MY BODY
CHAPTER 1
Mataku terasa panas dan pedih setelah
hampir dua jam lebih menatap layar komputer untuk menyelesaikan laporan
keuangan bulanan. Pekerjaanku makin bertumpuk setelah Yayasan Al-Hakim,
tempatku bekerja, akan melakukan pembelian barang guna memenuhi kuota tahunan
di lembaga pendidikan yang dikelolanya. Sudah hampir satu minggu lebih Aku
bekerja lembur seperti ini untuk menyelesaikan laporan tersebut, dan akhirnya
hari ini beres juga.
Suasana kantor pun sudah begitu sepi,
rupanya hanya menyisakan Aku seorang yang masih berada di sini. Aku melirik jam
tanganku, sudah hampir jam 7 malam. Saking asyiknya menyelesaikan pekerjaan,
Aku sampai lupa waktu. Padahal statusku di Yayasan Al-Hakim masih sebatas pegawai
kontrak, gajikupun tak seberapa jika dibanding dengan pegawai tetap. Namun
beban pekerjaanku melebihi mereka semua. Jika bukan karena tuntutan ekonomi dan
ketiadaan pilihan pekerjaan lain, Aku mungkin tidak akan menerima tawaran Om
Yusman untuk bekerja di sini.
“Nggak apa-apa sementara kerja di
tempat Om Yusman dulu, sekalian nambah pengalaman daripada nganggur.”
Begitu kata Ibuku beberapa bulan lalu
saat mengutarakan kebimbanganku menerima tawaran Om Yusman untuk bekerja di
Yayasan tempatnya mengabdi selama belasan tahun. Ibuku tipe orang tua kolot
yang memiliki kebanggaan jika anaknya bisa bekerja di sebuah kantor dengan
rutinitas berangkat pagi pulang sore serta mengenakan pakaian rapi tanpa
mempedulikan beban pekerjaan dan gaji yang diterima. Maka tak heran jika jawaban
yang diberikan seperti itu, memang Ibu tidak memaksaku untuk langsung mengambil
tawaran Om Yusman, tapi dari sorot matanya Aku sudah bisa menerka jika besar
harapannya agar Aku mengiyakan tawaran Om Yusman.
Pada akhirnya Aku harus mengambil
peran sebagai seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tua. Kebanggaan
Ibuku sudah lebih dari cukup untukku setelah sekian lama Aku belum pernah
memberikannya kebahagiaan. Maka disinilah Aku sekarang, bekerja sebagai staff
administrasi, seorang pegawai kontrak dengan gaji minimalis dan harus siap
bekerja lembur sepanjang waktu. Kadang hidup memang harus selucu ini.
Setelah memastikan pekerjaan telah
tuntas dan tidak memerlukan revisi lagi, Aku bergegas untuk pulang. Satu hal
yang paling Aku benci saat pulang adalah keharusan melewati pos satpam kantor
dan bertemu dengan Doni Alamsyah, salah satu petugas keamanan yang bekerja satu
kantor denganku. Bukan tanpa sebab Aku begitu membenci pria berusia 24 tahun
tersebut. Semua itu terjadi karena semasa SMA dulu dia adalah salah satu orang
yang kerap membullyku di sekolah.
Ya, dulu semasa SMA Aku adalah
sasaran utama pembullyan. Hampir tiga tahun Aku mengalami mimpi buruk jadi
korban perundungan sekelompok siswa yang merasa lebih keren dari siapapun.
Bentuk tubuhku yang cenderung lebih gendut dan besar dibanding teman sebayaku menjadi
salah satu penyebabnya. Sebutan seperti gajah, babi, kuda nil dan lain
sebagainya sudah sering Aku dengar kala itu untuk mengganti namaku. Itu belum
seberapa, beberapa kali Aku sering dikerjai oleh mereka bahkan sampai mengarah
pada kekerasan fisik.
