MY BODY

 


GENRE : HIJAB EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 82 HALAMAN
HARGA: Rp 15.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY



CHAPTER 1

 

Mataku terasa panas dan pedih setelah hampir dua jam lebih menatap layar komputer untuk menyelesaikan laporan keuangan bulanan. Pekerjaanku makin bertumpuk setelah Yayasan Al-Hakim, tempatku bekerja, akan melakukan pembelian barang guna memenuhi kuota tahunan di lembaga pendidikan yang dikelolanya. Sudah hampir satu minggu lebih Aku bekerja lembur seperti ini untuk menyelesaikan laporan tersebut, dan akhirnya hari ini beres juga.

Suasana kantor pun sudah begitu sepi, rupanya hanya menyisakan Aku seorang yang masih berada di sini. Aku melirik jam tanganku, sudah hampir jam 7 malam. Saking asyiknya menyelesaikan pekerjaan, Aku sampai lupa waktu. Padahal statusku di Yayasan Al-Hakim masih sebatas pegawai kontrak, gajikupun tak seberapa jika dibanding dengan pegawai tetap. Namun beban pekerjaanku melebihi mereka semua. Jika bukan karena tuntutan ekonomi dan ketiadaan pilihan pekerjaan lain, Aku mungkin tidak akan menerima tawaran Om Yusman  untuk bekerja di sini.

“Nggak apa-apa sementara kerja di tempat Om Yusman dulu, sekalian nambah pengalaman daripada nganggur.”

Begitu kata Ibuku beberapa bulan lalu saat mengutarakan kebimbanganku menerima tawaran Om Yusman untuk bekerja di Yayasan tempatnya mengabdi selama belasan tahun. Ibuku tipe orang tua kolot yang memiliki kebanggaan jika anaknya bisa bekerja di sebuah kantor dengan rutinitas berangkat pagi pulang sore serta mengenakan pakaian rapi tanpa mempedulikan beban pekerjaan dan gaji yang diterima. Maka tak heran jika jawaban yang diberikan seperti itu, memang Ibu tidak memaksaku untuk langsung mengambil tawaran Om Yusman, tapi dari sorot matanya Aku sudah bisa menerka jika besar harapannya agar Aku mengiyakan tawaran Om Yusman.

Pada akhirnya Aku harus mengambil peran sebagai seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tua. Kebanggaan Ibuku sudah lebih dari cukup untukku setelah sekian lama Aku belum pernah memberikannya kebahagiaan. Maka disinilah Aku sekarang, bekerja sebagai staff administrasi, seorang pegawai kontrak dengan gaji minimalis dan harus siap bekerja lembur sepanjang waktu. Kadang hidup memang harus selucu ini.

Setelah memastikan pekerjaan telah tuntas dan tidak memerlukan revisi lagi, Aku bergegas untuk pulang. Satu hal yang paling Aku benci saat pulang adalah keharusan melewati pos satpam kantor dan bertemu dengan Doni Alamsyah, salah satu petugas keamanan yang bekerja satu kantor denganku. Bukan tanpa sebab Aku begitu membenci pria berusia 24 tahun tersebut. Semua itu terjadi karena semasa SMA dulu dia adalah salah satu orang yang kerap membullyku di sekolah.

Ya, dulu semasa SMA Aku adalah sasaran utama pembullyan. Hampir tiga tahun Aku mengalami mimpi buruk jadi korban perundungan sekelompok siswa yang merasa lebih keren dari siapapun. Bentuk tubuhku yang cenderung lebih gendut dan besar dibanding teman sebayaku menjadi salah satu penyebabnya. Sebutan seperti gajah, babi, kuda nil dan lain sebagainya sudah sering Aku dengar kala itu untuk mengganti namaku. Itu belum seberapa, beberapa kali Aku sering dikerjai oleh mereka bahkan sampai mengarah pada kekerasan fisik.

Ada satu momen yang sampai detik ini belum bisa Aku lupakan ketika saat itu adalah ketika Aku dikunci di dalam kamar mandi sekolah dan dibiarkan berada di sana hingga nyaris sore hari. Beruntung saat itu penjaga sekolah bisa menemukan keberadaanku dan membukakan pintu saat semua siswa dan guru telah pulang. Orang yang paling bertanggung jawab dan aktor utama perundunganku adalah Doni Alamsyah.

Sekian tahun tidak bertemu, nyatanya takdir buruk memaksaku untuk kembali bersua dengan salah satu orang yang begitu Aku benci. Doni ternyata sudah bekerja di Yayasan Al-Hakim setahun belakangan setelah gagal berkali-kali mengikuti tes ujian masuk Kepolisian. Postur tubuhnya yang tinggi besar nan berotot nyatanya tak membuatnya lulus menjadi anggota kepolisian. Aku sempat kaget ketika pertama kali bertemu dengannya, namun wajahnya kembali menghantuiku. Apalagi perangainya sama sekali tak berubah, dan malah sekarang justru makin menjadi.

