NDORO PUTRI
PART 1
Semenjak Ibu tiada, aku adalah
satu-satunya orang yang berhak berdiri di samping singgasana ayahku: Maharaja Anggoro
Jayendra, raja dari segala raja di tanah Pasundan. Tapi sekarang, seorang
wanita telah berdiri menggantikan posisiku. Dia bukan seorang ratu, bukan pula
seorang selir. Berasal dari tanah Sejagat pun tidak. Mungkin hal tersebut tidak
terdengar seperti jabatan penting. Tapi jangan salah, tanpa titahnya, panglima
perang pun tak bisa menginjakkan kaki di istana Sejagat. Dia cukup berkuasa.
Makanya aku harus bersabar dengan keberadaannya jika ingin rakyatku selamat.
Bahkan jika aku renungkan, sebetulnya
penderitaan yang kualami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang
menimpa ayahku. Dia seorang raja yang kehilangan wibawa! Sejak kehadiran wanita
ini, nyaris semua keputusan kerajaan harus melalui persetujuannya. Jika tidak,
nasib kerajaan Sejagat yang jadi taruhannya. Inikah yang namanya bertahan
hidup? Kami harus menahan diri bukan hanya demi keselamatan nyawa kami, tapi
juga demi keselamatan nyawa puluhan ribu rakyat.
Gusti…Jika memang kehadiran wanita
ini bisa menjamin keselamatan negeriku dari serangan Dewangga yang terkenal
beringas itu, maka kesabaran kami adalah harga yang sangat murah.
***
“Lapor, Gusti Prabu!” ucap seorang
pengawal yang baru saja masuk.
“Pasukan Dewangga sudah tiba dengan
damai, di pelataran istana.”
“Undang Mahapatih ke sini!” ucap
wanita itu. Lagi-lagi, semua instruksi keluar dari mulutnya begitu saja, seolah
dialah sang tuan rumah.
Pengawal tadi pergi untuk kemudian
kembali bersama seorang pria dengan badan paling besar yang pernah kulihat. Inikah
alasannya dia mendapat gelar mahapatih? Bunyi langkahnya berdegap lebih keras
dari debar jantung kami semua. Tak ada tombak di tangan atau keris yang
tersemat di pinggangnya, tapi aura membunuhnya terasa sangat mengintimidasi. Bahkan
beberapa panglima terbaik kerajaan Sejagat yang ada di ruangan ini hanya bisa
terpana. Seolah mereka tahu pasti akan kalah meskipun menyerang Dewangga secara
tiba-tiba.
“Selamat datang di kerajaan Sejagat,
Mahapatih!” sambut wanita ini.
“Hatiku senang sekali bisa bertemu
denganmu lagi!”
“Salam sejahtera Kanjeng!” jawab Dewangga
dengan suara yang sangat berat. Ternyata bukan hanya tubuhnya yang besar, tapi
suaranya pun menggelegar.
“Dari sekian banyak wilayah di
Nusantara, sungguh aku tidak menyangka justru akan bertemu dengan Kanjeng
kembali di sini.”
Kulihat, Dewangga tidak tersenyum
sama sekali. Entah karena wataknya memang seperti itu, atau dia pun tidak
menyukai kehadiran wanita ini juga?
“Bagaimana kabar kerajaan-kerajaan di
pulau Andalas?”
“Andalas dan kerajaan lainnya sudah
takluk dan bersumpah setia kepada Rekso Bumi. Dan kedatanganku ke tanah Pasundan
adalah untuk membuat Kerajaan Sejagat melakukan hal yang sama.”
“Kalau begitu beristirahatlah
Mahapatih, karena engkau tidak perlu lagi berperang dengan kerajaan Sejagat
untuk mewujudkan hal itu.”
“Apa yang sudah kau lakukan pada
kerajaan ini Kanjeng Shima?”
“Bukan aku yang melakukannya,
Mahapatih. Tapi Raja Sejagat di sebelahku ini,” ujar wanita itu sambil meremas
bahu ayahku.
“Dia ternyata memiliki otak yang
cerdas dan hati yang mulia. Dia bisa menyusun strategi menghindari perang untuk
menyelamatkan nyawa rakyatnya.”