Ada satu momen yang sampai detik ini
belum bisa Aku lupakan ketika saat itu adalah ketika Aku dikunci di dalam kamar
mandi sekolah dan dibiarkan berada di sana hingga nyaris sore hari. Beruntung
saat itu penjaga sekolah bisa menemukan keberadaanku dan membukakan pintu saat
semua siswa dan guru telah pulang. Orang yang paling bertanggung jawab dan
aktor utama perundunganku adalah Doni Alamsyah.
Sekian tahun tidak bertemu, nyatanya
takdir buruk memaksaku untuk kembali bersua dengan salah satu orang yang begitu
Aku benci. Doni ternyata sudah bekerja di Yayasan Al-Hakim setahun belakangan
setelah gagal berkali-kali mengikuti tes ujian masuk Kepolisian. Postur
tubuhnya yang tinggi besar nan berotot nyatanya tak membuatnya lulus menjadi
anggota kepolisian. Aku sempat kaget ketika pertama kali bertemu dengannya,
namun wajahnya kembali menghantuiku. Apalagi perangainya sama sekali tak
berubah, dan malah sekarang justru makin menjadi.
Doni seringkali melecehkanku secara
seksual, terutama secara verbal saat berada di lingkungan kantor. Meskipun tak
sampai menyentuhku, namun tetap saja apa yang dilakukannya membuatku
benar-benar tidak nyaman. Aku sempat mengadukannya pada Om Yusman, namun respon
yang diberikan sama sekali tak membuatku merasa aman.
“Udah nggak apa-apa, Doni memang
begitu orangnya. Suka becanda.” Ujar Om Yusman beberapa minggu lalu saat Aku
kembali mengadukan Doni karena meledekku dengan sebutan jablay semok.
Pada akhirnya yang bisa Aku lakukan
hanyalah menguatkan diriku sendiri tanpa ada orang lain yang mau menolongku.
Setidaknya Aku berusaha untuk menghindari bertatap muka langsung dengan Doni
meskipun itu sangat sulit untuk dilakukan. Aku mempercepat langkah kakiku
ketika melintasi pos satpam dan berharap malam ini Doni sedang tak berada di
sana.
“Eh ada Ayyun semok….”
“Baru pulang Yun..?”
Harapan tinggalah harapan, rupanya
Doni sudah menungguku di depan pintu pos satpam, senyumnya mengembang, entah
kenapa saat melihatnya bulu kudukku merinding karena teringat aksi bullying
yang dilakukannya padaku beberapa tahun silam. Tak mempedulikan ucapannya, Aku
mempercepat langkah kakiku agar segera bisa pergi dari halaman kantor.
Celakanya ternyata gerbang pintu kantorku sudah dikunci.
“Nyari ini Yun?”
Aku menoleh ke belakang dan melihat
Doni sedang mengacungkan kumpulan beberapa kunci. Senyumnya makin melebar,
bangga sudah berhasil untuk kesekian kalinya mengerjaiku. Aku berbalik badan
dan memaksakan diri untuk menghampirinya.
“Tolong buka pagarnya, Aku mau
pulang.”
“Kalo minta tolong itu jangan pake
cemberut gitu dong, kan Mas Doni jadi malas bantuin…” Aku mencoba mengatur
ritme nafasku agar emosi tak meledak detik ini juga. Melihat tingkah Doni yang
seperti ini sungguh membuatku makin muak.
“Loh kok malah diam sih…” Tanpa
kuduga tiba-tiba Doni mencolek daguku. Segera Aku tepis tangannya yang kurang
ajar itu dengan kasar.
“Jangan kurang ajar kamu!” Hardikku
sambil melotot ke arahnya. Raut wajah Doni yang sebelumnya cengengesan kali
berubah menjadi lebih tegang, senyumnya hilang.
“Bangsat! Udah berani Kamu ya
sekarang!”
“Lepas! Tol…Eeemmphh!!!”