Doni seringkali melecehkanku secara seksual, terutama secara verbal saat berada di lingkungan kantor. Meskipun tak sampai menyentuhku, namun tetap saja apa yang dilakukannya membuatku benar-benar tidak nyaman. Aku sempat mengadukannya pada Om Yusman, namun respon yang diberikan sama sekali tak membuatku merasa aman.

“Udah nggak apa-apa, Doni memang begitu orangnya. Suka becanda.” Ujar Om Yusman beberapa minggu lalu saat Aku kembali mengadukan Doni karena meledekku dengan sebutan jablay semok.

Pada akhirnya yang bisa Aku lakukan hanyalah menguatkan diriku sendiri tanpa ada orang lain yang mau menolongku. Setidaknya Aku berusaha untuk menghindari bertatap muka langsung dengan Doni meskipun itu sangat sulit untuk dilakukan. Aku mempercepat langkah kakiku ketika melintasi pos satpam dan berharap malam ini Doni sedang tak berada di sana.

“Eh ada Ayyun semok….”

“Baru pulang Yun..?”

Harapan tinggalah harapan, rupanya Doni sudah menungguku di depan pintu pos satpam, senyumnya mengembang, entah kenapa saat melihatnya bulu kudukku merinding karena teringat aksi bullying yang dilakukannya padaku beberapa tahun silam. Tak mempedulikan ucapannya, Aku mempercepat langkah kakiku agar segera bisa pergi dari halaman kantor. Celakanya ternyata gerbang pintu kantorku sudah dikunci.

“Nyari ini Yun?”

Aku menoleh ke belakang dan melihat Doni sedang mengacungkan kumpulan beberapa kunci. Senyumnya makin melebar, bangga sudah berhasil untuk kesekian kalinya mengerjaiku. Aku berbalik badan dan memaksakan diri untuk menghampirinya.

“Tolong buka pagarnya, Aku mau pulang.”

“Kalo minta tolong itu jangan pake cemberut gitu dong, kan Mas Doni jadi malas bantuin…” Aku mencoba mengatur ritme nafasku agar emosi tak meledak detik ini juga. Melihat tingkah Doni yang seperti ini sungguh membuatku makin muak.

“Loh kok malah diam sih…” Tanpa kuduga tiba-tiba Doni mencolek daguku. Segera Aku tepis tangannya yang kurang ajar itu dengan kasar.

“Jangan kurang ajar kamu!” Hardikku sambil melotot ke arahnya. Raut wajah Doni yang sebelumnya cengengesan kali berubah menjadi lebih tegang, senyumnya hilang.

“Bangsat! Udah berani Kamu ya sekarang!”

“Lepas! Tol…Eeemmphh!!!”

Doni langsung membekap mulutku dengan kasar sebelum akhirnya menyeret tubuhku ke dalam pos satpam. Aku berusaha untuk memberontak dan meronta-ronta namun kekuatan fisik Doni sama sekali bukan tandinganku. Ketika sudah berada di dalam pos, Doni membawaku menuju bagian belakang ruangan yang memiliki sekat kayu hingga tak akan terlihat dari luar. Di bilik berukuran kecil itu terdapat kasur lipat lusuh, Aku melirik sesaat ke arah Doni sebelum dia akhirnya mendorong tubuhku hingga tersungkur di atas kasur.

“Mau ngapain Kamu?!” Tanyaku panik, apalagi saat melihat Doni mulai membuka kancing sergamnya satu persatu. Matanya menyorot tajam ke arahku, Aku tau situasi sedang tidak baik-baik saja saat ini.

“Tolong!!! Tolongg!!!” Teriakku histeris.

“Diam! Atau Aku bunuh sekarang juga! Mau?! Hah?!” Doni mengeluarkan sebuah badik berukuran kecil dari balik pinggangnya dan langsung mengarahkan ujung senjata tajam itu ke arahku. Dadaku berdesir kencang, tubuhku langsung kaku karena ketakutan.

“Pinter…Tugasmu sekarang cuma nurutin apa mauku. Nggak akan lama kok, hehehhehe.”

Doni meletakkan badik di atas meja kecil yang bersebrangan dengan tepi kasur. Dia terus melanjutkan aksinya melepas kancing seragamnya lalu menyusul kemudian melepas celana yang dikenakannya hingga akhirnya tubuhnya telah telanjang bulat di hadapanku. Ini pertama kalinya dalam hidup Aku menyaksikan tubuh polos seorang pria secara langsung. Bibirku kelu tak bisa mengeluarkan suara, tak tau harus berbuat apalagi untuk selamat dari cengkraman Doni.

