KAMPUNG UKHTY

 

GENRE : HIJAB EROTIC 
JUMLAH HALAMAN : 180 HALAMAN
HARGA: Rp 25.000

ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Mobil yang kukendarai melaju tenang menembus pekatnya malam di jalanan berliku perbukitan antara Ngantang dan Pujon. Di sampingku Alya duduk dengan tenang, matanya yang bulat memandang ke arah depan, sesekali dia menyapu pandangan ke samping kiri kaca mobil, entah apa yang dipikirkannya saat ini, namun dari raut wajahnya aku tau dia sedang tidak baik-baik saja. Aku menghela nafas panjang, mengingat momen satu jam lalu saat kami berdua bertemu kedua orang tuaku di Malang.

“Kamu yakin mau menikah dengannya? Apa nggak ada wanita lain?” Tanya Ibuku sedikit berbisik saat kuhampiri di dapur.

“Bu…” Aku mengeluh, Ibuku hanya tersenyum sementara kedua tangannya sibuk menyiapkan minuman di atas baki.

“Ibu dan Bapak hanya ingin yang terbaik untuk hidupmu. Coba lihat Mas Farhan sekarang, hidupnya berantakan karena salah memilih jodoh.” Ujar Ibuku lagi.

 Satu tahun yang lalu kakakku satu-satunya baru saja mengurus berkas perceraian di pengadilan agama. Istrinya ternyata sudah berselingkuh dengan pria lain. Sejak awal pernikahan, kedua orang tuaku memang sudah menunjukkan ketidaksukaan mereka pada sosok Sherly, wanita yang dipilih Mas Farhan untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Alasannya cukup masuk akal, karena Sherly selalu mengenakan pakaian seronok, sesuatu yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keluAkuku yang memegang teguh unsur keagamaan.

“Tapi dia bukan Sherly Bu. Aku pastikan Alya adalah wanita yang luar biasa.” Kataku mencoba meyakinkan.

“Tapi dia janda, anaknya sudah dua kan? Ibu kok nggak sreg ya.”

“Memangnya salah ya Bu kalo menikah sama janda? Bukankah Rosulullah dulu juga menikahi seorang janda?” Ibu menatapku, senyumnya meredup.

“Rosulullah itu manusia pilihan, nggak ada satupun yang bisa menandingi kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan termasuk kamu sekalipun.” Ucap Ibuku dengan wajah datar.

 Aku merasa tertampar karena sudah lancang membandingkan pilihan hidupku dengan seorang utusan Allah. Siapalah aku ini, bahkan sholat lima waktu pun masih sering bolong-bolong tapi sudah berani menyandingkan nasib dengan Rosulullah. Mungkin ini adalah implementasi rasa frustasiku untuk meyakinkan Ibuku agar mau merestui hubunganku dengan Alya.

Janda cantik berusia 35 tahun yang selalu mengenakan hijab lebar itu sudah kupacari enam bulan terakhir. Berawal dari pertemuan tak sengaja di sebuah acara seminar aku mengenal Alya. Jujur saja, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak hanya cantik dan menarik secara fisik, Alya juga begitu cerdas. Tiap tutur kata yang terucap dari bibirnya selalu memiliki makna mendalam, sesuatu yang begitu sulit kutemukan pada sosok wanita lain tentunya.

Hubungan kami mengalir bagai air, berawal dari sekedar bertukar nomor ponsel, lalu mulai berbalas pesan sambil sesekali saling menelepon setelah jam kerja. Hingga kemudian kuberanikan diri untuk mendatangi rumahnya. Statusnya sebagai seorang janda beranak dua sama sekali tak mengendurkan niatku untuk mendekatinya. Bagiku, statusnya sama sekali bukan masalah besar. Sepanjang obrolan kami terkoneksi dengan baik dan kedua anaknya menerima kehadiranku, aku pikir semua baik-baik saja.

Tiga bulan berlalu, hubungan kami makin dekat. Hingga di suatu malam aku ungkapkan perasaanku pada Alya. Awalnya Alya menolakku dengan berbagai macam pertimbangan, namun aku pantang menyerah. Hatiku sudah tertambat padanya, pun begitu pula aku juga yakin jika Alya memiliki perasaan yang sama. Alya merasa tidak pantas bersanding denganku yang belum pernah menikah, apalagi usia kami terpaut cukup jauh.

Kegigihanku akhirnya berbuah hasil, Alya mau menerimaku sebagai kekasihnya dengan syarat dia tak mau berlama-lama pacaran dan ingin segera menikah, sesuatu yang kebetulan juga selaras dengan jalan pikiiranku. Maka hari ini kubawa dia untuk menemui kedua prang tuaku sebagai bentuk keseriusanku padanya.

