BERKUBANG NAFSU
PART 1
Di usiaku yang telah mencapai 35 tahun, bayangan di cermin
menunjukkan seseorang dengan paduan keunikan dua budaya yang mengalir dalam
darahku. Dari ayah, aku mewarisi mata sipit dan kulit putih khas Chinese,
sementara ibuku mewariskan senyum hangat dan lembut ala Sunda yang selalu
berhasil membuat orang merasa nyaman.
Kecantikan wajahku sering kali mendapat pujian, menarik perhatian
dengan kecantikan klasik yang memancarkan pesona dan keanggunan. Dengan rambut
hitam pekat yang tergerai lembut dan tulang pipi tinggi, setiap detail kecil di
wajahku berbicara tentang sejarah keluarga dan perjalanan panjang genetik yang
berlangsung selama bertahun-tahun.
Tinggi badanku 170 sentimeter, di atas rata-rata kebanyakan wanita
di sekitarku. Tubuhku memang berukuran lebih besar, dengan berat badan yang
mencapai 90 kilogram. Meskipun begitu, aku selalu berusaha untuk tampil percaya
diri dan nyaman dengan diriku sendiri. Gaun yang kupilih sering kali bukan
hanya untuk menutupi aurat, namun untuk menonjolkan sisi terbaik dari tubuhku,
merayakan setiap lekukan yang memiliki cerita tersendiri.
Selama bertahun-tahun, aku telah mencoba berbagai program diet dan
pelatihan olahraga. Mulai dari mengikuti kelas yoga yang menenangkan hingga joging
di pagi hari. Meski usaha tersebut belum berdampak signifikan pada
penampilanku, aku belajar untuk mengapresiasi setiap langkah kecil yang
meningkatkan kesehatan dan memberi energi yang baru dalam keseharianku. Prinsip
hidupku adalah bahwa kesehatan dan kebahagiaan tidak melulu soal angka di
timbangan, namun bagaimana kita merasa nyaman dalam tubuh sendiri.
Aku belajar untuk memberikan cinta pada diriku, menghargai proses
yang tengah berjalan, dan menikmati perjalanan dalam menemukan sosok diriku
yang sejati. Dengan segala keunikan dan kekurangan, aku berdiri dengan penuh
rasa syukur atas siapa diriku hari ini. Bagiku, kecantikan sejati adalah
bagaimana kita merawat diri dari dalam dan menularkan kebaikan kepada sekitar.
Namun akhir-akhir ini aku mulai terganggu dengan pikiranku sendiri
yang tak lagi terbebas dari dogma-dogma dalam masyarakat. Usiaku sudah 35
tahun, tapi statusku masih gadis perawan. Padahal secara medis, seorang wanita
sebaiknya jangan melahirkan setelah berusia di atas 30 tahun. Berarti kalau pun
ada yang mau menikahiku, masa untuk punya keturunan sudah lewat.
Kalau ingat semuanya itu sedih sekali hatiku. Karena aku
seolah-olah sudah menerima vonis agar jangan mengharapkan bisa bahagia di masa
tuaku kelak. Aku terbiasa hidup sendiri tanpa ada teman untuk mencurahakan isi
hati.
Bagaimana tidak, Ibuku
sudah berpulang sejak aku menginjak usia bangku SMP, sementara Ayahku hingga
detik ini masih betah hidup menjadi seorang duda tulen. Menceritakan tentang
keresahanku perihal keperawananku yang terlalu lama pada Ayahku tentu jadi hal
yang “absurd” bagi kami. Aku lebih suka menyimpannya seorang diri.
Tapi aku tak mau tenggelam dalam kesedihan. Aku selalu berusaha
mencari kegiatan yang bisa membuatku lupa pada masalah pribadiku. Sayangnya
teman-teman seangkatanku sudah menikah semua. Bahkan hampir semua sudah punya
anak. Tinggal aku sendiri yang masih tetap melajang. Aku memang sudah patah
semangat. Biarlah, kuanggap takkan ada yang mau menikahiku. Kalau pun ada,
mungkin sudah merupakan suatu keajaiban. Namun ada yang terus-terusan
mengganjal di batinku.
Masalah seks!
Rasanya tidak terlalu dini untuk cewek seusiaku sering memikirkan
hal yang satu itu. Bahkan mungkin sudah terlambat. Tapi mending terlambat
daripada tidak. Ya, kalau aku sudah membayangkan yang satu itu, aku jadi bingung
sendiri dan tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Padahal aku sering nonton film bokep, baca cerita-cerita dewasa
dan dengar dari sana sini tentang nikmatnya hubungan seks dengan pria. Tapi aku
hanya bisa membayangkannya. Karena belum pernah merasakannya. Yang jelas ada
hasrat di batinku, hasrat untuk merasakannya.
Tapi beginilah takdir wanita timur. Sekalipun ada hasrat yang
terpendam, aku tak bisa seperti kaum pria yang bisa seenaknya mencari mangsa
pelampiasan. Apalagi untuk berstatus belum menikah seperti aku. Kemelut dan
hasrat terpendam ini berlangsung berbulan-bulan. Sampai pada suatu hari, aku
teringat pada Robby, anak buah ayahku yang sering datang ke rumah.
