KAMPUNG UKHTY
PART 1
Mobil yang kukendarai melaju tenang
menembus pekatnya malam di jalanan berliku perbukitan antara Ngantang dan Pujon.
Di sampingku Alya duduk dengan tenang, matanya yang bulat memandang ke arah
depan, sesekali dia menyapu pandangan ke samping kiri kaca mobil, entah apa
yang dipikirkannya saat ini, namun dari raut wajahnya aku tau dia sedang tidak
baik-baik saja. Aku menghela nafas panjang, mengingat momen satu jam lalu saat
kami berdua bertemu kedua orang tuaku di Malang.
“Kamu yakin mau menikah dengannya?
Apa nggak ada wanita lain?” Tanya Ibuku sedikit berbisik saat kuhampiri di
dapur.
“Bu…” Aku mengeluh, Ibuku hanya
tersenyum sementara kedua tangannya sibuk menyiapkan minuman di atas baki.
“Ibu dan Bapak hanya ingin yang
terbaik untuk hidupmu. Coba lihat Mas Farhan sekarang, hidupnya berantakan
karena salah memilih jodoh.” Ujar Ibuku lagi.
Satu tahun yang lalu kakakku satu-satunya baru
saja mengurus berkas perceraian di pengadilan agama. Istrinya ternyata sudah
berselingkuh dengan pria lain. Sejak awal pernikahan, kedua orang tuaku memang
sudah menunjukkan ketidaksukaan mereka pada sosok Sherly, wanita yang dipilih
Mas Farhan untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Alasannya cukup masuk akal,
karena Sherly selalu mengenakan pakaian seronok, sesuatu yang jelas
bertentangan dengan prinsip-prinsip keluAkuku yang memegang teguh unsur
keagamaan.
“Tapi dia bukan Sherly Bu. Aku
pastikan Alya adalah wanita yang luar biasa.” Kataku mencoba meyakinkan.
“Tapi dia janda, anaknya sudah dua
kan? Ibu kok nggak sreg ya.”
“Memangnya salah ya Bu kalo menikah
sama janda? Bukankah Rosulullah dulu juga menikahi seorang janda?” Ibu
menatapku, senyumnya meredup.
“Rosulullah itu manusia pilihan,
nggak ada satupun yang bisa menandingi kebijaksanaannya dalam mengambil
keputusan termasuk kamu sekalipun.” Ucap Ibuku dengan wajah datar.
Aku merasa tertampar karena sudah lancang
membandingkan pilihan hidupku dengan seorang utusan Allah. Siapalah aku ini,
bahkan sholat lima waktu pun masih sering bolong-bolong tapi sudah berani
menyandingkan nasib dengan Rosulullah. Mungkin ini adalah implementasi rasa
frustasiku untuk meyakinkan Ibuku agar mau merestui hubunganku dengan Alya.
Janda cantik berusia 35 tahun yang
selalu mengenakan hijab lebar itu sudah kupacari enam bulan terakhir. Berawal
dari pertemuan tak sengaja di sebuah acara seminar aku mengenal Alya. Jujur
saja, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak hanya cantik dan
menarik secara fisik, Alya juga begitu cerdas. Tiap tutur kata yang terucap
dari bibirnya selalu memiliki makna mendalam, sesuatu yang begitu sulit
kutemukan pada sosok wanita lain tentunya.
Hubungan kami mengalir bagai air,
berawal dari sekedar bertukar nomor ponsel, lalu mulai berbalas pesan sambil
sesekali saling menelepon setelah jam kerja. Hingga kemudian kuberanikan diri
untuk mendatangi rumahnya. Statusnya sebagai seorang janda beranak dua sama
sekali tak mengendurkan niatku untuk mendekatinya. Bagiku, statusnya sama
sekali bukan masalah besar. Sepanjang obrolan kami terkoneksi dengan baik dan
kedua anaknya menerima kehadiranku, aku pikir semua baik-baik saja.
Tiga bulan berlalu, hubungan kami
makin dekat. Hingga di suatu malam aku ungkapkan perasaanku pada Alya. Awalnya
Alya menolakku dengan berbagai macam pertimbangan, namun aku pantang menyerah.
Hatiku sudah tertambat padanya, pun begitu pula aku juga yakin jika Alya
memiliki perasaan yang sama. Alya merasa tidak pantas bersanding denganku yang
belum pernah menikah, apalagi usia kami terpaut cukup jauh.
Kegigihanku akhirnya berbuah hasil,
Alya mau menerimaku sebagai kekasihnya dengan syarat dia tak mau berlama-lama
pacaran dan ingin segera menikah, sesuatu yang kebetulan juga selaras dengan
jalan pikiiranku. Maka hari ini kubawa dia untuk menemui kedua prang tuaku
sebagai bentuk keseriusanku padanya.
