UMI ALYA

 


GENRE : HIJAB EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 116 HALAMAN
HARGA: Rp 20.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Badanku masih begitu lelah setelah hampir 12 jam menempuh perjalanan darat untuk sampai ke kota ini. Satu minggu lalu aku mendapat email dari kantor pusat agar membereskan masalah di kantor cabang, konon telah terjadi beberapa pelanggaran SOP berat oleh manager di kantor cabang tersebut. Sebagai seorang auditor senior tugasku membenahi praktek-praktek kotor seperti ini dan berpotensi merugikan keuangan perusahaan.

Letak kantor cabang kali ini berada di luar pulau, setelah menempuh perjalanan udara lebih dari dua jam, aku masih harus melanjutkan perjalanan darat hampir 12 jam. Selama perjalanan aku terus mengutuki bajingan manajer yang melakukan kebodohan fatal dan harus membawaku melakukan perjalanan sejauh ini.

Kantor sebenarnnya sudah menyediakan tempat tinggal untukku selama melakukan audit di kota ini, tapi aku lebih memilih untuk mencari tempat kos yang nyaman dan berada di pusat kota. Pengalamanku sebelumnya saat ditugaskan di kota terpencil seperti ini, fasilitas akomodasi yang diberikan oleh perusahaan tempatku bekerja jauh dari kata layak. Maka daripada aku bekerja dengan standar kenyamanan rendah, aku putuskan untuk tinggal di rumah kos. Toh, pengeluaran sewa juga ditanggung oleh perusahaan, tekadku adalah segera menyelesaikan tugas dan langsung kembali ke ibukota.

Seorang teman memberiku informasi sebuah rumah kos yang berada tak jauh dari terminal. Dari foto-foto yang dikirimkan, aku bisa memastikan jika rumah kos itu cukup nyaman untuk aku tinggali selama berada di kota ini. Sesampainya di terminal, aku bergegas memesan ojek online dan langsung menuju sebuah alamat tempat dimana rumah kos itu berada. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di rumah kos tersebut.

Sebuah bangunan berlantai dua dengan cat dominan warna putih gading nampak menjulang tinggi dibanding bangunan di sekitarnya. Pagar besi setinggi nyaris dua meter mengelilingi bangunan tersebut, meninggalkan kesan aman bagi orang yang melihatnya dari luar. Setelah membayar ojek, aku langsung memencet bel pagar, tak lama muncul seorang pria kurus dengan rambut penuh uban membukakan pintu pagar.

Saat pintu pagar terbuka aku bisa melihat di bagian depat bangunan utama terdapat taman bunga berukuran sedang dengan hiasan kolam buatan di bagian tengahnya. Di samping bangunan utama terdapat sebuah bangunan rumah berukuran lebih kecil, bersebelahan langsung dengan halaman parkir yang sudah terisi beberapa sepeda motor.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?” Tanya pria itu sembari tersenyum ramah menyambutku.

“Permisi Pak, apa masih ada kamar kosong? Saya mau ngekos.” Ujarku.

“Oh, masih…masih…Mari silahkan masuk dulu.” Ujarnya seraya mempersilahkan aku masuk ke dalam.

Pria tua yang kutaksir usianya sudah setengah abad lebih itu berjalan menuju bangunan rumah kecil yang berada di samping bangunan utama, pandanganku masih mengitari sekeliling, kesan nyaman, tenang, dan bersih seketika memenuhi isi kepalaku.

“Silahkan duduk di sini sebentar Pak, biar saya panggilkan Umi Alya dulu.” Ucap pria tua itu mempersilahkanku duduk di kursi berbahan rotan yang ada di teras rumah kecil.

“Umi Alya?” Tanyaku spontan.

“Beliau yang punya kos ini, saya hanya bertugas untuk mengurusi kebersihan saja Pak.” Kata pria tua itu, entah kenapa sedari tadi senyumnya tak pernah pudar dari wajahnya yang keriput.

“Oh…Baik Pak, terima kasih sebelumnya.” Kataku.

“Sama-sama Pak, saya permisi sebentar.”