Namun, alih-alih mendapat sambutan yang mengesankan, kedua orang tuaku justru memberikan respon yang kurang bersahabat. Ayahku mungkin tak sefrontal Ibuku yang langsung bicara padaku tentang ketidaksukaannya pada Alya. Tapi dari raut wajah Ayahku yang dingin dan nyaris tak menunjukkan ekspresi apapun, aku sudah bisa menilai jika dia juga tak begitu nyaman dengan wanita pilihanku. Alya bukan wanita polos dan lugu, sudah tentu respon kedua orang tuaku bisa dia baca dengan baik saking baiknya bahkan membuatnya sekarang jadi enggan mengumbar senyum.

“Kamu okey sayang?” Kugenggam jemari Alya, dia hanya menghela nafas panjang sembari memaksakan senyum di bibirnya.

“Nggak apa-apa kok.” Ucapnya lirih.

“Maafin ya, tapi aku minta kamu sabar dulu. Aku akan berusaha meyakinkan kedua orang tuaku lagi.”

“Kamu nggak perlu minta maaf, hal semacam ini sudah sering aku terima. Statusku sebagai janda beranak dua seperti jadi stempel negatif dalam diriku.”

“Sayang…Please jangan ngomong kayak gitu lagi ya.” Alya menatapku lebih dalam, wajahnya tenang namun ada gurat kesedihan yang tak bisa dia sembunyikan.

“Raka, sebaiknya kamu pikir-pikir lagi tentang hubungan kita ya. Aku nggak mau jadi duri dalam keluAkumu.”

“Kamu ngomong apa sih?! Aku serius sama kamu, aku juga cinta sama kamu! Nggak ada rencana buat mikir-mikir lagi! Nggak ada!” Suaraku mendadak jadi meninggi.

“Aku tau Raka, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi pernikahan itu berbeda, tidak hanya melibatkan perasaan kita berdua saja, tapi juga melibatkan perasaan orang lain. KeluAkumu, keluAkuku juga.” Kepalaku terasa panas, konsentrasiku terbagi antara merespon argumen Alya dengan jalanan malam yang berkelok-kelok.

“Terus maksudmu kamu mau udahan aja?” Tanyaku tanpa basa-basi, seperti biasa aku lebih sering mengedepankan sisi emosional saat berdebat, berbeda jauh dengan Alya yang selalu terlihat tenang.

“Aku pikir, lebih baik kita ambil jeda dulu. Kita harus mikirin kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi akibat hubungan kita.”

“Nggak! Aku nggak mau!” Tolakku tegas.

“Raka…Coba dengerin dulu penjelasanku. Jangan emosi dulu.”

“Nggak! Sekali aku bilang nggak! Tetep nggak!”

BRRAAAAAAKKKK....!

Di tengah perdebatan yang makin panas, mobilku tiba-tiba seperti menabrak sesuatu hingga menimbulkan bunyi benturan yang sangat keras. Panik langsung kubanting setir ke sisi kiri sembari menginjak pedal rem dalam-dalam. Jantungku berdegup kencang, adrenalin terpacu memenuhi aliran darahku. Kulihat Alya yang duduk di sampingku, dia juga terhenyak, wajahnya shock.

"Kamu nggak apa-apa sayang?” Tanyaku panik.

"Nggak…Nggak..A-Aku nggak apa-apa. Kita habis nabrak apa tadi?” Ujar Alya dengan gugup, raut wajahnya tegang karena terkejut.

“Kamu tunggu di sini sebentar, aku cek dulu keluar.”

Bergegas aku buka pintu mobil dan langsung mengarah pada bagian depan kendaraan. Kuamati sama ekali tak ada penyok atau luka sedikitpun. Aku memutari mobil untuk memastikan dan hasilnya sama saja, mobilku masih mulus tanpa goresan sedikitpun. Aku melongok ke bagian bawah mobil, kosong melompong, satu-satunya yang bisa kulihat adalah jejak ban di atas aspal akibat tekanan rem mobilku beberapa saat lalu.

“Gimana? Kita nabrak apa?” Tanya Alya setelah membuka kaca mobil. Aku menggeleng.

“Nggak ada, kita nggak nabrak apa-apa.” Jawabku.

Kupandangi sekeliling, jalanan yang kulalui terlihat sangat asing. Aku bahkan baru menyadari tak ada satupun kendaraan lain yang melintas. Kiri kanan yang terlihat hanyalah barisan pepohonan rimbun pada dataran tinggi. Kuingat-ingat lagi kapan terakhir kalinya aku melewati jalanan ini namun memori terpotong begitu saja. Mendadak semilir angin berhembus, dinginnya terasa asing dan membuat bulu kudukku merinding. Tanpa pikir panjang aku bergegas kembali masuk ke dalam mobil dan langsung tancap gas.

“Kamu kenapa?” Tanya Alya yang menyadari perubahan ekspresi wajahku.

“Nggak apa-apa, lebih baik kita segera pergi dari sini.” Jawabku sembari mengarahkan mobil ke atas aspal.

