USTADZAH BINAL
PART 1
Malam sudah cukup larut saat beberapa
bocah kecil berlarian keluar dari dalam Mushola setelah menyelesaikan tugas
hapalan Quran mereka. Suara riuh jenaka dari bibir bocah-bocah yang tinggal di
sekitar Mushola masih terdengar beberapa kali mengiringi langkah kecil mereka
meninggalkan halaman tempat ibadah.
"Langsung pulang ya, jangan main
lagi. Udah malem!" Seru Ustadzah Qaila dari dalam Mushola yang langsung
disahuti oleh para bocah itu.
"Siaappp Ustadzah!!!" Sahut
para bocah nyaris serempak.
Raut wajah cantik Ustadzah Qaila
masih terpancar meskipun lelah mendera tubuhnya setelah menyelesaikan tugasnya
sebagai guru mengaji bagi anak-anak kecil yang tinggal di kampungnya.
Selesai wisuda beberapa bulan lalu,
Qaila kembali pulang ke kampung setelah hampir 4 tahun lamanya mengenyam
pendidikan di Universitas Negeri ternama di Ibu kota. Wanita berwajah ayu
dengan lesung pipit serta gigi gingsul itu sebenarnya ingin melamar pekerjaan
di kota namun Abinya, Kyai Salman, memintanya untuk kembali pulang.
"Wanita itu kodratnya ngurus
anak dan suami, itu udah jadi ladang pahalamu. Mau setinggi apapun pendidikan
atau jenjang karirmu tapi kalo melupakan kodrat sebagai seorang wanita hidupmu
nggak akan berkah." Ujar Kyai Salman ketika meminta Qailah kembali pulang.
Awalnya tentu Qaila menolak
permintaan Kyai Salman, perempuan berparas cantik itu masih ingin mengejar
mimpinya menjadi seorang advokat, sebuah cita-cita yang sedari kecil begitu
diidam-idamkan oleh Qaila. Namun penolakannya tak berarti apa-apa di hadapan
Kyai Salman, apalagi Umi Hanna, ibu dari Qaila, juga ikut merayu agar Qaila mau
kembali ke desa.
Maka setelah mengalami berbagai macam
pergolakan batin, Qaila dengan berat hati mau menuruti permintaan kedua orang
tuanya untuk kembali pulang dan mengubur mimpinya dalam-dalam. Disinilah dia
sekarang, menjadi seorang guru ngaji bagi anak-anak kecil yang tinggal di
sekitar Mushola milik keluarganya.
Kyai Salman sudah sejak dulu dikenal
sebagai tokoh agama terkemuka. Pria berusia setengah abad lebih itu sering
mengisi ceramah-ceramah keagamaan yang dihadiri banyak orang. Bahkan beberapa
tahun silam Kyai Salman juga mendirikan sebuah kelompok kajian islam,
santri-santrinya tak hanya datang dari lingkungan sekitar tapi juga ada yang
berasal dari luar daerah.
Tak hanya dikenal sebagai ahli agama
semata, Kyai Salman juga memiliki kelebihan lain. Pria paruh baya yang di
kesehariannya sering mengenakan sarung dan peci putih itu juga memiliki
kemampuan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik itu penyakit medis
maupun non medis seperti santet dan guna-guna. Maka tak heran jika sehari-hari
kediaman keluarga Kyai Salman sering dikunjungi orang untuk meminta
pertolongan.
Qaila berjalan pelan menyusuri jalan
setapak menuju halaman rumahnya yang berada tak jauh dari Mushola. Di halaman
terparkir dua motor matic, dua orang pria berusia sekitar 30 tahunan nampak
duduk di teras rumah sambil menikmati rokok. Keduanya langsung menganggukkan
kepala saat melihat kehadiran Qaila, putri semata wayang Kyai Salman itu
membalas ramah anggukan kepala dua pria yang tak lain adalah pasien Abinya.
"Hush! Jaga mulutmu!"
Hardik temannya seraya mengeplak pelan kepala pria tadi.
"Hehehehe! Nggak kedengeran bro!
Santai! Duh, tu pantatnya bisa bulet gitu yak!" Seloroh si pria mesum
masih sambil memandangi lekuk tubuh Qaila dari belakang.
"Lu kalo dibilangin nggak bisa
ya? Nggak takut sama Kyai Salman ya?"