Robby pria yang usianya jauh lebih muda dariku, sekitar 26
tahunan. Robby adalah pria yang tampak menawan dengan senyum ramah dan sikapnya
yang sopan. Meskipun baru beberapa kali kami bertemu, ada sesuatu dalam dirinya
yang membuatku penasaran. Sejak saat itu, dia terus terlintas dalam pikiranku.
Aku merasa tertarik, tetapi juga agak ragu karena dia bekerja untuk ayahku dan
juga dia sudah beristri.
Hari demi hari berlalu, dan perasaan ini tidak kunjung menghilang.
Aku tahu bahwa mungkin inilah saatnya untuk berani melangkah. Dengan gumpalan
keberanian yang terkumpul dalam hatiku, aku memutuskan untuk menghubungi Robby.
Aku mengambil ponselku, menggenggamnya
dengan kedua tangan. Setelah beberapa kali menarik napas dalam-dalam untuk
menenangkan diri, akhirnya aku memberanikan diri untuk meneleponnya.
"Halo, Lagi ngapain Rob?"
"Ehh...Mbak Emmy....tumben nelepon? Aku lagi di bengkel Mbak. Lagi benerin motor."
"Sendirian?"
"Iya. Kenapa Mbak? Mau ditemenin?"
"Mau sih...tapi takut istrimu ngambek."
"Hahaha...masa nemenin putri bossku ngambek?"
"Tapi aku pengen ditemaninnya seharian. Bisa gak?"
"Siap Mbak. Tapi harus di hari libur."
"Minggu depan gimana?"
"Boleh."
"Tapi hanya kita berdua saja Rob. Jangan ngajak siapa-siapa.
Dan jangan bilang-bilang sama Papa."
"Iya...iya...mau ditemenin ke mana?" Aku lalu menyebutkan salah satu daerah wisata di dekat kotaku.
"Ke sana harus pake mobil Mbak."
"Iya. Nanti kujemput. Deal?"
"Deal! Tapi aku lagi bokek Mbak. Pas tengah bulan nih.
Hehehehehe."
"Semua aku yang tanggung Rob. Santai aja."
"Oke deh kalau gitu. Jam berapa berangkatnya?"
"Lebih pagi lebih baik. Biar nggak kemalaman pulangnya."
***
Pagi itu, udara terasa segar dan sedikit dingin memeluk kulitku
dengan lembut saat aku dan Robby duduk berdampingan di sebuah gubuk kecil yang
terbuat dari kayu tua, berlapis lumut hijau, menambah nuansa alami. Lokasinya
terlihat seolah-olah tersembunyi di antara rimbunan pepohonan pinus yang tinggi
dan menjulang, memberi nuansa tenang dan damai di sekitar kami.
Di depan gubuk, terhampar pemandangan yang menakjubkan. Air terjun
menjulang megah di kejauhan, airnya mengalir deras menuruni tebing berbatu,
menciptakan suara gemuruh yang merdu namun menenangkan, bak orkestra alam yang
menyelimuti suasana pagi. Kabut tipis yang terangkat dari dasar air terjun
menyelimuti area tersebut, mempercantik pemandangan dengan lapisan misteri yang
menenangkan.
Di tengah suasana sepi itu, hanya ada suara gemericik air yang
jatuh dan kicauan burung-burung yang saling bersahutan, seakan-akan mereka
sedang menggelar konser pagi di tengah alam. Cahaya matahari pagi yang lembut
menembus dedaunan, menciptakan pola bayangan yang menari-nari di permukaan
tanah, menambah pesona keindahan alami tempat itu.
Robby duduk di sampingku, kehangatan tubuhnya memberikan rasa
nyaman. Dia tampak tenang, matanya terpaku pada pemandangan air terjun di depan
kami. Terkadang, dia menoleh padaku, tersenyum, seolah berbagi kebahagiaan
kecil yang kami rasakan di momen itu.
Di tengah kebisuan yang damai ini, kata-kata tak lagi menjadi hal
yang penting. Kami hanya membiarkan alam berbicara, menikmati detik demi detik
yang berlalu dalam keheningan yang saling mengerti. Sesekali angin menerpa
lembut, membelai rambutku dan membangkitkan aroma tanah basah yang berpadu
dengan harum dedaunan pinus.
Saat itu, dunia seakan berhenti berputar, meninggalkan hanya aku,
Robby, dan keindahan alam yang membingkai pengalaman berharga ini. Di gubuk
kecil yang sederhana namun penuh makna ini, aku merasakan ketenangan yang
jarang kutemui, seolah-olah waktu memberikan ruang bagiku untuk benar-benar
hadir dan merasakan kehadiran Robby dalam hidupku.
"Rob...tau nggak kenapa aku ngajak ke sini?" tanyaku
setelah belasan menit menikmati indahnya pemandangan di sekitar air terjun.
"Mungkin di rumah Mbak lagi jenuh, lalu ingin refreshing?"
sahut Robby sambil menyalakan rokoknya.
"Bukan Rob. Aku butuh bantuanmu, please..."
"Dibantu apa Mbak?" Robby menatapku. Hmm...memang
ganteng anak buah ayahku ini. Rasanya aku tak salah pilih meski aku tahu dia
sudah beristri.
