USTADZAHKU KEKASIHKU
PART 1
Mobil yang kukendarai berhenti di
sebuah halaman parkir berukuran luas, di kanan kiri mobilku berjejer rapi
beberapa mobil dan motor lain. Setelah mematikan mesin mobil, aku menatap spion
dasbord, memandangi wajahku yang tertutup hijab, memastikan jika penampilanku
tak ada yang salah. Aku menarik nafas dalam-dalam saat membuka pintu mobil dan
melangkah keluar. Dari tempat parkir aku bisa melihat dengan jelas pintu
gerbang setinggi hampir dua meter, di atasnya terdapat lengkungan gapura bercat
putih dengan tulisan besar “Cendekia Islamic Scholl”.
Hari ini adalah hari pertamaku datang
sebagai seorang pengajar. Jika bukan karena pengaruh orang dalam yang tak lain
adalah Om ku sendiri, Om Juna, aku tak mungkin bisa diterima di salah satu
sekolah unggulan ini. Om Juna yang bertugas sebagai kepala tata usaha
sebenarnya sudah berkali-kali menawariku posisi sebagai pembimbing konseling di
sekolah ini, namun berkali pula aku menolaknya karena merasa sungkan.
Setelah mendapat gelar sarjana
psikologi aku terus berupaya untuk mendapatkan pekerjaan dari usahaku sendiri,
dari jerih payahku sendiri tanpa perlu mendapat bantuan dari orang lain. Tapi seperti
yang kalian tau, jaman sekarang mencari pekerjaan sangatlah susah, terlebih
untuk orang sepertiku, fresh graduated dan tanpa pengalaman kerja.
Berbulan-bulan aku melamar pekerjaan di banyak tempat, dari mulai perusahaan
nasional hingga berbagai macam lembaga pendidikan. Tapi tak ada satupun yang
mau menerimaku sebagai karyawan, mentok aku hanya sampai di tes kesehatan.
Pada akhirnya idealisku harus kalah
dengan tuntutan hidup. Aku tak tahan setiap hari ada saja tetangga yang dengan
santainya menanyakan kesibukanku setelah lulus kuliah. Belum lagi sindiran
halus dari para tanteku yang setiap datang ke rumah selalu membanggakan
pekerjaan anak-anak mereka. Kedua orang tuaku sebenarnya tak pernah menuntutku
untuk segera mendapat pekerjaan, mereka seolah telah memahami kesulitanku.
Tapi, sebagai seorang anak, aku juga ingin membahagiakan mereka dengan
mendapatkan pekerjaan yang layak. Maka daripada harus dicap sebagai seorang
pengangguran, akhirnya aku memilih untuk menerima tawaran Om Juna.
Bangunan sekolah berlantai dua ini
dominan bercat putih, terdapa tiga bangunan besar berbentuk leter U, di bagian
depan terhampar lapangan basket yang aku yakin biasa digunakan juga untuk
melaksanakan upacara karena di sisi luar lapangan terlihat podium beton yang
bersebelahan dengan tiang pancang bendera. Dari tempat parkir aku bisa
melihat beberapa orang murid berseragam
muslim berlarian menuju ruang kelas mereka masing-masing, nampaknya jam pertama
pelajaran akan segera dimulai.
Jujur aku sedikit tegang saat mulai
melangkahkan kakiku menuju gerbang sekolah. Maklum saja ini adalah hari
pertamaku, namun kubulatkan tekad untuk menghadapinya. Seorang pria
berperawakan tinggi besar dengan pakaian safari rapi keluar dari sebuah ruangan
kecil dekat gerbang. Meskipun wajahnya sangar tapi senyum mengembang di
wajahnya menyambut kedatanganku.
“Selamat pagi Bu, ada yang bisa
dibantu?” Sapanya ramah serya menganggukkan kepala padaku.
“Selamat pagi Pak, perkenalakan saya
Arum, saya guru BK yang baru.” Ucapku memperkenalkan diri.
“Oh iya, keponakan Pak Juna ya?”
“Iya betul Pak.”
