USTADZAHKU KEKASIHKU

 


GENRE : HIJAB EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 180 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY



PART 1

 

Mobil yang kukendarai berhenti di sebuah halaman parkir berukuran luas, di kanan kiri mobilku berjejer rapi beberapa mobil dan motor lain. Setelah mematikan mesin mobil, aku menatap spion dasbord, memandangi wajahku yang tertutup hijab, memastikan jika penampilanku tak ada yang salah. Aku menarik nafas dalam-dalam saat membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Dari tempat parkir aku bisa melihat dengan jelas pintu gerbang setinggi hampir dua meter, di atasnya terdapat lengkungan gapura bercat putih dengan tulisan besar “Cendekia Islamic Scholl”.

Hari ini adalah hari pertamaku datang sebagai seorang pengajar. Jika bukan karena pengaruh orang dalam yang tak lain adalah Om ku sendiri, Om Juna, aku tak mungkin bisa diterima di salah satu sekolah unggulan ini. Om Juna yang bertugas sebagai kepala tata usaha sebenarnya sudah berkali-kali menawariku posisi sebagai pembimbing konseling di sekolah ini, namun berkali pula aku menolaknya karena merasa sungkan.

Setelah mendapat gelar sarjana psikologi aku terus berupaya untuk mendapatkan pekerjaan dari usahaku sendiri, dari jerih payahku sendiri tanpa perlu mendapat bantuan dari orang lain. Tapi seperti yang kalian tau, jaman sekarang mencari pekerjaan sangatlah susah, terlebih untuk orang sepertiku, fresh graduated dan tanpa pengalaman kerja. Berbulan-bulan aku melamar pekerjaan di banyak tempat, dari mulai perusahaan nasional hingga berbagai macam lembaga pendidikan. Tapi tak ada satupun yang mau menerimaku sebagai karyawan, mentok aku hanya sampai di tes kesehatan.

Pada akhirnya idealisku harus kalah dengan tuntutan hidup. Aku tak tahan setiap hari ada saja tetangga yang dengan santainya menanyakan kesibukanku setelah lulus kuliah. Belum lagi sindiran halus dari para tanteku yang setiap datang ke rumah selalu membanggakan pekerjaan anak-anak mereka. Kedua orang tuaku sebenarnya tak pernah menuntutku untuk segera mendapat pekerjaan, mereka seolah telah memahami kesulitanku. Tapi, sebagai seorang anak, aku juga ingin membahagiakan mereka dengan mendapatkan pekerjaan yang layak. Maka daripada harus dicap sebagai seorang pengangguran, akhirnya aku memilih untuk menerima tawaran Om Juna.

Bangunan sekolah berlantai dua ini dominan bercat putih, terdapa tiga bangunan besar berbentuk leter U, di bagian depan terhampar lapangan basket yang aku yakin biasa digunakan juga untuk melaksanakan upacara karena di sisi luar lapangan terlihat podium beton yang bersebelahan dengan tiang pancang bendera. Dari tempat parkir aku bisa melihat  beberapa orang murid berseragam muslim berlarian menuju ruang kelas mereka masing-masing, nampaknya jam pertama pelajaran akan segera dimulai.

Jujur aku sedikit tegang saat mulai melangkahkan kakiku menuju gerbang sekolah. Maklum saja ini adalah hari pertamaku, namun kubulatkan tekad untuk menghadapinya. Seorang pria berperawakan tinggi besar dengan pakaian safari rapi keluar dari sebuah ruangan kecil dekat gerbang. Meskipun wajahnya sangar tapi senyum mengembang di wajahnya menyambut kedatanganku.

“Selamat pagi Bu, ada yang bisa dibantu?” Sapanya ramah serya menganggukkan kepala padaku.

“Selamat pagi Pak, perkenalakan saya Arum, saya guru BK yang baru.” Ucapku memperkenalkan diri.

“Oh iya, keponakan Pak Juna ya?”

“Iya betul Pak.”

