PESANTREN SKANDAL
PART 1
Sinar sore mentari menembus
celah-celah pepohonan di Pondok Pesantren Al-Falah, sinar itu juga menyirami
lereng hijau pegunungan dengan cahaya keemasan. Kompleks bangunan ponpes
Al-Falah terletak di lereng pegunungan yang landai, dikelilingi hutan pinus dan
pepohonan rindang. Bangunan-bangunan sederhana dengan arsitektur tradisional
Jawa tersusun rapi, mengikuti kontur tanah. Atap-atap genteng merah berderet,
sementara dinding kayu dan tembok putih memantulkan cahaya sore yang lembut.
Ponpes Al Falah didirikan oleh Kyai
Hanafi pada awal tahun 2000 an, pesantren yang sebelumnya kecil dan hanya
memiliki beberapa orang santri kini telah berkembang menjadi kompleks
pendidikan agama yang menampung ratusan santri dari berbagai penjuru daerah.
Semua ini terjadi karena popularitas
Kyai Hanafi yang meroket sejak beberapa tahun silam. Undangan mengisi ceramah
keagamaan dari radio-radio lokal hingga kemudian merambah ke layar kaca
nasional membuat image Kyai Hanafi sebagai tokoh agama ternama terangkat
naik. Maka tak heran jika banyak orang tua berbondong-bondong menitipkan anak
mereka ke Ponpes Al-Falah agar mendapat pendidikan agama yang baik dan
terpercaya.
Awalnya Ponpes Al-Falah hanya
menerima santri pria sebagai peserta didiknya. Namun sejak beberapa tahun
terakhir Ponpes ini mulai menerima juga santri perempuan. Keberadaan Umi Inayah
yang tak lain adalah istri dari Kyai Hanafi sedikit membantu proses ini. Di
bawah naungan Umi Inayah dan beberapa ustadzah perempuan lain jumlah santri
perempuan di Ponpes Al-Falah dari tahun ke tahun makin bertambah.
Kyai Hanafi yang kini sudah berusia
hampir 60 tahun menikah dengan Umi
Inayah sejak sepuluh tahun silam. Wanita muslimah yang anggun itu merupakan
istri keduanya. Istri pertama Kyai Hanafi diketahui telah berpulang puluhan
tahun silam dan dari pernikahan pertamannya tersebut Kyai Hanafi dikaruniai
seorang putera yang usianya nyaris sama dengan Umi Inayah bernama Salman Al
Fahri dan kini menetap di Jakarta dan berprofesi sebagai staff di sebuah
lembaga bantuan hukum di Jakarta.
Sepuluh tahun lalu saat usianya masih
20 tahun, Salman memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Keputusan besar itu
dipicu oleh rencana pernikahan Kyai Hanafi dengan Umi Inayah. Salman menilai
langkah yang diambil oleh Ayahnya untuk menikahi Inayah adalah kesalahan besar.
Bukan hanya karena jarak usia mereka berdua yang terpaut begitu jauh hingga
menimbulkan desas-desus banyak orang, tapi juga karena tanpa sepengetahuan Kyai
Hanafi, Salman dan Inayah sempat memiliki hubungan spesial.
Sepuluh tahun lalu saat hujan
mengguyur deras, membasahi halaman Pondok Pesantren Al-Falah, Salman berdiri di
bawah atap serambi mushola, wajahnya tampak cemas. Inayah baru saja keluar dari
mushola, air wudhu masih menempel di wajahnya yang pucat.
"Inayah," panggil Salman
lirih, suaranya hampir tersapu derasnya hujan. Inayah menatap Salman, matanya
berkaca-kaca.
"Gus Salman," jawabnya
pelan, menahan isakan.
"Kita harus pergi dari sini,
sekarang juga!" pinta Salman, suaranya terdengar putus asa.
"Aku tak bisa membiarkanmu
menikah dengan Ayahku."
Inayah menggeleng pelan. Badannya
gemetar, bukan hanya karena dinginnya hujan, tapi juga karena beban yang
ditanggungnya.
"Maaf, tapi Aku tidak bisa."
katanya lirih.
"Kenapa? Kamu tahu, aku
mencintaimu. Kita sudah hampir setahun bersama. Aku tak akan pernah
meninggalkanmu," desak Salman, langkahnya mendekat.
"Aku juga mencintaimu…"
isak Inayah, air matanya mulai membasahi pipi.
"Tapi, keadaan yang memaksaku
untuk menerima Kyai Hanafi. Pernikahan ini adalah satu-satunya cara untuk
menyelamatkan keluargaku."
Salman terdiam, kata-kata Inayah
menusuk hatinya. Dia mengerti, Inayah adalah gadis baik yang berkorban demi
keluarganya. Dia merasa sangat frustasi, tak tahu harus berbuat apa. Bahkan
Salman pun masih tak punya planing apapun jikalau Inayah mau mengikuti maunya.
"Kamu pasti berpikir jika aku
lebih memilih uang dan kekayaan daripada memperjuangkan hubungan kita.” Inayah
melanjutkan, suaranya semakin lirih.
