UMI ALYA
PART 1
Badanku masih begitu lelah setelah
hampir 12 jam menempuh perjalanan darat untuk sampai ke kota ini. Satu minggu
lalu aku mendapat email dari kantor pusat agar membereskan masalah di kantor
cabang, konon telah terjadi beberapa pelanggaran SOP berat oleh manager di
kantor cabang tersebut. Sebagai seorang auditor senior tugasku membenahi
praktek-praktek kotor seperti ini dan berpotensi merugikan keuangan perusahaan.
Letak kantor cabang kali ini berada
di luar pulau, setelah menempuh perjalanan udara lebih dari dua jam, aku masih
harus melanjutkan perjalanan darat hampir 12 jam. Selama perjalanan aku terus
mengutuki bajingan manajer yang melakukan kebodohan fatal dan harus membawaku
melakukan perjalanan sejauh ini.
Kantor sebenarnnya sudah menyediakan
tempat tinggal untukku selama melakukan audit di kota ini, tapi aku lebih
memilih untuk mencari tempat kos yang nyaman dan berada di pusat kota.
Pengalamanku sebelumnya saat ditugaskan di kota terpencil seperti ini,
fasilitas akomodasi yang diberikan oleh perusahaan tempatku bekerja jauh dari
kata layak. Maka daripada aku bekerja dengan standar kenyamanan rendah, aku
putuskan untuk tinggal di rumah kos. Toh, pengeluaran sewa juga ditanggung oleh
perusahaan, tekadku adalah segera menyelesaikan tugas dan langsung kembali ke
ibukota.
Seorang teman memberiku informasi
sebuah rumah kos yang berada tak jauh dari terminal. Dari foto-foto yang
dikirimkan, aku bisa memastikan jika rumah kos itu cukup nyaman untuk aku
tinggali selama berada di kota ini. Sesampainya di terminal, aku bergegas
memesan ojek online dan langsung menuju sebuah alamat tempat dimana rumah kos
itu berada. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di rumah kos tersebut.
Sebuah bangunan berlantai dua dengan
cat dominan warna putih gading nampak menjulang tinggi dibanding bangunan di
sekitarnya. Pagar besi setinggi nyaris dua meter mengelilingi bangunan
tersebut, meninggalkan kesan aman bagi orang yang melihatnya dari luar. Setelah
membayar ojek, aku langsung memencet bel pagar, tak lama muncul seorang pria
kurus dengan rambut penuh uban membukakan pintu pagar.
Saat pintu pagar terbuka aku bisa
melihat di bagian depat bangunan utama terdapat taman bunga berukuran sedang
dengan hiasan kolam buatan di bagian tengahnya. Di samping bangunan utama
terdapat sebuah bangunan rumah berukuran lebih kecil, bersebelahan langsung
dengan halaman parkir yang sudah terisi beberapa sepeda motor.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?” Tanya
pria itu sembari tersenyum ramah menyambutku.
“Permisi Pak, apa masih ada kamar
kosong? Saya mau ngekos.” Ujarku.
“Oh, masih…masih…Mari silahkan masuk
dulu.” Ujarnya seraya mempersilahkan aku masuk ke dalam.
Pria tua yang kutaksir usianya sudah
setengah abad lebih itu berjalan menuju bangunan rumah kecil yang berada di
samping bangunan utama, pandanganku masih mengitari sekeliling, kesan nyaman,
tenang, dan bersih seketika memenuhi isi kepalaku.
“Silahkan duduk di sini sebentar Pak,
biar saya panggilkan Umi Alya dulu.” Ucap pria tua itu mempersilahkanku duduk
di kursi berbahan rotan yang ada di teras rumah kecil.
“Umi Alya?” Tanyaku spontan.
“Beliau yang punya kos ini, saya
hanya bertugas untuk mengurusi kebersihan saja Pak.” Kata pria tua itu, entah
kenapa sedari tadi senyumnya tak pernah pudar dari wajahnya yang keriput.
“Oh…Baik Pak, terima kasih
sebelumnya.” Kataku.
“Sama-sama Pak, saya permisi
sebentar.”