Pria tua itu melangkah pergi masuk ke dalam rumah. Selama menunggu, pandangan mataku tak bosan-bosan memandang taman yang ada di depanku, kumpulan bunga berwarna-warni membuat rasa lelahku sedari tadi terobati. Tak lama kemudian pria tua tadi kembali muncul dari dalam rumah, kali ini dia tak sendiri namun bersama seorang wanita cantik yang usianya tak berbeda jauh denganku.

Wajahnya yang putih bersih tertutup hijab hitam, tubuhnya yang mungkin hanya setinggi 155 sentimeter dibalut kaftan panjang bermotif cerah. Aku sampai tak sadar melongo beberapa detik saat memandangi kecantikan wanita tersebut. Wajahnya putih mulus dengan bentuk mata, alis, hidung, dan bibir yang indah. Dari kain kaftan tipis yang dia kenakan, aku dapat melihat jelas postur tubuhnya. Pinggangnya padat melingkar, pinggulnya melebar indah, ukuran lingkarnya cukup proporsional bagiku. Payudaranya amat montok dan membusung indah, Jenis payudara yang enak diciumi, disedot-sedot, dan diremas-remas. Dari samping bisa kulihat payudaranya begitu menonjol meskipun tertutup kain kaftan.

“Selamat sore Pak, kenalkan saya Alya.” Suaranya lembut, mungkin ini adalah suara terindah yang pernah aku dengarkan sepanjang hidup. Pikiran kotorku bahkan mulai memproses segala kemungkinan jorok tentang bagaimana saat Umi Alya mendesah serta mengerang ketika sedang disetubuhi.

“Sa-Saya Bram, Bramantyo.” Aku tergagap seraya menyalaminya.

“Kata Pak Kusno, Pak Bram mau kos di sini?”

“I-Iya Bu. Apa masih ada kamar kosong?” Aku berusaha sekuat tenaga untuk menguasai diriku sendiri.

“Masih ada kok Pak. Tapi sebelumnya saya boleh melihat KTP Pak Bram terlebih dahulu? Untuk memastikan saja, maklum Pak ini kota kecil, saya nggak mau terjadi masalah aja di kemudian hari.” Kata-katanya lugas, mengalir begitu saja dari bibirnya yang mungil dan tipis, menandakan jika barisan kata itu sudah cukup terlatih terlontar setiap ada calon penghuni kos baru.

“Boleh Bu.” Aku segera merogoh kBramg belakang celanaku untuk mengambil dompet. Saat aku mencari KTP, Pak Kusno pamit pergi meninggalkan kami berdua.

Aku menyerahkan KTP ku pada Umi Alya, sejenak dia mengamati ID card itu dengan seksama, seolah memastikan kebenaran identitasku tentunya. Umi Alya, entah kenapa aku merasa kurang sreg dengan panggilan ini. Apalagi mengingat usiaku tak berbeda jauh dengannya. Tak lama wanita cantik itu menyerahkan kembali KTPku seraya menebar senyumnya yang begitu manis.

“OK Pak Bram, mari saya antar sekarang ke kamar. Ada 4 kamar kosong di lantai atas, kalau di lantai bawah udah full terisi semua.” Ujarnya seraya bangkit dari kursi, aku bisa melihat pantatnya yang semok tercetak jelas di dalam kain kaftan.

“Baik Bu!” Jawabku buru-buru ikut bangkit dari kursi.

Kami berdua melangkah menuju bangunan utama, sepanjang perjalanan Umi Alya menjelaskan padaku beberapa peraturan yang diterapkan di rumah kos ini. Beberapa peraturan yang sudah lazim berlaku di sebuah rumah kos seperti dilarang membawa binatang peliharaan, larangan untuk membuat keributan, pesta miras atau narkoba dan beberapa peraturan lain. Aku mendengarkan dengan seksama sambil mengamati keadaan sekitar. Menurut Umi Alya, kebanyakan penghuni di rumah kos ini adalah pekerja kantoran yang asalnya dari luar kota. Beberapa diantara mereka bahkan tinggal satu kamar dengan istri atau suami mereka.