"Ini sangat rahasia Rob. Maukah kamu berjanji untuk tidak
menyampaikan hal ini kepada siapa pun?"
"Iya Mbak, saya janji." Robby mengangguk-angguk. Lalu
mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
Aku merogoh isi dalam tas kecil yang kubawa untuk ikut
mengeluarkan rokok. Tak
lama tanganku akhirnya merasakan bungkus rokok menthol yang
kusembunyikan dengan rapi. Aku mengeluarkannya bersama pemantik api, membuka
bungkusnya, dan menarik sebatang rokok dari dalamnya.
Dengan gerakan yang telah terbiasa, aku memutar pemantik dan
menyalakan rokok tersebut. Asapnya beraroma mint yang khas, menguar halus dan
terbawa angin pagi.
Aku menghisapnya perlahan, merasakan sensasi dinginnya menthol
yang menyegarkan saat asapnya memenuhi paru-paruku. Pandanganku terarah ke
depan, ke arah air terjun, namun pikiranku tertuju kepada Robby di sampingku.
Ada sesuatu yang ingin kukatakan, sesuatu yang sedari tadi terpendam dalam
benakku.
Menghembuskan napas perlahan, aku memadamkan rokok di atas
permukaan kayu gubuk, membiarkan abu-abu tipisnya beralih ke udara. Dengan
keberanian yang sudah terkumpul sejak beberapa waktu lalu, aku beralih sedikit,
mendekat ke arah Robby. Dalam jarak yang lebih dekat, aku bisa melihat wajahnya
dengan lebih jelas. Matanya yang teduh sesekali menatapku ingin tahu. Aku
menarik napas sejenak, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat.
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, Robby," ucapku
dengan nada lembut, namun tegas. Ia menoleh, memberi isyarat bahwa ia siap
mendengarkan.
"Aku sudah lama merasa tertarik denganmu," lanjutku,
menjaga kontak mata untuk memastikan keseriusanku tersampaikan. "Dan
menurutku, tempat ini dan momen ini adalah saat yang tepat untuk
memberitahumu."
Robby terdiam sejenak, matanya masih menatapku dengan perhatian
yang penuh. Senyumnya perlahan mengembang, membuat hatiku sedikit lebih tenang.
Suara air terjun masih bergemuruh lembut, seakan memberi latar pada
perbincangan kecil namun penting di antara kami.
“Tapi Mbak tau kan saya sudah beristri?” Ujar Robby tenang.
“Iya aku tau.”
“Terus? Kenapa Mbak bilang kayak gitu barusan?”
"Aku ingin merasakan hubungan seks, Rob, please Rob, kamu
bisa kan?" Robby tersentak, pasti kaget dan tak menyangka kalau aku mengatakan
hal seintim ini.
"Mbak becanda apa serius???" Robby menatapku, masih
dengan tatapan sopan, karena aku ini putri bossnya.
"Serius Rob. Umurku sudah tigapuluh lima tahun. Wajar kan
kalau aku ingin merasakannya?"
"Emangnya Mbak belum pernah sama sekali?"
"Belum Rob. Jangankan hubungan seks. Ciuman aja belum pernah.
Sumpah deh. Tadinya aku ingin mempertahankan keperawananku, untuk suamiku nanti.
Tapi sampai hari ini belum juga ada yang mau nikah denganku. Makanya kupikir
tak ada gunanya menahan-nahan diri lagi. Biarlah perawanku buat kamu saja
Rob."
"Tapi Mbak kan tahu, aku sudah punya istri."
"Biar saja. Aku nggak minta dinikahin kok. Aku hanya ingin
merasakan hubungan seks aja. Ingin banget!" Robby terdiam, matanya
menatapku semakin dalam.
“Mbak yakin mau melakukannya dengan saya?” Aku menggangguk tanpa
keraguan.
Robby mulai mendekat ke arahku. Kami saling berhimpitan, aku
bahkan bisa merasakan deru nafasnya menerpa kulitku. Tangannya mulai bergerilya
menelusuri tubuhku. Mulai mengelus betisku. Membuatku merinding tak karuan,
inilah kali pertama dalam hidup tangan seorang pria menjamahku. Kubiarkan saja
tangannya menyelinap ke balik gaun putihku, menyelusuri pahaku sampai ke
pangkalnya. Mungkin memang harus seperti itu awalnya.
Tanpa basa-basi lagi tangan Robby menyelinap ke balik celana
dalamku. Tetap kubiarkan. Bahkan aku ingin diperlakukan seperti ini. Maka
kurasakan jemarinya mulai mengelus-elus jembut dan bibir kemaluanku, baru
dielus jari saja sudah terasa enaknya. Maka kubiarkan saja semuanya itu
terjadi. Dengan hasrat semakin menggila.
“Ouucchhh…Rob..” Beruntung suasana di sekitar kami masih sangat
sepi. Hanya ada kami berdua.
"Kita tidak mungkin bisa melakukannya di sini Mbak,"
kata Robby setengah berbisik,
"Sebentar lagi pasti akan banyak orang yang datang ke sini.”
Lanjutnya dengan nafas sedikit terengah.
"Terus? Kamu mau main dimana?" sahutku sambil menahan
tangan Robby agar jangan menjauh dulu dari vaginaku, aku ingin merasakannya
lebih lama.