"Aku ingin hidup bersamamu,
membangun keluarga denganmu. Tapi aku tak punya pilihan lain. Ini tanggung
jawabku sebagai anak." Salman meraih tangan Inayah, merasakan dinginnya
kulit Inayah. Air mata membasahi pipinya.
"Tapi kamu tak perlu berkorban seperti
ini, Inayah. Ada jalan lain." Inayah menarik tangannya, air matanya
membasahi tangan Salman.
"Tidak ada, Salman. Tidak ada
jalan lain."
Hujan semakin deras, membasahi mereka
berdua. Di tengah hujan, cinta mereka berbenturan dengan kerasnya realita
kehidupan. Salman dan Inayah terjebak dalam dilema, di antara cinta dan
tanggung jawab, di antara mimpi dan kenyataan pahit. Pada akhirnya Salman lah
yang harus mengalah dan merelakan cinta sejatinya dinikahi oleh Ayahnya
sendiri.
Tapi Salman bukan tanpa perlawanan,
tepat di hari ijab qabul dilaksanakan dia memilih untuk pergi dari komplek
Ponpes Al-Falah. Rasa sakit hatinya pada Kyai Hanafi yang menafikan kisah
asmaranya bersama Inayah memaksa Salman untuk menjauh pergi dan membuka
lembaran hidup baru di Jakarta. Hanya dengan bermodalkan sebuah ijazah Aliyah
dan sedikit uang tabungan, Salman berjibaku bersama kerasnya kehidupan Ibukota.
Semua jenis pekerjaan pernah
dilakukannya untuk sekedar bertahan hidup dan lepas dari bayang-bayang Kyai Hanafi.
Mulai dari pekerjaan kasar sebagai kuli bangunan, pelayan kafe, hingga
office boy di sebuah gedung perkantoran
dijalani oleh Salman. Hingga di suatu hari dia bertemu dengan Ilham Adyaksa,
sahabatnya saat masih mengenyam pendidikan di Aliyah dulu.
Pertemuan tak disengaja itu membawa
laju kehidupan Salman mulai berubah. Ilham yang terlahir dari keluarga mapan
dan berpendidikan tinggi saat itu sudah memiliki tanggung jawab untuk mengelola
sebuah lembaga bantuan hukum. Tak mau melihat sahabatnya menjalani pekerjaan
kasar, Ilham mengajak Salman untuk bekerja di LBH yang dia pimpin sebagai
seorang staff.
Tak perlu pikir panjang, Salman pun
menerima pekerjaan baru tersebut. Tak hanya pekerjaan, Ilham juga mengijinkan
Salman untuk tinggal di salah satu rumah miliknya yang hanya berjarak sekian
meter dari lokasi LBH. Karena hal inilah, Salman merasa berhutang budi pada
Ilham, maka apapun perintah atau permintaan Ilham sebisa mungkin akan dituruti
oleh Salman.
Kepergian Salman dari lingkungan
ponpes saat acara ijab qabul pernikahan membuat Kyai Hanafi murka. Sejak hari
itu dia menganggap Salman sebagai seorang anak durhaka yang tak tau berterima
kasih. Celakanya, Salman adalah satu-satunya keturunannya. Selama sepuluh tahun
menikah dengan Umi Inayah, pasangan suami istri itu tak kunjung mendapatkan
keturunan.
Berbagai cara sudah dilakukan oleh
Kyai Hanafi untuk mendapatkan keturunan. Mulai dari pengobatan tradisional
hingga pengobatan medis sudah ditempuh pemuka agama tersebut namun tak kunjung
membuahkan hasil. Dengan ketiadaan seorang anak maka tongkat estafet
kepengurusan Ponpes Al-Falah yang makin berkembang ini dipertanyakan. Apalagi
lambat laun usia Kyai Hanafi bertambah uzur termakan zaman.
Situasi semacam ini membuat Kyai
Hanafi menjadi stress dan berujung pada penghakiman terhadap Umi Inayah. Kyai
Hanafi menganggap istrinya yang berusia muda itu sebagai wanita gagal dan tak
bisa memberikannya keturunan. Satu tahun terakhir pernikahan pasangan yang
berbeda usia cukup jauh tersebut mendadak jadi dingin dan hambar.
Umi Inayah tak bisa berbuat banyak
meskipun hasil medis sudah membuktikan jika perihal kenapa tak kunjung
diberikan momongan adalah karena kualitas sperma Kyai Hanafi yang buruk, bukan
karena sebab lain. Sebagai seorang muslimah yang sejak kecil dididik ilmu agama
di lingkungan pesantren, doktrin istri adalah seorang makmum bagi suaminya
melekat kuat di kepala Umi Inayah. Maka apapun bentuk kemarahan Kyai Hanafi
pada dirinya diterima dengan lapang dada tanpa ada niat sedikitpun untuk
memberontak.
***
Suasana sore hari di Ponpes Al-Falah
yang semula tenang mendadak terasa mencekam. Hadi, pria berusia 22 tahun yang
merupakan salah satu ustadz, melangkah dengan cepat dan penuh amarah. Tangannya
mencengkeram erat pergelangan tangan Savina, santri perempuan berusia 17 tahun
yang selama ini terkenal bandel di antara para santri lain. Inilah kali ketiga
gadis bergigi gingsul itu harus berurusan dengan Ustadz Hadi karena kedapatan
mengambil barang salah satu santri lain.