Perlahan dia mulai mendekatiku, Aku masih berusaha untuk menghindar tapi di dalam ruangan sesempit ini usaha seperti apalagi yang bisa Aku lakukan untuk menghindari Doni? Dengan kasar dia merangsek maju, menjamah pakaian kerjaku, menariknya hingga wajah Kami saling berdekatan. Senyum menakutkan itu kembali muncul di wajahnya, senyum seorang pembully di masa mudaku.

“Aku begitu menginginkanmu sejak dulu Yun…” Desis Doni lirih.

Pikiranku kacau secara tiba-tiba. Bagaimana mungkin seorang badboy semasa SMA bisa mengatakan itu kepadaku yang sedari dulu jadi korban bullyannya? Apalagi dulu semasa SMA Doni adalah salah satu cowok yang begitu banyak memiliki penggemar. Meskipun terlihat urakan, tapi secara fisik harus Aku akui dia cukup menarik kala itu. Maka tak heran jika masa mudanya di bangku sekolah, Doni sering berganti-ganti pacar. Badboy dan playboy, dua kombinasi yang cukup membuat namanya terkenal di SMA kami.

Lalu bandingkan dengan Aku yang selalu menjadi objek perundungan? Tubuhku besar dan cenderung gendut, dengan tinggi badan sekitar 155 sentimeter, namun berat badanku saat itu sudah menyentuh angka 80 kilogram! Aku bak atlet sumo di tengah arena pertandingan! Aku sama sekali tak populer, nyaris tak punya teman atau bahkan sahabat dekat  karena semua orang menjauhiku agar tak menjadi sasaran bullying berikutnya. Maka yang diucapkan Doni saat ini jika dia tertarik kepadaku apakah hanya sebuah omong kosong belaka atau….

“Eeeeemmcchh!!!! Lepaas…!! Eeemcchhh!!!”

Doni berusaha untuk mencium bibirku, kepalanya bergerak liar merangsek maju, dia gunakan kekuatan tubuhnya yang kekar untuk mendorongku hingga jatuh terlentang di atas kasur lipat. Aku berusaha untuk memberontak namun sekali lagi, kekuatan fisik Doni bukan tandinganku. Pada akhirnya Aku hanya bisa menutup mata dan mulai merasakan sapuan hangat lidahnya yang basah pada permukaan bibirku.

“Eeemcchhhhhh….”

Seumur hidup Aku belum pernah berciuman dengan lelaki manapun, kalaupun punya keinginan cabul seperti itu Aku tak menginginkan prosesnya seperti ini. Dipaksa dan terpaksa.

“Buka bibirmu Yun…”

Aku bisa merasakan hembusan nafas Doni yang memburu, sementara di bawah sana Aku juga bisa menyaksikan batang penisnya sudah berdiri tegak, panjang dan berotot. Mengerikan. Doni kembali mengarahkan bibirnya pada bibirku, kali ini jauh lebih lembut dan sama sekali tidak kasar seperti sebelumnya. Doni mengecup bibir bawahku dengan sapuan lidah yang mengular binal di sepanjang permukaan. Desis perlahan mulai terdengar dari bibirku kala celahnya sedikit demi sedikit mulai terbuka.

Doni pasti sudah begitu ahli mencumbui bibir setiap gadis sejak dulu, maka kesempatan itu langsung dimanfaatkannya untuk memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Lidah kami bertemu, reflek Aku menyambut pagutan bibirnya, meraih baluran air liurnya bersamaan dengan tautan lidah Kami berdua.

“Aaaccchhh……”

Lenguh manjaku terdengar cukup sexy, Aku bahkan sampai heran kenapa bisa sampai seperti ini. Lambat tapi pasti permainan lidah Doni membuat sensasi berbeda dalam diriku yang bisa dibilang begitu polos untuk urusan sex. Gejolak aneh itu tiba-tiba muncul begitu saja tanpa bisa Aku cegah. Apalagi kini tangan gempal Doni turun menyusuri payudaraku yang masih terbungkus pakaian kerja.

“Kamu tau, dari dulu Aku selalu membayangkan bisa menjamah payudaramu yang besar ini…” Desis Doni sesaat setelah melepas pagutan bibirnya.

Darahku berdesir kencang, tangan Doni mulai meremas gemas kedua payudaraku dan kembali memagut bibirku dengan mesra. Lidahnya menari-nari untuk kesekian kali di antara celah bibirku, Aku menyambutnya tanpa perlawanan. Ya, kami berdua akhirnya saling berciuman tanpa paksaan. Deru nafas saling bertarung dengan deburan nafsu yang makin bergemuruh dalam dada. Aku mulai bisa merasakan kelincahan jarinya beraksi mempreteli kancing kemeja kerjaku satu persatu. Aku sama sekali tak melawan, Aku biarkan Doni melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang pejantan yang sudah diburu nafsu.