Namun, alih-alih mendapat sambutan
yang mengesankan, kedua orang tuaku justru memberikan respon yang kurang
bersahabat. Ayahku mungkin tak sefrontal Ibuku yang langsung bicara padaku
tentang ketidaksukaannya pada Alya. Tapi dari raut wajah Ayahku yang dingin dan
nyaris tak menunjukkan ekspresi apapun, aku sudah bisa menilai jika dia juga
tak begitu nyaman dengan wanita pilihanku. Alya bukan wanita polos dan lugu,
sudah tentu respon kedua orang tuaku bisa dia baca dengan baik saking baiknya
bahkan membuatnya sekarang jadi enggan mengumbar senyum.
“Kamu okey sayang?” Kugenggam jemari
Alya, dia hanya menghela nafas panjang sembari memaksakan senyum di bibirnya.
“Nggak apa-apa kok.” Ucapnya lirih.
“Maafin ya, tapi aku minta kamu sabar
dulu. Aku akan berusaha meyakinkan kedua orang tuaku lagi.”
“Kamu nggak perlu minta maaf, hal
semacam ini sudah sering aku terima. Statusku sebagai janda beranak dua seperti
jadi stempel negatif dalam diriku.”
“Sayang…Please jangan ngomong kayak
gitu lagi ya.” Alya menatapku lebih dalam, wajahnya tenang namun ada gurat
kesedihan yang tak bisa dia sembunyikan.
“Raka, sebaiknya kamu pikir-pikir
lagi tentang hubungan kita ya. Aku nggak mau jadi duri dalam keluAkumu.”
“Kamu ngomong apa sih?! Aku serius
sama kamu, aku juga cinta sama kamu! Nggak ada rencana buat mikir-mikir lagi!
Nggak ada!” Suaraku mendadak jadi meninggi.
“Aku tau Raka, aku juga merasakan hal
yang sama. Tapi pernikahan itu berbeda, tidak hanya melibatkan perasaan kita
berdua saja, tapi juga melibatkan perasaan orang lain. KeluAkumu, keluAkuku
juga.” Kepalaku terasa panas, konsentrasiku terbagi antara merespon argumen
Alya dengan jalanan malam yang berkelok-kelok.
“Terus maksudmu kamu mau udahan aja?”
Tanyaku tanpa basa-basi, seperti biasa aku lebih sering mengedepankan sisi
emosional saat berdebat, berbeda jauh dengan Alya yang selalu terlihat tenang.
“Aku pikir, lebih baik kita ambil
jeda dulu. Kita harus mikirin kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi
akibat hubungan kita.”
“Nggak! Aku nggak mau!” Tolakku
tegas.
“Raka…Coba dengerin dulu
penjelasanku. Jangan emosi dulu.”
“Nggak! Sekali aku bilang nggak!
Tetep nggak!”
BRRAAAAAAKKKK....!
Di tengah perdebatan yang makin
panas, mobilku tiba-tiba seperti menabrak sesuatu hingga menimbulkan bunyi
benturan yang sangat keras. Panik langsung kubanting setir ke sisi kiri sembari
menginjak pedal rem dalam-dalam. Jantungku berdegup kencang, adrenalin terpacu
memenuhi aliran darahku. Kulihat Alya yang duduk di sampingku, dia juga
terhenyak, wajahnya shock.
"Kamu nggak apa-apa sayang?”
Tanyaku panik.
"Nggak…Nggak..A-Aku nggak
apa-apa. Kita habis nabrak apa tadi?” Ujar Alya dengan gugup, raut wajahnya
tegang karena terkejut.
“Kamu tunggu di sini sebentar, aku
cek dulu keluar.”
Bergegas aku buka pintu mobil dan
langsung mengarah pada bagian depan kendaraan. Kuamati sama ekali tak ada
penyok atau luka sedikitpun. Aku memutari mobil untuk memastikan dan hasilnya
sama saja, mobilku masih mulus tanpa goresan sedikitpun. Aku melongok ke bagian
bawah mobil, kosong melompong, satu-satunya yang bisa kulihat adalah jejak ban
di atas aspal akibat tekanan rem mobilku beberapa saat lalu.
“Gimana? Kita nabrak apa?” Tanya Alya
setelah membuka kaca mobil. Aku menggeleng.
“Nggak ada, kita nggak nabrak
apa-apa.” Jawabku.
Kupandangi sekeliling, jalanan yang
kulalui terlihat sangat asing. Aku bahkan baru menyadari tak ada satupun
kendaraan lain yang melintas. Kiri kanan yang terlihat hanyalah barisan
pepohonan rimbun pada dataran tinggi. Kuingat-ingat lagi kapan terakhir kalinya
aku melewati jalanan ini namun memori terpotong begitu saja. Mendadak semilir
angin berhembus, dinginnya terasa asing dan membuat bulu kudukku merinding.
Tanpa pikir panjang aku bergegas kembali masuk ke dalam mobil dan langsung
tancap gas.
“Kamu kenapa?” Tanya Alya yang
menyadari perubahan ekspresi wajahku.
“Nggak apa-apa, lebih baik kita
segera pergi dari sini.” Jawabku sembari mengarahkan mobil ke atas aspal.
Kupacu mobilku menembus jalanan di
tengah daerah perbukitan ini, sepanjang perjalanan tak ada satupun kendaraan
lain yang melintas ataupun berpapasan dengan kami. Perasaan tak nyaman mulai
menyergapku karena aku sama sekali tak tau sedang berada di mana saat ini.