“Jadi di sini termasuk kos bebas ya Bu?” Pancingku. Umi Alya tiba-tiba berhenti saat menapaki anak tangga seraya menolehkan pandangan ke arahku.

“Bebas yang seperti apa maksud Pak Bram?” Tanyanya dengan raut menyelidik, di sini aku bisa melihat sebuah ketegasan serta kedewasaan sekaligus.

“Ehmm, mak-maksud saya i-itu…a-anu Bu…” Bibirku mendadak kelu, bahkan bingung harus menjawab apa. Umi Alya tersenyum, bahkan terdengar tawanya renyah.

“Hahahaha! Santai Pak Bram, nggak usah gugup kayak gitu. Saya tau maksudnya kok, pokoknya selama nggak ganggu penghuni lain, nggak jadi masalah buat saya kok.” Ucapnya sembari mengedipkan matanya, seolah tau isi pikiranku beberapa saat yang lalu. Gila! Rupanya wanita cantik satu ini benar-benar tipe open minded dan tidak kaku.

“Ba-Baik Bu..”

“Ngomong-ngomong, di sini juga ada yang kerja jadi LC kok Pak Bram. Beberapa kali dia juga sering menginap dengan laki-laki yang berbeda. Nggak masalah buat saya asal nggak bikin ribut aja. Kita sama-sama udah tau lah ya, hehehehehe…” Selorohnya santai.

Setelah mengecek satu persatu kamar yang kosong, akhirnya aku memilih untuk menempati kamar nomor 12 yang berdekatan dengan tangga. Selain ukurannya lebih luas dibanding dengan kamar lain, lokasinya yang strategis membuatku menambatkan pilihan pada kamar ini. Di dalam kamar sudah tersedia ranjang, meja kerja sekaligus lemari pakaian berukuran besar serta sebuah kamar mandi yang telah memiliki shower air panas. Cukup nyaman pikirku.

“Untuk pembayarannya bagaimana Bu?” Tanyaku sesaat setelah meletakkan tasku di dalam lemari.

“Bisa cash atau transfer Pak.” Jawabnya lugas dan tenang. Aku merogoh kBramg celanaku kembali, membuka dompet dan mengeluarkan 10 lembar uang seratus ribuan lalu menyerahkannya pada Umi Alya.

“Silahkan dihitung dulu Bu, ini pembayaran saya untuk satu bulan ke depan.” Kataku.

“Baik, terima kasih Pak Bram. Oh ya, kalau Pak Bram butuh apa-apa, bisa hubungi Pak Kusno ya.”

“Iya Bu, terima kasih.”

“Ya sudah kalau begitu selamat beristirahat. Saya tinggal dulu.”

Wanita cantik itu berbalik badan dan meninggalkan kamarku. Aku sempat melongokkan kepala melewati pintu kamar hanya untuk melihat lenggokan pinggang serta bokong Umi Alya yang sedari tadi membuat celanaku sempit karena penisku mengeras membayangkan hal-hal kotor pada tubuh Ibu kosku itu. Setelah mandipun aku tak bisa memejamkan mata barang sejenak, bayangan kecantikan serta kemolekan tubuh Umi Alya benar-benar membuat konsentrasi serta ketenanganku buyar. Alhasil hari pertama di kamar kos baru aku habiskan dengan beronani sembari membayangkan Umi Alya.

 

 

 

 

 

 

PART 2

 

Tak terasa aku sudah berada di kota kecil ini hampir satu minggu lamanya. Kantor cabang yang akan aku audit berada cukup jauh dari tempat kosku, aku harus menempuh perjalanan nyaris 3 jam untuk ke sana. Alhasil selama seminggu penuh ini, aku selalu berangkat pagi buta dan pulang saat matahari nyaris tenggelam. Karena kecerobohan satu orang bodoh, aku harus mengalami fase menjengkelkan seperti ini.

