PESANTREN SKANDAL

 

GENRE : HIJAB EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 207 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Sinar sore mentari menembus celah-celah pepohonan di Pondok Pesantren Al-Falah, sinar itu juga menyirami lereng hijau pegunungan dengan cahaya keemasan. Kompleks bangunan ponpes Al-Falah terletak di lereng pegunungan yang landai, dikelilingi hutan pinus dan pepohonan rindang. Bangunan-bangunan sederhana dengan arsitektur tradisional Jawa tersusun rapi, mengikuti kontur tanah. Atap-atap genteng merah berderet, sementara dinding kayu dan tembok putih memantulkan cahaya sore yang lembut.

Ponpes Al Falah didirikan oleh Kyai Hanafi pada awal tahun 2000 an, pesantren yang sebelumnya kecil dan hanya memiliki beberapa orang santri kini telah berkembang menjadi kompleks pendidikan agama yang menampung ratusan santri dari berbagai penjuru daerah.

Semua ini terjadi karena popularitas Kyai Hanafi yang meroket sejak beberapa tahun silam. Undangan mengisi ceramah keagamaan dari radio-radio lokal hingga kemudian merambah ke layar kaca nasional membuat image Kyai Hanafi sebagai tokoh agama ternama terangkat naik. Maka tak heran jika banyak orang tua berbondong-bondong menitipkan anak mereka ke Ponpes Al-Falah agar mendapat pendidikan agama yang baik dan terpercaya.

Awalnya Ponpes Al-Falah hanya menerima santri pria sebagai peserta didiknya. Namun sejak beberapa tahun terakhir Ponpes ini mulai menerima juga santri perempuan. Keberadaan Umi Inayah yang tak lain adalah istri dari Kyai Hanafi sedikit membantu proses ini. Di bawah naungan Umi Inayah dan beberapa ustadzah perempuan lain jumlah santri perempuan di Ponpes Al-Falah dari tahun ke tahun makin bertambah.

Kyai Hanafi yang kini sudah berusia hampir 60 tahun  menikah dengan Umi Inayah sejak sepuluh tahun silam. Wanita muslimah yang anggun itu merupakan istri keduanya. Istri pertama Kyai Hanafi diketahui telah berpulang puluhan tahun silam dan dari pernikahan pertamannya tersebut Kyai Hanafi dikaruniai seorang putera yang usianya nyaris sama dengan Umi Inayah bernama Salman Al Fahri dan kini menetap di Jakarta dan berprofesi sebagai staff di sebuah lembaga bantuan hukum di Jakarta.

Sepuluh tahun lalu saat usianya masih 20 tahun, Salman memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Keputusan besar itu dipicu oleh rencana pernikahan Kyai Hanafi dengan Umi Inayah. Salman menilai langkah yang diambil oleh Ayahnya untuk menikahi Inayah adalah kesalahan besar. Bukan hanya karena jarak usia mereka berdua yang terpaut begitu jauh hingga menimbulkan desas-desus banyak orang, tapi juga karena tanpa sepengetahuan Kyai Hanafi, Salman dan Inayah sempat memiliki hubungan spesial.

Sepuluh tahun lalu saat hujan mengguyur deras, membasahi halaman Pondok Pesantren Al-Falah, Salman berdiri di bawah atap serambi mushola, wajahnya tampak cemas. Inayah baru saja keluar dari mushola, air wudhu masih menempel di wajahnya yang pucat.

"Inayah," panggil Salman lirih, suaranya hampir tersapu derasnya hujan. Inayah menatap Salman, matanya berkaca-kaca.

"Gus Salman," jawabnya pelan, menahan isakan.

"Kita harus pergi dari sini, sekarang juga!" pinta Salman, suaranya terdengar putus asa.

"Aku tak bisa membiarkanmu menikah dengan Ayahku."

Inayah menggeleng pelan. Badannya gemetar, bukan hanya karena dinginnya hujan, tapi juga karena beban yang ditanggungnya.

"Maaf, tapi Aku tidak bisa." katanya lirih.

"Kenapa? Kamu tahu, aku mencintaimu. Kita sudah hampir setahun bersama. Aku tak akan pernah meninggalkanmu," desak Salman, langkahnya mendekat.

"Aku juga mencintaimu…" isak Inayah, air matanya mulai membasahi pipi.

"Tapi, keadaan yang memaksaku untuk menerima Kyai Hanafi. Pernikahan ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluargaku."

Salman terdiam, kata-kata Inayah menusuk hatinya. Dia mengerti, Inayah adalah gadis baik yang berkorban demi keluarganya. Dia merasa sangat frustasi, tak tahu harus berbuat apa. Bahkan Salman pun masih tak punya planing apapun jikalau Inayah mau mengikuti maunya.

"Kamu pasti berpikir jika aku lebih memilih uang dan kekayaan daripada memperjuangkan hubungan kita.” Inayah melanjutkan, suaranya semakin lirih.