Sepuluh menit berlalu kurasakan ban mobilku menjejak jalanan tanah, ini semakin
aneh karena dari Malang menuju Pujon semua jalanan sudah beraspal mulus.
“Kita tersesat ya?” Tanya Alya yang
juga mulai menyadari jika kami melewati sebuah daerah asing.
“Aku juga nggak tau, padahal sedari
tadi aku nggak belok kemana-mana, hanya lurus mengikuti jalan seperti
biasanya.” Ujarku.
Kami melintasi jalanan desa asing
yang sepi. Mobil melaju perlahan di atas jalan tak beraspal, diapit oleh
pepohonan tinggi yang menjulang. Lampu mobil hanya menerangi sedikit bagian
jalan di depan kami, menciptakan bayangan aneh di antara gelapnya malam.
Suasana hening melingkupi, terpecah
hanya oleh suara raungan mesin mobil. Di kejauhan, terdengar desiran angin yang
membawa aroma tanah basah dan sedikit dedaunan. Setiap kali ban mobil melintasi
kerikil, suara itu seakan menggema di kesunyian malam. Alya terlihat gelisah,
matanya sesekali melirik ke luar jendela, seolah-solah khawatir ada sesuatu
yang mengintai.
Di satu titik, kami melewati sebuah
pohon beringin berukuran besar yang tampak menakutkan, kupacu laju mobil
melewatinya berharap agar segera menemukan penduduk yang bisa membantu
menemukan jalan keluar. Beberapa menit kemudian di kejauhan nampak sebuah
bangunan di pinggir jalan, terlihat mencolok karena itu adalah satu-satunya
bangunan yang dihiasi kerlip lampu penerangan.
Bangunan itu terlihat sederhana,
mungkin sebuah warung makan. Dindingnya terbuat dari kayu, dicat dengan warna
hijau pucat yang sudah mulai pudar. Atapnya berbahan genteng, tetapi sebagian
dari genteng itu tampak bergeser, seakan siap jatuh kapan saja. Lampu
kunang-kunang berpendar di luar warung, menciptakan suasana yang hangat meski
agak redup. Dari luar, aku bisa melihat di dalam warung tersebut ada beberapa
orang pria yang sedang duduk-duduk dan mengobrol santai.
“Kamu tunggu di sini sebentar ya,
biar aku tanya ke mereka arah jalan yang benar.” Kataku, namun Alya malah
membuka pengait sabuk pengamannya.
“Aku ikut.” Ucapnya singkat sebelum
membuka pintu mobil.
Di depan warung, ada kursi dan meja
kayu yang sudah usang. Ada papan kecil yang terpampang di luar dengan tulisan yang
sudah sulit terbaca karena pudar. Aku melangkah masuk diikuti Alya, semua orang
seketika langsung mengarahkan pandangan pada kami berdua.
“Permisi Pak, mau tanya. Arah ke
Jombang lewat mana ya? Kami sepertinya tersesat.” Kataku sopan pada sekumpulan
pria yang duduk tak jauh dari pintu masuk. Ketiga pria itu masih memandangiku
dengan tatapan aneh, mereka hanya diam membisu.
Tak hanya tatapan matanya saja yang
terkesan aneh, ketiga pria tersebut juga mengenakan pakaian semacam sorjan
sederhana yang sering kulihat di tayangan sinetron kolosal beberapa tahun
silam. Kepala mereka juga terbungkus penutup dari kain berwarna hitap yang
dililit cukup rapi. Jenis pakaian yang sudah begitu jarang kutemui dikenakan
oleh orang pada umumnya.
“Sayang…” Alya yang juga merasakan
keanehan merapatkan tubuhnya padaku sambil mengapit lenganku.
“Wah! Selamat datang, ayo mari
silahkan duduk.”
Dari bagian belakang ruangan muncul
seorang wanita berhijab lebar muncul sambil tersenyum ramah. Kuterka usianya
mungkin sama seperti ibuku, hanya saja wanita ini terlihat jauh lebih muda
karena wajahnya yang cantik tersapu riasan make up cukup menor. Badannya
bahenol, se,ok lebih tepatnya karena meskipun mengenakan kain kaftan panjang,
payudara serta pantatnya tercetak dengan begitu jelas. Aku terkesima selama
beberapa detik.
“Ayo silahkan duduk, mau makan apa?”
Tanya wanita itu dengan senyum tersungging di bibirnya yang sensual.
“Eh..Ma-Maaf Bu, mau tanya arah ke
kota Jombang lewat mana ya? Kami tersesat.” Kataku.
“Oalah, kalian nyasar toh?”
“I-Iya Bu.”
“Ah gampang itu, nanti saya tunjukin
jalannya. Sekarang kalian duduk dulu, istirahat, biar saya siapin makanan
dulu.”
Wanita itu menyentuh pundakku, sebuah
sentuhan lembut yang membuatku merasa begitu nyaman dan damai. Ucapannya
seperti perintah yang tak bisa kutolak sama sekali. Wanita itu kemudian
menggandeng tangan Alya dan mengajaknya menuju sebuah kursi di bagian tengah
ruangan, sama sepertiku, Alya juga hanya bisa menurut tanpa melakukan protes
sama sekali.