“Baik, mari saya antar ke ruang kepala sekolah, Pak Anwar tadi sudah berpesan kalau Ibu Arum datang, beliau ingin bertemu dengan Ibu dulu.” Ujar pria berbadan tegap itu.

“Terima kasih Pak.”

“Mari Bu.”

Aku lalu mengikuti langkah kaki pria yang akhirnya aku ketahui bernama Pak Hamdan tersebut. Pak Hamdan adalah salah satu petugas keamanan di sekolah ini, ada dua rekannya lagi yang belum datang. Di balik penampilannya yang gahar, rupanya Pak Hamdan adalah pria yang cukup ramah dan suka ngobrol.

Sepanjang langkah kaki kami menuju ruang kepala sekolah, Pak Hamdan menjelaskan padaku tentang sekolah ini. Mulai dari detail ruangan hingga komposisi pengajar yang kebanyakan berasal dari yayasan pendidikan An-Nur, yayasan induk dari “Cendekia Islamic Scholl”. Aku menyimak setiap informasi yang diberikan oelh Pak Hamdan sambil sesekali mengedarkan pandangan ke sekeliling, beberapa kali tatapan mataku bertemu dengan tatapan mata para siswa yang baru datang, ada di antara mereka yang sengaja tersenyum genit ke arahku. Aku mencoba untuk tetap tenang dan mengendalikan kegugupanku. Maklum, ini baru hari pertama, lain waktu pasti akan banyak siswa nakal yang harus aku hadapi.

“Sebelumnya Bu Arum sudah pernah mengajar di mana?” Tanya Pak Hamdan, bunyi bagian bawah sepatu kami bergesekan langsung dengan lantai marmer, menimbulkan bunyi yang memanjakan telingaku.

“Saya baru lulus kuliah Pak, ini pengalaman pertama saya.” Jawabku.

“Oh pantes, Bu Arum terlihat masih sangat muda. Hehehehe.” Ujar pria yang usianya kutaksir sekitar 40 tahunan ini dengan terkekeh.

“Terima kasih Pak, mungkin karena badan saya kecil juga.” Ujarku sembari tersenyum.

“Bu Arum nggak usah khawatir kalau ada siswa-siswa di sini iseng godain, maklum mereka kan ABG yang lagi masa pertumbuhan. Tapi kalau ada yang sampai keterlaluan, Bu Arum bilang aja ke saya, biar nanti saya yang beresin.” Ucap Pak Hamdan sekali lagi. Aku hanya mengangguk menanggapinya.

“Mereka jarang-jarang bisa bertemu dengan guru secantik Bu Arum, rata-rata pengajar di sini sudah sepuh semua Bu, hehehehehe..” Lanjut Pak Hamdan, akupun tertawa kecil mengagapi gurauannya.

Sebenarnya Om Juna beberapa hari yang lalu sudah menjelaskan akan hal ini padaku. Berada di sebuah sekolah khusus pria, mentalku memang harus teruji. Aku tidak boleh terlihat gugup atau mungkin takut, apalagi nanti tugas utamaku adalah memberi bimbingan konseling pada siswa-siswa yang bermasalah. Selang beberapa saat kami berdua berhenti di depan sebuah pintu berukuran besar. Di bagian atasnya tersemat tulisan “Ruang Kepala Sekolah”. Pak Hamdan mengetuk pintu itu beberapa kali sebelum kemudian membukanya perlahan.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam.”

Dari tempatku berdiri aku bisa melihat sosok pria tua dengan rambut penuh uban sedang duduk di belakang sebuah meja besar. Pria tua itu adalah Pak Anwar Hasinudin, kepala sekolah yang satu minggu lalu telah aku temui bersama Om Juna. Pak Anwar sudah mengabdi di sekolah ini puluhan tahun lamanya, karirnya dimulai dari seorang pengajar biasa hingga akhirnya sejak lima tahun yang lalu beliau mendapat mandat dari pimpinan yayasan untuk menjabat sebagai kepala sekolah.