"Aku ingin hidup bersamamu, membangun keluarga denganmu. Tapi aku tak punya pilihan lain. Ini tanggung jawabku sebagai anak." Salman meraih tangan Inayah, merasakan dinginnya kulit Inayah. Air mata membasahi pipinya.

 "Tapi kamu tak perlu berkorban seperti ini, Inayah. Ada jalan lain." Inayah menarik tangannya, air matanya membasahi tangan Salman.

"Tidak ada, Salman. Tidak ada jalan lain."

Hujan semakin deras, membasahi mereka berdua. Di tengah hujan, cinta mereka berbenturan dengan kerasnya realita kehidupan. Salman dan Inayah terjebak dalam dilema, di antara cinta dan tanggung jawab, di antara mimpi dan kenyataan pahit. Pada akhirnya Salman lah yang harus mengalah dan merelakan cinta sejatinya dinikahi oleh Ayahnya sendiri.

Tapi Salman bukan tanpa perlawanan, tepat di hari ijab qabul dilaksanakan dia memilih untuk pergi dari komplek Ponpes Al-Falah. Rasa sakit hatinya pada Kyai Hanafi yang menafikan kisah asmaranya bersama Inayah memaksa Salman untuk menjauh pergi dan membuka lembaran hidup baru di Jakarta. Hanya dengan bermodalkan sebuah ijazah Aliyah dan sedikit uang tabungan, Salman berjibaku bersama kerasnya kehidupan Ibukota.

Semua jenis pekerjaan pernah dilakukannya untuk sekedar bertahan hidup dan lepas dari bayang-bayang Kyai Hanafi. Mulai dari pekerjaan kasar sebagai kuli bangunan, pelayan kafe, hingga office  boy di sebuah gedung perkantoran dijalani oleh Salman. Hingga di suatu hari dia bertemu dengan Ilham Adyaksa, sahabatnya saat masih mengenyam pendidikan di Aliyah dulu.

Pertemuan tak disengaja itu membawa laju kehidupan Salman mulai berubah. Ilham yang terlahir dari keluarga mapan dan berpendidikan tinggi saat itu sudah memiliki tanggung jawab untuk mengelola sebuah lembaga bantuan hukum. Tak mau melihat sahabatnya menjalani pekerjaan kasar, Ilham mengajak Salman untuk bekerja di LBH yang dia pimpin sebagai seorang staff.

Tak perlu pikir panjang, Salman pun menerima pekerjaan baru tersebut. Tak hanya pekerjaan, Ilham juga mengijinkan Salman untuk tinggal di salah satu rumah miliknya yang hanya berjarak sekian meter dari lokasi LBH. Karena hal inilah, Salman merasa berhutang budi pada Ilham, maka apapun perintah atau permintaan Ilham sebisa mungkin akan dituruti oleh Salman.

Kepergian Salman dari lingkungan ponpes saat acara ijab qabul pernikahan membuat Kyai Hanafi murka. Sejak hari itu dia menganggap Salman sebagai seorang anak durhaka yang tak tau berterima kasih. Celakanya, Salman adalah satu-satunya keturunannya. Selama sepuluh tahun menikah dengan Umi Inayah, pasangan suami istri itu tak kunjung mendapatkan keturunan.

Berbagai cara sudah dilakukan oleh Kyai Hanafi untuk mendapatkan keturunan. Mulai dari pengobatan tradisional hingga pengobatan medis sudah ditempuh pemuka agama tersebut namun tak kunjung membuahkan hasil. Dengan ketiadaan seorang anak maka tongkat estafet kepengurusan Ponpes Al-Falah yang makin berkembang ini dipertanyakan. Apalagi lambat laun usia Kyai Hanafi bertambah uzur termakan zaman.

Situasi semacam ini membuat Kyai Hanafi menjadi stress dan berujung pada penghakiman terhadap Umi Inayah. Kyai Hanafi menganggap istrinya yang berusia muda itu sebagai wanita gagal dan tak bisa memberikannya keturunan. Satu tahun terakhir pernikahan pasangan yang berbeda usia cukup jauh tersebut mendadak jadi dingin dan hambar.

Umi Inayah tak bisa berbuat banyak meskipun hasil medis sudah membuktikan jika perihal kenapa tak kunjung diberikan momongan adalah karena kualitas sperma Kyai Hanafi yang buruk, bukan karena sebab lain. Sebagai seorang muslimah yang sejak kecil dididik ilmu agama di lingkungan pesantren, doktrin istri adalah seorang makmum bagi suaminya melekat kuat di kepala Umi Inayah. Maka apapun bentuk kemarahan Kyai Hanafi pada dirinya diterima dengan lapang dada tanpa ada niat sedikitpun untuk memberontak.

 

***

 

Suasana sore hari di Ponpes Al-Falah yang semula tenang mendadak terasa mencekam. Hadi, pria berusia 22 tahun yang merupakan salah satu ustadz, melangkah dengan cepat dan penuh amarah. Tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Savina, santri perempuan berusia 17 tahun yang selama ini terkenal bandel di antara para santri lain. Inilah kali ketiga gadis bergigi gingsul itu harus berurusan dengan Ustadz Hadi karena kedapatan mengambil barang salah satu santri lain.