“Kalian pasti capek dari perjalanan
panjang kan? Tunggu sebentar, biar ibu siapin makanan dan minuman hangat.” Ujar
wanita itu sebelum kemudian melangkah menuju bagian belakang ruangan.
“Terima kasih Bu.” Ucapku.
“Kita ada dimana sayang?” Tanya Alya.
“Entahlah, tapi sepertinya tempat ini
nyaman. Lebih baik kita istirahat sebentar sebelum nanti melanjutkan perjalanan
lagi.” Jawabku.
Meskipun dari luar warung ini nampak
kecil dan sederhana, namun bagian dalamnya cukup bersih, dengan penataan ruang
yang apik. Meja dan kursi diatur sedemikian rupa agar nampak rapi dan teratur,
sementara di beberapa bagian dinding terdapat lukisan artistik bergambar tokoh
penguasa laut selatan yang kukenal sebagai Nyi Roro Kidul. Memang sedikit
berbau klenik, tapi entah kenapa sama sekali tak membuatku merinding ketakutan.
Justru sekarang aku merasa rileks, jauh dari ketegangan.
“Mari silahkan.” Selang beberapa
menit wanita tadi kembali dengan membawa nampan yang berisi dua piring nasi
rawon dan dua gelas teh hangat, langsung menyajikannya pada kami.
Seumur hidup baru kali ini aku
mencium aroma rawon seenak dan selezat ini. Nafsu makanku langsung terpacu
meskipun tadi saat di rumah aku sudah melahap banyak masakan Ibuku. Sama
denganku, Alya pun langsung menyantap makanan yang disajikan oleh wanita tersebut
tanpa banyak bicara. Kami berdua makan dengan sangat lahap tak butuh waktu lama
hingga piring kami menjadi kosong melompong.
“Ini rawon terenak yang pernah
kumakan.” Gumam Alya.
“Iya, aku setuju.” Sahutku sambil
mengambil bungkus rokok dari kantong celana.
Kuamati keadaan di dalam warung yang
mendadak sepi, ketiga pria yang tadi duduk berkerumun di dekat pintu masuk
sudah tak ada lagi keberadaannya, aku bahkan tak ingat kapan mereka pergi
karena saking asyiknya menyantap rawon. Asap baru saja mengepul dari mulutku
ketika seorang pria berjubah panjang dan peci putih di bagian kepalanya masuk
ke dalam warung. Pria itu mengarah ke meja kami, wajahnya tenang dengan seuntai
senyum.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Sahutku dan Alya nyaris bebarengan.
“Selamat datang di desa kami, kalian
dari mana? Kenapa bisa sampai di sini?” Cerca pria yang usianya sekitar 60
tahun itu.
“Kami dari Malang pak, kami mau
kembali ke arah Jombang namun tersesat.” Jawabku. Pria itu kembali tersenyum,
namun pandangannya kini justru mengarah pada Alya yang duduk di sampingku.
“Wah! Kamu pinter banget nyari calon
istri. Sudah cantik dan sepertinya jago di ranjang.”
Sialan, sebuah ucapan yang kurang
sopan bagi orang yang belum saling kenal. Biasanya aku pasti akan menghantam
wajah pria tua itu dengan pukulan bertubi-tubi, tapi entah kenapa emosiku sama
sekali tak terpancing oleh ucapannya barusan. Alya pun demikian, kekasihku itu
justru tersenyum malu-malu sembari balas menatap wajah pria tua tersebut.
“Loh Pak Lurah sudah datang rupanya.”
Wanita yang tadi menyuguhkan makanan
pada kami kembali muncul dari bagian belakang warung, kali ini dia muncul dalam
keadaan telanjang bulat dan hanya mengenakan hijab saja. Aku terhenyak, pun
begitu pula dengan Alya seolah tak percaya dengan apa yang kami saksikan saat
ini. Pria yang disebut Pak Lurah menyambut wanita itu, keduanya tanpa malu-malu
langsung berciuman panas.
“Masih ada pelanggan loh Pak..” Ujar
wanita itu seraya melirik genit ke arahku.
“Justru itu, kita harus menunjukkan
pada mereka. Hehehehehe.” Ucap Pak Lurah sebelum kemudian kembali mencumbu
wanita itu.
PART 2
Aku dan Alya serasa seperti sedang
terhipnotis, kami berdua hanya duduk terdiam sembari menyaksikan percumbuan
antara wanita penjaga warung yang belakangan kuketahui bernama Halimah dan Pak
Lurah, pria tua yang menjadi pemimpin di desa ini. Keduanya asyik saling
melumat bibir, saling menjilat dan menghisap. Suara desahan dan lenguhan manja
dari Halimah sesekali terdengar menguar memenuhi ruangan.