“Bagaimana kalo di hotel itu?” Robby menunjukkan bangunan tinggi
di dekat air terjun. Sebuah hotel yang diperuntukkan bagi para pengunjung
tempat wisata ini.
“O-Oke…Kita main di sana.” Balasku dengan nafas kembang kempis
menikmati elusan jemari Robby pada permukaan vaginaku yang makin lembab.
“Mau sekarang?”
"Sebentar Rob! Duuhhh enak banget elusanmu! Jangan dilepas
dulu!" Kataku memberi perintah agar Robby tak buru-buru menarik keluar
tangannya. Pria gagah itu tersenyum mesum seraya kepalanya mendekat ke arahku.
"Beneran Mbak belum pernah ciuman?"
"Bener Rob, ngapain aku bohong?" sahutku sambil
membiarkan bibirnya makin mendekat.
Seperti yang kuperhitungkan, Robby akhirnya melumat bibirku,
sementara tangannya tetap mengelus vaginaku. Kombinasi ini sukses membuat
tubuhku sedikit menegang, seperti aliran listrik cumbuan Robby membuatku
gelisah. Bukan gelisah khawatir, tapi gelisah, geli-geli basah. Robby memang
cukup ahli, jauh lebih pinter dibanding denganku yang seumur hidup tak pernah
sekalipun bersentuhan langsung dengan lelaki manapun.
Bibir Robby mendesak bibirku, lidahnya menari-nari, menguas basah
lembut permukaan bibirku lalu kemudian berusaha menelusup masuk. Aroma serta
rasa sisa tembakau bisa kurasakan saat lidah Robby sukses masuk ke dalam
mulutku. Lidah kami saling bertaut, menjilat, mengikis tiap gejolak birahi yang
makin meninggi.
“Ouuucchhh Rob….” Kurasakan vaginaku makin banjir. Gerakan tangan
Robby di bawah sana makin cepat menjamah, seiring cumbuan bibirnya yang makin
liar.
"Kenapa Mbak? Enak ya?" Godanya. Aku hanya melenguh
manja.
“I-Iyah…Enak banget ternyata.”
“Hehehehe, ini baru tangan sama bibir Mbak. Belum pake ini.” Robby
meraih tanganku dan langsung meletakkannya pada selangkangannya. Aku bisa
merasakan gundukan kenyal daging pejantan yang sudah mengeras.
“Aiihh! Kok udah keras banget Rob?” Tanyaku dengan wajah polos.
“Gimana nggak keras, aku kan terangsang juga Mbak.” Sesaat aku
merasakan rasa bangga menyelinap dalam diriku. Membuat seorang pria terangsang
jadi salah satu pencapaian baru dalam hidupku.
“Ayo ke hotel aja Rob.” Ajakku.
“Udah nggak tahan ya Mbak? Hehehehehe.” Godanya sekali lagi yang
kusambut dengan cubitan mesra di hidungnya.
Matahari siang bersinar terik, memantulkan cahaya pada permukaan
air terjun yang mengalir deras di depan gubuk kecil tempat kami berada. Udara
lembap dengan aroma dedaunan basah menyelimuti kami, memberikan sensasi segar
sekaligus menenangkan. Aku dan Robby melangkah keluar dari gubuk, berjalan
menuju hotel yang berdiri kokoh sekitar 100 meter di depan kami. Suara gemuruh
air terjun yang menghantam bebatuan terasa seperti irama yang menyertai langkah
kami.
Robby berada tepat di sebelahku, tubuhnya menjulang, memberikan
bayangan kecil yang sesekali menyentuhku ketika kami melintasi jalan setapak
yang penuh dengan kerikil dan tanah lembap. Kami berjalan perlahan, tak
terburu-buru, seperti ingin menikmati setiap detik yang ada. Jemariku sesekali
menyentuh lengannya tanpa sengaja, dan ketika itu terjadi, ia hanya menoleh
dengan senyuman kecil yang nyaris membuatku lupa bernapas.
Di bawah sinar matahari yang terang, kami terlihat seperti
sepasang kekasih yang baru saja jadian—mesra dan saling terhubung dalam
kebisuan yang nyaman. Robby terkadang menunduk sedikit, menanyakan apakah aku
baik-baik saja ketika tanah terasa licin, lalu menawarkan tangan untuk
memastikan aku tak tergelincir. Gaya bicaranya lembut, namun nada suaranya
penuh perhatian, seperti seseorang yang benar-benar peduli.
Namun, di setiap langkah, pikiranku terus berperang dengan
kenyataan. Aku tahu siapa dia—Robby, anak buah ayahku, seseorang yang
seharusnya hanya menjadi bagian dari kehidupan bisnis keluargaku, bukan
kehidupanku pribadi. Dan yang lebih pahit, dia adalah suami dari wanita lain.
Tapi mengapa setiap kali dia tertawa kecil atau menoleh ke arahku, aku merasa
seperti terperangkap dalam momen yang begitu sempurna, hingga aku ingin
mengabaikan segalanya?
Matahari di atas kepala kami terasa seperti pengamat diam,
menyaksikan kebodohan ini. Langkah kami semakin dekat dengan hotel, bangunan
putih itu tampak begitu kontras dengan hijau hutan di sekitarnya. Tetapi aku
tahu, semakin dekat kami ke sana, semakin nyata pula semua batas yang
memisahkan kami.