“Permisi Pak, ini Bu Arum sudah datang.” Ujar Pak Hamdan. Aku menganggukkan kepala pada Pak Anwar yang tersenyum seraya melangkah menuju pintu.

“Ah iya, mari silahkan masuk Bu. Terima kasih ya Pak Hamdan.”

“Sama-sama Pak, saya permisi dulu kalau begitu. Mari Bu Arum.” Pak Hamdan meminta ijin untuk kembali ke pos jaga.

“Mari Pak, terima kasih sbelumnya.” Kataku.

“Sama-sama Bu.” Pak Hamdan akhirnya melangkah pergi, sekilas kupandangi punggungnya menjauh kemudian menghilang setelah dia berbelok langkah menuju bagian depan sekolah.

“Ayo silahkan duduk Bu Arum.” Pak Anwar mempersilahkanku untuk masuk ke ruang kerjanya. Satu set sofa premium warna maroon berada di dekat meja kerja, di depannya terdapat meja kaca berukuran kecil dengan hiasan vas bunga bercorak warna warni. Aku meletakkan tubuhku di sofa itu, berhadap-hadapan langsung dengan Pak Anwar.

“Gimana perjalanannya Bu? Macet kah?” Tanya Pak Anwar.

“Alhamdulillah lancar kok Pak.” Jawabku.

“Syukurlah kalau begitu. Oh ya, Bu Arum mau minum apa?” Tawarnya ramah.

“Nggak usah repot-repot Pak, kebetulan hari ini saya sedang puasa.” Tolakku halus. Pak Anwar kembali tersenyum seraya menatap wajahku.

“Benar kata Pak Juna, selain cantik, Bu Arum juga soleha.” Pujinya, tak terbiasa menerima pujian dari orang lain, mendengar itu sampai membuatku tertunduk malu.

“Oh ya saya sampai lupa, ini silahkan dibaca dulu Bu. Itu adalah silabus kurikulum pengajaran di sekolah kita untuk satu semester ke depan.” Pak Anwar menyerahkan satu map berwarna biru, di dalamnya terdapat beberapa lembar kertas dengan berbagai macam diagram dan tabel pengajaran. Aku membolak-balik kertas itu beberapa saat sembari mencoba memahami isi silabus tersebut.

“Mungkin tadi Pak Juna sedikit banyak sudah bercerita tentang sekolah kita ini.” Pak Anwar menghela nafas panjang, seolah mencari momen terbaik untuk melanjutkan kalimatnya. Aku kembali meletakkan map biru di atas meja, pandanganku terfokus pada sosok pria tua di hadapanku.

“SMA Cendekia adalah sekolah khusus untuk pria. Jadi nanti yang Bu Arum hadapi adalah remaja pria yang beranjak dewasa, saya harap Bu Arum bisa segera beradaptasi dengan hal ini.” Lanjutnya.

“Saya akan berusaha sebaik mungkin Pak. Mohon bimbingannya.” Sahutku.

“Saya yakin Bu Arum bisa, apalagi dengan background pendidikan yang Bu Arum miliki rasanya bukan hal sulit untuk mengatasi masalah-masalah remaja pria.”

“Semoga saja begitu Pak, saya tidak bisa menjanjikan banyak hal. Tapi yang pasti, saya akan bekerja sebaik mungkin.” Ujarku.

Selagi kami berdua ngobrol, pintu ruang kerja Pak Anwar kembali terketuk. Seorang wanita berusia 35 tahunan, meskipun usianya jauh diatasku namun dari sisi penampilannya wanita ini tak kalah denganku. Sepatu hells tinggi dipadu celana kain yang cukup ketat membuat tubuhnya yang bahenol tercetak jelas. Bagian atas tubuhnya tertutup pasmina cerah dan tunik berwarna senada. Wajahnya yang cantik terias make up tipis, senyum mengembang di bibirnya yang tersapu lipstik.

“Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam.” Aku dan Pak Anwar menjawab nyaris bersamaan. Wanita itu berjalan mendekatiku kemudian mengulurkan tangannya.

“Halo, kenalkan saya Zaenab, guru BK di sekolah ini.” Ujarnya memperkenalkan dirinya padaku. Kami bersalaman.

“Saya Arum.”

“Ayo silahkan duduk.” Pak Anwar mempersilahkan Bu Zaenab untuk ikut duduk di sofa.

“Bu Zaenab ini salah satu guru BK di sini, satu lagi ada Dion. Tapi seperti yang Bu Arum tau, Dion untuk tiga bulan ke depan tidak bisa menjalankan tugasnya karena harus menyelesaikan tesisnya di luar negeri.” Ujar Pak Anwar.

“Untuk beberapa hari ke depan kalo ada kesulitan, Bu Arum bisa menanyakannya pada Bu Zaenab. Bisa kan Bu?” Lanjut Pak Anwar seraya mengarahkan pandangannya pada Bu Zaenab yang duduk di sebelahku.

“Insyaallah saya akan membantu Bu Arum Pak. Saya juga seneng akhirnya ada yang bantu setelah Dion absen. Terima kasih ya Bu.” Ucap Bu Zaenab ramah padaku.

“Saya yang harusnya terima kasih karena diterima di sini.” Balasku.

“Ya sudah kalo begitu, selamat bekerja Bu Arum. Semoga betah di SMA Cendekia.” Pak Anwar menyalamiku.

“Terima kasih Pak.”

 

***

           

Ruang kerjaku terpisah dari ruang guru lainnya. Aku dan Bu Zaenab bertugas di lantai dua gedung 3, bersebelahan langsung dengan perpustakaan sekolah. Aku tak tau kenapa ruang bimbingan konseling justru diletakkan di bagian ujung gedung yang nyaris tak pernah menarik perhatian para siswa. Di dalam ruang kerjaku selain terdapat dua meja kerja untuk para pembimbing konseling, juga terdapat satu ruangan lain yang biasa digunakan untuk sesi wawancara bagi para siswa yang bermasalah. Ruangan itu berukuran 3x4 meter dengan sekat kaca bening sehingga bisa dilihat dari luar ruangan.

            Hari pertamaku bekerja sebagai pembimbing konseling lebih banyak aku habiskan untuk mengorek informasi sebanyak mungkin dari Bu Zubaedah mengenai SMA Cendekia. Wanita bertubuh sintal itu hampir sama dengan Pak Hamdan, dia begitu ramah dan suka bercerita. Bedanya, Bu Zubaedah sedikit lebih “terbuka” dalam hal menceritakan sesuatu.

            Aku sempat terkejut saat dengan entengnya dia menceritakan beberapa skandal percintaan yang melibatkan beberapa guru di sekolah ini. Bu Zubaedah seolah tanpa beban mengumbar aib padaku, orang yang baru dikenalnya hari ini. Mungkin inilah dunia kerja sesungguhnya, aku harus segera mudah beradaptasi di tempat ini. Bu Zubaedah terang-terangan dirinya pernah menjalin hubungan terlarang dengan Pak Hamdan beberapa tahun silam. Hubungan tersebut akhirnya harus berakhir karena ketauan oleh istri Pak Hamdan yang memergoki mereka berdua baru keluar dari hotel melati di pusat kota.

            Aku bak bocah polos yang tak tau apa-apa saat Bu Zubaedah begitu gamblang menceritakan tiap detail hubungan terlarang mereka, bahkan sampai detail hubungan badan mereka. Wanita bertubuh sintal itu mengatakan tak hanya badannya saja yang tinggi besar, Pak Hamdan juga memiliki batang kemaluan yang luar biasa besar. Berkali-kali aku mengucap dzikir dalam hati saat wanita yang jauh lebih tua dariku itu dengan penuh semangat menceritakan masa lalunya dengan Pak Hamdan.