Pak Lurah sedikit merundukkan
tubuhnya, bibir tebalnya mengarah menuju payudara Halimah yang berukuran sangat
besar. Tanpa ampun pria tua itu menciumi gundukan bulat nan kenyal milik
Halimah sambil satu tangannya ikut meremasi. Lenguhan panjang nan parau kembali
terdengar, tubuh Halimah menggelinjang kegelian, sesekali wanita paruh baya
namun masih cantik itu melirik genit ke arahku, seolah sedang menggoda
birahiku.
“Ouucchhhhh! Pak Lurah nakal…”
Desisnya sambil meremas-remas kepala Pak Lurah yang masih terbungkus peci
berwarna putih.
Aku melirik ke arah Alya, kekasihku
itu nampak menggigit bibirnya sendiri, jemarinya saling meremas sebagai tanda
kegelisahan. Selama ini hubungan kami memang tergolong “sehat”, tak seklaipun
kami berhubungan badan. Hanya ada satu momen dimana kami pernah saling
berciuman dan saling menyentuh, itupun hanya satu kali. Selebihnya kami berdua
hanya menghabiskan waktu dengan makan bareng atau sekedar nonton film. Berada
pada situasi seperti sekarang tentu menciptakan kecanggungan luar biasa pada
kami berdua.
Pak Lurah menyudahi aksi cabulnya
pada payudara Halimah, pria tua itu mundur beberapa langkah lalu melepas
seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat. Tak kuduga, di usia yang tak lagi
muda ukuran batang penisnya ternyata sangatlah luar biasa! Bukahn hanya
panjang, namun diameternya juga luar biasa besar, sangat kontras dengan postur
tubuhnya yang cenderung kecil. Aku sampai harus menelan ludahku sendiri, merasa
minder karena ukuranku tak ada apa-apanya dibanding milik Pak Lurah.
“Sayang….” Alya mendesis lirih,
jemarinya meremas pergelangan tanganku. Kami saling tatap untuk beberapa detik.
“Ki-Kita ngapain di sini?” Ujarnya
lirih. Wajahnya yang terbungkus hijab merona merah.
“Entahlah, kamu mau pergi sekarang?”
Tawarku sedikit ragu. Namun, tak kuduga, Alya menggeleng lemah.
“Enggak, aku mau di sini dulu.”
Ucapnya.
Di hadapan kami, Halimah sudah rebah
di atas meja dengan kedua paha terbuka lebar. Selangkangannya tertutupi oleh
kepala Pak Lurah yang sedang sibuk menjilati bagian vagina wanita pemilik
warung itu. Sungguh sebuah pemandangan erotis yang biasanya hanya bisa kulihat
di tayangan video porno, namun kini aku bisa melihatnya secara langsung.
“Aaachhh! Pak Luraaaah!”
Halimah terus merintih, tentu bukan
karena kesakitan, tapi justru sebaliknya. Raut wajahnya begitu binal kala lidah
Pak Lurah menari-nari di permukaan vagina, sementara kedua tangan Halimah sibuk
meremasi payudaranya sendiri. Lenguhan Halimah berganti jadi teriakan karena
selain menggunakan lidah, Pak Lurah juga menyempatkan dua jarinya menyusupi
bagian dalam vagina. Pria tua itu begitu mahsyuk mengobok-obok alat kawin sang
betina, bibir dan lidahnya pun makin sibuk menyesapi permukaannya.
“Ouucchhhh! Ouucchh!!”
Tubuh Halimah berkali-kali melenting,
punggungnya melengkung ke atas diiringi teriakan kecil yang makin membuat
suasana jadi bertambah erotis. Dadaku berdegup kencang, penisku ikut mengeras.
Kulirik Alya, wajahnya tak bisa lagi menutupi birahi yang terpendam. Sesekali
kekasihku itu menggigit bibirnya sendiri sembari membetulkan letak hijabnya.
Keringat dingin nampak di keningnya.
Tak lama, Pak Lurah kembali bangkit
berdiri. Penisnya mengacung tegak siap untuk digunakan. Benar saja, pria tua
itu tanpa ampun langsung menghunuskan batangnya ke dalam vagina Halimah. Suara
derit kaki-kaki meja dengan permukaan lantai mengiringi genjotan bertenaga pria
tua itu. Tak kuduga staminanya sangatlah luar biasa meskipun tubuhnya tergolong
kecil. Kedua tangannya memgangi bagian luar paha Halimah, tubuhnya bergerak
maju mundur bak sebuah piston mesin tanpa henti.
“Aaacchh! Aaachh! Entotin Halimah!
Entotin yang kenceng!!”
Tubuh Halimah bergoyang bak cacing
kepanasan mengikuti irama sodokan Pak Lurah yang makin lama intensitasnya makin
tinggi dan cepat. Dua tangan pria tua itu kini melepas paha Halimah, membiarkan
kedua kaki sang betina terjuntai ke bawah. Tangannya beralih meremasi payudara
Halimah yang terbuka bebas, sesekali tanpa ampun Pak Lurah menampari daging
kenyal itu hingga membuat Halimah memekik kencang.
“Aaaachhhhh! Aaampuunn!”