Lobby hotel terasa sejuk dengan hembusan udara dari pendingin
ruangan, sebuah kontras dari panas siang hari yang baru saja kami tinggalkan di
luar. Aroma wangi kayu dan bunga segar menguar di udara, memberikan suasana
nyaman dan mewah. Lantai marmer mengilap memantulkan bayangan langkah kami saat
memasuki ruang utama hotel, sementara cahaya matahari yang menyelinap melalui
jendela besar membuat seluruh ruangan terasa hidup.
Robby berhenti sejenak, matanya menyapu ruangan. Dengan gestur
tenang, dia menunjuk sofa di sudut ruang tunggu dan berkata, “Aku tunggu di
sana.” Nada suaranya datar namun penuh dengan otoritas yang tidak perlu
dijelaskan. Aku mengangguk tanpa berkata-kata, lalu melangkah menuju meja
resepsionis.
Di meja resepsionis, seorang petugas wanita dengan seragam rapi
tersenyum menyambutku. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya
dengan ramah. Aku menjelaskan pemesanan kamar dengan nada tenang, meskipun
sebenarnya ada debar di dadaku yang sulit kukendalikan.
Sementara petugas itu memproses reservasi, aku sesekali melirik ke
arah Robby. Dia duduk di sofa, tubuhnya santai, namun tatapan matanya tetap
mengawasi ke arahku. Seolah dia memastikan bahwa aku baik-baik saja, atau
mungkin dia hanya ingin memastikan aku tidak berubah pikiran.
Setelah beberapa menit, aku menerima kunci kamar—sebuah kartu
elektronik dengan nomor lantai tiga yang tertera di atasnya. Aku berjalan
kembali ke arah Robby, mengangkat kartu itu sedikit untuk memberitahunya. Dia
berdiri perlahan, tubuhnya yang tegap seolah menarik perhatian beberapa tamu
yang kebetulan lewat.
“Kita di lantai tiga,” kataku sambil mengarahkan langkah menuju
lift. Dia hanya mengangguk, mengikuti di belakangku dengan langkah tenang.
Suasana antara kami terasa begitu sunyi, namun ada sesuatu di antara keheningan
itu yang terasa penuh makna.
Di dalam lift, hanya ada kami berdua. Bunyi lembut tombol yang
kutekan terdengar begitu jelas. Angka-angka di panel lift berubah perlahan,
menunjukkan lantai demi lantai yang terlewati. Aku bisa merasakan keberadaannya
begitu dekat di sampingku, kehangatan tubuhnya meskipun kami tidak saling
bersentuhan.
Ketika lift berhenti di lantai tiga, kami melangkah keluar
bersama. Lorong hotel yang panjang dan sunyi menyambut kami, hanya ada deretan
pintu dan karpet merah dengan pola-pola mewah di bawah kaki kami. Aku membaca
nomor kamar yang tertera di kartu, lalu berjalan menuju pintu yang sesuai.
Setelah beberapa langkah, kami tiba di depan kamar. Tanganku
sedikit gemetar saat memasukkan kartu ke slot elektronik, tapi pintu itu
akhirnya terbuka dengan bunyi klik lembut. Kami melangkah masuk, dan aku
merasakan sesuatu yang aneh—campuran antara rasa lega dan ketegangan yang tak
dapat dijelaskan. Suasana kamar terasa hening, hanya suara langkah kami di
lantai yang sesekali terdengar.
Robby menutup pintu di belakang kami, lalu berdiri diam sejenak,
matanya memperhatikan ruangan. Aku meletakkan kartu kunci di meja kecil di
dekat pintu, dan sejenak kami hanya saling bertukar pandang. Di balik
keheningan itu, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tak pernah diucapkan,
namun begitu nyata.
PART 2
Di dalam kamar hotel yang hangat dan nyaman, suasana mulai
mengundang rasa tenang. Lampu-lampu kuning temaram menghiasi sudut-sudut
ruangan, memantulkan bayangan lembut di dinding. Dengan tirai jendela yang
tertutup rapat, suara air terjun di luar seolah lenyap, meninggalkan hanya
detak jantung yang berdetak tenang.
Robby perlahan mendekatiku, inlah saatnya. Sesuatu yang
aku-tunggu-tunggu sejak lama. Pria gagah itu memelukku, memberiku ciuman ganas
di bibir dan leherku. Aku yang masih baru dalam hal persenggamaan hanya bisa
pasrah. Aku memeluknya dengan penuh hasrat, jantungku berdegup kencang
membayangkan apa yang akan terjadi dengan benak penuh tanda tanya.
Robby terus mencumbuku, ciuman bibirnya terasa makin panas. Tak
hanya bibirnya saja yang nakal, tapi jemarinya juga mulai bergerilya menjamah
tiap jengkal tubuhku lalu hinggap cukup lama di payudaraku. Pria gagah itu
meremasi payudaraku, aku sempat merasakan sakit di sana namun tetap kubiarkan
tangannya merasakan kekeyalan buah dadaku.