“Baik, mari saya antar ke ruang
kepala sekolah, Pak Anwar tadi sudah berpesan kalau Ibu Arum datang, beliau
ingin bertemu dengan Ibu dulu.” Ujar pria berbadan tegap itu.
“Terima kasih Pak.”
“Mari Bu.”
Aku lalu mengikuti langkah kaki pria
yang akhirnya aku ketahui bernama Pak Hamdan tersebut. Pak Hamdan adalah salah
satu petugas keamanan di sekolah ini, ada dua rekannya lagi yang belum datang.
Di balik penampilannya yang gahar, rupanya Pak Hamdan adalah pria yang cukup
ramah dan suka ngobrol.
Sepanjang langkah kaki kami menuju
ruang kepala sekolah, Pak Hamdan menjelaskan padaku tentang sekolah ini. Mulai
dari detail ruangan hingga komposisi pengajar yang kebanyakan berasal dari
yayasan pendidikan An-Nur, yayasan induk dari “Cendekia Islamic Scholl”. Aku
menyimak setiap informasi yang diberikan oelh Pak Hamdan sambil sesekali
mengedarkan pandangan ke sekeliling, beberapa kali tatapan mataku bertemu
dengan tatapan mata para siswa yang baru datang, ada di antara mereka yang
sengaja tersenyum genit ke arahku. Aku mencoba untuk tetap tenang dan
mengendalikan kegugupanku. Maklum, ini baru hari pertama, lain waktu pasti akan
banyak siswa nakal yang harus aku hadapi.
“Sebelumnya Bu Arum sudah pernah
mengajar di mana?” Tanya Pak Hamdan, bunyi bagian bawah sepatu kami bergesekan
langsung dengan lantai marmer, menimbulkan bunyi yang memanjakan telingaku.
“Saya baru lulus kuliah Pak, ini
pengalaman pertama saya.” Jawabku.
“Oh pantes, Bu Arum terlihat masih
sangat muda. Hehehehe.” Ujar pria yang usianya kutaksir sekitar 40 tahunan ini
dengan terkekeh.
“Terima kasih Pak, mungkin karena
badan saya kecil juga.” Ujarku sembari tersenyum.
“Bu Arum nggak usah khawatir kalau
ada siswa-siswa di sini iseng godain, maklum mereka kan ABG yang lagi masa
pertumbuhan. Tapi kalau ada yang sampai keterlaluan, Bu Arum bilang aja ke
saya, biar nanti saya yang beresin.” Ucap Pak Hamdan sekali lagi. Aku hanya
mengangguk menanggapinya.
“Mereka jarang-jarang bisa bertemu
dengan guru secantik Bu Arum, rata-rata pengajar di sini sudah sepuh semua Bu,
hehehehehe..” Lanjut Pak Hamdan, akupun tertawa kecil mengagapi gurauannya.
Sebenarnya Om Juna beberapa hari yang
lalu sudah menjelaskan akan hal ini padaku. Berada di sebuah sekolah khusus
pria, mentalku memang harus teruji. Aku tidak boleh terlihat gugup atau mungkin
takut, apalagi nanti tugas utamaku adalah memberi bimbingan konseling pada
siswa-siswa yang bermasalah. Selang beberapa saat kami berdua berhenti di depan
sebuah pintu berukuran besar. Di bagian atasnya tersemat tulisan “Ruang Kepala
Sekolah”. Pak Hamdan mengetuk pintu itu beberapa kali sebelum kemudian
membukanya perlahan.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam.”
Dari tempatku berdiri aku bisa
melihat sosok pria tua dengan rambut penuh uban sedang duduk di belakang sebuah
meja besar. Pria tua itu adalah Pak Anwar Hasinudin, kepala sekolah yang satu
minggu lalu telah aku temui bersama Om Juna. Pak Anwar sudah mengabdi di
sekolah ini puluhan tahun lamanya, karirnya dimulai dari seorang pengajar biasa
hingga akhirnya sejak lima tahun yang lalu beliau mendapat mandat dari pimpinan
yayasan untuk menjabat sebagai kepala sekolah.