Wajah Ustadz Hadi menegang, rahangnya
mengeras menahan geram. Savina mencoba memberontak, namun genggaman tangan Hadi
terlalu kuat. Sepanjang koridor pesantren, beberapa santri yang melihat mereka
hanya bisa terdiam, membiarkan pemandangan itu berlalu dengan rasa was-was.
"Kali ini kamu sudah keterlaluan,
Savina," gumam ustadz Hadi dengan suara rendah penuh penekanan.
Langkahnya semakin cepat, mendorong
Savina menuju ruang Kyai Hanafi, tempat di mana segala masalah akan diputuskan
untuk mendapatkan solusi. Savina sendiri kini terdiam. Tidak ada lagi sikap
membangkang atau senyum nakalnya. Kali ini, ia seperti anak anjing yang
tertangkap basah melakukan kesalahan.
Ruang itu terletak di ujung kompleks
pesantren, di balik pintu kayu jati yang besar. Saat mereka mendekati pintu
itu, jantung Savina berdetak kencang. Setelah Ustadz Hadi mengetuk pintu
beberapa kali, pria itu kemudian membuka pintu ruang Kyai Hanafi hingga akhirnya
terbuka. Kyai Hanafi duduk di kursinya, wajahnya teduh namun terlihat serius.
Matanya menyapu pandang ke arah Hadi dan Savina.
"Ada apa, Hadi?" tanya Kyai
Hanafi dengan suara yang dalam.
“Masalah yang sama Kyai, Savina
kedapatan mengambil barang santri lain.” Savina hanya bisa menunduk tanpa
berani menatap wajah Kyai Hanafi.
“Kali ini apa yang diambil Savina?”
“Beberapa santri melapor kehilangan
pakaian dalam dan hijab. Kami sudah melakukan penggeledahan dan menemukan
barang-barang itu di lemari Savina.” Ujar Ustadz Hadi menjelaskan. Kyai Salman
masih duduk di kursinya, gerak tubuh pria tua itu terlihat sangat tenang dan
berwibawa.
"Hadi, sekarang tinggalkan kami
berdua. Kamu boleh pergi dan melanjutkan aktifitas." Perintah Kyai Hanafi
dengan suara rendah.
Ustadz Hadi terlihat terkejut. Ia
ingin memprotes, namun melihat raut wajah Kyai Hanafi yang tak bisa dibantah,
ia pun hanya mengangguk patuh. Dengan hati sedikit ragu, Hadi melepaskan
genggaman tangan Savina dan keluar dari ruangan, meninggalkan Savina sendirian
bersama Kyai Hanafi.
Pintu ruang Kyai Hanafi tertutup
dengan lembut, meninggalkan Savina sendirian di hadapan sang Kyai. Ruangan itu
terasa lebih sunyi tanpa kehadiran Ustadz Hadi, dan Savina bisa mendengar detak
jantungnya sendiri yang berdegup kencang.
Kyai Hanafi bangkit dari tempat
duduknya, langkahnya pelan dan penuh perhitungan. Dalam keheningan, Savina
berharap mendapatkan bimbingan dengan ketenangan dan kebijaksanaan yang biasa
dimiliki Kyai. Namun seiring dengan pendekatannya, perubahan pada raut wajah
Kyai Hanafi membuat jantung Savina berdegup kencang. Ini bukan kali pertama
untuknya melihat ekspresi janggal seperti itu.
Sekilas, ekspresi kewibawaan yang
sempat menghiasi wajah Kyai Hanafi mulai pudar, berganti dengan raut cabul
mesum dan mengerikan, seolah meleburkan semua kehormatan yang seharusnya
dimiliki seorang pemimpin keagamaan ternama.
“Kamu tahu, Savina,” suara Kyai
Hanafi menggema, namun nada yang diusungnya kini memilukan.
“Kadang-kadang, kita perlu lebih dari sekadar
hukuman untuk mengubah seseorang. Terkadang, kita juga butuh pemahaman yang
lebih dalam.”
Savina ingin mundur, terasa ada
ketakutan yang melanda. Dalam detik-detik berikutnya, dia membayangkan semua
waktu yang telah dihabiskan di pesantren, semua pelajaran yang dia terima, dan
betapa dia ingin menjadi santri yang baik. Namun, tatapan Kyai Hanafi
memberikan aura yang benar-benar berbeda, aura yang bukan seharusnya ia terima
dari seorang guru. Sambil menggigit bibir, Savina berusaha mencari kata-kata
untuk membela dirinya, meskipun hatinya terasa berat dan berkecamuk.
“Maafkan saya Kyai…” katanya dengan
suara tercekat. Kyai Hanafi maju lebih dekat, wajahnya kini tenggelam dalam
bayangan.
“Kadang, kita bisa menjadikan
kesalahan itu sebagai pelajaran berharga, bukan hanya sekadar untuk dihukum,”
“Ini bukan pertama kalinya kan kamu
melakukan pelanggaran? Apakah aku harus mengeluarkanmu dari pondok dan
menceritakan semuanya pada kedua orang tuamu?” Lanjut Kyai Hanafi yang makin
mengintimidasi.