"Alah brooo, Lu kenapa jadi
penakut gitu sih? Lagian Gue juga nggak ngapa-ngapain tu cewek, cuma ngliat
doang!" Protes si pria mesum, asap tebal mengepul dari dalam mulutnya
seiring menghilangnya sosok Qaila di balik pintu kamar.
"Bukan takut, tapi pamalih.
Istri Lu di dalem lagi diobatin sama Kyai Salman, sementara Lu di sini malah
ngomongin anaknya."
"Hehehehe, becanda Bro! tapi kok
lama banget ya bro? Udah satu jam lebih tapi mereka nggak keluar-keluar. Duh,
jangan-jangan istri Gue diapa-apain."
"Astagfirullah bro...Lu kenapa
sih? Otak Lu isinya mesummulu? Mana mungkin Kyai Salman macem-macem sama istri
Lu? Udah gila Lu!"
"Yaelah bro, namanya cowok sama
cewek berduan di kamar kan bisa aja kejadian. Lagian Kyai Salman kan masih
normal bro, pasti adalah pikiran-pikiran kotor dikit."
"Terus kenapa tadi Lu ngijinin
istri Lu diobatin kalo sekarang pikiran Lu kayak gini?"
"Tau ah bro, kalo bukan karena
omongan mertuaku nggak mungkin Gue mau datang ke sini juga."
"Ah, terserah Lu aja deh
bro."
***
Sementara itu di sebuah kamar di
bagian ujung ruangan, seorang wanita muda berusia 24 tahun tidur terlentang
dengan mata terpejam. Kyai Salman duduk di samping ranjang sambil mulutnya
berkomat-kamit membacakan doa. Wanita muda itu adalah Hanifah, istri dari si
pria mesum yang tadi memandangi tubuh Qaila dengan penuh nafsu.
Hanifah dan suaminya datang ke rumah
Kyai Salman untuk berobat, wanita dengan kulit putih dan wajah semi oriental
itu mengeluhkan sakit di bagian perut selama berminggu-minggu. Hanifah sudah
sempat mendatangi rumah sakit untuk berobat namun sakit di perutnya tak kunjung
hilang bahkan semakin menjadi. Atas saran Ibunya, dia akhirnya mendatangi rumah
Kyai Salman untuk mencari pengobatan non medis.
"Silahkan bangun dulu
Mbak." Perintah Kyai Salman beberapa saat kemudian. Hanifah yang
mengenakan celana jins dan kemeja panjang warna putih serta hijab hitam yang
membalut kepalanya langsung bangun dan membuka mata.
"Minum ini dulu." Kyai
Salman menyodorkan segelas air putih pada Hanifah yang langsung meneguknya
secara perlahan.
"Sekarang gimana perutnya? Masih
sakit?" Tanya Kyai Salman. Hanifah menekan-nekan sendiri beberapa bagian
perutnya menggunakan ujung jari, sesaat wanita cantik itu sempat meringis
menahan sakit.
"Di bagian sini masih terasa
ngilu, tapi ini udah agak mendingan Kyai daripada tadi." Ujar Hanifah
sambil menunjukkan bagian bawah perutnya yang berbatasan langsung dengan area
selangkangan.
"Saya sudah menduganya. Di
bagian ini ya?" Jemari Kyai Salman ikut menekan perut bagian bawah Hanifah
dengan tangannya, sontak hal itu membuat sang pasien kembali meringis menahan
sakit.
"Aaauuwww! Sakit Kyai..."
"Hmm...Ini ada yang buat
sepertinya Mbak." Ujar Kyai Salman. Pria berusia setengah abad lebih itu
sedikit menggeser posisi duduknya di tepi ranjang.
"Dibuat gimana maksudnya
Kyai?" Raut kekhawatiran seketika menyeruak di wajah Hanifah.
"Ada yang nggak suka dengan Mbak
Hanifah, dia ngirim sesuatu yang buruk ke tubuh sampeyan." Ucap Kyai
Salman dengan mimik wajah serius.
"Hah??? Maksud Kyai, saya
disantet?"
"Ya, semacam itu. Tapi tenang,
dengan ijin Allah, semua penyakit pasti bisa disembuhkan." Kyai Salman
berdiri dari tepi ranjang kemudian melangkah pelan menuju pintu kamar sebelum
kemudian menguncinya dari dalam.
"Terus apa yang harus saya
lakukan Kyai biar santetnya hilang?" Tanya Hanifah masih dengan ekspresi
panik dan bingung.