Wajah Ustadz Hadi menegang, rahangnya mengeras menahan geram. Savina mencoba memberontak, namun genggaman tangan Hadi terlalu kuat. Sepanjang koridor pesantren, beberapa santri yang melihat mereka hanya bisa terdiam, membiarkan pemandangan itu berlalu dengan rasa was-was.

"Kali ini kamu sudah keterlaluan, Savina," gumam ustadz Hadi dengan suara rendah penuh penekanan.

Langkahnya semakin cepat, mendorong Savina menuju ruang Kyai Hanafi, tempat di mana segala masalah akan diputuskan untuk mendapatkan solusi. Savina sendiri kini terdiam. Tidak ada lagi sikap membangkang atau senyum nakalnya. Kali ini, ia seperti anak anjing yang tertangkap basah melakukan kesalahan.

Ruang itu terletak di ujung kompleks pesantren, di balik pintu kayu jati yang besar. Saat mereka mendekati pintu itu, jantung Savina berdetak kencang. Setelah Ustadz Hadi mengetuk pintu beberapa kali, pria itu kemudian membuka pintu ruang Kyai Hanafi hingga akhirnya terbuka. Kyai Hanafi duduk di kursinya, wajahnya teduh namun terlihat serius. Matanya menyapu pandang ke arah Hadi dan Savina.

"Ada apa, Hadi?" tanya Kyai Hanafi dengan suara yang dalam.

“Masalah yang sama Kyai, Savina kedapatan mengambil barang santri lain.” Savina hanya bisa menunduk tanpa berani menatap wajah Kyai Hanafi.

“Kali ini apa yang diambil Savina?”

“Beberapa santri melapor kehilangan pakaian dalam dan hijab. Kami sudah melakukan penggeledahan dan menemukan barang-barang itu di lemari Savina.” Ujar Ustadz Hadi menjelaskan. Kyai Salman masih duduk di kursinya, gerak tubuh pria tua itu terlihat sangat tenang dan berwibawa.

"Hadi, sekarang tinggalkan kami berdua. Kamu boleh pergi dan melanjutkan aktifitas." Perintah Kyai Hanafi dengan suara rendah.

Ustadz Hadi terlihat terkejut. Ia ingin memprotes, namun melihat raut wajah Kyai Hanafi yang tak bisa dibantah, ia pun hanya mengangguk patuh. Dengan hati sedikit ragu, Hadi melepaskan genggaman tangan Savina dan keluar dari ruangan, meninggalkan Savina sendirian bersama Kyai Hanafi.

Pintu ruang Kyai Hanafi tertutup dengan lembut, meninggalkan Savina sendirian di hadapan sang Kyai. Ruangan itu terasa lebih sunyi tanpa kehadiran Ustadz Hadi, dan Savina bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang.

Kyai Hanafi bangkit dari tempat duduknya, langkahnya pelan dan penuh perhitungan. Dalam keheningan, Savina berharap mendapatkan bimbingan dengan ketenangan dan kebijaksanaan yang biasa dimiliki Kyai. Namun seiring dengan pendekatannya, perubahan pada raut wajah Kyai Hanafi membuat jantung Savina berdegup kencang. Ini bukan kali pertama untuknya melihat ekspresi janggal seperti itu.

Sekilas, ekspresi kewibawaan yang sempat menghiasi wajah Kyai Hanafi mulai pudar, berganti dengan raut cabul mesum dan mengerikan, seolah meleburkan semua kehormatan yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin keagamaan ternama.

“Kamu tahu, Savina,” suara Kyai Hanafi menggema, namun nada yang diusungnya kini memilukan.

 “Kadang-kadang, kita perlu lebih dari sekadar hukuman untuk mengubah seseorang. Terkadang, kita juga butuh pemahaman yang lebih dalam.”

Savina ingin mundur, terasa ada ketakutan yang melanda. Dalam detik-detik berikutnya, dia membayangkan semua waktu yang telah dihabiskan di pesantren, semua pelajaran yang dia terima, dan betapa dia ingin menjadi santri yang baik. Namun, tatapan Kyai Hanafi memberikan aura yang benar-benar berbeda, aura yang bukan seharusnya ia terima dari seorang guru. Sambil menggigit bibir, Savina berusaha mencari kata-kata untuk membela dirinya, meskipun hatinya terasa berat dan berkecamuk.

“Maafkan saya Kyai…” katanya dengan suara tercekat. Kyai Hanafi maju lebih dekat, wajahnya kini tenggelam dalam bayangan.

“Kadang, kita bisa menjadikan kesalahan itu sebagai pelajaran berharga, bukan hanya sekadar untuk dihukum,”

“Ini bukan pertama kalinya kan kamu melakukan pelanggaran? Apakah aku harus mengeluarkanmu dari pondok dan menceritakan semuanya pada kedua orang tuamu?” Lanjut Kyai Hanafi yang makin mengintimidasi.