“Jangan Kyai, saya mohon jangan
lakukan itu.”
Savina pantas khawatir jika Kyai
Hanafi mengadukan segala macam tingkah buruknya selama jadi santri di ponpes
Al-Falah. Savina tak akan kuat mendapat amukan ayahnya yang terkenal begitu
keras dalam mendidik. Apalagi jika kedua orang tuanya tau jika selama ini
kebiasaannya mengambil barang-barang kecil milik orang lain tak kunjung hilang.
Savina tak mau itu semua terjadi.
“Kamu tau kan apa yang harus
dilakukan Savina?” Kyai Hanafi makin mendekat ke arah Savina, jarak mereka
hanya sekian sentimeter bahkan Savina bisa mencium aroma tembakau bakar dari
nafas sang Kyai. Gadis itu takluk dan hanya menurut saat Kyai Hanafi menggandeng
tangannya menuju ruangan lain
PART 2
Pintu kecil dari kayu jati itu
berderit pelan saat Kyai Hanafi membukanya. Di dalamnya, bukan kitab atau
manuskrip yang menyambut, melainkan sebuah ruangan yang terasa berbeda.
Dindingnya dilapisi kain batik tua dengan warna yang sudah pudar. Di tengah ruangan
terdapat meja kecil dengan alas anyaman pandan, dan beberapa bantal lantai yang
tampak nyaman ada di atas sebuah dipan kecil.
Aroma kayu cendana tercium samar,
bercampur dengan wangi rempah-rempah yang menenangkan. Ruangan ini terasa
seperti dunia lain, sebuah tempat yang
penuh dengan rahasia. Savina merasa seperti memasuki sebuah ruang sakral, di
mana hanya orang-orang tertentu saja diizinkan masuk oleh Kyai Hanafi.
“Ayo masuk, jangan buang-buang
waktu.” Suara Kyai Hanafi terdengar datar, tapi Savina tetap gemetar. Matanya
menatap plafon yang dipenuhi jejak rayap.
Kyai Hanafi duduk di tepian ranjang
dengan senyum penuh arti. Savina menutup pintu ruangan itu sebelum kemudian
menyusul sang Kyai duduk.
“Kamu gadis cantik yang nakal,
sekarang aku harus menghukummu.” Bisik Kyai Hanafi yang makin meremangkan bulu
kuduk Savina.
Tangan kiri Kyai Hanafi segera
merangkul pundak sang gadis, sementara tangan kanannya meraba tangan Savina
yang saling menggenggam erat di pangkuan menahan gugup. Bibir Kyai Hanafi
menyambar, pelan mengecup pipi halus yang ada di hadapannya. Tangan kirinya
segera merasakan pundak gadis itu bergetar hebat.
“Kenapa jadi gugup? Masih takut ya?” Desis
Kyai Hanafi, Savina menggeleng lemah.
Kecupan Kyai Hanafi bergeser ke
belakang telinga Savina yang masih tertutup jilbab, menyapukan nafas panasnya
di sana. Hidungnya juga disapukan ke sepanjang leher gadis itu, seusai tangan
kirinya menyibak gelombang jilbab lebar Savina. Dijilatinya batang leher yang
terasa begitu halus, sontak membuat gadis itu menggelinjang geli.
“Ahhhh!!”
Kedua tangan Savina yang tadi saling
berpegangan erat di pangkuan, sontak terlepas, satu mencari pegangan di kasur,
sedang satu lagi untuk menahan tubuh Kyai Hanafi yang mulai mendekapnya. Kyai
Hanafi segera menyadari tangannya tidak lagi menjamah tangan gadis muda ini,
tapi sudah jatuh ke pangkuan, tepat ke gundukan pangkal paha Savina yang
tertutup baju terusan panjang.
“Hari ini aku tidak akan melepaskanmu
maling kecil,” pikir
Kyai Hanafi sembari menjilat leher Savina dan sesekali menggigit kecil.
“Ehmm...”
Savina mendesah kegelian, baru
menyadari tangan kanan Kyai Hanafi mulai membelai dan menekan keras pangkal
pahanya.
“Wah, kalau begini mending langsung
tancap aja!” benak Kyai
Hanafi berputar menyadari tidak ada reaksi perlawanan dari sang gadis.
Semakin berani, jemari Kyai Hanafi
segera mencari-cari kancing baju Savina satu persatu berhasil dilepasnya,
sembari lidahnya menjelajahi belakang leher jenjang gadis itu. Serangan Kyai
Hanafi yang tidak sengaja pada daerah utama kepekaannya, mulai menyulut bara
gairah Savina. Dia mulai tersengal, sangat gugup membayangkan apa yang akan
terjadi berikutnya.
Tangan kirinya meremas-remas kain
sprei akibat serangan rasa geli, sementara tangan kanannya seolah tak berani
menyentuh tubuh pria yang sekarang sedang mendesaknya. Savina hanya bisa mendesis
lirih jengah merasakan tangan Kyai Hanafi di daerah terlarangnya. Pikirannya
buntu menganalisa situasi.