“Permisi Pak, ini Bu Arum sudah
datang.” Ujar Pak Hamdan. Aku menganggukkan kepala pada Pak Anwar yang
tersenyum seraya melangkah menuju pintu.
“Ah iya, mari silahkan masuk Bu.
Terima kasih ya Pak Hamdan.”
“Sama-sama Pak, saya permisi dulu
kalau begitu. Mari Bu Arum.” Pak Hamdan meminta ijin untuk kembali ke pos jaga.
“Mari Pak, terima kasih sbelumnya.”
Kataku.
“Sama-sama Bu.” Pak Hamdan akhirnya
melangkah pergi, sekilas kupandangi punggungnya menjauh kemudian menghilang
setelah dia berbelok langkah menuju bagian depan sekolah.
“Ayo silahkan duduk Bu Arum.” Pak
Anwar mempersilahkanku untuk masuk ke ruang kerjanya. Satu set sofa premium
warna maroon berada di dekat meja kerja, di depannya terdapat meja kaca
berukuran kecil dengan hiasan vas bunga bercorak warna warni. Aku meletakkan
tubuhku di sofa itu, berhadap-hadapan langsung dengan Pak Anwar.
“Gimana perjalanannya Bu? Macet kah?”
Tanya Pak Anwar.
“Alhamdulillah lancar kok Pak.”
Jawabku.
“Syukurlah kalau begitu. Oh ya, Bu
Arum mau minum apa?” Tawarnya ramah.
“Nggak usah repot-repot Pak,
kebetulan hari ini saya sedang puasa.” Tolakku halus. Pak Anwar kembali
tersenyum seraya menatap wajahku.
“Benar kata Pak Juna, selain cantik,
Bu Arum juga soleha.” Pujinya, tak terbiasa menerima pujian dari orang lain,
mendengar itu sampai membuatku tertunduk malu.
“Oh ya saya sampai lupa, ini silahkan
dibaca dulu Bu. Itu adalah silabus kurikulum pengajaran di sekolah kita untuk
satu semester ke depan.” Pak Anwar menyerahkan satu map berwarna biru, di
dalamnya terdapat beberapa lembar kertas dengan berbagai macam diagram dan
tabel pengajaran. Aku membolak-balik kertas itu beberapa saat sembari mencoba
memahami isi silabus tersebut.
“Mungkin tadi Pak Juna sedikit banyak
sudah bercerita tentang sekolah kita ini.” Pak Anwar menghela nafas panjang,
seolah mencari momen terbaik untuk melanjutkan kalimatnya. Aku kembali meletakkan
map biru di atas meja, pandanganku terfokus pada sosok pria tua di hadapanku.
“SMA Cendekia adalah sekolah khusus
untuk pria. Jadi nanti yang Bu Arum hadapi adalah remaja pria yang beranjak
dewasa, saya harap Bu Arum bisa segera beradaptasi dengan hal ini.” Lanjutnya.
“Saya akan berusaha sebaik mungkin
Pak. Mohon bimbingannya.” Sahutku.
“Saya yakin Bu Arum bisa, apalagi
dengan background pendidikan yang Bu Arum miliki rasanya bukan hal sulit untuk
mengatasi masalah-masalah remaja pria.”
“Semoga saja begitu Pak, saya tidak
bisa menjanjikan banyak hal. Tapi yang pasti, saya akan bekerja sebaik
mungkin.” Ujarku.
Selagi kami berdua ngobrol, pintu
ruang kerja Pak Anwar kembali terketuk. Seorang wanita berusia 35 tahunan,
meskipun usianya jauh diatasku namun dari sisi penampilannya wanita ini tak
kalah denganku. Sepatu hells tinggi dipadu celana kain yang cukup ketat membuat
tubuhnya yang bahenol tercetak jelas. Bagian atas tubuhnya tertutup pasmina
cerah dan tunik berwarna senada. Wajahnya yang cantik terias make up tipis,
senyum mengembang di bibirnya yang tersapu lipstik.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam.” Aku dan Pak Anwar
menjawab nyaris bersamaan. Wanita itu berjalan mendekatiku kemudian mengulurkan
tangannya.