            Tentu aku tak hanya mendapatkan informasi seputar skandal-skandal para guru di sini, Bu Zubaedah juga menceritakan tentang kondisi para murid. Sebagian besar para murid di sini berasal dari keluarga berada, aku tak heran karena SMA Cendekia memang dari dulu terkenal sebagai salah satu sekolah unggulan dan eksklusif diibanding sekolah-sekolah lain. Selama Bu Zubaedah menjadi pembimbing konseling nyaris tak pernah ada permaslahan serius yang dihadapi oleh para siswa. Kebanyakan mereka yang datang menghadap karena masalah kenakalan biasa seperti ketauan merokok atau sering bolos.

            “Kita kerjanya santai kok di sini, jadi ustadzah Arum nggak perlu tegang.”

            “Hah? Ustadzah?” Kataku tak bisa menyembunyikan keterkejutan setelah mendengar panggilan baru yang diberikan oleh Bu Zubaedah padaku.

            “Loh, Pak Anwar memangnya belum bilang ya kalo semua guru di sini akan dipanggil ustadzah oleh para siswa.” Ujar wanita cantik itu. Aku menggeleng lemah.

            “Kamu nanti akan terbiasa kok, tenang aja. Lagipula menurutku panggilan ustadzah terdengar seksi di telinga. Hihihihi…” Ucap Bu Zubaedah sembari tertawa genit. Aku tak tau maksudnya, yang bisa aku lakukan hanyalah memaksakan senyum di bibirku.

            Hari pertamaku bertugas di SMA Cendekia pada akhirnya hanya berada di ruang kerja dan mendengarkan semua celoteh dari Bu Zubaedah. Tak ada satupun siswa yang datang untuk berkonsultasi, kalau sampai akhir semester akan seperti ini, sepertinya aku akan betah, kapan lagi dapat pekerjaan sesantai ini? Aku hanya perlu beradaptasi lagi menerima kevulgaran Bu Zubaedah dalam bercerita, bukan hal sulit menurutku.


PART 2

 

Tak terasa aku sudah seminggu menjadi pembimbing konseling di SMA Cendekia. Selama itu pula belum ada stupun siswa yang mendatangiku untuk berkonsultasi secara pribadi. Satu-satunya kasus yang sempat aku tangani adalah saat tiga hari lalu Pak Hamdan datang ke ruang kerja dengan membawa dua orang murid yang ketauan melompati pagar sekolah karena datang terlambat. Dion dan Raka, dua nama murid itu.

Dion Hanggara, siswa kelas 12 IPA memang terkenal sejak dulu sebagai salah satu siswa yang sering melakukan pelanggaran. Dari mulai bolos sekolah hingga ketauan merokok di kantin. Bukan jenis pelanggaran berat memang, tapi Dion seringkali keluar masuk ruang bimbingan konseling karena hal tersebut. Bahkan Bu Zubaedah menjuluki siswa tersebut dengan panggilan pelanggan tetap.

Dari profil yang aku baca, Dion berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya adalah salah satu pengusaha batubara sukses, sementara Ibunya adalah seorang diplomat yang sering pergi ke luar negeri untuk menjalankan tugas negara. Karena karier yang cemerlang tersebut, kedua orang tua Dion seringkali meninggalkan pemuda itu di rumah seorang diri. Tak banyak kasih sayang yang dia dapatkan karena kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku menduga salah satu penyebab kenakalan Dion selama ini adalah bentuk aktualisasi dirinya yang mengharapkan perhatian dari orang terdekat.

Berbeda dengan Dion, Raka sebenarnya tak pernah punya rekam jejak pelanggaran di sekolah selama ini. Teman satu kelas Dion itu baru kali ini kedapatan melakukan pelanggaran. Aku menduga hari itu dia hanya berda di tempat dan waktu yang salah saja. Apalagi dari profil dan laporan akademik yang aku baca, Raka adalah salah satu siswa berprestasi di sekolah ini. Beberapa kali Raka mewakili SMA Cendekia dalam olimpiade sains. Hari itu aku hanya memberikan beberapa motivasi pada Dion dan Raka untuk segera membenahi perilaku mereka, khususnya pada Dion.