Maka minggu pagi ini saat hari libur aku puas-puaskan menikmati empuknya ranjang kamar kos, aku tekadkan hati untuk bangun lebih siang dibanding hari biasanya, sebuah kemewahan hakiki yang sulit aku dapatkan sejak aku menginjakkan kaki di kota kecil ini. Suara dering ponsel membangunkanku saat jam menunjukkan pukul 11 siang. Sebuah panggilan masuk dari kepala kantor cabang yang mengabarkan jika seluruh pembukuan uang kas selama tiga bulan terakhir sudah beres dikerjakan. Dengan sedikit malas aku mengucapkan terima kasih, karena itu artinya kurang beberapa hal lagi tugasku di kota ini segera selesai dan aku bisa kembali ke ibukota.

Setelah mencuci muka dan gosok gigi aku memutuskan untuk keluar kamar, melihat asrinya taman di halaman depan sembari menghisap rokok mungkin bisa membuat pikiranku lebih fresh lagi. Entah ini rejeki atau kebetulan semata, karena saat aku membuka pintu kamar dan melangkah menuju pagar pembatas mataku langsung memandang pemandangan indah. Umi Alya terlihat sedang asyik membersihkan taman, dia memotong rumput, memangkas tanaman liar serta merapihkan pot-pot bunga.

Pagi ini dia mengenakan celana leging ketat berwarna hitam, bagian atas tubuhnya tertutup jersey lengan panjang berwarna senada dan tentu saja sepotong hijab yang menutupi kepalanya. Aku paling suka menatap tubuhnya bila dia membelakangiku seperti ini. Sungguh merupakan keindahan tiada tara, inilah yang aku butuhkan untuk membuat stressku mereda. Apalagi bila dia sedang menunggingkan pinggulnya yang padat, hal itu membuatku membayangkan bagaimana rasanya jika kami bersetubuh dengan posisi doggystyle.

Dari informasi yang aku dapatkan dari Pak Kusno beberapa hari lalu saat kami ngobrol sampai tengah malam, Umi Alya baru tinggal di rumah kos ini sekitar 6 bulan yang lalu. Rumah kos yang aku tempati ini merupakan milik salah seorang anggota DPR Pusat, pria tua kaya raya, orang asli kota kecil ini, dan terkenal memiliki banyak istri. Umi Alya salah satunya. Pria tua itu bernama Abah Hilmi, tokoh masyarakat yang sudah termahsyur reputasinya. Aku jadi mengerti kenapa harus ada sebutan Umi di depan nama Alya meskipun usianya masih cukup muda, itu karena statusnya sebagai istri Abah Hilmi.

Setelah resmi menjadi istri yang kesekian, Umi Alya diberi mandat untuk mengelola rumah kos ini oleh sang suami. Pria tua kaya raya itu pulang untuk berkunjung setiap satu bulan sekali, itupun tak pernah lama mengingat kesibukannya sebagai seorang anggota DPR. Apalagi istrinya bukan hanya Umi Alya seorang, tentu pria beruntung itu harus pintar-pintar membagi waktunya agar bisa dicap sebagai lelaki adil.

“Lagi libur Pak Bram?” Tiba-tiba suara Umi Alya mengagetkanku, lamunanku seketika buyar, entah apakah ibu kosku itu bisa melihat kepanikan di wajahku saat ini atau tidak.

“I-Iya Bu….Libur..” Sahutku sekenanya.

“Okey selamat beristirahat kalau gitu ya!” Aku mengangguk ramah seraya memperhatikan langkah kakinya menjauh dari pandangan mataku.

Entah kenapa kejadian hari ini menjadi pemantik tekadku yang lain. Ya, aku bertekad untuk bisa merasakan kenikmatan bersetubuh dengan Umi Alya sebelum aku pergi dari sini. Aku harus meniduri wanita cantik itu!

***

            Suara gemercik hujan yang turun dari langit malam ini mengiringi langkah kakiku menuju rumah kecil di samping bangunan utama yang ditempati oleh Umi Alya. Tanganku menggenggam bungkusan plastik berisi martabak manis yang aku beli di pasar beberapa saat lalu. Setelah memastikan penampilanku cukup oke, segera aku ketuk pintu. Terdengar sahutan dari dalam rumah, suara yang sudah begitu akrab di telingaku.