Kupacu mobilku menembus jalanan di tengah daerah perbukitan ini, sepanjang perjalanan tak ada satupun kendaraan lain yang melintas ataupun berpapasan dengan kami. Perasaan tak nyaman mulai menyergapku karena aku sama sekali tak tau sedang berada di mana saat ini. Sepuluh menit berlalu kurasakan ban mobilku menjejak jalanan tanah, ini semakin aneh karena dari Malang menuju Pujon semua jalanan sudah beraspal mulus.

“Kita tersesat ya?” Tanya Alya yang juga mulai menyadari jika kami melewati sebuah daerah asing.

“Aku juga nggak tau, padahal sedari tadi aku nggak belok kemana-mana, hanya lurus mengikuti jalan seperti biasanya.” Ujarku.

Kami melintasi jalanan desa asing yang sepi. Mobil melaju perlahan di atas jalan tak beraspal, diapit oleh pepohonan tinggi yang menjulang. Lampu mobil hanya menerangi sedikit bagian jalan di depan kami, menciptakan bayangan aneh di antara gelapnya malam.

Suasana hening melingkupi, terpecah hanya oleh suara raungan mesin mobil. Di kejauhan, terdengar desiran angin yang membawa aroma tanah basah dan sedikit dedaunan. Setiap kali ban mobil melintasi kerikil, suara itu seakan menggema di kesunyian malam. Alya terlihat gelisah, matanya sesekali melirik ke luar jendela, seolah-solah khawatir ada sesuatu yang mengintai.

Di satu titik, kami melewati sebuah pohon beringin berukuran besar yang tampak menakutkan, kupacu laju mobil melewatinya berharap agar segera menemukan penduduk yang bisa membantu menemukan jalan keluar. Beberapa menit kemudian di kejauhan nampak sebuah bangunan di pinggir jalan, terlihat mencolok karena itu adalah satu-satunya bangunan yang dihiasi kerlip lampu penerangan.

Bangunan itu terlihat sederhana, mungkin sebuah warung makan. Dindingnya terbuat dari kayu, dicat dengan warna hijau pucat yang sudah mulai pudar. Atapnya berbahan genteng, tetapi sebagian dari genteng itu tampak bergeser, seakan siap jatuh kapan saja. Lampu kunang-kunang berpendar di luar warung, menciptakan suasana yang hangat meski agak redup. Dari luar, aku bisa melihat di dalam warung tersebut ada beberapa orang pria yang sedang duduk-duduk dan mengobrol santai.

“Kamu tunggu di sini sebentar ya, biar aku tanya ke mereka arah jalan yang benar.” Kataku, namun Alya malah membuka pengait sabuk pengamannya.

“Aku ikut.” Ucapnya singkat sebelum membuka pintu mobil.

Di depan warung, ada kursi dan meja kayu yang sudah usang. Ada papan kecil yang terpampang di luar dengan tulisan yang sudah sulit terbaca karena pudar. Aku melangkah masuk diikuti Alya, semua orang seketika langsung mengarahkan pandangan pada kami berdua.

“Permisi Pak, mau tanya. Arah ke Jombang lewat mana ya? Kami sepertinya tersesat.” Kataku sopan pada sekumpulan pria yang duduk tak jauh dari pintu masuk. Ketiga pria itu masih memandangiku dengan tatapan aneh, mereka hanya diam membisu.

Tak hanya tatapan matanya saja yang terkesan aneh, ketiga pria tersebut juga mengenakan pakaian semacam sorjan sederhana yang sering kulihat di tayangan sinetron kolosal beberapa tahun silam. Kepala mereka juga terbungkus penutup dari kain berwarna hitap yang dililit cukup rapi. Jenis pakaian yang sudah begitu jarang kutemui dikenakan oleh orang pada umumnya.

“Sayang…” Alya yang juga merasakan keanehan merapatkan tubuhnya padaku sambil mengapit lenganku.

“Wah! Selamat datang, ayo mari silahkan duduk.”

Dari bagian belakang ruangan muncul seorang wanita berhijab lebar muncul sambil tersenyum ramah. Kuterka usianya mungkin sama seperti ibuku, hanya saja wanita ini terlihat jauh lebih muda karena wajahnya yang cantik tersapu riasan make up cukup menor. Badannya bahenol, se,ok lebih tepatnya karena meskipun mengenakan kain kaftan panjang, payudara serta pantatnya tercetak dengan begitu jelas. Aku terkesima selama beberapa detik.

“Ayo silahkan duduk, mau makan apa?” Tanya wanita itu dengan senyum tersungging di bibirnya yang sensual.

“Eh..Ma-Maaf Bu, mau tanya arah ke kota Jombang lewat mana ya? Kami tersesat.” Kataku.

“Oalah, kalian nyasar toh?”

“I-Iya Bu.”

“Ah gampang itu, nanti saya tunjukin jalannya. Sekarang kalian duduk dulu, istirahat, biar saya siapin makanan dulu.”

Wanita itu menyentuh pundakku, sebuah sentuhan lembut yang membuatku merasa begitu nyaman dan damai. Ucapannya seperti perintah yang tak bisa kutolak sama sekali. Wanita itu kemudian menggandeng tangan Alya dan mengajaknya menuju sebuah kursi di bagian tengah ruangan, sama sepertiku, Alya juga hanya bisa menurut tanpa melakukan protes sama sekali.