Dari tempatku duduk aku bisa melihat
tiap gerakan menusuk Pak Luruh. Penisnya keluar masuk dengan begitu mudah di
dalam celah lubang kawin Halimah. Cairan kelamin keduanya juga nampak meleleh
keluar, makin menambah kesan cabul yang kuat. Aku gelisah, penisku makin
berontak, pun begitu pula dengan Alya yang berkali-kali membetulkan posisi
tubuhnya. Tanpa kuduga Pak Lurah menghentikan gerakannya lalu menoleh ke arahku
dengan senyum cabul tersemat di bibirnya.
“Kalian kalo sange, main aja.
Daripada ngliatin doang.” Ucapnya dengan sangat santai. Aku dan Alya hanya
bengong tak tau harus menjawab apa.
Pak Lurah melepas batang penisnya
dari dalam vagina Halimah, wanita itu kemudian turun dari atas meja dan
langsung berlutut di bawah tubuh sang pejantan tua. Diraihnya batang penis
kekar Pak Lurah, mengocoknya sebentar sambil melirik genit ke arahku sebelum
kemudian mengulumnya. Kedua sisi pipi Halimah mengembung kala alat kawin Pak
Lurah menyesaki bagian dalam mulutnya, terlihat sangat penuh dan sesak.
“Ouuchhh! Enak banget seponganmu!”
Lenguh Pak Lurah sembari memegangi kepala Halimah yang masih terbungkus hijab.
Halimah tak lupa menggunakan lidahnya
untuk menjilati sekujur batang penis Pak Lurah dari atas hingga ke bawah.
Sesekali mulutnya sibuk menghisap kantong pelir pemimpin desa itu. Tubuh Pak
Lurah mengejang, mulutnya berkali-kali mendesis parau tanda jika mulut dan
Halimah sukses membuatnya keenakan. Seperti tak ingin “kalah” dalam permainan
lebih dulu, Pak Lurah bergegas mengangkat tubuh Halimah.
Dadaku makin bergemuruh karena Pak
Lurah membawa tubuh Halimah menuju meja kami. Aku dan Alya kembali saling
pandang, menerka-nerka apalagi kejutan yang akan ditunjukan oleh kedua pasangan
cabul itu. Halimah mengambil posisi membelakangi tubuh Pak Lurah, kedua
tangannya memegangi ujung meja kami, sementara pantatnya menungging dalam
posisi berdiri. Wanita itu langsung berhadapan denganku.
“Kalian bisa melihat kami lebih dekat
sekarang.” Ujar Pak Lurah sembari bersiap menyetubuhi Halimah dari belakang.
“Santai aja, di sini sex udah bukan
jadi barang tabu lagi. Kami melakukannya dengan sukacita.” Sahut Halimah, aku
dan Alya masih terdiam sama sekali tak tau harus berkata apa.
Sejenak Pak Lurah membasahi ujung
penisnya dengan liurnya sendiri. Setelah dirasa cukup basah, pria tua kemudian
melesakkan penisnya ke dalam vagina Halimah. Tepat di hadapan kami berdua,
mereka melakukan persetubuhan, tanpa perasaan malu, tanpa basa-basi. Pandangan
binal dan lenguhan manja halimah menadai lesakan demi lesakan penis Pak Lurah
yang menyesaki liang senggama.
“Aaacchhh! Mentokin Paak!”
Racauan Halimah bak bensin yang
menyiram api birahi Pak Lurah. Pria tua itu makin mempercepat sodokannya dari
belakang, tubuh Halimah menghentak hebat, membuat meja kami ikut bergerak. Alya
meremas tanganku, aku tau kekasihku itu sudah tak tahan menyaksikan
persetubuhan ini namun sepertiku, dia juga tak tau harus bagaimana untuk
meresponnya. Bukankah ini semacam siksaan untuk kami berdua?
Kedua tangan Pak Lurah memegangi
pinggul semok Halimah, sementara pinggulnya sendiri menghentak makin kasar dan
cepat dan keras dari belakang. Halimah tak henti mengerang, apalagi saat Pak
Lurah sengaja menyodok vagina sang betina dengan kekuatan penuh, membuat
seluruh batang penis kekarnya masuk makin dalam.
“Aaampuuunnn Paakkk!”
Kepala Halimah menggeleng-geleng,
mulutnya menganga seolah ingin mengambil asupan oksigen sebanyak mungkin.
Persetubuhannya kali ini nampaknya cukup membuat energinya terkuras. Cukup lama
Pak Lurah menggenjot tubuh si wanita penjaga warung, keduanya begitu mahsyuk
bercinta mengabaikan aku dan Alya yang hanya berjarak sekian sentimeter dari
hadapan mereka.
Sebenarnya apa maksud ucapan Halimah
tadi yang menyatakan jika sex bukan lagi hal tabu di desa ini? Apakah wAku desa
terbiasa melakukan hubungan badan di tempat terbuka seperti ini? Apakah mereka
juga bebas melakukannya dengan siapapun tanpa batasan seperti yang aku pahami
selama ini? Jika benar seperti dugaanku, maka sekarang aku berada di sebuah
tempat yang sangat spesial. Sebuah tempat yang tak menganut norma baku
kehidupan masyarakat pada umumnya.
“Aku keluar! Aku mau keluar!”