"Saya menduga santet ini dikirim
lewat suami Mbak Hanifah." Kyai Salman kembali mendekati sisi ranjang
kemudian duduk di samping sang pasien.
"Lewat suami saya? Maksud Kyai,
yang nyantet saya Mas Danang?"
"Bukan suami Mbak Hanifah yang
nyantet, tapi santet ini dikirim melalui Mas Danang. Bisa jadi, orang jahat ini
mengenal dekat suami Mbak." Hanifah menyimak setiap perkataan Kyai Salman
dengan sangat serius.
"Saya berkeyakinan kalo santet
ini dikirim melalui hubungan badan kalian." Cetus Kyai Salman tanpa
keraguan.
"Mak-Maksud Kyai...?"
"Iya, jadi santet ini masuk
lewat sperma Mas Danang yang disemprotkan ke rahim Mbak Hanifah. Maaf
sebelumnya, kapan terakhir kali kalian berhubungan badan?" Hanifah
terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan Kyai Salman, bagaimanapun dia merasa tak
nyaman membicarakan privasi rumah tangganya dengan orang yang baru dikenalnya
itu.
"Ini penting saya ketahui untuk
menentukan langkah pengobatannya Mbak." Lanjut Kyai Salman seolah tau apa
yang sedang berkecamuk di dalam pikiran Hanifah.
"Du-Dua hari yang lalu
Kyai..." Ujar Hanifah dengan gugup. Kyai Salman mengangguk-anggukkan
kepalanya, sembari memainkan ujung bulu jenggotnya yang lebat menggunakan
jemari tangannya, seolah sudah mengetahui solusi atas penyakit yang sedang diderita
oleh sang pasien.
"Santet ini bisa hilang hanya
dengan satu cara Mbak. Tapi ini cukup berat untuk dilakukan."
"Apa itu Kyai? Apapun akan saya
lakukan asal santet yang ada di dalam tubuh saya bisa hilang." Ucap
Hanifah antusias.
"Karena santet ini masuk lewat
rahim Mbak Hanifah, maka satu-satunya cara adalah mengeluarkan perihal jahat
itu juga lewat sana." Hanifah mengrenyitkan dahi setelah mendengar
penjelasan dari Kyai Salman barusan.
"Mak-Maksudnya?"
"Saya bisa mengeluarkan santet
itu lewat proses hubungan badan juga." Ujar Kyai Salman dengan santai.
Sontak Hanifah terkejut mendengar hal itu.
"Hah? Maksud Kyai..Ki-Kita harus
begituan...? Saya dan Kyai???" Ujar Hanifah dengan raut wajah tak percaya.
"Iya, hanya itu satu-satunya
cara. Tapi, ini juga terserah Mbak Hanifah. Kalo sampeyan nggak mau ya nggak
apa-apa. Saya cuma menolong saja niatnya, nggak ada maksud lain."
Hanifah terdiam, sejenak wanita
bertubuh sintal itu sedikit beringsut menjauhi tubuh Kyai Salman yang sedari
tadi duduk di sisi ranjang. Perasaannya berkecamuk, di satu sisi tentu dia tak
ingin melakukan persetubuhan dengan pria lain selain suaminya sendiri apalagi
pria itu adalah seseorang yang usianya jauh lebih tua darinya. Tapi, di sisi
lain, ancaman santet yang dikemukakan oleh Kyai Salman lambat laun berubah
menjadi momok menakutkan. Hanifah berada di sebuah persimpangan, dia harus
segera memilih untuk menuntaskan permasalahan ini.
"Apa tidak ada cara lain
Kyai...?" Tanya Hanifah, bibirnya bergetar. Kyai Salman tersenyum seraya
menggelengkan kepalanya yang sudah beruban.
"Tidak ada Mbak, cuma ini
satu-satunya cara." Hanifah menghela nafas panjang, dia tak memiliki
pilihan lain selain menuruti petunjuk Kyai Salman.
"Baiklah kalo begitu, saya mau
melakukannya. Tapi jangan sampai suami saya tau."
"Oh tentu saja, saya tidak akan
mengatakan pada siapapun. Apa yang terjadi di kamar ini hanya kita dan Allah
saja yang tau." Ujar Kyai Salman meyakinkan.