Tanpa disadari, kini sebagian besar
kancing baju Savina sudah terlepas. Kyai Hanafi menariknya berdiri dan
memelorotkan baju terusan itu. Savina hanya bisa pasrah melakoni apa yang sudah
dibayangkannya akan terjadi. Terpampanglah tubuh mulus indah miliknya yang
selama ini selalu tertutup rapat, terlihat putih mengkilat dalam keremangan
kamar, berbalut celana dalam dan BH berenda warna krem, serta jilbab putih yang
kini sudah acak-acakan.
Tubuh Savina gemetar karena telanjang
di hadapan lelaki tua yang tak lain adalah Kyai nya sendiri, sesuatu yang bukan
kali pertama ia lakukan. Tangan kirinya yang bebas reflek mencoba menutupi
wilayah sucinya, tapi terlambat. Kalah sigap. Tanpa basa-basi, Kyai Hanafi
langsung memelorotkan celana dalam krem tersebut, dan segera memapangkan
keindahan pangkal paha yang seharusnya pantang dilihat oleh lelaki manapun.
“Auw!”
Kaget ditelanjangi mendadak, Savina
tak sengaja membantu dengan menggeser dan melangkahkan kaki melepas celana
dalamnya. Jemari Kyai Hanafi menggesek lembut bukit bersemak itu saat
melakukannya. Savina hanya bisa memegang rambut pria tersebut agar badannya
tidak jatuh.
“Sini, cah ayu….”
Kyai Hanafi mendorong lembut tubuh
telanjang Savina yang begitu menggairahkan, memintanya agar kembali duduk. Dia
kemudian mengambil posisi berlutut di hadapan sang gadis sambil tangannya
membelai paha mulus Savina yang tersaji indah di hadapannya, lidahnya juga ikut
meluncur mengecup dan menjilati sebelah paha yang lain.
“Ohh…”
Savina mulai mendesah, menikmati
geli-geli nikmat yang membakar api birahinya. Pahanya dikatupkan, malu. Kyai
Hanafi menyadari gerakan ini, kecupannya diganti gigitan kecil, dan sebelah
tangannya mulai meraba dari sisi bawah paha Savina.
“Ihh…”
Savina mulai menggelinjang lembut
menggairahkan, tangannya mulai berani membelai rambut pria tua yang berlutut di
hadapannya. Saat ia rasakan gigitan di pahanya, tangannya pun tersentak
menjambak mesra rambut ikal Kyai Hanafi.
Kyai Hanafi menyibakkan pangkal paha Savina
yang terkatup, dibelainya sepanjang kedua sisi dalamnya, sengaja menyentuh
pangkal paha mulus yang hanya dilindungi secupak bulu-bulu halus.
“Ohh! Kyai!”
Savina merintih cemas dan grogi saat jilatan
lidah Kyai Hanafi mulai menjalari pangkal paha, bahkan terkadang hampir sampai
ke area kewanitaannya.
“Ohh…”
Savina kembali menggelinjang dan mencoba
mengatupkan pahanya. Tangannya meremas rambut sang Kyai. Sembari tetap
berlutut, Kyai Hanafi sedikit memelorotkan Savina dari tepian kasur, sampai
hanya pantatnya yang sedikit bertumpu di ujung ranjang. Diangkatnya sebelah
kaki gadis itu ke pundaknya, dengan bagian belakang lutut ditumpangkan ke
bahunya. Kaki Savina yang sebelah juga diperlakukannya sama.
Jadilah kini wajah Kyai Hanafi hampir
menyentuh kewanitaan Savina, ia menyapukan nafas panasnya ke sana seperti angin
yang melanda daerah perbukitan, semakin menambah bara api birahi sang gadis
berjilbab. Pelan hidung Kyai Hanafi menyentuh bulu-bulu lembut yang tak berdaya
melindungi daerah rahasia milik Savina, sambil kedua tangannya masing-masing
meremas paha telanjang si gadis yang menumpang di pundaknya.
Savina mulai menggeliat tak
terkendali, nafasnya mulai tersengal terengah-engah. Pikirannya panik
membayangkan apa yang akan terjadi ketika daerah sucinya mulai dijarah oleh Kyai
Hanafi.
“Arghhh!” Savina mengerang saat Kyai
Hanafi melancarkan serangan kilat, mengecup bibir atas kemaluannya.
Celah sempit itu sudah sedikit basah.
Kyai Hanafi sangat bersemangat menghirup aroma harum dari gadis muda yang
diyakininya benar-benar alim ini. Sangat jauh berbeda dari aroma wanita-wanita
penghibur yang selama ini ia temui. Membuat Kyai Hanafi jadi tak sabar untuk
segera mengeluarkan taktik andalannya, yaitu serangan oral.
Stamina lidah Kyai Hanafi memang
pantas diacungi jempol. Hal ini akibat dari ukuran penisnya yang standar pria
Asia, yang kadang-kadang sering diledek para wanita yang pernah tidur dengannya.
Tetapi dengan keahlian oralnya, Kyai Hanafi mampu menjatuhkan sebagian besar
mereka. Penisnya hanya dijadikan hidangan penutup saja.