Doni langsung membekap mulutku dengan
kasar sebelum akhirnya menyeret tubuhku ke dalam pos satpam. Aku berusaha untuk
memberontak dan meronta-ronta namun kekuatan fisik Doni sama sekali bukan
tandinganku. Ketika sudah berada di dalam pos, Doni membawaku menuju bagian
belakang ruangan yang memiliki sekat kayu hingga tak akan terlihat dari luar.
Di bilik berukuran kecil itu terdapat kasur lipat lusuh, Aku melirik sesaat ke
arah Doni sebelum dia akhirnya mendorong tubuhku hingga tersungkur di atas
kasur.
“Mau ngapain Kamu?!” Tanyaku panik,
apalagi saat melihat Doni mulai membuka kancing sergamnya satu persatu. Matanya
menyorot tajam ke arahku, Aku tau situasi sedang tidak baik-baik saja saat ini.
“Tolong!!! Tolongg!!!” Teriakku
histeris.
“Diam! Atau Aku bunuh sekarang juga!
Mau?! Hah?!” Doni mengeluarkan sebuah badik berukuran kecil dari balik
pinggangnya dan langsung mengarahkan ujung senjata tajam itu ke arahku. Dadaku
berdesir kencang, tubuhku langsung kaku karena ketakutan.
“Pinter…Tugasmu sekarang cuma nurutin
apa mauku. Nggak akan lama kok, hehehhehe.”
Doni meletakkan badik di atas meja
kecil yang bersebrangan dengan tepi kasur. Dia terus melanjutkan aksinya
melepas kancing seragamnya lalu menyusul kemudian melepas celana yang
dikenakannya hingga akhirnya tubuhnya telah telanjang bulat di hadapanku. Ini
pertama kalinya dalam hidup Aku menyaksikan tubuh polos seorang pria secara
langsung. Bibirku kelu tak bisa mengeluarkan suara, tak tau harus berbuat
apalagi untuk selamat dari cengkraman Doni.
Perlahan dia mulai mendekatiku, Aku
masih berusaha untuk menghindar tapi di dalam ruangan sesempit ini usaha
seperti apalagi yang bisa Aku lakukan untuk menghindari Doni? Dengan kasar dia
merangsek maju, menjamah pakaian kerjaku, menariknya hingga wajah Kami saling
berdekatan. Senyum menakutkan itu kembali muncul di wajahnya, senyum seorang
pembully di masa mudaku.
“Aku begitu menginginkanmu sejak dulu
Yun…” Desis Doni lirih.
Pikiranku kacau secara tiba-tiba.
Bagaimana mungkin seorang badboy semasa SMA bisa mengatakan itu kepadaku yang
sedari dulu jadi korban bullyannya? Apalagi dulu semasa SMA Doni adalah salah
satu cowok yang begitu banyak memiliki penggemar. Meskipun terlihat urakan,
tapi secara fisik harus Aku akui dia cukup menarik kala itu. Maka tak heran
jika masa mudanya di bangku sekolah, Doni sering berganti-ganti pacar. Badboy
dan playboy, dua kombinasi yang cukup membuat namanya terkenal di SMA kami.
Lalu bandingkan dengan Aku yang
selalu menjadi objek perundungan? Tubuhku besar dan cenderung gendut, dengan
tinggi badan sekitar 155 sentimeter, namun berat badanku saat itu sudah
menyentuh angka 80 kilogram! Aku bak atlet sumo di tengah arena pertandingan!
Aku sama sekali tak populer, nyaris tak punya teman atau bahkan sahabat
dekat karena semua orang menjauhiku agar
tak menjadi sasaran bullying berikutnya. Maka yang diucapkan Doni saat ini jika
dia tertarik kepadaku apakah hanya sebuah omong kosong belaka atau….
“Eeeeemmcchh!!!! Lepaas…!!
Eeemcchhh!!!”