***
Hanifah terlihat gugup kala jemarinya
mulai melepas kancing baju satu persatu. Di sisi ranjang Kyai Salman sudah
berdiri dengan bertelanjang bulat. Tanpa perasaan malu sedikitpun, tokoh agama
ternama itu melepas seluruh pakaiannya hingga membuat Hanifah kini bisa
menyaksikan tubuh telanjangnya.
"Hijabnya nggak usah dibuka,
biarin aja kayak gitu Mbak." Cegah Kyai Salman saat Hanifah hendak melepas
penutup kepalanya.
Tubuh bagian atas Hanifah sudah
nyaris terlihat semuanya, hanya menyisakan sepotong bra yang terlihat begitu
sesak menutupi bagian dadanya. Di bawah celana jins yang sedari tadi membungkus
lekuk indah tubuh sang pasien juga telah terlepas begitu saja, yang tampak
hanya celana dalam warna hitam dan begitu kontras dengan warna kulit Hanifah
yang putih mulus.
"Loh? Pake hijab? Kita kan
mau...." Suara Hanifah tercekat.
"Kita memang akan bersetubuh
Mbak, tapi kali ini persetubuhan yang melibatkan Allah, bukan hanya semata
karena nafsu belaka." Ujar Kyai Salman menjelaskan. Bak kerbau yang
dicokok hidungnya, Hanifah untuk kesekian kalinya menuruti perintah Kyai
Salman.
"Dilepas semuanya Mbak, kecuali
hijabnya." Kata Kyai Salman tak memberi kesempatan Hanifah untuk
berlama-lama memikirkan kekalutan hatinya.
"I-Iya Kyai..."
Hanifah mulai melepas pengait branya,
dua buah gundukan kenyal daging di dada wanita cantik itu langsung terlihat
begitu menggiurkan. Ukurannya lumayan besar, dengan dua puting imut yang begitu
menggemaskan. Kyai Salman sampai harus menelan ludahnya sendiri, penisnya yang
gemuk pun bereaksi dan mulai perlahan mengeras, mengacung tegak siap untuk
digunakan. Gerakan tangan Hanifah turun ke bawah tubuhnya, kali ini giliran
celana dalamnya yang dilepaskan. Gerak tubuh Hanifah yang kaku dan cenderung
kikuk tak bisa menyembunyikan kegugupan wanita bertubuh sintal tersebut.
"Oke, ayo sekarang kita sholat
dulu."
"Hah? Sholat??? Kyai serius?
Dengan keadaan telanjang bulat seperti ini??" Pekik Hanifah tak percaya.
Kyai Salman tersenyum tipis seraya kembali mendekati sisi ranjang.
"Ini bagian dari pengobatan,
saya kan sudah bilang kalo persetubuhan kita bukan persetubuhan biasa, tapi
juga melibatkan Allah." Ujar Kyai Salman.
Hanifah pasrah, tak ada daya sama
sekali untuk menolak perintah Kyai Salman meskipun itu sangat bertentangan
dengan hati nuraninya. Sholat yang harusnya menjadi sebuah ritual suci dan
beradab kini malah dijadikan sebuah kegiatan pembuka persetubuhan. Dalam benak
Hanifah hanya ingin semua ini cepat berakhir dan yang paling penting
penyakitnya juga hilang.
Kyai Salman menata dua buah sajadah
berukuran sedang dengan motif tenunan bergambar Ka'bah tepat di dekat ranjang,
pria tua bertubuh agak tambun itu memposisikan dirinya berada di depan layaknya
seorang imam. Hanifah menguatkan hati untuk mengikuti petunjuk sang Kyai, dia
berdiri tepat di belakang tubuh telanjang Kyai Salman.
"Ok, sekarang kita mulai
sholatnya ya. Ini cuma sholat sunnah dua rakaat, Mbak Hanifah ikutin saya
aja."
"Baik Kyai..."
Kyai Salman mulai memimpin sholat,
bacaan surat Al Fatihah dan surat pendek mengalun merdu dari bibir pria tua
itu. Semua gerakan sholat terlihat begitu normal layaknya ibadah wajib umat
islam pada umumnya. Hanifah mengikuti tiap gerakan sholat itu dengan perasaan
was-was, wajar karena ini adalah untuk pertama kalinya dalam hidup dia
melakukan ibadah sholat dengan hanya mengenakan jilbab saja, tubuhnya yang
molek telanjang bulat. Keduanya terus menjalankan ibadah sholat, di kedua
rakaat Kyai Salman membaca surat Al Fatihah dan bacaan surat pendek dengan
suara jelas meskipun tak terlalu keras namunj Hanifah masih bisa mendengarnya
sembari mengekor gerakan sholat dari awal sampai akhir.