“Halo, kenalkan saya Zaenab, guru BK
di sekolah ini.” Ujarnya memperkenalkan dirinya padaku. Kami bersalaman.
“Saya Arum.”
“Ayo silahkan duduk.” Pak Anwar
mempersilahkan Bu Zaenab untuk ikut duduk di sofa.
“Bu Zaenab ini salah satu guru BK di
sini, satu lagi ada Dion. Tapi seperti yang Bu Arum tau, Dion untuk tiga bulan
ke depan tidak bisa menjalankan tugasnya karena harus menyelesaikan tesisnya di
luar negeri.” Ujar Pak Anwar.
“Untuk beberapa hari ke depan kalo
ada kesulitan, Bu Arum bisa menanyakannya pada Bu Zaenab. Bisa kan Bu?” Lanjut
Pak Anwar seraya mengarahkan pandangannya pada Bu Zaenab yang duduk di
sebelahku.
“Insyaallah saya akan membantu Bu
Arum Pak. Saya juga seneng akhirnya ada yang bantu setelah Dion absen. Terima
kasih ya Bu.” Ucap Bu Zaenab ramah padaku.
“Saya yang harusnya terima kasih
karena diterima di sini.” Balasku.
“Ya sudah kalo begitu, selamat
bekerja Bu Arum. Semoga betah di SMA Cendekia.” Pak Anwar menyalamiku.
“Terima kasih Pak.”
***
Ruang kerjaku terpisah dari ruang
guru lainnya. Aku dan Bu Zaenab bertugas di lantai dua gedung 3, bersebelahan
langsung dengan perpustakaan sekolah. Aku tak tau kenapa ruang bimbingan
konseling justru diletakkan di bagian ujung gedung yang nyaris tak pernah
menarik perhatian para siswa. Di dalam ruang kerjaku selain terdapat dua meja
kerja untuk para pembimbing konseling, juga terdapat satu ruangan lain yang
biasa digunakan untuk sesi wawancara bagi para siswa yang bermasalah. Ruangan
itu berukuran 3x4 meter dengan sekat kaca bening sehingga bisa dilihat dari
luar ruangan.
Hari
pertamaku bekerja sebagai pembimbing konseling lebih banyak aku habiskan untuk
mengorek informasi sebanyak mungkin dari Bu Zubaedah mengenai SMA Cendekia.
Wanita bertubuh sintal itu hampir sama dengan Pak Hamdan, dia begitu ramah dan
suka bercerita. Bedanya, Bu Zubaedah sedikit lebih “terbuka” dalam hal
menceritakan sesuatu.
Aku sempat
terkejut saat dengan entengnya dia menceritakan beberapa skandal percintaan
yang melibatkan beberapa guru di sekolah ini. Bu Zubaedah seolah tanpa beban
mengumbar aib padaku, orang yang baru dikenalnya hari ini. Mungkin inilah dunia
kerja sesungguhnya, aku harus segera mudah beradaptasi di tempat ini. Bu
Zubaedah terang-terangan dirinya pernah menjalin hubungan terlarang dengan Pak
Hamdan beberapa tahun silam. Hubungan tersebut akhirnya harus berakhir karena
ketauan oleh istri Pak Hamdan yang memergoki mereka berdua baru keluar dari
hotel melati di pusat kota.
Aku bak
bocah polos yang tak tau apa-apa saat Bu Zubaedah begitu gamblang menceritakan
tiap detail hubungan terlarang mereka, bahkan sampai detail hubungan badan
mereka. Wanita bertubuh sintal itu mengatakan tak hanya badannya saja yang
tinggi besar, Pak Hamdan juga memiliki batang kemaluan yang luar biasa besar.
Berkali-kali aku mengucap dzikir dalam hati saat wanita yang jauh lebih tua
dariku itu dengan penuh semangat menceritakan masa lalunya dengan Pak Hamdan.