“Bajunya dibuka aja ya Mbak.” Ujarnya dengan wajah memerah karena
nafsu. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Dadaku bergemuruh bak genderang perang saat mulai melepas satu
persatu pakaian yang melekat di badan hingga telanjang bulat. Robby berdiri di
hadapanku dengan mata tercengang, entah apa yang sedang dipikirkan oleh
karyawan Ayahku itu ketika celana dalamku lolos begitu saja dari tubuhku.
"Hmmm, ternyata tubuhmu mulus banget Mbak!" kata Robby
sambil mengelus perutku.
"Mulus apa gendut?" Jujur ada perasaan tak percaya diri
berdiri telanjang di hadapan Robby. Aku memiliki tubuh besar dan sama sekali
tak langsing layaknya wanita-wanita cantik di luar sana.
"Mana ada kayak gini gendut Mbak! Ini sempurna! Aku suka!"
Aku tak bisa menerka apakah Robby serius dengan ucapannya barusan atau hanya
ingin berbasa-basi dan membuat hatiku senang.
"Apalagi nenenmu gede banget Mbak! Toge!" Jemari Robby
kembali menjamah payudaraku, meremasinya secara perlahan hingga membuatku
terpekik lirih.
“To-Toge…?” Kataku sedikit tercekat karena kini Robby menggunakan
sela-sela jarinya untuk menarik-narik putingku.
“Iya Mbak, toge! Itu istilah untuk menggambarkan payudara dengan
ukuran besar.”
Nafas Robby terengah-engah, kini dua tangannya sudah hinggap di
dadaku dan kembali meremasinya. Kali ini Robby menggunakan tekanan yang cukup
masif hingga aku bisa merasakan cengkraman tangannya dan mengalirkan impuls
sensualitas di sekujur tubuhku.
Tak puas hanya menggunakan tangannya saja, kepalanya perlahan
mendekat. Belum sempat aku bereaksi, bibirnya yang tebal sudah mencucup
putingku. Disedotnya perlahan sambil satu tangannya lagi masih meremasi
payudaraku. Tubuhku mengejang, inilah kali pertama tubuhku dijamah secara
langsung oelh seorang pria. Tak hanya dijamah, tapi juga dicabuli!
“Ouucchh! Robbyyy…” Desahku panjang sambil meremasi rambutnya yang
sedikit ikal.
”Kenapa Mbak? Sakit ya?” Tanya Robby sambi melirik ke arahku. Aku
menggeleng lemah.
“Bajumu juga dibuka dong Rob…” Kataku.
“Ah iya Mbak!”
Seperti sedang dikejar oleh sesuatu, Robby buru-buru melepas
pakaiannya hingga sama sepertiku, bugil telanjang bulat. Begitu sluruh
pakaiannya teronggok di atas lantai, perhatianku langsung tertuju pada batang
penisnya yang mengacung tegak. Aku tidak tahu apakah penis Robby itu tergolong
besar atau kecil, panjang atau pendek, entahlah karena baru sekali itu aku
melihat penis seorang pria secara langsung. Satu-satunya referensiku soal ukuran penis
hanyalah dari film bokep yang sering kutonton, dan menurutku ukuran Robby tak
jauh berbeda dari itu.
“Kok bengong Mbak?” Tanya Robby mengacaukan lamunan sesaatku.
“Ah nggak, aku cuma bingung harus ngapain setelah ini.” Kataku
berterus terang. Robby tersenyum seraya menggandeng tanganku dan mengarahkanku
menuju atas ranjang.
“Tenang aja, aku akan ajarin sampai Mbak pinter ngewe.” Ujar Robby
yang membuat bulu kudukku meremang. Hasratku yang lama terpendam menuntun
tanganku untuk meraih batang penisnya.
"Kenapa bisa sekeras ini sih Rob?" tanyaku lugu sambil
menggenggam penis Robby yang memang sudah keras dan hangat itu.
"Itu artinya aku lagi sange banget sama kamu Mbak."
sahut Robby sambil tangannya merayap ke bawah dan mengelus permukaan vaginaku.
“Ah gombal! Kamu nggak usah bohong deh Rob, badanku kan gendut
banget.” Kataku menepis pujiannya yang terdengar begitu manis.
“Kamu nggak gendut Mbak…Kamu itu semok! Banyak pria rela nglakuin
apapun buat ngrasain tubuh kayak gini.” Jemari Robby kembali merayap ke dadaku
seolah itulah tempat favoritnya sedari
tadi.
“Isshh…” Sahutku, namun tetap saja pujian Robby membuat
kepercayaan diriku makin meninggi. Aku tak perlu lagi memikirkan bentuk badanku
yang besar ini, apalagi dari sikap serta pandangan matanya, Robby nampaknya
benar-benar bernafsu padaku.
"Memek perawan kayak gini pasti enak banget rasanya.” Satu
tangan Robby yang masih ada di bawah merusaha menelusupkan jarinya ke dalam
liang senggamaku. Rasa perih dan linu seketika membuat respon tubuhku
memberontak.
“Aaauuhh! Sakiiit!” Protesku.
“Hmmm, padahal baru jari loh Mbak. Belum pake kontolku.
Hehehehehe.” Ujar Robby.
Aku melirik ke bawah, penis Robby yang berada di genggamanku terasa
beberapa kali berdenyut. Entah kenapa ukurannya juga makin membengkak besar.