“Kalian pasti capek dari perjalanan panjang kan? Tunggu sebentar, biar ibu siapin makanan dan minuman hangat.” Ujar wanita itu sebelum kemudian melangkah menuju bagian belakang ruangan.

“Terima kasih Bu.” Ucapku.

“Kita ada dimana sayang?” Tanya Alya.

“Entahlah, tapi sepertinya tempat ini nyaman. Lebih baik kita istirahat sebentar sebelum nanti melanjutkan perjalanan lagi.” Jawabku.

Meskipun dari luar warung ini nampak kecil dan sederhana, namun bagian dalamnya cukup bersih, dengan penataan ruang yang apik. Meja dan kursi diatur sedemikian rupa agar nampak rapi dan teratur, sementara di beberapa bagian dinding terdapat lukisan artistik bergambar tokoh penguasa laut selatan yang kukenal sebagai Nyi Roro Kidul. Memang sedikit berbau klenik, tapi entah kenapa sama sekali tak membuatku merinding ketakutan. Justru sekarang aku merasa rileks, jauh dari ketegangan.

“Mari silahkan.” Selang beberapa menit wanita tadi kembali dengan membawa nampan yang berisi dua piring nasi rawon dan dua gelas teh hangat, langsung menyajikannya pada kami.

Seumur hidup baru kali ini aku mencium aroma rawon seenak dan selezat ini. Nafsu makanku langsung terpacu meskipun tadi saat di rumah aku sudah melahap banyak masakan Ibuku. Sama denganku, Alya pun langsung menyantap makanan yang disajikan oleh wanita tersebut tanpa banyak bicara. Kami berdua makan dengan sangat lahap tak butuh waktu lama hingga piring kami menjadi kosong melompong.

“Ini rawon terenak yang pernah kumakan.” Gumam Alya.

“Iya, aku setuju.” Sahutku sambil mengambil bungkus rokok dari kantong celana.

Kuamati keadaan di dalam warung yang mendadak sepi, ketiga pria yang tadi duduk berkerumun di dekat pintu masuk sudah tak ada lagi keberadaannya, aku bahkan tak ingat kapan mereka pergi karena saking asyiknya menyantap rawon. Asap baru saja mengepul dari mulutku ketika seorang pria berjubah panjang dan peci putih di bagian kepalanya masuk ke dalam warung. Pria itu mengarah ke meja kami, wajahnya tenang dengan seuntai senyum.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Sahutku dan Alya nyaris bebarengan.

“Selamat datang di desa kami, kalian dari mana? Kenapa bisa sampai di sini?” Cerca pria yang usianya sekitar 60 tahun itu.

“Kami dari Malang pak, kami mau kembali ke arah Jombang namun tersesat.” Jawabku. Pria itu kembali tersenyum, namun pandangannya kini justru mengarah pada Alya yang duduk di sampingku.

“Wah! Kamu pinter banget nyari calon istri. Sudah cantik dan sepertinya jago di ranjang.”

Sialan, sebuah ucapan yang kurang sopan bagi orang yang belum saling kenal. Biasanya aku pasti akan menghantam wajah pria tua itu dengan pukulan bertubi-tubi, tapi entah kenapa emosiku sama sekali tak terpancing oleh ucapannya barusan. Alya pun demikian, kekasihku itu justru tersenyum malu-malu sembari balas menatap wajah pria tua tersebut.

“Loh Pak Lurah sudah datang rupanya.”

Wanita yang tadi menyuguhkan makanan pada kami kembali muncul dari bagian belakang warung, kali ini dia muncul dalam keadaan telanjang bulat dan hanya mengenakan hijab saja. Aku terhenyak, pun begitu pula dengan Alya seolah tak percaya dengan apa yang kami saksikan saat ini. Pria yang disebut Pak Lurah menyambut wanita itu, keduanya tanpa malu-malu langsung berciuman panas.

“Masih ada pelanggan loh Pak..” Ujar wanita itu seraya melirik genit ke arahku.

“Justru itu, kita harus menunjukkan pada mereka. Hehehehehe.” Ucap Pak Lurah sebelum kemudian kembali mencumbu wanita itu.

PART 2

 

Aku dan Alya serasa seperti sedang terhipnotis, kami berdua hanya duduk terdiam sembari menyaksikan percumbuan antara wanita penjaga warung yang belakangan kuketahui bernama Halimah dan Pak Lurah, pria tua yang menjadi pemimpin di desa ini. Keduanya asyik saling melumat bibir, saling menjilat dan menghisap. Suara desahan dan lenguhan manja dari Halimah sesekali terdengar menguar memenuhi ruangan.

