!"
pekik Galang, sebelum mendorong begitu dalam batang kontolnya, sampai rahim Sekar
bergetar.
"Nnghh! Aku... aku keluar
juga—!"
Bersamaan dengan erangan Galang,
kontolnya yang berdenyut-denyut mulai memuntahkan cairan hangat nan kental ke
dalam rahim Sekar. Semburan demi semburan membanjiri liang kawin wanita cantik
itu, bercampur dengan cairan orgasme yang mengalir tak kalah deras. Vagina Sekar
seolah enggan melepaskan kontol Galang, masih mencengkeram erat meski sang
jawara sudah selesai menuntaskan hajat birahi.
"Aaargghhhttt! Luar biasa!
Vaginamu luar biasa enak." dengus Galang, napasnya masih tersengal.
Sementara itu tubuh Sekar ambruk
lemas, kepalanya bersandar di tepi bak. Tubuh Galang yang kekar masih
menindihnya sebentar sebelum akhirnya menarik kontolnya keluar dari dalam
vagina yang sudah mulai lemas. Saat keluar, aliran sperma kental mengalir
perlahan dari selangkangan Sekar, membasahi pahanya yang indah.
"Lihatlah…" bisik Galang
sambil mencolek sperma dengan jarinya, lalu mengoleskannya ke bibir Sekar.
"Rasakan spermaku…" Sekar
dengan pasrah membuka mulutnya dan mulai menjilati sisa sperma Galang.
“Kau ternyata bukan gadis polos,
ya?" Galang tertawa kasar, tangannya yang besar mengusap-usap perut Sekar.
Gadis cantik itu tersipu, matanya berbinar penuh rasa puas. Mungkin ini adalah
seks ternikamt sepanjang hidupnya.

Posting Komentar
0 Komentar