Pria tua itu melangkah pergi masuk ke
dalam rumah. Selama menunggu, pandangan mataku tak bosan-bosan memandang taman
yang ada di depanku, kumpulan bunga berwarna-warni membuat rasa lelahku sedari
tadi terobati. Tak lama kemudian pria tua tadi kembali muncul dari dalam rumah,
kali ini dia tak sendiri namun bersama seorang wanita cantik yang usianya tak
berbeda jauh denganku.
Wajahnya yang putih bersih tertutup
hijab hitam, tubuhnya yang mungkin hanya setinggi 155 sentimeter dibalut kaftan
panjang bermotif cerah. Aku sampai tak sadar melongo beberapa detik saat
memandangi kecantikan wanita tersebut. Wajahnya putih mulus dengan bentuk mata,
alis, hidung, dan bibir yang indah. Dari kain kaftan tipis yang dia kenakan,
aku dapat melihat jelas postur tubuhnya. Pinggangnya padat melingkar, pinggulnya
melebar indah, ukuran lingkarnya cukup proporsional bagiku. Payudaranya amat
montok dan membusung indah, Jenis payudara yang enak diciumi, disedot-sedot,
dan diremas-remas. Dari samping bisa kulihat payudaranya begitu menonjol meskipun
tertutup kain kaftan.
“Selamat sore Pak, kenalkan saya
Alya.” Suaranya lembut, mungkin ini adalah suara terindah yang pernah aku
dengarkan sepanjang hidup. Pikiran kotorku bahkan mulai memproses segala
kemungkinan jorok tentang bagaimana saat Umi Alya mendesah serta mengerang
ketika sedang disetubuhi.
“Sa-Saya Bram, Bramantyo.” Aku
tergagap seraya menyalaminya.
“Kata Pak Kusno, Pak Bram mau kos di
sini?”
“I-Iya Bu. Apa masih ada kamar
kosong?” Aku berusaha sekuat tenaga untuk menguasai diriku sendiri.
“Masih ada kok Pak. Tapi sebelumnya
saya boleh melihat KTP Pak Bram terlebih dahulu? Untuk memastikan saja, maklum
Pak ini kota kecil, saya nggak mau terjadi masalah aja di kemudian hari.”
Kata-katanya lugas, mengalir begitu saja dari bibirnya yang mungil dan tipis,
menandakan jika barisan kata itu sudah cukup terlatih terlontar setiap ada
calon penghuni kos baru.
“Boleh Bu.” Aku segera merogoh kBramg
belakang celanaku untuk mengambil dompet. Saat aku mencari KTP, Pak Kusno pamit
pergi meninggalkan kami berdua.
Aku menyerahkan KTP ku pada Umi Alya,
sejenak dia mengamati ID card itu dengan seksama, seolah memastikan kebenaran
identitasku tentunya. Umi Alya, entah kenapa aku merasa kurang sreg dengan
panggilan ini. Apalagi mengingat usiaku tak berbeda jauh dengannya. Tak lama
wanita cantik itu menyerahkan kembali KTPku seraya menebar senyumnya yang
begitu manis.
“OK Pak Bram, mari saya antar
sekarang ke kamar. Ada 4 kamar kosong di lantai atas, kalau di lantai bawah
udah full terisi semua.” Ujarnya seraya bangkit dari kursi, aku bisa melihat
pantatnya yang semok tercetak jelas di dalam kain kaftan.
“Baik Bu!” Jawabku buru-buru ikut
bangkit dari kursi.
Kami berdua melangkah menuju bangunan
utama, sepanjang perjalanan Umi Alya menjelaskan padaku beberapa peraturan yang
diterapkan di rumah kos ini. Beberapa peraturan yang sudah lazim berlaku di
sebuah rumah kos seperti dilarang membawa binatang peliharaan, larangan untuk
membuat keributan, pesta miras atau narkoba dan beberapa peraturan lain. Aku
mendengarkan dengan seksama sambil mengamati keadaan sekitar. Menurut Umi Alya,
kebanyakan penghuni di rumah kos ini adalah pekerja kantoran yang asalnya dari
luar kota. Beberapa diantara mereka bahkan tinggal satu kamar dengan istri atau
suami mereka.