Pak Lurah sedikit merundukkan tubuhnya, bibir tebalnya mengarah menuju payudara Halimah yang berukuran sangat besar. Tanpa ampun pria tua itu menciumi gundukan bulat nan kenyal milik Halimah sambil satu tangannya ikut meremasi. Lenguhan panjang nan parau kembali terdengar, tubuh Halimah menggelinjang kegelian, sesekali wanita paruh baya namun masih cantik itu melirik genit ke arahku, seolah sedang menggoda birahiku.

“Ouucchhhhh! Pak Lurah nakal…” Desisnya sambil meremas-remas kepala Pak Lurah yang masih terbungkus peci berwarna putih.

Aku melirik ke arah Alya, kekasihku itu nampak menggigit bibirnya sendiri, jemarinya saling meremas sebagai tanda kegelisahan. Selama ini hubungan kami memang tergolong “sehat”, tak seklaipun kami berhubungan badan. Hanya ada satu momen dimana kami pernah saling berciuman dan saling menyentuh, itupun hanya satu kali. Selebihnya kami berdua hanya menghabiskan waktu dengan makan bareng atau sekedar nonton film. Berada pada situasi seperti sekarang tentu menciptakan kecanggungan luar biasa pada kami berdua.

Pak Lurah menyudahi aksi cabulnya pada payudara Halimah, pria tua itu mundur beberapa langkah lalu melepas seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat. Tak kuduga, di usia yang tak lagi muda ukuran batang penisnya ternyata sangatlah luar biasa! Bukahn hanya panjang, namun diameternya juga luar biasa besar, sangat kontras dengan postur tubuhnya yang cenderung kecil. Aku sampai harus menelan ludahku sendiri, merasa minder karena ukuranku tak ada apa-apanya dibanding milik Pak Lurah.

“Sayang….” Alya mendesis lirih, jemarinya meremas pergelangan tanganku. Kami saling tatap untuk beberapa detik.

“Ki-Kita ngapain di sini?” Ujarnya lirih. Wajahnya yang terbungkus hijab merona merah.

“Entahlah, kamu mau pergi sekarang?” Tawarku sedikit ragu. Namun, tak kuduga, Alya menggeleng lemah.

“Enggak, aku mau di sini dulu.” Ucapnya.

Di hadapan kami, Halimah sudah rebah di atas meja dengan kedua paha terbuka lebar. Selangkangannya tertutupi oleh kepala Pak Lurah yang sedang sibuk menjilati bagian vagina wanita pemilik warung itu. Sungguh sebuah pemandangan erotis yang biasanya hanya bisa kulihat di tayangan video porno, namun kini aku bisa melihatnya secara langsung.

“Aaachhh! Pak Luraaaah!”

Halimah terus merintih, tentu bukan karena kesakitan, tapi justru sebaliknya. Raut wajahnya begitu binal kala lidah Pak Lurah menari-nari di permukaan vagina, sementara kedua tangan Halimah sibuk meremasi payudaranya sendiri. Lenguhan Halimah berganti jadi teriakan karena selain menggunakan lidah, Pak Lurah juga menyempatkan dua jarinya menyusupi bagian dalam vagina. Pria tua itu begitu mahsyuk mengobok-obok alat kawin sang betina, bibir dan lidahnya pun makin sibuk menyesapi permukaannya.

“Ouucchhhh! Ouucchh!!”

Tubuh Halimah berkali-kali melenting, punggungnya melengkung ke atas diiringi teriakan kecil yang makin membuat suasana jadi bertambah erotis. Dadaku berdegup kencang, penisku ikut mengeras. Kulirik Alya, wajahnya tak bisa lagi menutupi birahi yang terpendam. Sesekali kekasihku itu menggigit bibirnya sendiri sembari membetulkan letak hijabnya. Keringat dingin nampak di keningnya.

Tak lama, Pak Lurah kembali bangkit berdiri. Penisnya mengacung tegak siap untuk digunakan. Benar saja, pria tua itu tanpa ampun langsung menghunuskan batangnya ke dalam vagina Halimah. Suara derit kaki-kaki meja dengan permukaan lantai mengiringi genjotan bertenaga pria tua itu. Tak kuduga staminanya sangatlah luar biasa meskipun tubuhnya tergolong kecil. Kedua tangannya memgangi bagian luar paha Halimah, tubuhnya bergerak maju mundur bak sebuah piston mesin tanpa henti.

“Aaacchh! Aaachh! Entotin Halimah! Entotin yang kenceng!!”

Tubuh Halimah bergoyang bak cacing kepanasan mengikuti irama sodokan Pak Lurah yang makin lama intensitasnya makin tinggi dan cepat. Dua tangan pria tua itu kini melepas paha Halimah, membiarkan kedua kaki sang betina terjuntai ke bawah. Tangannya beralih meremasi payudara Halimah yang terbuka bebas, sesekali tanpa ampun Pak Lurah menampari daging kenyal itu hingga membuat Halimah memekik kencang.

“Aaaachhhhh! Aaampuunn!”