“Jangan Kyai, saya mohon jangan lakukan itu.”

Savina pantas khawatir jika Kyai Hanafi mengadukan segala macam tingkah buruknya selama jadi santri di ponpes Al-Falah. Savina tak akan kuat mendapat amukan ayahnya yang terkenal begitu keras dalam mendidik. Apalagi jika kedua orang tuanya tau jika selama ini kebiasaannya mengambil barang-barang kecil milik orang lain tak kunjung hilang. Savina tak mau itu semua terjadi.

“Kamu tau kan apa yang harus dilakukan Savina?” Kyai Hanafi makin mendekat ke arah Savina, jarak mereka hanya sekian sentimeter bahkan Savina bisa mencium aroma tembakau bakar dari nafas sang Kyai. Gadis itu takluk dan hanya menurut saat Kyai Hanafi menggandeng tangannya menuju ruangan lain

PART 2

 

Pintu kecil dari kayu jati itu berderit pelan saat Kyai Hanafi membukanya. Di dalamnya, bukan kitab atau manuskrip yang menyambut, melainkan sebuah ruangan yang terasa berbeda. Dindingnya dilapisi kain batik tua dengan warna yang sudah pudar. Di tengah ruangan terdapat meja kecil dengan alas anyaman pandan, dan beberapa bantal lantai yang tampak nyaman ada di atas sebuah dipan kecil.

Aroma kayu cendana tercium samar, bercampur dengan wangi rempah-rempah yang menenangkan. Ruangan ini terasa seperti dunia lain, sebuah tempat  yang penuh dengan rahasia. Savina merasa seperti memasuki sebuah ruang sakral, di mana hanya orang-orang tertentu saja diizinkan masuk oleh Kyai Hanafi.

“Ayo masuk, jangan buang-buang waktu.” Suara Kyai Hanafi terdengar datar, tapi Savina tetap gemetar. Matanya menatap plafon yang dipenuhi jejak rayap.

Kyai Hanafi duduk di tepian ranjang dengan senyum penuh arti. Savina menutup pintu ruangan itu sebelum kemudian menyusul sang Kyai duduk.

“Kamu gadis cantik yang nakal, sekarang aku harus menghukummu.” Bisik Kyai Hanafi yang makin meremangkan bulu kuduk Savina.

Tangan kiri Kyai Hanafi segera merangkul pundak sang gadis, sementara tangan kanannya meraba tangan Savina yang saling menggenggam erat di pangkuan menahan gugup. Bibir Kyai Hanafi menyambar, pelan mengecup pipi halus yang ada di hadapannya. Tangan kirinya segera merasakan pundak gadis itu bergetar hebat.

“Kenapa jadi gugup? Masih takut ya?” Desis Kyai Hanafi, Savina menggeleng lemah.

Kecupan Kyai Hanafi bergeser ke belakang telinga Savina yang masih tertutup jilbab, menyapukan nafas panasnya di sana. Hidungnya juga disapukan ke sepanjang leher gadis itu, seusai tangan kirinya menyibak gelombang jilbab lebar Savina. Dijilatinya batang leher yang terasa begitu halus, sontak membuat gadis itu menggelinjang geli.

“Ahhhh!!”

Kedua tangan Savina yang tadi saling berpegangan erat di pangkuan, sontak terlepas, satu mencari pegangan di kasur, sedang satu lagi untuk menahan tubuh Kyai Hanafi yang mulai mendekapnya. Kyai Hanafi segera menyadari tangannya tidak lagi menjamah tangan gadis muda ini, tapi sudah jatuh ke pangkuan, tepat ke gundukan pangkal paha Savina yang tertutup baju terusan panjang.

“Hari ini aku tidak akan melepaskanmu maling kecil,” pikir Kyai Hanafi sembari menjilat leher Savina dan sesekali menggigit kecil.

“Ehmm...”

Savina mendesah kegelian, baru menyadari tangan kanan Kyai Hanafi mulai membelai dan menekan keras pangkal pahanya.

“Wah, kalau begini mending langsung tancap aja!” benak Kyai Hanafi berputar menyadari tidak ada reaksi perlawanan dari sang gadis.

Semakin berani, jemari Kyai Hanafi segera mencari-cari kancing baju Savina satu persatu berhasil dilepasnya, sembari lidahnya menjelajahi belakang leher jenjang gadis itu. Serangan Kyai Hanafi yang tidak sengaja pada daerah utama kepekaannya, mulai menyulut bara gairah Savina. Dia mulai tersengal, sangat gugup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya.

Tangan kirinya meremas-remas kain sprei akibat serangan rasa geli, sementara tangan kanannya seolah tak berani menyentuh tubuh pria yang sekarang sedang mendesaknya. Savina hanya bisa mendesis lirih jengah merasakan tangan Kyai Hanafi di daerah terlarangnya. Pikirannya buntu menganalisa situasi.