Aku menelan ludahku sendiri, membayangkan bagaimana daging keras ini nanti akan
menyesaki vaginaku. Akankah terasa sakit?
“Mbak nggak usah khawatir, aku akan melakukannya dengan sangat
lembut. Aku nggak akan bikin Mbak Mei kesakitan.” Ujar Robby lirih tepat di
samping telingaku, seolah tau apa yang sedang aku pikirkan.
"Oke." sahutku dengan senyum.
Robby rebah di sampingku, kami saling berhadapan dan dia mulai
asyik mempermainkan payudaraku. Mula-mula cuma diremasnya dengan lembut. Lama
kelamaan ia mulai mengulum pentilku, terasa disedot-sedot seperti anak kecil
menyusu pada ibunya. Ujung lidahnya memutari beberapa kali putingku, sebelum
kemudian bibirnya yang tebal mencaploknya, lalu mulutnya menghisapnya dengan
kencang.
“Aaaccchh! Rooobb…!”
Aku hanya bisa mendesah sambil sesekali meremas rambut karyawan
Ayahku ini. Pengalaman pertama bercumbu dengan seorang pria nyatanya membuat
respon tubuhku menggelinjang tak karuan. Bibir, mulut, serta lidah Robby yang
mengeksplore payudaraku sukses membuat pinggulku berkali-kali menegang hingga
bergoyang liar lalu terangkat dengan sendirinya.
Jujur saja, apa yang sedang dilakukan oleh Robby saat ini tidak
hanya membuat birahiku terpacu ke titik tertinggi, tapi juga membuat sebagian
akal warasku hilang entah kemana. Apalagi saat Robby sengaja mencapit putingku
dengan bibirnya lalu menariknya sedikit keras, sensasi ngilu sekaligus nikmat
menyergapku hingga membuatku mendesah keras.
“Aaaaaacchhh!! Fuck! Fuck!” Pekikku lantang.
Jarinya merayap ke bawah, ke arah vaginaku. Sambil terus
menghisapi putingku yang makin mengeras, ujung jari telunjuk Robby
menggesek-gesek permukaan clitorisku. Tubuhku menggelinjang bak cacing
kepanasan, serangan demi serangan yang dilancarkan oleh Robby membuatku makin
tergelepar tak berdaya. Lenguhan serta desahan kencang silih berganti terdengar
dari mulutku. Sungguh, inilah kenikmatan yang sedari dulu aku inginkan.
Selang beberapa saat, kepala Robby bergerak ke bawah. Sesekali
bibirnya mengecupi kulit perutku yang membuatku kegelian. Aku terhenyak saat
kepalanya bergerak makin ke bawah hingga akhirnya berhenti tepat di
selangkanganku.
“Kamu mau ngapain Rob?” Tanyaku dengan nafas terengah. Robby
menatapku sambil tersenyum penuh arti.
“Aku mau bikin Mbak Mei makin keenakan.” Ujarnya sebelum merubah
posisi tubuhnya tepat berada di bawah selangkanganku.
“Lebarin pahanya Mbak.” Perintahnya.
Aku yang masih hijau soal hubungan badan hanya bisa menuruti
kemauan Robby. Pria itu pasti sudah begitu paham bagaimana membuat lawan
mainnya mendapatkan rasa nikmat, maka dengan sukarela kubuka lebar-lebar kedua
pahaku hingga membuat lipatan vaginaku merekah tanpa penghalang. Dari mata
Robby aku bisa melihat kilatan antusias, namun belum sempat aku bereaksi,
kepalanya langsung merunduk menyerbu vaginaku.
“Aaaacchhh!! Rooob!”
Gila! Tanpa rasa jijik sedikitpun Robby menjilati vaginaku.
Lidahnya mengular cepat menjelajahi tiap jengkal area senggamaku. Sensasi
hangat, basah bercampur geli membuat tubuhku melenting berkali-kali. Robby
seolah tak menghiraukan eranganku yang makin parau, bibir serta lidahnya terus
bergerilya mencumbu lubang peranakanku.
“Ooooocchh! Oocchh! Rooob! Ammpuunn Roobb!!” Aku sudah tak peduli
lagi jika teriakanku yang makin kencang terdengar hingga keluar kamara.
Kenikmatan yang diberikan oleh Robby memang benar adanya.
Tubuhku menggeliat-geliat dalam arus nikmat yang luar biasa. Seolah
ada aliran listrik yang menyerangku dari ujung kaki hingga ujung kepala saat
Robby menghisap kencang clitorisku. Pria itu cukup lama melakukannya,
hisapannya kadang diselingi jilatan kasar di sana. Aku hanya bisa mengerang,
memohon ampun meskipun pejantanku makin mahsyuk mempermainkan nafsuku. Hingga
beberapa saat kemudian sebuah dorongan kuat mendesak keluar dari liang
senggamaku. Tubuhku menegang lalu mengejang beberapa kali diiringi lenguhan
panjang dari bibirku.
“AAAAACHHHHHH……!”
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Belakangan lalu tahu bahwa
itu yang disebut orgasme. Nafasku tersenggal bukan main, sementara di bawah
sana kurasakan vaginaku makin basah dan cenderung banjir. Robby megangkat
kepalanya, bibirnya yang tebal terlihat basah oleh lendir dan liur. Senyumnya
merekah seolah bangga telah membawaku terbang ke surga dunia.