Maka segera lidah kasar Kyai Hanafi
menyapu mulai dari lubang pantat naik ke atas menyikat bulu pepohonan, membajak
lubang kemaluan, menumbangkan klitoris, mengampelas gundukan bukit, terus naik
sampai ke pusar, hingga membuat Savina jadi menjerit keenakan.
“Kyai! Oohh!!” Savina merintih
terbata-bata.
“Ohhh!”
Savina kembali melenguh ketika Kyai
Hanafi mengulangi sapuan lidahnya. Tak sadar kedua tangannya menjambak keras
rambut laki-laki tua itu, mencoba menahan sentakan-sentakan nikmat yang
mengiringi geliat tubuhnya.
“Ohhh!”
Kembali Kyai Hanafi mengulangi
gerakan yang sama, kali ini lebih perlahan, tetapi dengan tekanan semakin kuat.
Bahkan saat menyapu lubang kewanitaan Savina, lidahnya dicucukkan
sedalam-dalamnya.
“Auwh!”
Savina tersentak menggelinjang,
tangannnya mencoba meringankan derita kenikmatan dengan menekan keras kepala Kyai
Hanafi ke pangkal pahanya.
“Aduh!!” Kembali Savina mengeluh
ketika upayanya menahan kenikmatan ternyata tidak berhasil, bahkan semakin
membuat Kyai Hanafi tambah bersemangat dalam menjilat.
“Bener-bener masih hijau , mudah
sekali takluknya,”
pikir Kyai Hanafi sambil kembali mengulangi sapuan lidahnya. Wanita lain
mungkin membutuhkan upaya jauh lebih keras untuk sampai tahap ini, tapi Savina
dengan gampang saja diantarnya.
“Shhh…” Savina mulai melemahkan
jambakan tangannya di rambut Kyai Hanafi ketika dirinya mulai terbiasa dengan
deraan birahi keganasan lidah sang supir tua.
“Ooohhh Kyai…” desahnya menikmati
sapuan lidah Kyai Hanafi di kemaluannya.
Perlahan tapi pasti birahi Savina
mulai dapat mengimbangi gelombang kenikmatan yang ditimbulkan. Pinggulnya mulai
menggeliat bergairah menyambut rindu setiap sapuan lidah Kyai Hanafi. Kyai
Hanafi sangat menyukai pinggul yang mengelinjang ini, makin menambahkan kobaran
semangatnya. Sungguh Savina merupakan perempuan baik-baik.
“Bagaimana, kamu suka?” Kyai Hanafi
menengadah memandangi wajah ayu yang terpejam di hadapannya.
Wajah Savina nampak memerah,
terengah-engah disiksa oleh kenikmatannya. Dia tidak menjawab. Bisa dilihatnya
kalau Kyai Hanafi berhenti sejenak untuk mengatur nafas, maklum saja
mengobrak-abrik pangkal pertahanan wanita di area yang sangat sempit, sangat
terbatas suplai oksigennya.
“Hhh... hhh...” Savina merintih, juga
dengan susah payah mengatur engahan napasnya. “
“Auw!” dan ia kembali menjerit
manakala Kyai Hanafi mendadak kembali nyosor di daerah sucinya.
“Hmmphh...”
Kini sapuan lidah laki-laki tua itu berganti
arah, bila tadi vertikal, sekarang horisontal. Mulai dari sisi paha di bahu kiri, menjelajah
lembut ke pangkal paha Savina, menggelitik-gelitik di pangkal paha dengan ujung
lidahnya, dan kembali menyapukan pangkal lidahnya yang kasar di kulit mulus
paha Savina yang tertumpang di bahu kanannya.
“Ssshhh…”
Savina tersentak menahan serangan
model baru ini. Tubuhnya miring ke belakang, sementara jari-jemarinya hanya
mampu meremas-remas rambut lelaki itu, berusaha menahan kenikmatan setiap
sapuan lidah Kyai Hanafi yang begitu buas dan rakus.
“Ohh!”
Setelah sekian kali lidah kasar Kyai
Hanafi bekerja keras bolak-balik membajak pangkal pahanya, Savina mulai
merasakan sensasi baru yang sama sekali belum pernah ia alami. Birahinya
semakin meletup, kali ini menuntut sesuatu. Dengan lidah Kyai Hanafi masih
berkutat di pangkal paha, Savina menjambak kembali dan menekan keras wajah
lelaki itu tepat ke lubang kewanitaanya.
“Kyai! Aduh!!” desahnya ketika lidah
nakal Kyai Hanafi menggelitik di sekitar bibir kemaluannya.
“Hempphh..”
Hidung Kyai Hanafi terganjal gundukan
bukit, sementara itu dirasakannya pinggul Savina menggelinjang semakin keras
mengejar sapuan lidahnya. Maka segera ia benamkan wajah dalam-dalam ke liang
senggama si gadis alim yang sedang mengangkang, dan menjilat semakin cepat.