"Assalamualaikum warroh
matuwoh..."
Kyai Salman menoleh ke kanan dan ke
kiri setelah mengakhiri sholat, kemudian pria berbadan tambun itu memutar
tubuhnya hingga saling berhadapan dengan Hanifah. Raut kikuk serta gugup
terlihat di wajah Hanifah, apalagi kini di hadapannya hanya berjarak sekian
jengkal Kyai Salman tersenyum mesum dalam keadaan telanjang bulat.
"Kita sudah selesai sholat,
sekarang saya akan menyetubuhi Mbak Hanifah." Ujar Kyai Salman, tatapan
matanya mendadak menjadi begitu teduh dan menenangkan begitu berbeda dengan
beberapa saat lalu sebelum sholat dimana tokoh agama itu cenderung menunjukkan
ekspresi birahi.
"Ba-Baik Kyai..." Sahut
Hanifah masih dengan ekspresi gugup dan kikuk.
"Apapun yang terjadi nanti, Mbak
Hanifah tidak boleh mengeluarkan kata-kata kotor, Mbak Hanifah harus melafalkan
tahmid, tahlil, takbir, tasbih dan istigfar untuk mengekspresikan kenikmatan
yang nanti mungkin Mbak Hanifah rasakan. "
"Ta-tapi Kyai..."
"Ingat Mbak, persetubuhan kita
melibatkan Allah. Mbak Hanifah harus menuruti perintah saya agar santet dalam
tubuh Mbak bisa segera hilang." Potong Kyai Salman. Hanifah kembali
terdiam, sekali lagi dia tak berdaya untuk menolak perintah absurd sang Kyai.
"Baik, bisa kita mulai
sekarang?"
"Bo-Boleh Kyai..." Balas
Hanifah seraya mengangguk lemah dan pasrah.
"Sekarang Mbak Hanifah
terlentang ya." Perintah Kyai Salman.
Wanita bertubuh sintal itu langsung
pasrah terlentang dengan tatapan sayu di atas sajadah, sambil menggigit
bibirnya sendiri nafas Hanifah mulai tak beraturan. Kyai Salman mendekat,
sesaat pria tua itu menjelajahi tubuh sintal nan menggiurkan milik Hanifah
dengan tatapan kekaguman. Tak mau membuang waktu segera dia melumat bibir tipis
Hanifah yang terbuka. Sang Kyai tua memasukkan lidah dan memaksa Hanifah untuk
bertukar air liur.
"Eeemmcccchh...Eeemmchhhhh..."
Terdengar dengusan nafas Hanifah yang semakin tak beraturan.
Tangan kanan Kyai Salman yang bebas
kini perlahan mulai merangkak menuju bulatan payudara. Di sana,
jari-jarinya bergerak dan meremas-remas
buah dada Hanifah yang membusung kenyal. Sambil terus mencium bibir sang pasien,
Kyai Salman terus memijit-mijit benda
bulat itu, sementara di bawah, tangannya yang kiri menyusup makin ke dalam,
menyerang permukaan vagina Hanifah dengan sentuhan-sentuhan liar. Diperlakukan
seperti itu membuat tubuh sintal Hanifah makin kelejotan bak cacing kepanasan.
"Aaaachhhh..."
"Sssttt...Ucapkan kalam-kalam
Allah..." Desis Kyai Salman penuh intimidasi.
"Aachhhhh...Subhanallah...."
Desis Hanifah menuruti perintah sang Kyai.
Rangsangan demi rangsangan yang terus
diberikan Kyai Salman pada akhirnya membuat Hanifah menyerah dan pasrah.
Penolakannya yang cuma setengah hati dengan cepat menghilang, menguap begitu
saja, berganti dengan gairah liar yang meledak-ledak. Saat Kyai Salman melumat
bibirnya, Hanifah dengan begitu panas dan penuh gairah, membalasnya. Lidah
wanita itu bergerak liar, mengecap dan menjilat, berusaha untuk menghisap serta
mengulum bibir tebal sang Kyai.