“Jadi di sini termasuk kos bebas ya
Bu?” Pancingku. Umi Alya tiba-tiba berhenti saat menapaki anak tangga seraya
menolehkan pandangan ke arahku.
“Bebas yang seperti apa maksud Pak
Bram?” Tanyanya dengan raut menyelidik, di sini aku bisa melihat sebuah
ketegasan serta kedewasaan sekaligus.
“Ehmm, mak-maksud saya i-itu…a-anu
Bu…” Bibirku mendadak kelu, bahkan bingung harus menjawab apa. Umi Alya
tersenyum, bahkan terdengar tawanya renyah.
“Hahahaha! Santai Pak Bram, nggak
usah gugup kayak gitu. Saya tau maksudnya kok, pokoknya selama nggak ganggu
penghuni lain, nggak jadi masalah buat saya kok.” Ucapnya sembari mengedipkan
matanya, seolah tau isi pikiranku beberapa saat yang lalu. Gila! Rupanya wanita
cantik satu ini benar-benar tipe open minded dan tidak kaku.
“Ba-Baik Bu..”
“Ngomong-ngomong, di sini juga ada
yang kerja jadi LC kok Pak Bram. Beberapa kali dia juga sering menginap dengan
laki-laki yang berbeda. Nggak masalah buat saya asal nggak bikin ribut aja.
Kita sama-sama udah tau lah ya, hehehehehe…” Selorohnya santai.
Setelah mengecek satu persatu kamar
yang kosong, akhirnya aku memilih untuk menempati kamar nomor 12 yang
berdekatan dengan tangga. Selain ukurannya lebih luas dibanding dengan kamar
lain, lokasinya yang strategis membuatku menambatkan pilihan pada kamar ini. Di
dalam kamar sudah tersedia ranjang, meja kerja sekaligus lemari pakaian
berukuran besar serta sebuah kamar mandi yang telah memiliki shower air panas.
Cukup nyaman pikirku.
“Untuk pembayarannya bagaimana Bu?”
Tanyaku sesaat setelah meletakkan tasku di dalam lemari.
“Bisa cash atau transfer Pak.”
Jawabnya lugas dan tenang. Aku merogoh kBramg celanaku kembali, membuka dompet
dan mengeluarkan 10 lembar uang seratus ribuan lalu menyerahkannya pada Umi
Alya.
“Silahkan dihitung dulu Bu, ini
pembayaran saya untuk satu bulan ke depan.” Kataku.
“Baik, terima kasih Pak Bram. Oh ya,
kalau Pak Bram butuh apa-apa, bisa hubungi Pak Kusno ya.”
“Iya Bu, terima kasih.”
“Ya sudah kalau begitu selamat
beristirahat. Saya tinggal dulu.”
Wanita cantik itu berbalik badan dan
meninggalkan kamarku. Aku sempat melongokkan kepala melewati pintu kamar hanya
untuk melihat lenggokan pinggang serta bokong Umi Alya yang sedari tadi membuat
celanaku sempit karena penisku mengeras membayangkan hal-hal kotor pada tubuh
Ibu kosku itu. Setelah mandipun aku tak bisa memejamkan mata barang sejenak,
bayangan kecantikan serta kemolekan tubuh Umi Alya benar-benar membuat
konsentrasi serta ketenanganku buyar. Alhasil hari pertama di kamar kos baru
aku habiskan dengan beronani sembari membayangkan Umi Alya.
PART 2
Tak terasa aku sudah berada di kota
kecil ini hampir satu minggu lamanya. Kantor cabang yang akan aku audit berada
cukup jauh dari tempat kosku, aku harus menempuh perjalanan nyaris 3 jam untuk
ke sana. Alhasil selama seminggu penuh ini, aku selalu berangkat pagi buta dan
pulang saat matahari nyaris tenggelam. Karena kecerobohan satu orang bodoh, aku
harus mengalami fase menjengkelkan seperti ini.