Tanpa disadari, kini sebagian besar kancing baju Savina sudah terlepas. Kyai Hanafi menariknya berdiri dan memelorotkan baju terusan itu. Savina hanya bisa pasrah melakoni apa yang sudah dibayangkannya akan terjadi. Terpampanglah tubuh mulus indah miliknya yang selama ini selalu tertutup rapat, terlihat putih mengkilat dalam keremangan kamar, berbalut celana dalam dan BH berenda warna krem, serta jilbab putih yang kini sudah acak-acakan.

Tubuh Savina gemetar karena telanjang di hadapan lelaki tua yang tak lain adalah Kyai nya sendiri, sesuatu yang bukan kali pertama ia lakukan. Tangan kirinya yang bebas reflek mencoba menutupi wilayah sucinya, tapi terlambat. Kalah sigap. Tanpa basa-basi, Kyai Hanafi langsung memelorotkan celana dalam krem tersebut, dan segera memapangkan keindahan pangkal paha yang seharusnya pantang dilihat oleh lelaki manapun.

“Auw!”

Kaget ditelanjangi mendadak, Savina tak sengaja membantu dengan menggeser dan melangkahkan kaki melepas celana dalamnya. Jemari Kyai Hanafi menggesek lembut bukit bersemak itu saat melakukannya. Savina hanya bisa memegang rambut pria tersebut agar badannya tidak jatuh.

“Sini, cah ayu….”

Kyai Hanafi mendorong lembut tubuh telanjang Savina yang begitu menggairahkan, memintanya agar kembali duduk. Dia kemudian mengambil posisi berlutut di hadapan sang gadis sambil tangannya membelai paha mulus Savina yang tersaji indah di hadapannya, lidahnya juga ikut meluncur mengecup dan menjilati sebelah paha yang lain.

“Ohh…”

Savina mulai mendesah, menikmati geli-geli nikmat yang membakar api birahinya. Pahanya dikatupkan, malu. Kyai Hanafi menyadari gerakan ini, kecupannya diganti gigitan kecil, dan sebelah tangannya mulai meraba dari sisi bawah paha Savina.

“Ihh…”

Savina mulai menggelinjang lembut menggairahkan, tangannya mulai berani membelai rambut pria tua yang berlutut di hadapannya. Saat ia rasakan gigitan di pahanya, tangannya pun tersentak menjambak mesra rambut ikal Kyai Hanafi.

Kyai Hanafi menyibakkan pangkal paha Savina yang terkatup, dibelainya sepanjang kedua sisi dalamnya, sengaja menyentuh pangkal paha mulus yang hanya dilindungi secupak bulu-bulu halus.

“Ohh! Kyai!”

 Savina merintih cemas dan grogi saat jilatan lidah Kyai Hanafi mulai menjalari pangkal paha, bahkan terkadang hampir sampai ke area kewanitaannya.

“Ohh…”

 Savina kembali menggelinjang dan mencoba mengatupkan pahanya. Tangannya meremas rambut sang Kyai. Sembari tetap berlutut, Kyai Hanafi sedikit memelorotkan Savina dari tepian kasur, sampai hanya pantatnya yang sedikit bertumpu di ujung ranjang. Diangkatnya sebelah kaki gadis itu ke pundaknya, dengan bagian belakang lutut ditumpangkan ke bahunya. Kaki Savina yang sebelah juga diperlakukannya sama.

Jadilah kini wajah Kyai Hanafi hampir menyentuh kewanitaan Savina, ia menyapukan nafas panasnya ke sana seperti angin yang melanda daerah perbukitan, semakin menambah bara api birahi sang gadis berjilbab. Pelan hidung Kyai Hanafi menyentuh bulu-bulu lembut yang tak berdaya melindungi daerah rahasia milik Savina, sambil kedua tangannya masing-masing meremas paha telanjang si gadis yang menumpang di pundaknya.

Savina mulai menggeliat tak terkendali, nafasnya mulai tersengal terengah-engah. Pikirannya panik membayangkan apa yang akan terjadi ketika daerah sucinya mulai dijarah oleh Kyai Hanafi.

“Arghhh!” Savina mengerang saat Kyai Hanafi melancarkan serangan kilat, mengecup bibir atas kemaluannya.

Celah sempit itu sudah sedikit basah. Kyai Hanafi sangat bersemangat menghirup aroma harum dari gadis muda yang diyakininya benar-benar alim ini. Sangat jauh berbeda dari aroma wanita-wanita penghibur yang selama ini ia temui. Membuat Kyai Hanafi jadi tak sabar untuk segera mengeluarkan taktik andalannya, yaitu serangan oral.

Stamina lidah Kyai Hanafi memang pantas diacungi jempol. Hal ini akibat dari ukuran penisnya yang standar pria Asia, yang kadang-kadang sering diledek para wanita yang pernah tidur dengannya. Tetapi dengan keahlian oralnya, Kyai Hanafi mampu menjatuhkan sebagian besar mereka. Penisnya hanya dijadikan hidangan penutup saja.