Hingga beberapa saat kemudian Kyai
Salman menyudahi lumatan pada bibir Hanifah dan langsung menurunkan kepalanya
ke bawah untuk memberi kecupan dan jilatan kecil pada kedua kaki wanita canyik
tersebut. Dari lutut, ciuman Kyai Salman naik ke arah paha. Dengan diselingi
jilatan dan hisapan halus, sampailah bibir tebalnya di pangkal paha.
"Accchhhhhtt...!
Allahuakbar!!"
Hanifah terpekik kaget ketika ujung
jari Kyai Salman menyentuh liang senggamanya. Pria tua itu termangu beberapa
saat memandangi vagina tersebut, bahkan
kedua matanya sampai tak berkedip. Vagina Hanifah terlihat sempit dengan bulu-bulu hitam yang halus dan
terawat rapi. Bagian tengahnya yang kemerahan dengan sedikit kesan mengkilap
akibat cairan kewanitaan makin menambah daya pesonanya. Kyai Salman kembali
merundukkan kepalanya, kali ini ciumannya menyasar paha Hanifah yang putih
mulus, kulit paha itu terasa dingin di bibirnya. Beberapa kali dengan sengaja
Kyai Salman mengusap-usapkan wajahnya pada permukaan kulit paha Hanifah.
Darah Kyai Salman berdesir merasakan
kemulusan paha itu di wajahnya. Semakin sering mengusap-usapkan wajah dan
menciuminya, kulit paha itu terasa semakin hangat. Kedua belah telapak
tangannya pun giat bergerak menyalurkan kehangatan. Tangan kiri Kyai Salman
mengusap-usap paha kanan bagian luar, sedangkan telapak kanannya mengusap-usap
betis kiri wanita itu. Wajah Kyai Salman bergerak makin mendekati pangkal paha,
hingga akhirnya sebuah sentuhan halus melalui bibir menyasar pada liang
senggama Hanifah.
"Auw!"
Hanifah menggelinjang dan memekik
lirih saat lidah Kyai Salman mulai menjamah kemaluannya. Selanjutnya, dengan
mata setengah terpejam, wanita itu menikmati ciuman dan jilatan sang Kyai.
"Argh..! Argh..! Oh!
Sssssttt....Enak banget Kyai!"
"Sssttt...Ingat, ucapkan
kalam-kalam Allah..." Ucap Kyai Salman mengingatkan.
"Aachhh..Astagfirullah...Astagfirullah..."
Hanifah sudah tak bisa lagi berpikir jernih, doktrin sesat Kyai Salman dan
segala kenikmatan birahi yang tengah mendera tubuhnya telah bercampur padu
menjadi racun memabukkan.
Bukan hanya Hanifah yang mulai
terbakar birahi, Kyai Salman pun demikian. Aroma segar kemaluan Hanifah sungguh
menggugah birahinya. Sang Kyai sampai menekan hidungnya ke celah sempit di
antara bibir vagina. Kyai Salman menekannya sedalam mungkin sambil menghirup
aroma kewanitaan. Hanifah terkejut merasakan ada sesuatu yang keras dan kenyal
menusuk lubang vaginanya. Tubuhnya menegang, pinggulnya bergetar beberapa kali.
Menggelinjang dalam kenikmatan.
"Aarrgghh..! Aarrghh..! Ampun
Kyai!" Rintihannya semakin keras ketika lidah Kyai Salman menyapu klitorisnya.
"Aaahh!! Saya mau pipis Kyai!
Aaahhh!! Allahuakbar!!" Pekik Hanifah bak kesetanan, tubuhnya
melonjak-lonjak menahan tiap gempuran lidah Kyai Salman di vaginanya.
Tapi anehnya Hanifah tak berusaha
menghindar. Hanifah bahkan memutar pinggulnya sambil menekan bagian belakang
kepala Kyai Salman. Hanifah seperti tak ingin kepala Kyai tua itu lepas dari
jepitan bibir vaginanya. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja kedua pahanya
menjepit kepala Kyai Salman makin kencang sambil kedua tangannya menekan kuat.
Kyai Salman tau Hanifah akan mengalami orgasme, maka bibirnya langsung
menghisap klitoris sang pasien kuat-kuat.
"Aaahhh....keluar ...Oohh
enakkkhh!! Allhuakbar! Aaargghhtt!!!"
Tubuh Hanifah masih tergelepar tak
berdaya di atas sajadah, nafas wanita cantik itu tak beraturan setelah
mendapatkan orgasme. Kyai Salman mendekatinya, senyum pemuka agama itu merekah
menatap wajah sayu Hanifah yang kelelahan.