Dari tempatku duduk aku bisa melihat tiap gerakan menusuk Pak Luruh. Penisnya keluar masuk dengan begitu mudah di dalam celah lubang kawin Halimah. Cairan kelamin keduanya juga nampak meleleh keluar, makin menambah kesan cabul yang kuat. Aku gelisah, penisku makin berontak, pun begitu pula dengan Alya yang berkali-kali membetulkan posisi tubuhnya. Tanpa kuduga Pak Lurah menghentikan gerakannya lalu menoleh ke arahku dengan senyum cabul tersemat di bibirnya.

“Kalian kalo sange, main aja. Daripada ngliatin doang.” Ucapnya dengan sangat santai. Aku dan Alya hanya bengong tak tau harus menjawab apa.

Pak Lurah melepas batang penisnya dari dalam vagina Halimah, wanita itu kemudian turun dari atas meja dan langsung berlutut di bawah tubuh sang pejantan tua. Diraihnya batang penis kekar Pak Lurah, mengocoknya sebentar sambil melirik genit ke arahku sebelum kemudian mengulumnya. Kedua sisi pipi Halimah mengembung kala alat kawin Pak Lurah menyesaki bagian dalam mulutnya, terlihat sangat penuh dan sesak.

“Ouuchhh! Enak banget seponganmu!” Lenguh Pak Lurah sembari memegangi kepala Halimah yang masih terbungkus hijab.

Halimah tak lupa menggunakan lidahnya untuk menjilati sekujur batang penis Pak Lurah dari atas hingga ke bawah. Sesekali mulutnya sibuk menghisap kantong pelir pemimpin desa itu. Tubuh Pak Lurah mengejang, mulutnya berkali-kali mendesis parau tanda jika mulut dan Halimah sukses membuatnya keenakan. Seperti tak ingin “kalah” dalam permainan lebih dulu, Pak Lurah bergegas mengangkat tubuh Halimah.

Dadaku makin bergemuruh karena Pak Lurah membawa tubuh Halimah menuju meja kami. Aku dan Alya kembali saling pandang, menerka-nerka apalagi kejutan yang akan ditunjukan oleh kedua pasangan cabul itu. Halimah mengambil posisi membelakangi tubuh Pak Lurah, kedua tangannya memegangi ujung meja kami, sementara pantatnya menungging dalam posisi berdiri. Wanita itu langsung berhadapan denganku.

“Kalian bisa melihat kami lebih dekat sekarang.” Ujar Pak Lurah sembari bersiap menyetubuhi Halimah dari belakang.

“Santai aja, di sini sex udah bukan jadi barang tabu lagi. Kami melakukannya dengan sukacita.” Sahut Halimah, aku dan Alya masih terdiam sama sekali tak tau harus berkata apa.

Sejenak Pak Lurah membasahi ujung penisnya dengan liurnya sendiri. Setelah dirasa cukup basah, pria tua kemudian melesakkan penisnya ke dalam vagina Halimah. Tepat di hadapan kami berdua, mereka melakukan persetubuhan, tanpa perasaan malu, tanpa basa-basi. Pandangan binal dan lenguhan manja halimah menadai lesakan demi lesakan penis Pak Lurah yang menyesaki liang senggama.

“Aaacchhh! Mentokin Paak!”

Racauan Halimah bak bensin yang menyiram api birahi Pak Lurah. Pria tua itu makin mempercepat sodokannya dari belakang, tubuh Halimah menghentak hebat, membuat meja kami ikut bergerak. Alya meremas tanganku, aku tau kekasihku itu sudah tak tahan menyaksikan persetubuhan ini namun sepertiku, dia juga tak tau harus bagaimana untuk meresponnya. Bukankah ini semacam siksaan untuk kami berdua?

Kedua tangan Pak Lurah memegangi pinggul semok Halimah, sementara pinggulnya sendiri menghentak makin kasar dan cepat dan keras dari belakang. Halimah tak henti mengerang, apalagi saat Pak Lurah sengaja menyodok vagina sang betina dengan kekuatan penuh, membuat seluruh batang penis kekarnya masuk makin dalam.

“Aaampuuunnn Paakkk!”

Kepala Halimah menggeleng-geleng, mulutnya menganga seolah ingin mengambil asupan oksigen sebanyak mungkin. Persetubuhannya kali ini nampaknya cukup membuat energinya terkuras. Cukup lama Pak Lurah menggenjot tubuh si wanita penjaga warung, keduanya begitu mahsyuk bercinta mengabaikan aku dan Alya yang hanya berjarak sekian sentimeter dari hadapan mereka.

Sebenarnya apa maksud ucapan Halimah tadi yang menyatakan jika sex bukan lagi hal tabu di desa ini? Apakah wAku desa terbiasa melakukan hubungan badan di tempat terbuka seperti ini? Apakah mereka juga bebas melakukannya dengan siapapun tanpa batasan seperti yang aku pahami selama ini? Jika benar seperti dugaanku, maka sekarang aku berada di sebuah tempat yang sangat spesial. Sebuah tempat yang tak menganut norma baku kehidupan masyarakat pada umumnya.