Senang sekali Kyai Hanafi melihat
perubahan perilaku Savina, gadis cantik yang sehari-hari berjilbab ini kini
telah berubah menjadi wanita muda yang binal di ranjang. Mana ada perempuan
alim membenamkan dalam-dalam wajah lelaki asing di liang kehormatannya dengan
begitu bergairah?
Bahkan ketika lidah Kyai Hanafi
berpaling ke arah lain, Savina seperti tidak rela, segera ia mengatupkan
pahanya untuk menjepit kuat-kuat kepala Kyai Hanafi agar tidak pergi
meninggalkan benteng kehormatannya. Dengan tubuh sudah didesak-desak oleh
kebutuhan birahi, Savina menuntut haknya, kewanitaanya menginginkan penyiksaan
lebih lanjut.
“Aaahhh! Enakk!!”
Savina menggelinjang kasar. Bahasa
tubuhnya jelas, birahinya mulai mendaki menuju puncak. Kyai Hanafi yang
memahami bahasa tubuh ini, segera berkonsentrasi menghajar liang kewanitaan Savina
lebih cepat lagi. Dikangkangkannya paha gadis itu lebar-lebar sambil lidahnya
dijulurkan dalam-dalam ke liang Savina yang sudah sangat basah kuyup. Air
liurnya sudah bercampur aduk dengan lendir pekat yang bertaburan.
“Ahh! Ahh! ahh...”
Savina mengerang saat kasarnya lidah Kyai
Hanafi menyodok-nyodok dinding kemaluannya. Birahinya sudah lepas kendali,
pinggulnya menggeliat-geliat mencoba mengimbangi.
“Ssh! Shh!”
Jemari Savina menjambak rambut Kyai Hanafi,
membenamkan wajah lelaki tua yang sering dipandang sebagai ahli agama itu ke
celah selangkangannya dalam-dalam. Dengan kasar Kyai Hanafi terus menjilat dan
menghisap tanpa ampun, sampai akhirnya Savina mulai meracau,
“Kyai! Ohh, Kyai!”
Dengan malu-malu ia mencoba
mengundang sang lelaki tua agar menuntaskan perbuatannya, dengan cara
membenam-benamkan berulangkali wajah bulat Kyai Hanafi ke selangkangannya. Kyai
Hanafi tersenyum dalam hati, bener-bener mudah gadis ini ditaklukkan. Lidahnya
semakin buas memporak-porandakan lubang kesucian Savina.
“Kyai! Sssh! ohh, Kyai! Ohh!!”
Gadis itu jadi semakin tak tahan, suaranya
sudah bergetar hampir menangis. Pinggulnya menggelinjang tak karuan, sementara
tangannya sudah tidak beraturan membenam-benamkan wajah bulat Kyai Hanafi. Kyai
Hanafi semakin buas, gerakan lidahnya mirip lidah harimau yang sedang minum:
sangat cepat! Ini adalah salah satu jurus teknik oralnya yang legendaris.
“Kyai...Aahh...A-ayo, Kyai! Ayo!!”
Lepas juga kata-kata ini dari bibir
tipis Savina, tanpa terkendali, diledakkan oleh gejolak birahi yang menuntut
sesegera mungkin untuk dipenuhi. Gadis itu sudah lupa akan rasa malu serta
nilai-nilai kehormatan seorang santri.
“Ayo, Kyai! ohh... cepat entotin aku!
Ohh...”
Savina merengek dalam hati ketika
sambil berlutut, sembari mempertahankan hujaman-hujaman lidahnya, dilihatnya Kyai
Hanafi mulai melepaskan celananya. Agak sulit tetapi berhasil.
“Kyai...ahh! U-udah, Kyai! Udah!”
Suara Savina bergetar dalam tangis penuh
kenikmatan. Geliatan pinggulnya sudah tidak membantu, sudah lepas kendali,
meronta semakin liar tak terkendali. Mendadak ia merasakan lelaki di hadapannya
ini perlahan bangkit berdiri sambil tetap memanggul kedua pahanya.
“Shhh…” agak lega Savina terengah
menarik napas, sejenak terbebas dari siksa nikmat lidah kasar lelaki tersebut.
Dia tidak sadar tubuhnya agak melorot
karena Kyai Hanafi sudah berdiri tegak di hadapannya sambil tetap memanggul
kedua pahanya. Lelaki tua itu membetulkan posisi berbaring Savina di ujung
ranjang, dengan hanya pinggul Savina yang menumpu di sana, sementara punggung
dan bahu gadis itu agak tertekuk pada sandaran tempat tidur.
“Ihh…”
Pikiran Savina yang kacau mendadak
menjadi jernih begitu disadarinya ada sebentuk daging keras yang tiba-tiba
menyodok di lubang kemaluannya.
“Ohhh!” Muncul sedikit rasa khawatir
akan disetubuhi oleh sang Kyai, akan tetapi kuatnya desakan birahi mampu
menyapu tuntas kekhawatirannya.
“Tahan ya…”
Kyai Hanafi menguakkan kedua pangkal
paha gadis itu, sembari sedikit menekan penisnya ke haribaan tubuh mungil
berjilbab yang terlihat mengangkang lebar menggairahkan.
SLEEP!