"Bagaimana Mbak? Masih kuat? Ini
masih permulaan loh." Ujar Kyai Salman sembari tersenyum bangga karena
bisa membuat tubuh Hanifah kelejotan hanya menggunakan bibir dan lidahnya saja.
"Gila, saya nggak pernah kayak
gini. Padahal belum dimasukin kontolnya Kyai." Balas Hanifah seraya
mengatur nafasnya yang kembang kempis.
"Hehehehe, ini semua karena
Allah Mbak, saya cuma perantara saja. Kita lanjutkan lagi ya, kurang sebentar
lagi kok."
Hanifah seolah pasrah, kembali dia
memposisikan tubuhnya terlentang dengan kedua paha mengangkang lebar, seperti
bersiap menerima hujaman penis Kyai Salman yang sudah siap melakukan tugasnya.
“Saya masukin sekarang ya...” Kata
Kyai Salman meminta ijin setelah berada di antara kedua pahanya. Penis gemuknya
sudah mengeras sempurna dan siap menghunus lubang kenikmatan sang pasien.
"Iya Kyai...Masukin aja..."
Hanifah hanya mengangguk di tengah
nafasnya yang masih naik-turun. Kyai Salman menggosokkan batang penisnya pada
bibir vagina Hanifah yang sudah basah, pria bertubuh tambun itu merasakan
sensasi kelembutan dan kehangatan di ujung batang kemaluannya. Penisnya menjadi
semakin keras, urat-urat di sekujur batang semakin membengkak. Kyai Salman
mulai menekan pinggulnya sehingga penisnya pun membelah bibir vagina milik
Hanifah. Kyai Salman menatap wajah wanita cantik itu, Hanifah menggigit bibir
ketika merasakan vaginanya mulai dimasuki penis.
"Bismillah...." Dengus Kyai
Salman seraya mendorong tubuhnya ke bawah.
"Eeemmccchhhh....."
Dengan tambahan tekanan yang lebih
keras, penis Kyai Salman akhirnya amblas juga diiringi desahan panjang Hanifah.
Mereka berdua menahan nafas merasakan momen-momen alat kelamin bersatu. Kyai
Salman mulai menciumi leher wanita itu. Dia merendahkan dadanya hingga menekan
kedua buah payudara besar milik Hanifah. Kyai Salman sengaja melakukan hal itu
karena ingin merasakan kekenyalan payudara Hanifah ketika menggeliat.
Tangan kiri Kyai Salman kembali
bergerilnya meremas buah dada Hanifah, sedangkan tangan kanannya mengelus-elus
paha luar wanita itu sambil melakukan gerakan tarik dorong di liang senggama.
Sang Kyai bisa merasakan cairan lendir yang semakin banyak mengolesi batang
kemaluannya.
Sambil menghembuskan nafas berat,
Kyai Salman mendorong penisnya lebih dalam hingga ujungnya yang menyerupai helm
menyentuh sesuatu. Pria tua itu menahan gerakan pinggulnya ketika melihat
Hanifah meringis. Tubuh Kyai Salman bergetar merasakan sempitnya lubang vagina.
Mulutnya kemudian memagut bibir Hanifah dan melumatnya dengan lahap. Kyai
Salman tak ingin mendengar Hanifah menjerit keras ketika dia mendorong penisnya
makin dalam. Kyai Salman memainkan kedua puting Hanifah yang makin mengeras
dengan jempol dan jari telunjuk. Ketika merasakan Hanifah mendorong pinggulnya,
dengan cepat dia langsung mendorong penisnya semakin dalam.
"Eeemmmcccccchhmm!!! Acchh enak
banget ya Allah!!!!" Terdengar gumaman tertahan dari mulut Hanifah yang
sedang berpagutan dengan bibir sang Kyai.
Hanifah hanya bisa bergumam ketika
merasakan batang kemaluan Kyai Salman menghunjam ke dalam lubang vaginanya.
Sang Kyai kembali membenamkan batang kemaluannya secara perlahan-lahan.
Terdengar Hanifah mendesis beberapa kali sambil merangkul leher Kyai Salman
erat-erat. Kedua belah kakinya yang jenjang dan mulus semakin erat membelit
pinggang sang Kyai. Setelah menarik nafas panjang, dan tak sanggup lagi menahan kesabaran, Kyai salman menghentakkan
pinggul dalam-dalam hingga pangkal pahanya bersentuhan dengan pangkal paha
Hanifah.