Tentu aku
tak hanya mendapatkan informasi seputar skandal-skandal para guru di sini, Bu
Zubaedah juga menceritakan tentang kondisi para murid. Sebagian besar para
murid di sini berasal dari keluarga berada, aku tak heran karena SMA Cendekia
memang dari dulu terkenal sebagai salah satu sekolah unggulan dan eksklusif
diibanding sekolah-sekolah lain. Selama Bu Zubaedah menjadi pembimbing
konseling nyaris tak pernah ada permaslahan serius yang dihadapi oleh para
siswa. Kebanyakan mereka yang datang menghadap karena masalah kenakalan biasa
seperti ketauan merokok atau sering bolos.
“Kita
kerjanya santai kok di sini, jadi ustadzah Arum nggak perlu tegang.”
“Hah? Ustadzah?”
Kataku tak bisa menyembunyikan keterkejutan setelah mendengar panggilan baru
yang diberikan oleh Bu Zubaedah padaku.
“Loh, Pak
Anwar memangnya belum bilang ya kalo semua guru di sini akan dipanggil ustadzah
oleh para siswa.” Ujar wanita cantik itu. Aku menggeleng lemah.
“Kamu nanti
akan terbiasa kok, tenang aja. Lagipula menurutku panggilan ustadzah terdengar
seksi di telinga. Hihihihi…” Ucap Bu Zubaedah sembari tertawa genit. Aku tak
tau maksudnya, yang bisa aku lakukan hanyalah memaksakan senyum di bibirku.
Hari
pertamaku bertugas di SMA Cendekia pada akhirnya hanya berada di ruang kerja
dan mendengarkan semua celoteh dari Bu Zubaedah. Tak ada satupun siswa yang
datang untuk berkonsultasi, kalau sampai akhir semester akan seperti ini,
sepertinya aku akan betah, kapan lagi dapat pekerjaan sesantai ini? Aku hanya
perlu beradaptasi lagi menerima kevulgaran Bu Zubaedah dalam bercerita, bukan
hal sulit menurutku.
PART 2
Tak terasa aku sudah seminggu menjadi
pembimbing konseling di SMA Cendekia. Selama itu pula belum ada stupun siswa
yang mendatangiku untuk berkonsultasi secara pribadi. Satu-satunya kasus yang
sempat aku tangani adalah saat tiga hari lalu Pak Hamdan datang ke ruang kerja
dengan membawa dua orang murid yang ketauan melompati pagar sekolah karena
datang terlambat. Dion dan Raka, dua nama murid itu.
Dion Hanggara, siswa kelas 12 IPA
memang terkenal sejak dulu sebagai salah satu siswa yang sering melakukan
pelanggaran. Dari mulai bolos sekolah hingga ketauan merokok di kantin. Bukan
jenis pelanggaran berat memang, tapi Dion seringkali keluar masuk ruang
bimbingan konseling karena hal tersebut. Bahkan Bu Zubaedah menjuluki siswa
tersebut dengan panggilan pelanggan tetap.
Dari profil yang aku baca, Dion
berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya adalah salah satu pengusaha
batubara sukses, sementara Ibunya adalah seorang diplomat yang sering pergi ke
luar negeri untuk menjalankan tugas negara. Karena karier yang cemerlang
tersebut, kedua orang tua Dion seringkali meninggalkan pemuda itu di rumah
seorang diri. Tak banyak kasih sayang yang dia dapatkan karena kedua orang
tuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku menduga salah satu penyebab
kenakalan Dion selama ini adalah bentuk aktualisasi dirinya yang mengharapkan
perhatian dari orang terdekat.
Berbeda dengan Dion, Raka sebenarnya
tak pernah punya rekam jejak pelanggaran di sekolah selama ini. Teman satu
kelas Dion itu baru kali ini kedapatan melakukan pelanggaran. Aku menduga hari
itu dia hanya berda di tempat dan waktu yang salah saja. Apalagi dari profil
dan laporan akademik yang aku baca, Raka adalah salah satu siswa berprestasi di
sekolah ini. Beberapa kali Raka mewakili SMA Cendekia dalam olimpiade sains. Hari
itu aku hanya memberikan beberapa motivasi pada Dion dan Raka untuk segera
membenahi perilaku mereka, khususnya pada Dion.