            Terdengar suara langkah di dalam rumah menuju pintu. Kemudian pintu terbuka. Aku terpana. Di hadapanku berdiri Umi Alya dengan hanya mengenakan baju kimono yang terbuat dari bahan handuk sebatas lutut. Paha dan betisnya yang tidak tertutup  secara sempurna itu tampak begitu mulus. Padat dan putih. Kulitnya kelihatan licin, dihiasi oleh rambut-rambut halus yang pendek. Pinggulnya yang besar melebar dengan aduhainya. Pinggangnya kelihatan ramping. Sementara kimono yang menutupi dada atasnya belum sempat dia ikat secara sempurna, menyebabkan belahan dada yang montok itu menyembul di belahan baju.

Payudara yang membusung itu dibalut oleh kulit yang putih mulus. Lehernya jenjang. Beberapa helai rambut terjuntai di leher putih tersebut. Sementara bau harum sabun mandi tercium dari tubuhnya. Sepertinya dia baru selesai mandi, tentu saja pemandangan indah nan langka ini membuat jiwa kelaki-lakianku memberontak hebat. Penisku tanpa sadar bahkan perlahan mengeras.

            “Selamat malam Bu…” Sapaku ramah saat pintu terbuka. Seperti biasa Umi Alya mengumbar senyum termanis.

            “Selamat malam juga Pak Bram, tumben malam-malam ke sini? Ada apa?” Tanyanya.

            “Maaf sebelumnya Bu, saya cuma mau memberikan ini, kebetulan tadi waktu ke pasar saya beli terlalu banyak, sebagian saya bagi ke tetangga kos.” Ujarku seraya menyerahkan bungkusan plastik pada Umi Alya.

            “Wah apa ini Pak Bram? Repot-repot banget.”

            “Nggak repot kok Bu, cuma martabak manis aja.”

            “Terima kasih banyak loh, kebetulan saya suka banget sama martabak manis. Ayo masuk dulu Pak Bram, saya buatin minum.”

            Wuhuuu! Tanpa perlu banyak basa-basi aku menerima undangannya, tidak mungkin aku sia-siakan kesempatan emas ini. Aku berjalan mengikutinya menuju ruang tamu. Kuperhatikan gerak tubuhnya dari belakang. Pinggulnya yang besar meliuk indah ke kiri dan ke kanan mengimbangi langkah-langkah kakinya. Edan! Ingin rasanya kudekap tubuh itu dari belakang erat-erat. Pikiran jorokku kembali membayangkan bagaimana rasanya jika batang penisku bisa bersentuhan langsung dengan bongkahan padat bokongnya, apalagi sembari meremasi gundukan kenyal payudaranya yang berukuran besar itu.

Aku duduk di sofa ruang tamu, sementara Umi Alya berjalan tenang menuju sebuah ruangan yang aku duga adalah kamar tidurnya. Langkah-langkah betis indahnya tidak pernah lepas dari tatapan liar mataku. Beberapa menit kemudian Umi Alya keluar dengan pakaian yang berbeda. Sekarang dia mengenakan baju kimono tidur putih yang berbahan satin. Diterpa sorot lampu ruang tamu, kain tersebut mempertontonkan tonjolan buah dadanya sehingga tampak membusung dengan gagah. Umi Alya tidak mengenakan bra di balik kimono tidurnya, sehingga kedua puting payudaranya tampak jelas sekali tercetak di bahan kimono itu. Tanpa sadar aku sampai menelan liurku berkali-kali, wanita yang sehari-hari aku lihat mengenakan hijab dan pakaian tertutup nyatanya bisa seterbuka ini.

“Ingin minum apa? Kopi, teh, atau bir?” Tanya Umi Alya.

“Teh saja Bu.” Jawabku buru-buru.