Hari ini seperti biasa, aku hanya menghabiskan waktu di ruang kerja bersama Bu Zubaedah. Janda satu anak itu kali ini menceritakan bagaimana Pak Hamdan kembali mencoba mendekati dirinya. Tak seperti dulu waktu awal bertemu, aku mulai bisa menikmati cerita rekan kerjaku itu. Entah kenapa aku jadi tertarik saat menyimak cerita-cerita vulgar Bu Zubaedah tentang Pak Hamdan.

“Nih liat Rum, masa kemarin malam Pak Hamdan ngirimin aku foto kayak gini.” Ujar Bu Zubaedah seraya menunjukkan salah satu isi galery di ponselnya padaku.

“Astagfirullah!!” Pekikku terdengar cukup keras.

Di layar ponselnya bisa kulihat dengan jelas foto telanjang Pak Hamdan. Petugas keamanan sekolah itu bahkan sengaja berpose sembari memamerkan alat vitalnya yang mengeras. Buru-buru aku mengalihkan pandangan mataku, melihat responku yang seperti itu Bu Zubaedah justru tertawa terpingkal-pingkal.

“Kamu kenapa sih Rum? Kok kayak liat hantu aja. Hahahahaha!” Perasaanku saat ini jadi tak karuan, kombinasi antara shock dan exited bercampur menjadi satu. Bu  Zubaedah menyingkirkan ponselnya dariku, wanita bertubuh sintal itu kemudian mendekatiku.

“Maaf ya Rum, aku cuma becanda. Tapi responmu itu loh yang bikin makin lucu.” Ujarnya.

“Iya Bu, nggak apa-apa. Saya nggak terbiasa liat yang kayak gitu-gitu.” Sahutku sedikit kesal.

“Hah serius? Kamu belum pernah lihat foto cowok telanjang?” Tanya Bu Zubaedah penasaran, aku menggeleng pelan.

“Nonton film bokep?” Tanyanya sekali lagi, aku kembali menggelengkan kepalaku.

“Ya Allah, kamu hidup dimana sih Rum selama ini???” Belum sempat aku menjawab pertanyaan Bu Zubaedah, dari pintu

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam…” Aku dan Bu Zubaedah menjawab salam nyaris secara bersamaan.

Kami berdua melihat Pak Hamdan sudah berdiri di depan pintu bersama Dion. Aku terhenyak untuk beberapa saat, apalagi saat tak sengaja bertatapan langsung dengan Pak Hamdan. Baru beberapa saat lalu aku menyaksikan foto bugilnya di ponsel Bu Zubaedah dan sekarang petugas kemanan itu sudah ada di ruang kerjaku. Bu Zubaedah beranjak dari duduknya dan menghampiri Pak Hamdan, sementara aku masih duduk di kursi kerja sembari mencoba menenangkan diri.

“Dion lagi…Dion lagi…Ayo masuk dulu. Bikin ulah apalagi dia?” Tanya Bu Zubaedah.

“Biasa, ketauan merokok lagi di kantin.” Jawab Pak Hamdan seraya menyerahkan sebungkus rokok pada Bu Zubaedah.

“Rum, sekarang tugasmu ya? Aku udah bosen ketemu anak ini lagi.”

“Ba-Baik Bu..Eh..Ustadzah..” Sahutku tergugup sedikit. Karena adanya Dion, aku harus mengubah panggilanku pada Bu Zubaidah dengan sebutan ustadzah. Siswa 12 IPA itu melangkah pelan menuju meja kerjaku, kepalanya tertunduk dengan raut wajah datar.

“Rum aku tinggal dulu ya.” Ujar Bu Zubaedah sembari mengerlingkan matanya padaku, Pak Hamdan yang berdiri di sampingnya juga mengangguk ramah ke arahku.