“Waahh!!! Gila gede banget!!” Pekik Doni saat kemejaku telah lolos seluruhnya menyisakan BH warna hitam yang terlihat tak muat menampung payudara jumboku.

Aksi Doni tak berhenti sampai disitu saja, karena selanjutnya dia mulai melepas pengait rok panjang yang Aku kenakan. Aku hanya bisa menggigit bibirku sendiri kala satu persatu pakainku tanggal meninggalkan tubuh. Dengus nafas Doni makin tak karuan saat kubiarkan dia mulai meloloskan celana dalamku kemudian menyusul BH ku. Kini untuk pertama kalinya dalam hidup tubuhku yang telah telanjang bulat bisa disaksikan oleh mata seorang lelaki.

“Sempurna….” Desis Doni dengan tatapan jalangnya.

Kenapa tubuhku jadi kaku seperti ini? Aku seperti tak punya daya untuk kembali memberontak. Isi kepalaku mengatakan jika semua ini salah, apa yang dilakukan oleh Doni adalah tindakan amoral yang harus Aku tolak sekuat tenaga. Tapi dalam hati kecilku mengatakan sebaliknya, Aku ingin merasakan cumbuan Doni. Tubuhku yang selama ini selalu dijadikan bahan ejekan karena gendut dan besar menagih untuk segera disenggamai.

“Aaaachhhhh….”

Lenguhku kembali terdengar ketika jemari kasar Doni menyusuri permukaan kulit di pahaku. Merayap pelan, menimbulkan sensasi geli luar biasa. Oh Tuhan, kenapa ini begitu nikmat sekali?

“Aku ingin memuaskanmu Yun…” Bisik Doni, Aku hanya terdiam, tak bisakah dia segera melakukannya tanpa perlu mengeluarkan baris kata yang membuat kepalaku semakin pusing?

“Eemmmmmmcchhhhh…”

Jemarinya menyibak rerimbunan bulu kemaluanku yang tercukur rapi, sedikit basah dan lembab. Aku bisa merasakan ujung jarinya mulai menguak lipatan vaginaku kemudian berlanjut dengan gerakan menggesek pelan. Makin lama gerakan itu makin cepat, tubuhku belingsatan menahan sensasi geli sekaligus rasa aneh yang menjalari seluruh tubuhku untuk pertama kalinya.

“Eeecchhh…! Mau ngapain Don?!” Ditengah-tengah perasaan campur aduk tiba-tiba Aku melihat kepala Doni merunduk dan langsung merangsek menuju liang senggamaku.

“Ssssstttt…Nikmatin aja, ini bakal lebih enak daripada cuma dikobel doang.” Ujar Doni.

“Ouuuuchhhh!! Doonnnn…!!”

Tanpa rasa jijik sedikitpun Doni langsung menjilati permukaan vaginaku yang sudah basah sejak tadi, makin basah kutup ketika liurnya ikut menempel di sana. Aku bahkan sampai harus mencengkram permukaan kasur untuk menahan tubuhku agar tak meledak saat itu juga. Doni benar-benar menjadi pengalaman sexku yang pertama dan terliar, lidahnya menari-nari, menjilat, mengecap bahkan tanpa sungkan juga menciumi seluruh area kewanitaanku. Saking nikmatnya, pinggulku berkali-kali terangkat dengan sendirinya untuk merespon jilatan Doni.

“Aaacchhh! Doni!!! Aaachh!!!”

Doni makin beringas, kepalanya mendesak maju, mulut serta lidahnya buas memainkan vaginaku. Desahan serta lenguhan sudah tak terhitung berapa kali keluar dari dalam mulutku. Lalu tiba-tiba ledakan itu datang, sesuatu yang begitu sulit digambarkan dengan kata-kata menggelegak dari dalam tubuhku. Kedua tanganku mencengkram kepala Doni, menekannya lebih dalam sementara pinggul serta pantatku yang besar menarik ke atas, hingga akhirnya…

“AAARGGGGHHTTT!!!!! DOOONNNNN…!!!”

Vaginaku berkedut beberapa kali, wajah Doni basah kuyup karena semprotan cairan deras dari dalam vaginaku. Bukannya marah, tapi senyumnya lebar menyaksikanku kelelahan bukan main. Apakah ini yang dinamakn orgasme? Entahlah, tapi yang pasti tubuhku terasa seperti melayang, tulang serta sendi-sendi dalam tubuh juga terasa lepas dari tempatnya. Enak namun juga melelahkan.

“Gila! Banyak banget keluarnya!” Pekik Doni seolah tak percaya.

“Udah Don..Udah…Aku mohon biarkan Aku pulang sekarang.” Rengekku.

“Pulang? Enak aja, Aku belum dapat giliran nih.”

“Ka-Kamu mau apalagi Don..? Udah…Udah…”


Posting Komentar

0 Komentar