Maka segera lidah kasar Kyai Hanafi menyapu mulai dari lubang pantat naik ke atas menyikat bulu pepohonan, membajak lubang kemaluan, menumbangkan klitoris, mengampelas gundukan bukit, terus naik sampai ke pusar, hingga membuat Savina jadi menjerit keenakan.

“Kyai! Oohh!!” Savina merintih terbata-bata.

“Ohhh!”

Savina kembali melenguh ketika Kyai Hanafi mengulangi sapuan lidahnya. Tak sadar kedua tangannya menjambak keras rambut laki-laki tua itu, mencoba menahan sentakan-sentakan nikmat yang mengiringi geliat tubuhnya.

“Ohhh!”

Kembali Kyai Hanafi mengulangi gerakan yang sama, kali ini lebih perlahan, tetapi dengan tekanan semakin kuat. Bahkan saat menyapu lubang kewanitaan Savina, lidahnya dicucukkan sedalam-dalamnya.

“Auwh!”

Savina tersentak menggelinjang, tangannnya mencoba meringankan derita kenikmatan dengan menekan keras kepala Kyai Hanafi ke pangkal pahanya.

“Aduh!!” Kembali Savina mengeluh ketika upayanya menahan kenikmatan ternyata tidak berhasil, bahkan semakin membuat Kyai Hanafi tambah bersemangat dalam menjilat.

“Bener-bener masih hijau , mudah sekali takluknya,” pikir Kyai Hanafi sambil kembali mengulangi sapuan lidahnya. Wanita lain mungkin membutuhkan upaya jauh lebih keras untuk sampai tahap ini, tapi Savina dengan gampang saja diantarnya.

“Shhh…” Savina mulai melemahkan jambakan tangannya di rambut Kyai Hanafi ketika dirinya mulai terbiasa dengan deraan birahi keganasan lidah sang supir tua.

“Ooohhh Kyai…” desahnya menikmati sapuan lidah Kyai Hanafi di kemaluannya.

Perlahan tapi pasti birahi Savina mulai dapat mengimbangi gelombang kenikmatan yang ditimbulkan. Pinggulnya mulai menggeliat bergairah menyambut rindu setiap sapuan lidah Kyai Hanafi. Kyai Hanafi sangat menyukai pinggul yang mengelinjang ini, makin menambahkan kobaran semangatnya. Sungguh Savina merupakan perempuan baik-baik.

“Bagaimana, kamu suka?” Kyai Hanafi menengadah memandangi wajah ayu yang terpejam di hadapannya.

Wajah Savina nampak memerah, terengah-engah disiksa oleh kenikmatannya. Dia tidak menjawab. Bisa dilihatnya kalau Kyai Hanafi berhenti sejenak untuk mengatur nafas, maklum saja mengobrak-abrik pangkal pertahanan wanita di area yang sangat sempit, sangat terbatas suplai oksigennya.

“Hhh... hhh...” Savina merintih, juga dengan susah payah mengatur engahan napasnya. “

“Auw!” dan ia kembali menjerit manakala Kyai Hanafi mendadak kembali nyosor di daerah sucinya.

“Hmmphh...”

 Kini sapuan lidah laki-laki tua itu berganti arah, bila tadi vertikal, sekarang horisontal.  Mulai dari sisi paha di bahu kiri, menjelajah lembut ke pangkal paha Savina, menggelitik-gelitik di pangkal paha dengan ujung lidahnya, dan kembali menyapukan pangkal lidahnya yang kasar di kulit mulus paha Savina yang tertumpang di bahu kanannya.

“Ssshhh…”

Savina tersentak menahan serangan model baru ini. Tubuhnya miring ke belakang, sementara jari-jemarinya hanya mampu meremas-remas rambut lelaki itu, berusaha menahan kenikmatan setiap sapuan lidah Kyai Hanafi yang begitu buas dan rakus.

“Ohh!”

Setelah sekian kali lidah kasar Kyai Hanafi bekerja keras bolak-balik membajak pangkal pahanya, Savina mulai merasakan sensasi baru yang sama sekali belum pernah ia alami. Birahinya semakin meletup, kali ini menuntut sesuatu. Dengan lidah Kyai Hanafi masih berkutat di pangkal paha, Savina menjambak kembali dan menekan keras wajah lelaki itu tepat ke lubang kewanitaanya.

“Kyai! Aduh!!” desahnya ketika lidah nakal Kyai Hanafi menggelitik di sekitar bibir kemaluannya.

“Hempphh..”

Hidung Kyai Hanafi terganjal gundukan bukit, sementara itu dirasakannya pinggul Savina menggelinjang semakin keras mengejar sapuan lidahnya. Maka segera ia benamkan wajah dalam-dalam ke liang senggama si gadis alim yang sedang mengangkang, dan menjilat semakin cepat.

Senang sekali Kyai Hanafi melihat perubahan perilaku Savina, gadis cantik yang sehari-hari berjilbab ini kini telah berubah menjadi wanita muda yang binal di ranjang. Mana ada perempuan alim membenamkan dalam-dalam wajah lelaki asing di liang kehormatannya dengan begitu bergairah?