Doni berusaha untuk mencium bibirku,
kepalanya bergerak liar merangsek maju, dia gunakan kekuatan tubuhnya yang
kekar untuk mendorongku hingga jatuh terlentang di atas kasur lipat. Aku
berusaha untuk memberontak namun sekali lagi, kekuatan fisik Doni bukan
tandinganku. Pada akhirnya Aku hanya bisa menutup mata dan mulai merasakan
sapuan hangat lidahnya yang basah pada permukaan bibirku.
“Eeemcchhhhhh….”
Seumur hidup Aku belum pernah
berciuman dengan lelaki manapun, kalaupun punya keinginan cabul seperti itu Aku
tak menginginkan prosesnya seperti ini. Dipaksa dan terpaksa.
“Buka bibirmu Yun…”
Aku bisa merasakan hembusan nafas
Doni yang memburu, sementara di bawah sana Aku juga bisa menyaksikan batang
penisnya sudah berdiri tegak, panjang dan berotot. Mengerikan. Doni kembali
mengarahkan bibirnya pada bibirku, kali ini jauh lebih lembut dan sama sekali
tidak kasar seperti sebelumnya. Doni mengecup bibir bawahku dengan sapuan lidah
yang mengular binal di sepanjang permukaan. Desis perlahan mulai terdengar dari
bibirku kala celahnya sedikit demi sedikit mulai terbuka.
Doni pasti sudah begitu ahli
mencumbui bibir setiap gadis sejak dulu, maka kesempatan itu langsung
dimanfaatkannya untuk memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Lidah kami bertemu,
reflek Aku menyambut pagutan bibirnya, meraih baluran air liurnya bersamaan
dengan tautan lidah Kami berdua.
“Aaaccchhh……”
Lenguh manjaku terdengar cukup sexy,
Aku bahkan sampai heran kenapa bisa sampai seperti ini. Lambat tapi pasti
permainan lidah Doni membuat sensasi berbeda dalam diriku yang bisa dibilang
begitu polos untuk urusan sex. Gejolak aneh itu tiba-tiba muncul begitu saja
tanpa bisa Aku cegah. Apalagi kini tangan gempal Doni turun menyusuri
payudaraku yang masih terbungkus pakaian kerja.
“Kamu tau, dari dulu Aku selalu
membayangkan bisa menjamah payudaramu yang besar ini…” Desis Doni sesaat
setelah melepas pagutan bibirnya.
Darahku berdesir kencang, tangan Doni
mulai meremas gemas kedua payudaraku dan kembali memagut bibirku dengan mesra.
Lidahnya menari-nari untuk kesekian kali di antara celah bibirku, Aku
menyambutnya tanpa perlawanan. Ya, kami berdua akhirnya saling berciuman tanpa
paksaan. Deru nafas saling bertarung dengan deburan nafsu yang makin bergemuruh
dalam dada. Aku mulai bisa merasakan kelincahan jarinya beraksi mempreteli
kancing kemeja kerjaku satu persatu. Aku sama sekali tak melawan, Aku biarkan
Doni melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang pejantan yang sudah
diburu nafsu.
“Waahh!!! Gila gede banget!!” Pekik
Doni saat kemejaku telah lolos seluruhnya menyisakan BH warna hitam yang
terlihat tak muat menampung payudara jumboku.
Aksi Doni tak berhenti sampai disitu
saja, karena selanjutnya dia mulai melepas pengait rok panjang yang Aku
kenakan. Aku hanya bisa menggigit bibirku sendiri kala satu persatu pakainku
tanggal meninggalkan tubuh. Dengus nafas Doni makin tak karuan saat kubiarkan
dia mulai meloloskan celana dalamku kemudian menyusul BH ku. Kini untuk pertama
kalinya dalam hidup tubuhku yang telah telanjang bulat bisa disaksikan oleh
mata seorang lelaki.
“Sempurna….” Desis Doni dengan
tatapan jalangnya.
Kenapa tubuhku jadi kaku seperti ini?