“Aku keluar! Aku mau keluar!”

Suara pak Lurah terdengar berat dan cenderung berat. Pria yang usianya jauh lebih tua dariku itu buru-buru melepas batang penisnya dari dalam liang senggama Halimah. Tangan kanan Pak Lurah mengocok batang penisnya, mengarahkan bagian ujungnya pada permukaan pantat sang betina. Halimah menoleh ke belakang, seolah ingin tau momen sakral dari akhir sebuah hubungan seksualitas.

“AARGGHTTTTT!”

Pancutan-pancutan kecil dari dalam penis Pak Lurah mengirim semprotan cairan kental berwarna putih yang langsung menyasar permukaan pantat Halimah. Tubuh pria tua itu mengejang beberapa saat ketika selesai menyelesaikan hajat birahinya. Halimah sigap berbalik badan dan langsung meraih batang penis Pak Lurah. Tanpa rasa jijik sedikitpun, wanita bertubuh sintal itu langsung mengulumnya, menjilati lubang kencing sang pejantan tua.

Aku dan Alya masih menatap nanar akhir dari adegan cabul tersebut. Sama-sama terdiam dan berperang melawan deru suara jantung yang berdegup kencang. Inilah kali pertama buatku mungkin juga untuk Alya melihat persetubuhan orang lain secara langsung. Sebuah pengalaman erotis yang tak akan mudah untuk bisa dilupakan.

“Kalian baru melihat hal semacam ini ya?” Tanya Pak Lurah selang beberapa saat kemudian.

“I-Iya Pak...” Jawabku tergugup.

Halimah melangkah santai meninggalkan kami bertiga menuju bagian dalam ruangan, selang beberapa saat kemudian wanita cantik itu kembali dengan sudah mengenakan pakaian. Begitu cepat, hanya beberapa menit saja namun Halimah sudah berpakaian rapi. Pak Lurah mengambil kursi dan duduk di dekat meja kami, pria tua itu masih telanjang bulat, batang penisnya terjuntai begitu saja dan tentu bisa dilihat oleh Alya yang makin canggung.

“Di desa kami, hal seperti ini sudah sangat lazim terjadi. Kami bebas melakukan persetubuhan dengan siapapun, dimanapun, dan kapanpun.” Cerocos pria tua itu menjelaskan.

“Sayangnya, jumlah pria di desa ini lebih sedikit dibanding jumlah perempuan. Jadi pilihan kami untuk bersetubuh tidak banyak.” Celetuk Halimah yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatku.

“Oh ya? Kenapa bisa begitu?” Tak kusangka Alya menyahut.

“Karena kebanyakan para pria pergi merantau ke kota untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Mereka baru pulang kalau waktu lebaran aja.” Jelas Halimah.

“Para pria yang masih tinggal di desa kebanyakan sudah tua kayak aku ini, tapi meskipun begitu jangan pernah remehkan kemampuan kami. Hehehehehe.” Seloroh Pak Lurah sambil memegang batang penisnya yang entah kenapa tak kunjung melemas, malah makin mengeras.

“Ah, Pak Lurah bisa aja…” Sahut Alya dengan tatapan genit, sebuah pemandangan yang cukup asing bagiku dan tentu saja membuatku merasa tak nyaman.

“Ini semua berapa Bu? Kami mau melanjutkan perjalanan.” Kataku beralasan.

“Tidak usah bayar, alias gratis.” Ujar Halimah.

“Loh jangan Bu, kami mau bayar aja.” Aku buru-buru merogoh kantong celana dan menyerahkan dua lembar uang lima puluh ribuan pada pemilik warung tersebut.

“Jangan menolak rejeki, sudah ambil saja.” Ujar Pak Lurah seolah bisa membaca raut wajahku yang mulai gusar. Akhirnya Halimah menerima uangku.

“Terima kasih atas kedatangannya, lain kali jangan sungkan main-main ke sini lagi.” Ucap Halimah dengan senyum tersungging di bibirnya yang tipis.

“Sama-sama Bu, kami pamit dulu kalo gitu.” Bergegas aku meraih tangan Alya dan segera mengajaknya keluar dari dalam warung.

“Kamu kenapa sih? Kok kayak nggak nyaman gitu?” Tanya Alya ketika kami melangkah menuju mobil.

“Kamu yang kenapa? Bisa-bisanya genit sama bandot tua itu!” Gerutuku.

“Hah? Genit? Aku nggak genit kok.” Elak Alya.

“Udah nggak usah dibahas di sini. Kita harus segera pergi.” Ujarku seraya membuka pintu mobil. Sekilas bisa kulihat raut wajah Alya yang cemberut.

“Aku lagi nggak mood buat berdebat. Tapi aku nggak nyaman melihat sikapmu terhadap pria tua tadi.” Ujarku, seraya menghidupkan mesin mobil.

"Ah,sial! Mesinnya nggak bisa distarter! Brengsek!" Berkali-kali kuputar kunci kontak, hasilnya sama saja.