Selama ini aku memang menghindari minum bir. Bukan aku antialkohol atau menganggap bahwa bir itu haram, namun hanya alasan takut ketagihan minuman alkohol saja. Umi Alya kemudian membawa baki berisi poci teh hijau dan sebuah cangkir untukku. Untuk dia sendiri, diambilnya satu cangkir besar dan tiga botol bir dari kulkas.

“Ayo silahkan diminum Pak.”

“Terima kasih Bu…”

Tanpa canggung, Umi Alya menuangkan bir ke dalam gelasnya sebelum kemudian dia menenggaknya nyaris hampir habis. Jujur, aku sama sekali tak menduga jika ibu kosku ini begitu doyang menikmati minuman beralkohol, tapi masa bodoh, setidaknya malam ini aku bisa begitu leluasa memandangi kemolekan tubuhnya tiada henti.

“Kok sepi Bu?” Tanyaku.

“Wait, sebelumnya maaf banget nih Pak Bram. Lebih baik mulai sekarang kalau manggil saya cukup dengan Alya saja. Setiap kali dipanggil dengan sebutan Bu kok rasanya saya tua banget ya? Padahal kan usia kita nggak beda jauh kan? Hehehehe..” Ujarnya sambil terkekeh ringan.

“Ah iya Bu, eh, maaf kalo gitu Alya…” Sahutku sedikit canggung.

“Nggak apa-apa kok.”

“Kalo gitu, Alya juga boleh manggil saya dengan Bram aja.”

“Jangan, lebih baik saya manggilnya Mas Bram aja. Usia Mas kan satu tahun lebih tua dari saya.”

“Oh ya?”

“Iya, saya kan udah lihat KTP Mas Bram tempo hari. Gimana sih?”

“Ah..Iya…Heheheheh…” Sahutku.

“Jadi ya kayak gini keadaannya Mas, saya tinggal sendiri di sini. Suami paling datang sebulan sekali itupun nggak pernah lama paling sehari atau dua hari. Paling kalo udah bosen banget saya pulang ke rumah orang tua di seberang pulau.” Jelasnya, aku menyimak tiap ucapan Umi Alya seraya mengangguk-anggukkan kepala.

“Mas Bram asli Jakarta?”

“Bukan, saya asli dari Surabaya. Hanya saja saya udah punya rumah di Jakarta jadi ya domisili di KTP sesuai dengan tempat tinggal saya saat ini.” Kataku sebelum kembali meminum the hangat dari cangkir.

“Oh Surabaya, sama-sama kota besar ya Mas? Beda dengan di sini.” Katanya seraya menenggak habis bir di dalam gelasnya.

“Ya begitulah, tapi tinggal di kota kecil kayak gini sepertinya lebih tenang. Nggak bikin pusing, heheheheh.” Ujarku menimpalinya.

“Memangnya Mas Bram betah tinggal di sini? Saya sih kalo punya kesempatan pindah ke kota yang lebih besar, saya lebih memilih pindah aja Mas.”

Umi Alya beranjak dari duduknya, wanita cantik itu kembali berjalan menuju lemari es untuk mengambil sebotol bir lagi. Pada posisi membelakangiku, aku menatap liar ke tubuhnya. Mataku berusaha menelanjangi tubuhnya dari kain kimono mengkilat yang dia kenakan. Pinggangnya ramping. Pinggulnya besar dan indah. Kemudian betis dan pahanya yang putih mulus tampak licin mengkilap di bawah sorot lampu ruangan. Betapa harum dan sedapnya bila betis dan paha tersebut kuciumi dan kujilati.

Kami kembali terlibat obrolan-obrolan ringan seputar asal kotaku sambil sesekali dia menenggak bir. Kini dari mulutnya yang indah tercium wanginya bau bir setiap kali dia mengeluarkan suara. Kupikir sungguh kuat dia meminum bir. Tiga gelas besar sudah hampir habis diteguknya. Matanya sudah sedikit memerah. Bicaranya pun kadang agak kacau, mungkin karena pengaruh alkohol. Namun bagiku ini adalah kesempatan menatapnya dari dekat tanpa rasa risih.


Posting Komentar

0 Komentar