Suara pak Lurah terdengar berat dan
cenderung berat. Pria yang usianya jauh lebih tua dariku itu buru-buru melepas
batang penisnya dari dalam liang senggama Halimah. Tangan kanan Pak Lurah
mengocok batang penisnya, mengarahkan bagian ujungnya pada permukaan pantat
sang betina. Halimah menoleh ke belakang, seolah ingin tau momen sakral dari
akhir sebuah hubungan seksualitas.
“AARGGHTTTTT!”
Pancutan-pancutan kecil dari dalam
penis Pak Lurah mengirim semprotan cairan kental berwarna putih yang langsung
menyasar permukaan pantat Halimah. Tubuh pria tua itu mengejang beberapa saat
ketika selesai menyelesaikan hajat birahinya. Halimah sigap berbalik badan dan
langsung meraih batang penis Pak Lurah. Tanpa rasa jijik sedikitpun, wanita
bertubuh sintal itu langsung mengulumnya, menjilati lubang kencing sang
pejantan tua.
Aku dan Alya masih menatap nanar
akhir dari adegan cabul tersebut. Sama-sama terdiam dan berperang melawan deru
suara jantung yang berdegup kencang. Inilah kali pertama buatku mungkin juga
untuk Alya melihat persetubuhan orang lain secara langsung. Sebuah pengalaman
erotis yang tak akan mudah untuk bisa dilupakan.
“Kalian baru melihat hal semacam ini
ya?” Tanya Pak Lurah selang beberapa saat kemudian.
“I-Iya Pak...” Jawabku tergugup.
Halimah melangkah santai meninggalkan
kami bertiga menuju bagian dalam ruangan, selang beberapa saat kemudian wanita
cantik itu kembali dengan sudah mengenakan pakaian. Begitu cepat, hanya
beberapa menit saja namun Halimah sudah berpakaian rapi. Pak Lurah mengambil
kursi dan duduk di dekat meja kami, pria tua itu masih telanjang bulat, batang
penisnya terjuntai begitu saja dan tentu bisa dilihat oleh Alya yang makin
canggung.
“Di desa kami, hal seperti ini sudah
sangat lazim terjadi. Kami bebas melakukan persetubuhan dengan siapapun,
dimanapun, dan kapanpun.” Cerocos pria tua itu menjelaskan.
“Sayangnya, jumlah pria di desa ini
lebih sedikit dibanding jumlah perempuan. Jadi pilihan kami untuk bersetubuh
tidak banyak.” Celetuk Halimah yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatku.
“Oh ya? Kenapa bisa begitu?” Tak
kusangka Alya menyahut.
“Karena kebanyakan para pria pergi
merantau ke kota untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Mereka baru pulang
kalau waktu lebaran aja.” Jelas Halimah.
“Para pria yang masih tinggal di desa
kebanyakan sudah tua kayak aku ini, tapi meskipun begitu jangan pernah remehkan
kemampuan kami. Hehehehehe.” Seloroh Pak Lurah sambil memegang batang penisnya
yang entah kenapa tak kunjung melemas, malah makin mengeras.
“Ah, Pak Lurah bisa aja…” Sahut Alya
dengan tatapan genit, sebuah pemandangan yang cukup asing bagiku dan tentu saja
membuatku merasa tak nyaman.
“Ini semua berapa Bu? Kami mau
melanjutkan perjalanan.” Kataku beralasan.
“Tidak usah bayar, alias gratis.”
Ujar Halimah.
“Loh jangan Bu, kami mau bayar aja.”
Aku buru-buru merogoh kantong celana dan menyerahkan dua lembar uang lima puluh
ribuan pada pemilik warung tersebut.
“Jangan menolak rejeki, sudah ambil
saja.” Ujar Pak Lurah seolah bisa membaca raut wajahku yang mulai gusar.
Akhirnya Halimah menerima uangku.
“Terima kasih atas kedatangannya,
lain kali jangan sungkan main-main ke sini lagi.” Ucap Halimah dengan senyum
tersungging di bibirnya yang tipis.
“Sama-sama Bu, kami pamit dulu kalo
gitu.” Bergegas aku meraih tangan Alya dan segera mengajaknya keluar dari dalam
warung.
“Kamu kenapa sih? Kok kayak nggak
nyaman gitu?” Tanya Alya ketika kami melangkah menuju mobil.
“Kamu yang kenapa? Bisa-bisanya genit
sama bandot tua itu!” Gerutuku.
“Hah? Genit? Aku nggak genit kok.”
Elak Alya.
“Udah nggak usah dibahas di sini.
Kita harus segera pergi.” Ujarku seraya membuka pintu mobil. Sekilas bisa
kulihat raut wajah Alya yang cemberut.
“Aku lagi nggak mood buat berdebat.
Tapi aku nggak nyaman melihat sikapmu terhadap pria tua tadi.” Ujarku, seraya
menghidupkan mesin mobil.
"Ah,sial! Mesinnya nggak bisa
distarter! Brengsek!" Berkali-kali kuputar kunci kontak, hasilnya sama
saja.