Aku seperti tak punya daya untuk kembali memberontak. Isi kepalaku mengatakan
jika semua ini salah, apa yang dilakukan oleh Doni adalah tindakan amoral yang
harus Aku tolak sekuat tenaga. Tapi dalam hati kecilku mengatakan sebaliknya,
Aku ingin merasakan cumbuan Doni. Tubuhku yang selama ini selalu dijadikan
bahan ejekan karena gendut dan besar menagih untuk segera disenggamai.
“Aaaachhhhh….”
Lenguhku kembali terdengar ketika
jemari kasar Doni menyusuri permukaan kulit di pahaku. Merayap pelan,
menimbulkan sensasi geli luar biasa. Oh Tuhan, kenapa ini begitu nikmat sekali?
“Aku ingin memuaskanmu Yun…” Bisik
Doni, Aku hanya terdiam, tak bisakah dia segera melakukannya tanpa perlu
mengeluarkan baris kata yang membuat kepalaku semakin pusing?
“Eemmmmmmcchhhhh…”
Jemarinya menyibak rerimbunan bulu
kemaluanku yang tercukur rapi, sedikit basah dan lembab. Aku bisa merasakan
ujung jarinya mulai menguak lipatan vaginaku kemudian berlanjut dengan gerakan
menggesek pelan. Makin lama gerakan itu makin cepat, tubuhku belingsatan
menahan sensasi geli sekaligus rasa aneh yang menjalari seluruh tubuhku untuk
pertama kalinya.
“Eeecchhh…! Mau ngapain Don?!”
Ditengah-tengah perasaan campur aduk tiba-tiba Aku melihat kepala Doni merunduk
dan langsung merangsek menuju liang senggamaku.
“Ssssstttt…Nikmatin aja, ini bakal
lebih enak daripada cuma dikobel doang.” Ujar Doni.
“Ouuuuchhhh!! Doonnnn…!!”
Tanpa rasa jijik sedikitpun Doni
langsung menjilati permukaan vaginaku yang sudah basah sejak tadi, makin basah
kutup ketika liurnya ikut menempel di sana. Aku bahkan sampai harus mencengkram
permukaan kasur untuk menahan tubuhku agar tak meledak saat itu juga. Doni
benar-benar menjadi pengalaman sexku yang pertama dan terliar, lidahnya
menari-nari, menjilat, mengecap bahkan tanpa sungkan juga menciumi seluruh area
kewanitaanku. Saking nikmatnya, pinggulku berkali-kali terangkat dengan
sendirinya untuk merespon jilatan Doni.
“Aaacchhh! Doni!!! Aaachh!!!”
Doni makin beringas, kepalanya
mendesak maju, mulut serta lidahnya buas memainkan vaginaku. Desahan serta
lenguhan sudah tak terhitung berapa kali keluar dari dalam mulutku. Lalu
tiba-tiba ledakan itu datang, sesuatu yang begitu sulit digambarkan dengan kata-kata
menggelegak dari dalam tubuhku. Kedua tanganku mencengkram kepala Doni,
menekannya lebih dalam sementara pinggul serta pantatku yang besar menarik ke
atas, hingga akhirnya…
“AAARGGGGHHTTT!!!!! DOOONNNNN…!!!”
Vaginaku berkedut beberapa kali,
wajah Doni basah kuyup karena semprotan cairan deras dari dalam vaginaku.
Bukannya marah, tapi senyumnya lebar menyaksikanku kelelahan bukan main. Apakah
ini yang dinamakn orgasme? Entahlah, tapi yang pasti tubuhku terasa seperti
melayang, tulang serta sendi-sendi dalam tubuh juga terasa lepas dari
tempatnya. Enak namun juga melelahkan.
“Gila! Banyak banget keluarnya!”
Pekik Doni seolah tak percaya.
“Udah Don..Udah…Aku mohon biarkan Aku
pulang sekarang.” Rengekku.
“Pulang? Enak aja, Aku belum dapat
giliran nih.”
“Ka-Kamu mau apalagi Don..?
Udah…Udah…”

Posting Komentar
0 Komentar