Aku keluar dari mobil, dan membuka  kap mesin. Tapi apa yang dapat aku lakukan, toh aku buta soal mesin, entahlah apakah itu masalah pada akinya yang mulai soak atau sistim bahan bakarnya yang tersumbat, aku tak tau pasti. Saat masih melihat seluk beluk mesin, seorang  pria datang menghampiriku.

“Kenapa mobilnya Mas?” Tanya pria yang kuterka usianya tak berbeda jauh dariku, posturnya tinggi tegap dengan rahang keras.

“Iya nih, kira-kira di sekitar sini ada bengkel nggak ya?” Tanyaku. Pria itu mengangguk sopan ke arah dalam mobil saat melihat Alya.

“Kalo bengkel mobil nggak ada sih Mas, adanya bengkel motor. Kebetulan saya kerja di sana.” Ucap pria itu.

Sampeyan ngerti mesin mobil?” Tanyaku sekali lagi, berharap pria ini  membantuku agar bisa segera pergi dari sini.

“Biar saya coba lihat sebentar Mas.”

Aku memberi ruang pada pria itu, kuarahkan senter pada handphone untuk menerangi ruang mesin, setidaknya hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantunya. Pria itu sesaat sibuk melihat kabel-kabel di mesin mobilku, sesekali dia memastikan bagian pengait kabel tak longgar dan terlepas. Dari sisi kanan, dia berpindah ke sisi kiri.

“Coba sekarang dinyalakan Mas mobilnya.” Ujarnya memberiku perintah. Aku bergegas masuk ke dalam kabin dan memutar kunci, mesin hanya menyala sesaat namun kemudian mati lagi. Kuulangi sekali lagi namun hasilnya tetap sama.

“Sepertinya harus dibawa ke bengkel sih Mas.” Ucap pria itu, dia kini berdiri tepat di samping kemudi, bis akulihat pandangan matanya kembali menyasar Alya yang duduk di kursi penumpang.

“Kalo Mas mau, besok pagi saya bisa panggilin temen yang kerja di bengkel mobil. Kalo jam segini udah tutup sih.” Ucapnya sekali lagi. Jujur saja aku merasa begitu kesal, kenapa mobilku yang tak pernah rewel kini justru mogok di tengah sebuah desa aneh seperti ini.

“Gimana yang?” Alya menyentuh pahaku, aku menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh asa.

“Nggak ada solusi lain sih, kita terpaksa harus menginap semalam di sini.” Ujarku.

“Nginep? Tapi dimana?” Tanya Alya sekali lagi.

“Tenang aja, kalian bisa menginap di rumah saya. Nggak mewah sih, tapi kalo buat istrirahat satu malam masih bisa kok.” Ucap pria di samping mobilku.

“Ah nggak usah Mas, takut ngrepotin nanti.” Tolakku halus. Aku tentu enggan menerima tawaran menginap dari seorang pria asing yang sedari tadi melirik genit ke arah kekasihku.

“Wah..Wah…Kenapa mobilnya?” Tiba-tiba terdengar suara seorang pria yang sudah tak asing bagi telingaku. Pria itu adalah Pak Lurah yang berjalan mendekati mobil.

“Kenapa To? Kamu nggak bisa benerin? Ah, montir abal-abal kamu.” Cerocos Pak Lurah pada pria yang se,pat melihat mesi mobilku tadi, belakangan kuketahui namanya adalah Yanto.

“Hehehehe, Maklum Pak, saya nggak pernah lihat mobil sebagus ini. Tapi besok saya bisa panggilin temen saya yang kerja di bengkel mobil kok.” Ujar Yanto mengulang apa yang dikatakannya padaku tadi.

“Ya bener itu, lebih baik kalian malam ini menginap saja di sini. Lagipula memaksakan perjalanan malam melewati hutan dan bukit aga riskan.” Ujar Pak Lurah seraya menatap wajahku. Entah kenapa tiap kali dia menyasar mataku, rasanya aku begitu berat untuk mengucapkan penolakan.

“Apa ada penginapan di sekitar sini Pak?” Tanyaku.

“Ngapain cari penginapan segala? Kalian bisa bermalam di rumah penduduk atau rumahku kalo perlu. Kami terbuka untuk tamu seperti kalian.”

“Maksudnya tamu seperti kami itu apa ya Pak?” Tanyaku, Pak Lurah dan Yanto saling pandang sebelum kemudian tersenyum lebar.

“Tenang saja, kalian akan baik-baik saja malam ini. Kami bukan orang jahat.”

Pak Lurah menepuk pundakku beberapa kali, lalu entah kenapa hatiku tergerak untuk menerima tawaran menginap di rumahnya secara sukarela dan bahkan mungkin dengan sukacita. Kuajak Alya turun dari mobil, kami mengikuti langkah kaki Pak Lurah menjauh dari mobil. Udara malam yang dingin menimbulkan sebuah sensasi asing yang baru pertama kali kurasakan.



Posting Komentar

0 Komentar