Maka minggu pagi ini saat hari libur
aku puas-puaskan menikmati empuknya ranjang kamar kos, aku tekadkan hati untuk
bangun lebih siang dibanding hari biasanya, sebuah kemewahan hakiki yang sulit
aku dapatkan sejak aku menginjakkan kaki di kota kecil ini. Suara dering ponsel
membangunkanku saat jam menunjukkan pukul 11 siang. Sebuah panggilan masuk dari
kepala kantor cabang yang mengabarkan jika seluruh pembukuan uang kas selama
tiga bulan terakhir sudah beres dikerjakan. Dengan sedikit malas aku mengucapkan
terima kasih, karena itu artinya kurang beberapa hal lagi tugasku di kota ini
segera selesai dan aku bisa kembali ke ibukota.
Setelah mencuci muka dan gosok gigi
aku memutuskan untuk keluar kamar, melihat asrinya taman di halaman depan
sembari menghisap rokok mungkin bisa membuat pikiranku lebih fresh lagi. Entah
ini rejeki atau kebetulan semata, karena saat aku membuka pintu kamar dan
melangkah menuju pagar pembatas mataku langsung memandang pemandangan indah.
Umi Alya terlihat sedang asyik membersihkan taman, dia memotong rumput,
memangkas tanaman liar serta merapihkan pot-pot bunga.
Pagi ini dia mengenakan celana leging
ketat berwarna hitam, bagian atas tubuhnya tertutup jersey lengan panjang
berwarna senada dan tentu saja sepotong hijab yang menutupi kepalanya. Aku
paling suka menatap tubuhnya bila dia membelakangiku seperti ini. Sungguh
merupakan keindahan tiada tara, inilah yang aku butuhkan untuk membuat stressku
mereda. Apalagi bila dia sedang menunggingkan pinggulnya yang padat, hal itu
membuatku membayangkan bagaimana rasanya jika kami bersetubuh dengan posisi
doggystyle.
Dari informasi yang aku dapatkan dari
Pak Kusno beberapa hari lalu saat kami ngobrol sampai tengah malam, Umi Alya
baru tinggal di rumah kos ini sekitar 6 bulan yang lalu. Rumah kos yang aku
tempati ini merupakan milik salah seorang anggota DPR Pusat, pria tua kaya
raya, orang asli kota kecil ini, dan terkenal memiliki banyak istri. Umi Alya
salah satunya. Pria tua itu bernama Abah Hilmi, tokoh masyarakat yang sudah
termahsyur reputasinya. Aku jadi mengerti kenapa harus ada sebutan Umi di depan
nama Alya meskipun usianya masih cukup muda, itu karena statusnya sebagai istri
Abah Hilmi.
Setelah resmi menjadi istri yang
kesekian, Umi Alya diberi mandat untuk mengelola rumah kos ini oleh sang suami.
Pria tua kaya raya itu pulang untuk berkunjung setiap satu bulan sekali, itupun
tak pernah lama mengingat kesibukannya sebagai seorang anggota DPR. Apalagi
istrinya bukan hanya Umi Alya seorang, tentu pria beruntung itu harus
pintar-pintar membagi waktunya agar bisa dicap sebagai lelaki adil.
“Lagi libur Pak Bram?” Tiba-tiba
suara Umi Alya mengagetkanku, lamunanku seketika buyar, entah apakah ibu kosku
itu bisa melihat kepanikan di wajahku saat ini atau tidak.
“I-Iya Bu….Libur..” Sahutku
sekenanya.
“Okey selamat beristirahat kalau gitu
ya!” Aku mengangguk ramah seraya memperhatikan langkah kakinya menjauh dari
pandangan mataku.
Entah kenapa kejadian hari ini
menjadi pemantik tekadku yang lain. Ya, aku bertekad untuk bisa merasakan
kenikmatan bersetubuh dengan Umi Alya sebelum aku pergi dari sini. Aku harus
meniduri wanita cantik itu!
***
Suara
gemercik hujan yang turun dari langit malam ini mengiringi langkah kakiku
menuju rumah kecil di samping bangunan utama yang ditempati oleh Umi Alya. Tanganku
menggenggam bungkusan plastik berisi martabak manis yang aku beli di pasar
beberapa saat lalu. Setelah memastikan penampilanku cukup oke, segera aku ketuk
pintu. Terdengar sahutan dari dalam rumah, suara yang sudah begitu akrab di
telingaku.