Hari ini seperti biasa, aku hanya
menghabiskan waktu di ruang kerja bersama Bu Zubaedah. Janda satu anak itu kali
ini menceritakan bagaimana Pak Hamdan kembali mencoba mendekati dirinya. Tak
seperti dulu waktu awal bertemu, aku mulai bisa menikmati cerita rekan kerjaku
itu. Entah kenapa aku jadi tertarik saat menyimak cerita-cerita vulgar Bu
Zubaedah tentang Pak Hamdan.
“Nih liat Rum, masa kemarin malam Pak
Hamdan ngirimin aku foto kayak gini.” Ujar Bu Zubaedah seraya menunjukkan salah
satu isi galery di ponselnya padaku.
“Astagfirullah!!” Pekikku terdengar
cukup keras.
Di layar ponselnya bisa kulihat
dengan jelas foto telanjang Pak Hamdan. Petugas keamanan sekolah itu bahkan
sengaja berpose sembari memamerkan alat vitalnya yang mengeras. Buru-buru aku
mengalihkan pandangan mataku, melihat responku yang seperti itu Bu Zubaedah
justru tertawa terpingkal-pingkal.
“Kamu kenapa sih Rum? Kok kayak liat
hantu aja. Hahahahaha!” Perasaanku saat ini jadi tak karuan, kombinasi antara
shock dan exited bercampur menjadi satu. Bu
Zubaedah menyingkirkan ponselnya dariku, wanita bertubuh sintal itu
kemudian mendekatiku.
“Maaf ya Rum, aku cuma becanda. Tapi
responmu itu loh yang bikin makin lucu.” Ujarnya.
“Iya Bu, nggak apa-apa. Saya nggak
terbiasa liat yang kayak gitu-gitu.” Sahutku sedikit kesal.
“Hah serius? Kamu belum pernah lihat
foto cowok telanjang?” Tanya Bu Zubaedah penasaran, aku menggeleng pelan.
“Nonton film bokep?” Tanyanya sekali
lagi, aku kembali menggelengkan kepalaku.
“Ya Allah, kamu hidup dimana sih Rum
selama ini???” Belum sempat aku menjawab pertanyaan Bu Zubaedah, dari pintu
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam…” Aku dan Bu Zubaedah
menjawab salam nyaris secara bersamaan.
Kami berdua melihat Pak Hamdan sudah
berdiri di depan pintu bersama Dion. Aku terhenyak untuk beberapa saat, apalagi
saat tak sengaja bertatapan langsung dengan Pak Hamdan. Baru beberapa saat lalu
aku menyaksikan foto bugilnya di ponsel Bu Zubaedah dan sekarang petugas
kemanan itu sudah ada di ruang kerjaku. Bu Zubaedah beranjak dari duduknya dan
menghampiri Pak Hamdan, sementara aku masih duduk di kursi kerja sembari
mencoba menenangkan diri.
“Dion lagi…Dion lagi…Ayo masuk dulu.
Bikin ulah apalagi dia?” Tanya Bu Zubaedah.
“Biasa, ketauan merokok lagi di
kantin.” Jawab Pak Hamdan seraya menyerahkan sebungkus rokok pada Bu Zubaedah.
“Rum, sekarang tugasmu ya? Aku udah
bosen ketemu anak ini lagi.”
“Ba-Baik Bu..Eh..Ustadzah..” Sahutku
tergugup sedikit. Karena adanya Dion, aku harus mengubah panggilanku pada Bu
Zubaidah dengan sebutan ustadzah. Siswa 12 IPA itu melangkah pelan menuju meja
kerjaku, kepalanya tertunduk dengan raut wajah datar.
“Rum aku tinggal dulu ya.” Ujar Bu
Zubaedah sembari mengerlingkan matanya padaku, Pak Hamdan yang berdiri di
sampingnya juga mengangguk ramah ke arahku.