“Sekarang Mbak Mei sudah siap…” Ujarnya lirih sebelum memposisikan
tubuhnya mengangkangiku. Kulihat ujung penisnya mengkilat dan ada setitik
cairan kental di bagian lubang kencingnya.
"Sengaja kubikin becek dulu, supaya nggak sakit waktu kumasukin
kontol." katanya sambil berusaha meletakkan penisnya tepat di depan celah
vaginaku.
“Ouucchhhh…Rooobbb…” Aku kembali menggelinjang saat Robby
menggesekkan ujung penisnya pada permukaan vaginaku.
"Pahanya lebih direnggangkan lagi Mbak," kata Robby yang
kuturuti juga.
Robby menekan pinggulnya ke bawah, ujung penisnya mendesak masuk,
kurasakan perih sekaligus ngilu mulai menjalar di selangkangan. Robby menehan
berat tubuhnya, penisnya belum sepenuhnya berhasil menerobos masuk ke dalam
liang senggamaku, sepertinya dia melihat ekspresi kesakitan di wajahku dan
memilih untuk tak melanjutkan aksinya.
“Sakit Mbak?” Tanya Robby. Aku mengangguk lemas seraya menggigit
bibirku sendiri.
“Mau dilanjutin?” Tanya Robby sekali lagi, aku kembali mengangguk
pasrah.
“I-Iya lanjutin aja Rob…Ambil perawanku.” Kataku dengan kesadaran
penuh.
“Tahan sebentar ya Mbak…” Bisiknya seraya menambah tekanan
pinggulnya.
“Aaaaauuucchh!!!”
Aku merasakan ada yang robek di selangkanganku kala ujung penis
Robby bergerak semakin masuk. Benar kata orang jika melepas perawan akan terasa
sakit, tapi ternyata tak sesakit yang kubayangkan karena beberapa saat kemudian
aku merasakan seluruh liang vaginaku sudah sesak oleh batang perkasa Robby dan
rasa sakit yang tadi sempat mendera berangsur mulai menghilang berganti dengan
sensasi nikmat.
“Ouucchhhh! Rooobb!” Aku kembali melenguh panjang, pinggul Robby
bergerak naik turun menggenjot tubuhku dari atas.
“Gila! Sempit banget Mbak!” Balas Robby dengan nafas tersenggal.
“E-Enak nggak?” Tanyaku disela persetubuhan kami.
“Enak banget Mbak! Ini memek ternikmat yang pernah aku rasakan!”
Pujian Robby makin membuatku melayang ke angkasa. Lalu desir-desir
nikmat itu makin lama makin nyata ketika penisnya mulai bergerak teratur di
dalam liang vaginaku. Gila! Ternyata benar, bersetubuh adalah kegiatan yang
sangat nikmat. Tiap lesakan penis Robby terasa mantab, rasa gatal di dalam
vagina yang sedari tadi kurasakan karena birahi telah dipuaskan oleh karyawan
Ayahku ini.
Makin lama, gerakan Robby yang menggenjot tubuhku dari atas makin
cepat. Bunyi kecipak tumbukan kelamin kami bersahutan dengan eranganku yang
begitu menikmati persetubuhan ini. Sesekali Robby tak lupa melumat bibir,
leher, serta payudaraku dengan bibir tebalnya. Menambah efek rangsangan pada
tubuhku. Rasa perih seklaigus ngilu yang sempat mendera vaginaku sudah hilang
entah kemana, berganti dengan rasa enak yang begitu sulit aku gambarkan dengan
kata-kata.
Beberapa saat kemudian kurasakan penis Robby berkedut beberapa
kali di dalam vaginaku. Pria gagah itu kemudian buru-buru mencabut batang
kejantanannya itu. Aku bisa melihat darah segar menempel di batang penisnya
bercampur dengan lendir kewanitaannku. Robby mengocok batang penisnya dengan
tangan, mengarahkan lubang kencingnya ke badanku.
“AAARGGHHTT!! AARRRGGHTT!!”
CROT!
CROT!
CROT!
Lalu beberapa detik kemudian cairan kental nan hangat keluar
begitu saja dari dalam penis Robby, menerpa payudara, perut, hingga wajahku.
Cukup banyak sperma Robby yang keluar, tubuhku sampai basah kuyup karenanya.
Setelah puas menuntaskan birahinya, Robby jatuh terlentang di sampingku dengan
nafas terengah.
“Aaaahhh! Gila! Memekmu bener-bener enak Mbak…” Desisnya seraya
memeluk tubuhku.
“Makasih ya Rob, kamu udah mau nurutin apa mauku.” Balasku dengan
tulus.
“Aku yang makasih Mbak udah Senosih kesempatan buat ngambil
sesuatu yang paling berharga dari Mbak Mei.”
Sejenak tercipta keheningan di antara kami berdua. Robby mentap
mataku begitu dalam, seolah sedang mengatakan jika hari ini dia begitu
beruntung bisa mengambil keperawananku. Akupun tak kalah bahagia karena untuk
pertama kalinya bisa menikmati persetubuhan yang selama ini aku idam-idamkan.

Posting Komentar
0 Komentar