“Loh mau kemana ustadzah?”

“Ada yang harus aku urus dengan Pak Hamdan. Penting, hihihihi…” Tanpa menunggu lagi wanita bertubuh sintal itu kemudian melangkah pergi meninggalkan aku bersama Dion di ruang konseling. Aku hanya melongo saat punggungnya menghilang dari pandangan. Entah kenapa firasatku mengatakan jika dua orang itu akan melakukan hal yang tak senonoh. Ah, kenapa pula dengan isi kepalaku ini?

“Silahkan duduk Dion.” Siswa itu duduk tenang di hadapanku, kepalanya masih tertunduk sama sekali tak berani menatapku.

“Ini kedua kalinya dalam minggu ini kamu harus menemui saya lagi. Kali ini pelanggaranmu lebih berat Dion. Kamu tau kan kalau merokok itu akan merugikan kesehatanmu sendiri? Apalagi ini kamu lakukan di lingkungan sekolah, akan jadi contoh buruk buat teman-temanmu yang lain.” Kataku panjang lebar. Dion masih tertunduk lesu.

“Lihat ustadzah kalo sedang bicara.” Kataku dengan nada yang lebih tinggi. Kali ini Dion sigap mengangkat kepalanya.

“Maafkan saya ustadzah.” Ujarnya pelan.

“Sekarang lihat ini…” Aku menunjukkan selembar kertas pada Dion, kertas tersebut menunjukkan beberapa poin pelanggaran yang telah dilakukan oleh Dion dalam satu semester terakhir.

“Kamu sudah melakukan banyak pelanggaran Dion, dan ini akan mempengaruhi kelulusanmu nantinya. Kamu tau kan kalo di sekolah ini syarat kelulusan bukan hanya dilihat dari nilai akademik saja, tapi juga perilakumu juga.” Dion hanya terdiam mendengarkanku.

“Kalo kamu tidak mau berubah mulai sekarang, ustadzah akan merekomendasikan untuk memanggil orang tuamu ke sekolah.” Kataku lagi, raut wajah Dion seketika berubah, ada semacam kepanikan di sana.

“Ja-Jangan ustadzah…Saya berjanji nggak akan mengulanginya lagi.” Ucapnya.

“Saya nggak butuh janjimu Dion, tapi ustadzah pengen lihat buktinya langsung.” Dion menarik nafas dalam-dalam, dan aku tahu dari ekspresi wajahnya bahwa dia sedang berpikir apakah dia perlu mengutarakan sesuatu padaku atau tidak. Ada keraguan di wajahnya.

“Kamu ada masalah apa Dion? Ustadzah pengen kamu jujur.” Tanyaku, sengaja kutekan suaraku sedalam mungkin untuk memberi kesan serius padanya. Gerak tubuh Dion menjadi lebih gelisah.

“Kamu jangan khawatir, ustadzah tidak akan menceritakannya pada orang lain. Kamu bisa percaya pada ustadzah.” Kataku mencoba meyakinkannya. Dion kemudian mengangkat kepalanya, kami saling bertatapan untuk beberapa saat, entah kenapa pipiku sedikit terasa sedikit hangat menerima pandangan itu.

“Se-Sebenarnya saya punya masalah yang cukup berat, tapi saya bingung harus menceritakannya darimana karena ini berlangsung cukup lama.” Meskipun suaranya terdengar lirih tapi telingaku yang tertutup hijab panjang masih bisa mendengarnya.

“Oke, ustadzah akan mendengarkannya. Ceritakan Dion, kamu ada masalah apa?” Kataku, Dion menarik nafas dalam kembali sebelum kemudian mengangkat kepalanya, kami kembali bertatapan mata.

“Sa-Saya kecanduan nonton film bokep dan onani…” Kata Dion perlahan, Aku terhenyak, bahkan mungkin Dion bisa melihat perubahan raut wajahku yang smeula tenang menjadi kembali tegang seperti halnya saat tadi aku ditunjukkan foto bugil Pak Hamdan. Gila! Aku harus segera menguasai diriku sekarang juga!