Aku keluar dari mobil, dan
membuka kap mesin. Tapi apa yang dapat
aku lakukan, toh aku buta soal mesin, entahlah apakah itu masalah pada akinya
yang mulai soak atau sistim bahan bakarnya yang tersumbat, aku tak tau pasti. Saat
masih melihat seluk beluk mesin, seorang
pria datang menghampiriku.
“Kenapa mobilnya Mas?” Tanya pria
yang kuterka usianya tak berbeda jauh dariku, posturnya tinggi tegap dengan
rahang keras.
“Iya nih, kira-kira di sekitar sini
ada bengkel nggak ya?” Tanyaku. Pria itu mengangguk sopan ke arah dalam mobil
saat melihat Alya.
“Kalo bengkel mobil nggak ada sih
Mas, adanya bengkel motor. Kebetulan saya kerja di sana.” Ucap pria itu.
“Sampeyan ngerti mesin mobil?”
Tanyaku sekali lagi, berharap pria ini
membantuku agar bisa segera pergi dari sini.
“Biar saya coba lihat sebentar Mas.”
Aku memberi ruang pada pria itu,
kuarahkan senter pada handphone untuk menerangi ruang mesin, setidaknya hanya
ini yang bisa kulakukan untuk membantunya. Pria itu sesaat sibuk melihat
kabel-kabel di mesin mobilku, sesekali dia memastikan bagian pengait kabel tak
longgar dan terlepas. Dari sisi kanan, dia berpindah ke sisi kiri.
“Coba sekarang dinyalakan Mas
mobilnya.” Ujarnya memberiku perintah. Aku bergegas masuk ke dalam kabin dan
memutar kunci, mesin hanya menyala sesaat namun kemudian mati lagi. Kuulangi
sekali lagi namun hasilnya tetap sama.
“Sepertinya harus dibawa ke bengkel
sih Mas.” Ucap pria itu, dia kini berdiri tepat di samping kemudi, bis akulihat
pandangan matanya kembali menyasar Alya yang duduk di kursi penumpang.
“Kalo Mas mau, besok pagi saya bisa
panggilin temen yang kerja di bengkel mobil. Kalo jam segini udah tutup sih.”
Ucapnya sekali lagi. Jujur saja aku merasa begitu kesal, kenapa mobilku yang
tak pernah rewel kini justru mogok di tengah sebuah desa aneh seperti ini.
“Gimana yang?” Alya menyentuh pahaku,
aku menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh asa.
“Nggak ada solusi lain sih, kita
terpaksa harus menginap semalam di sini.” Ujarku.
“Nginep? Tapi dimana?” Tanya Alya
sekali lagi.
“Tenang aja, kalian bisa menginap di
rumah saya. Nggak mewah sih, tapi kalo buat istrirahat satu malam masih bisa
kok.” Ucap pria di samping mobilku.
“Ah nggak usah Mas, takut ngrepotin
nanti.” Tolakku halus. Aku tentu enggan menerima tawaran menginap dari seorang
pria asing yang sedari tadi melirik genit ke arah kekasihku.
“Wah..Wah…Kenapa mobilnya?” Tiba-tiba
terdengar suara seorang pria yang sudah tak asing bagi telingaku. Pria itu
adalah Pak Lurah yang berjalan mendekati mobil.
“Kenapa To? Kamu nggak bisa benerin?
Ah, montir abal-abal kamu.” Cerocos Pak Lurah pada pria yang se,pat melihat
mesi mobilku tadi, belakangan kuketahui namanya adalah Yanto.
“Hehehehe, Maklum Pak, saya nggak
pernah lihat mobil sebagus ini. Tapi besok saya bisa panggilin temen saya yang
kerja di bengkel mobil kok.” Ujar Yanto mengulang apa yang dikatakannya padaku
tadi.
“Ya bener itu, lebih baik kalian
malam ini menginap saja di sini. Lagipula memaksakan perjalanan malam melewati
hutan dan bukit aga riskan.” Ujar Pak Lurah seraya menatap wajahku. Entah
kenapa tiap kali dia menyasar mataku, rasanya aku begitu berat untuk
mengucapkan penolakan.
“Apa ada penginapan di sekitar sini
Pak?” Tanyaku.
“Ngapain cari penginapan segala?
Kalian bisa bermalam di rumah penduduk atau rumahku kalo perlu. Kami terbuka
untuk tamu seperti kalian.”
“Maksudnya tamu seperti kami itu apa
ya Pak?” Tanyaku, Pak Lurah dan Yanto saling pandang sebelum kemudian tersenyum
lebar.
“Tenang saja, kalian akan baik-baik
saja malam ini. Kami bukan orang jahat.”
Pak Lurah menepuk pundakku beberapa
kali, lalu entah kenapa hatiku tergerak untuk menerima tawaran menginap di
rumahnya secara sukarela dan bahkan mungkin dengan sukacita. Kuajak Alya turun
dari mobil, kami mengikuti langkah kaki Pak Lurah menjauh dari mobil. Udara
malam yang dingin menimbulkan sebuah sensasi asing yang baru pertama kali
kurasakan.

Posting Komentar
0 Komentar