Sedikit nyelip, namun agak mudah,
mungkin karena kewanitaan Savina sudah basah kuyup, apalagi sudah dikorek-korek
tadi. Sesaat Kyai Hanafi diam begitu alat kelamin mereka mulai bertaut erat,
memberi kesempatan pada gadis itu untuk bernapas.
“Nggak sakit kan?” Kyai Hanafi
menggoda wajah ayu kuyu yang terpejam terlentang setengah tertekuk di
hadapannya.
“Nggak, Kyai shhh! Teruskan saja,”
Savina menggelinjang manakala
kemaluannya didera oleh kehangatan ujung penis yang baru sedikit nyelip.
Tubuhnya mendadak kembali tidak sabar meminta untuk dihajar. Belum selesai
menjawab, Kyai Hanafi kembali menghujam pelan tapi penuh tenaga. Bless!
amblas-blass! Bagai sebuah truk besar yang melaju kencang menyusuri mulusnya
jalan tol.
“Auw! Ssshh...”
Tangan Savina langsung
menggapai-gapai mencari pegangan, namun ia hanya menjumpai ujung ranjang yang
segera digenggamnya erat-erat. Walaupun sebenarnya penis Kyai Hanafi standar
saja, tapi efeknya sama saja bagi gadis muda itu.
“Kyai ohh!”
Savina sudah tak malu-malu lagi
menggeliatkan pinggul, mencoba menyerang sang penis, berharap pendakiannya
dapat segera tuntas. Ia mencoba gerakan memutar-mutar, dan maju mundur.
Biasanya gerakan ini dapat membuat sang Kyai menyerah dengan mudah, karena
dengan begitu ia dapat memerah kejantanan yang sedang menusuk pinggulnya dengan
otot-otot kemaluannya yang sangat kuat.
“Hhhh!!”
Namun kali ini Savina harus mendesah
sendiri saat gempuran ototnya ditandingi oleh penis yang terus menggosok dengan
bandel, sama sekali tidak ingin kalah apalagi menyerah. Akibatnya, geliatan Savina
berubah dari respon melayani, menjadi dorongan lapar yang menuntut pemuasan
birahi.
“Shh...Shh...Ahh...”
Gerakan pinggul gadis itu semakin
cepat dan tak terkendali, begitu juga dengan rintihannya. Kepalanya
tersentak-sentak ke kiri dan ke kanan, berusaha menahan desakan nikmat dari
hujaman keras si lelaki. Tangannya mencoba menjangkau pinggang Kyai Hanafi,
agak sulit, dan kembali hanya mampu meremas-remas ujung tempat tidur.
“Kyai, ohh! a-aku! Ohh!”
Pinggul Savina yang memutar terus
dihantam penis Kyai Hanafi. Setiap putaran dibalas oleh tusukan yang begitu
dalam dan panas.
“Ohh! s-sudah, Kyai... shh...
sudah!!” lirih Savina dengan wajah kuyu dan mata berkerenyit terpejam, tersiksa
oleh deraan rasa nikmat.
Gadis bergigi gingsul itu terus
mendesah-desah, sesekali mengeluh keras. Kyai Hanafi tersenyum. Puas sekali
rasanya ketika ia menyadari Savina sudah tiba pada puncak pendakiannya. Namun
karena ingin menyiksa sebuas-buasnya salah satu santri wanitannya ini, maka
hujamannya sama sekali tidak berhenti, tetap jalan terus, bahkan menjadi dua
kali lipat lebih buas, sampai membuat otak Savina kacau saat mulai mengarungi
puncak kenikmatannya.
“Hhh... hhh...”
Susah payah Savina mengimbangi.
Gerakan pinggulnya sudah berhenti, digantikan oleh geliatan lembut tak teratur.
Tubuhnya pasrah, sudah tidak mampu lagi memberikan serangan balasan. Dia dengan
mudah segera lemah tak berdaya ditaklukkan oleh lelaki ini. Terutama akibat
tidak siap menghadapi serangan kilat lidah Kyai Hanafi di awal-awal permainan
tadi. Dengan pinggul bergetar-getar halus, tubuh Savina lunglai tak berdaya
meresapi puncak kepuasan yang melingkupi dirinya.
“Ohh! Kyai! Ohhh!” dia menyatakan
kepuasannya. Berterima kasih tentunya, karena telah dibantu dengan tidak
mengadukan perbuatannya pada kedua orang tuanya, sekaligus mendapat bonus
puncak kenikmatan.
Menyadari Savina sudah sedemikian
lunglai, Kyai Hanafi memutuskan untuk segera mengakhiri permainan. Sekali dan
dua kali sentak pria tua itu mencabut batang penisnya, mengocoknya sebentar,
mengarahkan ujungnya pada badan bugil Savina, lalu beberapa detik kemudian dari
lubang kencingnya meluncur deras cairan kental berwarna putih menerpa tubuh
serta hijab Savina.
“Haaaahhh! Haaahhhh!!”
Kyai Hanafi menjatuhkan tubuhnya di
samping Savina. Tak ada percakapan diantara mereka berdua, yang terdengar
hanyalah desah nafas tersenggal menguar di udara.

Posting Komentar
0 Komentar