Terdengar
suara langkah di dalam rumah menuju pintu. Kemudian pintu terbuka. Aku terpana.
Di hadapanku berdiri Umi Alya dengan hanya mengenakan baju kimono yang terbuat
dari bahan handuk sebatas lutut. Paha dan betisnya yang tidak tertutup secara sempurna itu tampak begitu mulus. Padat
dan putih. Kulitnya kelihatan licin, dihiasi oleh rambut-rambut halus yang
pendek. Pinggulnya yang besar melebar dengan aduhainya. Pinggangnya kelihatan
ramping. Sementara kimono yang menutupi dada atasnya belum sempat dia ikat
secara sempurna, menyebabkan belahan dada yang montok itu menyembul di belahan
baju.
Payudara yang membusung itu dibalut
oleh kulit yang putih mulus. Lehernya jenjang. Beberapa helai rambut terjuntai
di leher putih tersebut. Sementara bau harum sabun mandi tercium dari tubuhnya.
Sepertinya dia baru selesai mandi, tentu saja pemandangan indah nan langka ini
membuat jiwa kelaki-lakianku memberontak hebat. Penisku tanpa sadar bahkan
perlahan mengeras.
“Selamat
malam Bu…” Sapaku ramah saat pintu terbuka. Seperti biasa Umi Alya mengumbar
senyum termanis.
“Selamat
malam juga Pak Bram, tumben malam-malam ke sini? Ada apa?” Tanyanya.
“Maaf
sebelumnya Bu, saya cuma mau memberikan ini, kebetulan tadi waktu ke pasar saya
beli terlalu banyak, sebagian saya bagi ke tetangga kos.” Ujarku seraya
menyerahkan bungkusan plastik pada Umi Alya.
“Wah apa ini
Pak Bram? Repot-repot banget.”
“Nggak repot
kok Bu, cuma martabak manis aja.”
“Terima
kasih banyak loh, kebetulan saya suka banget sama martabak manis. Ayo masuk
dulu Pak Bram, saya buatin minum.”
Wuhuuu!
Tanpa perlu banyak basa-basi aku menerima undangannya, tidak mungkin aku
sia-siakan kesempatan emas ini. Aku berjalan mengikutinya menuju ruang tamu.
Kuperhatikan gerak tubuhnya dari belakang. Pinggulnya yang besar meliuk indah
ke kiri dan ke kanan mengimbangi langkah-langkah kakinya. Edan! Ingin rasanya
kudekap tubuh itu dari belakang erat-erat. Pikiran jorokku kembali membayangkan
bagaimana rasanya jika batang penisku bisa bersentuhan langsung dengan
bongkahan padat bokongnya, apalagi sembari meremasi gundukan kenyal payudaranya
yang berukuran besar itu.
Aku duduk di sofa ruang tamu,
sementara Umi Alya berjalan tenang menuju sebuah ruangan yang aku duga adalah
kamar tidurnya. Langkah-langkah betis indahnya tidak pernah lepas dari tatapan
liar mataku. Beberapa menit kemudian Umi Alya keluar dengan pakaian yang
berbeda. Sekarang dia mengenakan baju kimono tidur putih yang berbahan satin.
Diterpa sorot lampu ruang tamu, kain tersebut mempertontonkan tonjolan buah
dadanya sehingga tampak membusung dengan gagah. Umi Alya tidak mengenakan bra
di balik kimono tidurnya, sehingga kedua puting payudaranya tampak jelas sekali
tercetak di bahan kimono itu. Tanpa sadar aku sampai menelan liurku
berkali-kali, wanita yang sehari-hari aku lihat mengenakan hijab dan pakaian
tertutup nyatanya bisa seterbuka ini.
“Ingin minum apa? Kopi, teh, atau
bir?” Tanya Umi Alya.
“Teh saja Bu.” Jawabku buru-buru.