"Aaauuwwhh! Allah! Allah!!
Aaachh!"
Hanifah melenguh beberapa kali ketika
merasakan seluruh batang kemaluan Kyai Salman terbenam di dalam vaginanya.
Bahkan mungkin ia juga merasakan ujung kemaluan sang Kyai menyentuh mulut
rahimnya. Sejenak Kyai Salman diam tak bergerak. Pria tua itu sengaja
membiarkan batang kemaluannya menikmati sempitnya lubang vagina Hanifah.
Matanya terpejam merasakan remasan lembut di batang kemaluan ketika vagina
Hanifah berdenyut.
"Ouucchh...Kyai...Terusin...Jangan
berhenti" Rintih Hanifah tak sabar kembali merasakan lesakan penis yang
mengoyak seluruh isi rahimnya.
Hanifah merasakan pedih dan nikmat di
sekujur tubuhnya. Sensasi yang membuat bulu roma di sekujur tubuhnya meremang,
yang membuat ia terpaksa melengkungkan punggung. Dipeluknya erat-erat tubuh
Kyai Salman ketika ia merasakan biji kemaluan pria tua itu memukul-mukul
selangkangannya. Ia tak mampu bernafas ketika merasakan nikmat saat bibir dalam
vaginanya tertarik bersama batang kemaluan sang Kyai. Kenikmatan birahi itu
semakin menjalar dari vaginanya, nikmat yang membuat tubuhnya kelejotan ketika
Kyai Salman kembali menghujamkan batang kemaluannya kuat-kuat. Hanifah
menggigit bibirnya meresapi kenikmatan yang mengalir dari klitorisnya yang
tergesek ketika Kyai Salman menggerakkan pinggulku naik turun.
Kenikmatan itu membuatnya
terengah-engah karena nafasnya makin memburu. Kyai Salman juga melenguh setiap
kali mendorong batang kemaluannya. Vagina Hanifah yang seret itu membuat
telapak tangan kasar Kyai Salman harus meremas payudaranya dengan keras ketika
dia menarik batang kemaluannya. Kyai Salman sudah tak kuat lagi membendung arus
ejakulasi yang akan meledak sebentar lagi.
“Ouucchhhh! Mau keluar! Mau keluar!!”
Desah Kyai Salman dengan nafas mendengus hebat.
PLOK!
PLOK!
PLOK!
Bunyi tumbukan tubuh mereka berdua
semakin nyaring terdengar setiap kali Kyai Salman menghunjamkan batang
kemaluannya. Bunyi tersebut semakin keras terdengar setiap kali Hanifah
mengangkat pinggulnya untuk menyongsong penis yang menghunjam cepat dan keras.
Kyai Salman masih mencoba bertahan, tapi semakin lama vagina yang menelan
penisnya terasa meremas semakin kuat dan berdenyut-denyut seolah ingin
menghisap, sang Kyai tak mampu lagi menahan gelombang orgasme yang menerpa
dengan dahsyat.
"AAARGGHTTTTTTT!!!! ALLAHU
AKBAR" Kyai Salman meraung hebat saat spermanya menerobos lubang kencing
Hanifah.
Kyai Salman menghunjamkan pinggulnya
keras-keras agar ujung penisnya tertanam sedalam-dalamnya ketika sperma
memancar keluar. Tubuhnya menegang saat mencapai puncak kenikmatan itu. Pada
saat yang bersamaan Hanifah pun mengalami orgasme untuk kedua kalinya, tubuhnya
menggelinjang bak cacing kepanasan.
“Ouuuucchhh !! Saya juga
keluaaaarrr...." Erang Hanifah ketika merasakan cairan hangat itu menembak
mulut rahimnya.
Selama beberapa saat tubuh mereka
berdua mengejang karena orgasme hingga akhirnya melemas kembali dalam posisi
berpelukan. Mereka berbaring beristirahat berpelukan di atas sajadah dengan
nafas masih saling memburu. Sisa-sisa sperma Kyai Salman meleleh keluar dari
dalam vagina Hanifah.
"Insyaallah, santet itu sudah
hilang Mbak." Ujar Kyai Salman beberapa saat kemudian.
"Terima kasih banyak
Kyai..." Balas Hanifah dengan perasaan lega.

Posting Komentar
1 Komentar
Gimana cara beli pdf nya
BalasHapus