Bahkan ketika lidah Kyai Hanafi berpaling ke arah lain, Savina seperti tidak rela, segera ia mengatupkan pahanya untuk menjepit kuat-kuat kepala Kyai Hanafi agar tidak pergi meninggalkan benteng kehormatannya. Dengan tubuh sudah didesak-desak oleh kebutuhan birahi, Savina menuntut haknya, kewanitaanya menginginkan penyiksaan lebih lanjut.

“Aaahhh! Enakk!!”

Savina menggelinjang kasar. Bahasa tubuhnya jelas, birahinya mulai mendaki menuju puncak. Kyai Hanafi yang memahami bahasa tubuh ini, segera berkonsentrasi menghajar liang kewanitaan Savina lebih cepat lagi. Dikangkangkannya paha gadis itu lebar-lebar sambil lidahnya dijulurkan dalam-dalam ke liang Savina yang sudah sangat basah kuyup. Air liurnya sudah bercampur aduk dengan lendir pekat yang bertaburan.

“Ahh! Ahh! ahh...”

Savina mengerang saat kasarnya lidah Kyai Hanafi menyodok-nyodok dinding kemaluannya. Birahinya sudah lepas kendali, pinggulnya menggeliat-geliat mencoba mengimbangi.

“Ssh! Shh!”

Jemari  Savina menjambak rambut Kyai Hanafi, membenamkan wajah lelaki tua yang sering dipandang sebagai ahli agama itu ke celah selangkangannya dalam-dalam. Dengan kasar Kyai Hanafi terus menjilat dan menghisap tanpa ampun, sampai akhirnya Savina mulai meracau,

“Kyai! Ohh, Kyai!”

Dengan malu-malu ia mencoba mengundang sang lelaki tua agar menuntaskan perbuatannya, dengan cara membenam-benamkan berulangkali wajah bulat Kyai Hanafi ke selangkangannya. Kyai Hanafi tersenyum dalam hati, bener-bener mudah gadis ini ditaklukkan. Lidahnya semakin buas memporak-porandakan lubang kesucian Savina.

“Kyai! Sssh! ohh, Kyai! Ohh!!”

 Gadis itu jadi semakin tak tahan, suaranya sudah bergetar hampir menangis. Pinggulnya menggelinjang tak karuan, sementara tangannya sudah tidak beraturan membenam-benamkan wajah bulat Kyai Hanafi. Kyai Hanafi semakin buas, gerakan lidahnya mirip lidah harimau yang sedang minum: sangat cepat! Ini adalah salah satu jurus teknik oralnya yang legendaris.

“Kyai...Aahh...A-ayo, Kyai! Ayo!!”

Lepas juga kata-kata ini dari bibir tipis Savina, tanpa terkendali, diledakkan oleh gejolak birahi yang menuntut sesegera mungkin untuk dipenuhi. Gadis itu sudah lupa akan rasa malu serta nilai-nilai kehormatan seorang santri.

“Ayo, Kyai! ohh... cepat entotin aku! Ohh...”

Savina merengek dalam hati ketika sambil berlutut, sembari mempertahankan hujaman-hujaman lidahnya, dilihatnya Kyai Hanafi mulai melepaskan celananya. Agak sulit tetapi berhasil.

“Kyai...ahh! U-udah, Kyai! Udah!”

 Suara Savina bergetar dalam tangis penuh kenikmatan. Geliatan pinggulnya sudah tidak membantu, sudah lepas kendali, meronta semakin liar tak terkendali. Mendadak ia merasakan lelaki di hadapannya ini perlahan bangkit berdiri sambil tetap memanggul kedua pahanya.

“Shhh…” agak lega Savina terengah menarik napas, sejenak terbebas dari siksa nikmat lidah kasar lelaki tersebut.

Dia tidak sadar tubuhnya agak melorot karena Kyai Hanafi sudah berdiri tegak di hadapannya sambil tetap memanggul kedua pahanya. Lelaki tua itu membetulkan posisi berbaring Savina di ujung ranjang, dengan hanya pinggul Savina yang menumpu di sana, sementara punggung dan bahu gadis itu agak tertekuk pada sandaran tempat tidur.

“Ihh…”

Pikiran Savina yang kacau mendadak menjadi jernih begitu disadarinya ada sebentuk daging keras yang tiba-tiba menyodok di lubang kemaluannya.

“Ohhh!” Muncul sedikit rasa khawatir akan disetubuhi oleh sang Kyai, akan tetapi kuatnya desakan birahi mampu menyapu tuntas kekhawatirannya.

“Tahan ya…”

Kyai Hanafi menguakkan kedua pangkal paha gadis itu, sembari sedikit menekan penisnya ke haribaan tubuh mungil berjilbab yang terlihat mengangkang lebar menggairahkan.

SLEEP!