Selama ini aku memang menghindari
minum bir. Bukan aku antialkohol atau menganggap bahwa bir itu haram, namun
hanya alasan takut ketagihan minuman alkohol saja. Umi Alya kemudian membawa
baki berisi poci teh hijau dan sebuah cangkir untukku. Untuk dia sendiri,
diambilnya satu cangkir besar dan tiga botol bir dari kulkas.
“Ayo silahkan diminum Pak.”
“Terima kasih Bu…”
Tanpa canggung, Umi Alya menuangkan
bir ke dalam gelasnya sebelum kemudian dia menenggaknya nyaris hampir habis.
Jujur, aku sama sekali tak menduga jika ibu kosku ini begitu doyang menikmati
minuman beralkohol, tapi masa bodoh, setidaknya malam ini aku bisa begitu
leluasa memandangi kemolekan tubuhnya tiada henti.
“Kok sepi Bu?” Tanyaku.
“Wait, sebelumnya maaf banget nih Pak
Bram. Lebih baik mulai sekarang kalau manggil saya cukup dengan Alya saja.
Setiap kali dipanggil dengan sebutan Bu kok rasanya saya tua banget ya? Padahal
kan usia kita nggak beda jauh kan? Hehehehe..” Ujarnya sambil terkekeh ringan.
“Ah iya Bu, eh, maaf kalo gitu Alya…”
Sahutku sedikit canggung.
“Nggak apa-apa kok.”
“Kalo gitu, Alya juga boleh manggil
saya dengan Bram aja.”
“Jangan, lebih baik saya manggilnya
Mas Bram aja. Usia Mas kan satu tahun lebih tua dari saya.”
“Oh ya?”
“Iya, saya kan udah lihat KTP Mas
Bram tempo hari. Gimana sih?”
“Ah..Iya…Heheheheh…” Sahutku.
“Jadi ya kayak gini keadaannya Mas,
saya tinggal sendiri di sini. Suami paling datang sebulan sekali itupun nggak
pernah lama paling sehari atau dua hari. Paling kalo udah bosen banget saya
pulang ke rumah orang tua di seberang pulau.” Jelasnya, aku menyimak tiap
ucapan Umi Alya seraya mengangguk-anggukkan kepala.
“Mas Bram asli Jakarta?”
“Bukan, saya asli dari Surabaya.
Hanya saja saya udah punya rumah di Jakarta jadi ya domisili di KTP sesuai
dengan tempat tinggal saya saat ini.” Kataku sebelum kembali meminum the hangat
dari cangkir.
“Oh Surabaya, sama-sama kota besar ya
Mas? Beda dengan di sini.” Katanya seraya menenggak habis bir di dalam
gelasnya.
“Ya begitulah, tapi tinggal di kota
kecil kayak gini sepertinya lebih tenang. Nggak bikin pusing, heheheheh.”
Ujarku menimpalinya.
“Memangnya Mas Bram betah tinggal di
sini? Saya sih kalo punya kesempatan pindah ke kota yang lebih besar, saya
lebih memilih pindah aja Mas.”
Umi Alya beranjak dari duduknya,
wanita cantik itu kembali berjalan menuju lemari es untuk mengambil sebotol bir
lagi. Pada posisi membelakangiku, aku menatap liar ke tubuhnya. Mataku berusaha
menelanjangi tubuhnya dari kain kimono mengkilat yang dia kenakan. Pinggangnya
ramping. Pinggulnya besar dan indah. Kemudian betis dan pahanya yang putih mulus
tampak licin mengkilap di bawah sorot lampu ruangan. Betapa harum dan sedapnya
bila betis dan paha tersebut kuciumi dan kujilati.
Kami kembali terlibat obrolan-obrolan
ringan seputar asal kotaku sambil sesekali dia menenggak bir. Kini dari
mulutnya yang indah tercium wanginya bau bir setiap kali dia mengeluarkan
suara. Kupikir sungguh kuat dia meminum bir. Tiga gelas besar sudah hampir
habis diteguknya. Matanya sudah sedikit memerah. Bicaranya pun kadang agak
kacau, mungkin karena pengaruh alkohol. Namun bagiku ini adalah kesempatan
menatapnya dari dekat tanpa rasa risih.

Posting Komentar
0 Komentar