“Loh mau kemana ustadzah?”
“Ada yang harus aku urus dengan Pak
Hamdan. Penting, hihihihi…” Tanpa menunggu lagi wanita bertubuh sintal itu
kemudian melangkah pergi meninggalkan aku bersama Dion di ruang konseling. Aku
hanya melongo saat punggungnya menghilang dari pandangan. Entah kenapa
firasatku mengatakan jika dua orang itu akan melakukan hal yang tak senonoh.
Ah, kenapa pula dengan isi kepalaku ini?
“Silahkan duduk Dion.” Siswa itu
duduk tenang di hadapanku, kepalanya masih tertunduk sama sekali tak berani
menatapku.
“Ini kedua kalinya dalam minggu ini
kamu harus menemui saya lagi. Kali ini pelanggaranmu lebih berat Dion. Kamu tau
kan kalau merokok itu akan merugikan kesehatanmu sendiri? Apalagi ini kamu
lakukan di lingkungan sekolah, akan jadi contoh buruk buat teman-temanmu yang
lain.” Kataku panjang lebar. Dion masih tertunduk lesu.
“Lihat ustadzah kalo sedang bicara.”
Kataku dengan nada yang lebih tinggi. Kali ini Dion sigap mengangkat kepalanya.
“Maafkan saya ustadzah.” Ujarnya
pelan.
“Sekarang lihat ini…” Aku menunjukkan
selembar kertas pada Dion, kertas tersebut menunjukkan beberapa poin
pelanggaran yang telah dilakukan oleh Dion dalam satu semester terakhir.
“Kamu sudah melakukan banyak
pelanggaran Dion, dan ini akan mempengaruhi kelulusanmu nantinya. Kamu tau kan
kalo di sekolah ini syarat kelulusan bukan hanya dilihat dari nilai akademik
saja, tapi juga perilakumu juga.” Dion hanya terdiam mendengarkanku.
“Kalo kamu tidak mau berubah mulai
sekarang, ustadzah akan merekomendasikan untuk memanggil orang tuamu ke
sekolah.” Kataku lagi, raut wajah Dion seketika berubah, ada semacam kepanikan
di sana.
“Ja-Jangan ustadzah…Saya berjanji
nggak akan mengulanginya lagi.” Ucapnya.
“Saya nggak butuh janjimu Dion, tapi
ustadzah pengen lihat buktinya langsung.” Dion menarik nafas dalam-dalam, dan
aku tahu dari ekspresi wajahnya bahwa dia sedang berpikir apakah dia perlu mengutarakan
sesuatu padaku atau tidak. Ada keraguan di wajahnya.
“Kamu ada masalah apa Dion? Ustadzah
pengen kamu jujur.” Tanyaku, sengaja kutekan suaraku sedalam mungkin untuk
memberi kesan serius padanya. Gerak tubuh Dion menjadi lebih gelisah.
“Kamu jangan khawatir, ustadzah tidak
akan menceritakannya pada orang lain. Kamu bisa percaya pada ustadzah.” Kataku
mencoba meyakinkannya. Dion kemudian mengangkat kepalanya, kami saling
bertatapan untuk beberapa saat, entah kenapa pipiku sedikit terasa sedikit
hangat menerima pandangan itu.
“Se-Sebenarnya saya punya masalah
yang cukup berat, tapi saya bingung harus menceritakannya darimana karena ini
berlangsung cukup lama.” Meskipun suaranya terdengar lirih tapi telingaku yang
tertutup hijab panjang masih bisa mendengarnya.
“Oke, ustadzah akan mendengarkannya.
Ceritakan Dion, kamu ada masalah apa?” Kataku, Dion menarik nafas dalam kembali
sebelum kemudian mengangkat kepalanya, kami kembali bertatapan mata.
“Sa-Saya kecanduan nonton film bokep
dan onani…” Kata Dion perlahan, Aku terhenyak, bahkan mungkin Dion bisa melihat
perubahan raut wajahku yang smeula tenang menjadi kembali tegang seperti halnya
saat tadi aku ditunjukkan foto bugil Pak Hamdan. Gila! Aku harus segera
menguasai diriku sekarang juga!