Sedikit nyelip, namun agak mudah, mungkin karena kewanitaan Savina sudah basah kuyup, apalagi sudah dikorek-korek tadi. Sesaat Kyai Hanafi diam begitu alat kelamin mereka mulai bertaut erat, memberi kesempatan pada gadis itu untuk bernapas.

“Nggak sakit kan?” Kyai Hanafi menggoda wajah ayu kuyu yang terpejam terlentang setengah tertekuk di hadapannya.

“Nggak, Kyai shhh! Teruskan saja,”

Savina menggelinjang manakala kemaluannya didera oleh kehangatan ujung penis yang baru sedikit nyelip. Tubuhnya mendadak kembali tidak sabar meminta untuk dihajar. Belum selesai menjawab, Kyai Hanafi kembali menghujam pelan tapi penuh tenaga. Bless! amblas-blass! Bagai sebuah truk besar yang melaju kencang menyusuri mulusnya jalan tol.

“Auw! Ssshh...”

Tangan Savina langsung menggapai-gapai mencari pegangan, namun ia hanya menjumpai ujung ranjang yang segera digenggamnya erat-erat. Walaupun sebenarnya penis Kyai Hanafi standar saja, tapi efeknya sama saja bagi gadis muda itu.

“Kyai ohh!”

Savina sudah tak malu-malu lagi menggeliatkan pinggul, mencoba menyerang sang penis, berharap pendakiannya dapat segera tuntas. Ia mencoba gerakan memutar-mutar, dan maju mundur. Biasanya gerakan ini dapat membuat sang Kyai menyerah dengan mudah, karena dengan begitu ia dapat memerah kejantanan yang sedang menusuk pinggulnya dengan otot-otot kemaluannya yang sangat kuat.

“Hhhh!!”

Namun kali ini Savina harus mendesah sendiri saat gempuran ototnya ditandingi oleh penis yang terus menggosok dengan bandel, sama sekali tidak ingin kalah apalagi menyerah. Akibatnya, geliatan Savina berubah dari respon melayani, menjadi dorongan lapar yang menuntut pemuasan birahi.

“Shh...Shh...Ahh...”

Gerakan pinggul gadis itu semakin cepat dan tak terkendali, begitu juga dengan rintihannya. Kepalanya tersentak-sentak ke kiri dan ke kanan, berusaha menahan desakan nikmat dari hujaman keras si lelaki. Tangannya mencoba menjangkau pinggang Kyai Hanafi, agak sulit, dan kembali hanya mampu meremas-remas ujung tempat tidur.

“Kyai, ohh! a-aku! Ohh!”

Pinggul Savina yang memutar terus dihantam penis Kyai Hanafi. Setiap putaran dibalas oleh tusukan yang begitu dalam dan panas.

“Ohh! s-sudah, Kyai... shh... sudah!!” lirih Savina dengan wajah kuyu dan mata berkerenyit terpejam, tersiksa oleh deraan rasa nikmat.

 Gadis bergigi gingsul itu terus mendesah-desah, sesekali mengeluh keras. Kyai Hanafi tersenyum. Puas sekali rasanya ketika ia menyadari Savina sudah tiba pada puncak pendakiannya. Namun karena ingin menyiksa sebuas-buasnya salah satu santri wanitannya ini, maka hujamannya sama sekali tidak berhenti, tetap jalan terus, bahkan menjadi dua kali lipat lebih buas, sampai membuat otak Savina kacau saat mulai mengarungi puncak kenikmatannya.

“Hhh... hhh...”

Susah payah Savina mengimbangi. Gerakan pinggulnya sudah berhenti, digantikan oleh geliatan lembut tak teratur. Tubuhnya pasrah, sudah tidak mampu lagi memberikan serangan balasan. Dia dengan mudah segera lemah tak berdaya ditaklukkan oleh lelaki ini. Terutama akibat tidak siap menghadapi serangan kilat lidah Kyai Hanafi di awal-awal permainan tadi. Dengan pinggul bergetar-getar halus, tubuh Savina lunglai tak berdaya meresapi puncak kepuasan yang melingkupi dirinya.

“Ohh! Kyai! Ohhh!” dia menyatakan kepuasannya. Berterima kasih tentunya, karena telah dibantu dengan tidak mengadukan perbuatannya pada kedua orang tuanya, sekaligus mendapat bonus puncak kenikmatan.

Menyadari Savina sudah sedemikian lunglai, Kyai Hanafi memutuskan untuk segera mengakhiri permainan. Sekali dan dua kali sentak pria tua itu mencabut batang penisnya, mengocoknya sebentar, mengarahkan ujungnya pada badan bugil Savina, lalu beberapa detik kemudian dari lubang kencingnya meluncur deras cairan kental berwarna putih menerpa tubuh serta hijab Savina.

“Haaaahhh! Haaahhhh!!”

Kyai Hanafi menjatuhkan tubuhnya di samping Savina. Tak ada percakapan diantara mereka berdua, yang terdengar hanyalah desah nafas tersenggal menguar di udara.


Posting Komentar

0 Komentar