Kali ini giliranku yang menarik nafas dalam-dalam, raut wajahku sedikit berubah menjadi sedikit memerah, sama sekali tidak menyangka jika Dion akan mengutarakan masalahnya seperti ini. Di dalam kepalaku berputar beribu argumen untuk memcahkan masalah tersebut dan tentu saja menyembunyikan kegugupanku di hadapan bocah kelas 12 IPA tersebut.

“Oke, kalau ustadzah boleh tau, bagaimana awalnya kamu bisa kecanduan seperti itu?” Tanyaku, sebagai seorang pembimbing konseling aku harus mengetahui akar masalahnya terlebih dahulu. Dion kembali menundukkan kepalanya ke bawah.

“Dari teman, saya diajak nonton teman.”  Jawab Dion, suaranya kembali terdengar lirih. Aku yakin dia juga merasa tak nyaman saat meceritakan hal ini padaku. Tapi aku tidak boleh membiarkannya berlarut-larut, aku harus bisa menumbuhkan kepercayaan dalam dirinya dan mau terbuka kepadaku.

“Teman sekolah?” Tanyaku menyelidik.

“Bukan ustadzah, temen main di rumah.” Jawabnya. Aku mulai bisa mengambil kesimpulan dari akar masalah Dion, remaja ini bisa saja salah memilih pergaulan hingga menyebabkannya menjadi kecanduan melihat video mesum dan onani.

“Kalian dekat?” Tanyaku lagi kembali mengorek informasi. Dion menggeleng pelan.

“Nggak ustadzah, dia sekarang sudah tinggal di luar kota karena kuliah.” Ujarnya.

Ah, satu poin lagi yang aku dapatkan. Rupanya tak hanya salah pergaulan, Dion juga bergaul dengan orang yang usianya jauh lebih tua dibanding dengan dirinya. Ini bisa saja membawa pengaruh buruk bagi anak ini dan memang sudah terbukti. Jujur, sebenarnya sejak dulu aku tak pernah sekalipun melihat film vulgar seperti halnya yang Dion lakukan, maka aku menghindari pertanyaan tentang film-film tersebut, itu hanya akan menunjukkan kepolosanku sebagai wanita yang usianya jauh lebih dewasa dibanding dirinya.

“Lalu sekarang ustadzah mau tanya, seberapa sering melakukannya?” Tanyaku kembali, kali ini Dion kembali mengangkat kepalanya, mata kami kembali saling bertatapan dan entah kenapa aku merasa tatapan matanya seperti sedang menjelajahi tubuhku.

“Nonton film bokepnya atau…”

“Dua-duanya.” Kataku memotong ucapan Dion.

“Ehm…Hampir setiap hari ustadzah. Kalau saya ada di kamar sendirian , saya pasti nonton bokep sambil onani. Setiap hari saya lakukan itu, bisa dua hingga tiga kali saya melakaunnya setiap hari.” Jawabnya perlahan. Aku kembali terhenyak, apakah ini juga sebab Dion jadi begitu sering melakukan pelanggaran di sekolah? Dion jadi tak terkontrol saat nafsunya tak bisa lagi dia tahan?

“Apa yang terjadi kalau kamu tidak melakukannya sehari saja?” Tanyaku penasaran.

“Emosi saya jadi tidak stabil, saya gampang uring-uringan, dan….” Dion mengambil jeda, matanya kembali menatapku, kali ini pandangannya jadi lebih berbeda dari sebelumnya.

“Dan apa Dion?” Tanyaku kembali.

“Dan saya akan jadi horni sekali, seperti sekarang.”

“Maksudnya?” Dion menatap wajahku lekat-lekat, seutas senyum tersungging di bibirnya.

“Saya ingin onani di depan ustadzah Arum…”


ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


Posting Komentar

0 Komentar