Kali ini giliranku yang menarik nafas
dalam-dalam, raut wajahku sedikit berubah menjadi sedikit memerah, sama sekali tidak
menyangka jika Dion akan mengutarakan masalahnya seperti ini. Di dalam kepalaku
berputar beribu argumen untuk memcahkan masalah tersebut dan tentu saja
menyembunyikan kegugupanku di hadapan bocah kelas 12 IPA tersebut.
“Oke, kalau ustadzah boleh tau,
bagaimana awalnya kamu bisa kecanduan seperti itu?” Tanyaku, sebagai seorang
pembimbing konseling aku harus mengetahui akar masalahnya terlebih dahulu. Dion
kembali menundukkan kepalanya ke bawah.
“Dari teman, saya diajak nonton
teman.” Jawab Dion, suaranya kembali
terdengar lirih. Aku yakin dia juga merasa tak nyaman saat meceritakan hal ini
padaku. Tapi aku tidak boleh membiarkannya berlarut-larut, aku harus bisa
menumbuhkan kepercayaan dalam dirinya dan mau terbuka kepadaku.
“Teman sekolah?” Tanyaku menyelidik.
“Bukan ustadzah, temen main di
rumah.” Jawabnya. Aku mulai bisa mengambil kesimpulan dari akar masalah Dion,
remaja ini bisa saja salah memilih pergaulan hingga menyebabkannya menjadi
kecanduan melihat video mesum dan onani.
“Kalian dekat?” Tanyaku lagi kembali
mengorek informasi. Dion menggeleng pelan.
“Nggak ustadzah, dia sekarang sudah
tinggal di luar kota karena kuliah.” Ujarnya.
Ah, satu poin lagi yang aku dapatkan.
Rupanya tak hanya salah pergaulan, Dion juga bergaul dengan orang yang usianya
jauh lebih tua dibanding dengan dirinya. Ini bisa saja membawa pengaruh buruk
bagi anak ini dan memang sudah terbukti. Jujur, sebenarnya sejak dulu aku tak
pernah sekalipun melihat film vulgar seperti halnya yang Dion lakukan, maka aku
menghindari pertanyaan tentang film-film tersebut, itu hanya akan menunjukkan
kepolosanku sebagai wanita yang usianya jauh lebih dewasa dibanding dirinya.
“Lalu sekarang ustadzah mau tanya,
seberapa sering melakukannya?” Tanyaku kembali, kali ini Dion kembali
mengangkat kepalanya, mata kami kembali saling bertatapan dan entah kenapa aku
merasa tatapan matanya seperti sedang menjelajahi tubuhku.
“Nonton film bokepnya atau…”
“Dua-duanya.” Kataku memotong ucapan
Dion.
“Ehm…Hampir setiap hari ustadzah.
Kalau saya ada di kamar sendirian , saya pasti nonton bokep sambil onani.
Setiap hari saya lakukan itu, bisa dua hingga tiga kali saya melakaunnya setiap
hari.” Jawabnya perlahan. Aku kembali terhenyak, apakah ini juga sebab Dion
jadi begitu sering melakukan pelanggaran di sekolah? Dion jadi tak terkontrol
saat nafsunya tak bisa lagi dia tahan?
“Apa yang terjadi kalau kamu tidak
melakukannya sehari saja?” Tanyaku penasaran.
“Emosi saya jadi tidak stabil, saya
gampang uring-uringan, dan….” Dion mengambil jeda, matanya kembali menatapku,
kali ini pandangannya jadi lebih berbeda dari sebelumnya.
“Dan apa Dion?” Tanyaku kembali.
“Dan saya akan jadi horni sekali,
seperti sekarang.”
“Maksudnya?” Dion menatap wajahku
lekat-lekat, seutas senyum tersungging di bibirnya.
“Saya ingin onani di depan ustadzah
Arum…”

Posting Komentar
0 Komentar