“Dengan cara?” Bukannya segera
menjawab, Kanjeng Shima malah tersenyum kecil. Cukup lama untuk membuat Dewangga
kesal karena digantung oleh ketidaktahuan.
“Perang itu bukanlah satu-satunya
jalan untuk menyatukan kerajaan, Mahapatih,” terang Kanjeng Shima pelan-pelan
dengan nada meremehkan. Seolah jenderal perang di hadapannya adalah orang
pandir paling bodoh sedunia.
“Aku tahu itu Kanjeng Shima!” ujar Dewangga
geram.
“Jika sudah tahu, lalu kenapa kau
selalu saja memilih untuk menyerang dan membumihanguskan semua kerajaan?” tanya
Kanjeng Shima menyebalkan.
“Ah, sudahlah kita tidak usah
membicarakan perang lagi. Sebaiknya aku segera menyampaikan tugas baru
untukmu.”
“Maaf jika penolakanku terdengar
lancang. Tapi aku hanya menerima perintah langsung dari paduka Maharaja Satrio
Purwa, bukan dari seorang pengurus istana.”
“Oh, ini perintah langsung dari
Maharaja Satrio Purwa,” jawabnya sambil menunjukkan keris emas. Senjata kecil
yang jadi tanda bahwa pesan yang keluar dari mulut pemegangnya setara dengan
titah raja.
Mungkin ini sebabnya Dewangga tidak
menyukai Kanjeng Shima. Perempuan menyebalkan ini memang sengaja memancing
emosinya. Dia bisa saja mengeluarkan keris emas itu sejak awal, tapi dia
sengaja baru mengeluarkannya sekarang sehingga Dewangga terkesan meragukan
titah raja. Aku yang awalnya takut dengan kekuasaan Kanjeng Shima, kini justru
jauh lebih takut dengan kecerdasannya. Hanya dalam beberapa kalimat saja, dia
bisa membuat patih hebat seperti Dewangga jadi diliputi rasa bersalah.
“Dengan senang hati akan kulaksanakan
titah Maharaja Satrio Purwa,” jawab Dewangga sambil menunduk, meski kurasa agak
terpaksa.
“Bagus jika kamu sudah paham. Tugasmu
adalah mengiringi rombongan kerajaan Sejagat untuk pergi ke Rekso Bumi,” ucap
Kanjeng Shima.
Meski masih menunduk, namun mata Dewangga
melirik ke arah Kanjeng Shima. Mungkin hatinya merasa keberatan. Sebab mengawal
rombongan bukanlah tugas yang tepat untuk mahapatih sekaliber dirinya.
“Apakah engkau keberatan, Mahapatih?”
tanya Kanjeng Shima, lagi-lagi dengan nada merendahkan.
“Berat maupun ringan tugasnya, jika
Maharaja sudah berkehendak maka dengan senang hati akan aku laksanakan,” jawab Dewangga
datar.
“Memang sudah seharusnya kau
bersenang hati, karena ini tugas berat, lho! Kau diminta mengawal rombongan
calon ratu Rekso Bumi.”
Calon ratu Rekso Bumi? Mata Dewangga
terbelalak mendengar kabar itu. Dia langsung mengalihkan pandangan matanya ke
arahku. Bahuku seketika terasa dingin. Aku langsung buang muka agar tidak perlu
bertatapan mata dengannya. Dewangga kini beralih menatap tajam ke ayahku yang
duduk di singgasana, tepat di samping Kanjeng Shima.
Tatapannya sinis dan penuh benci.
Seolah menganggap ayahku adalah raja tua dan lemah yang memilih untuk
mengorbankan anak gadis semata wayangnya ketimbang pergi berperang seperti pria
sejati. Raja yang takut mati. Raja pengecut yang bisa-bisanya menyalahgunakan
kekuasaan untuk menyelamatkan diri sendiri.
Ditatap sinis oleh panglima perang
yang penuh aura membunuh, ayahku pun gugup. Tapi dia memaksakan diri untuk
tetap tegar meski jelas-jelas seluruh tubuhnya gemetar. Masalahnya, dia
menyadari apa yang dituduhkan oleh tatapan Dewangga. Bahkan lebih parah. Sebab
ayahku memang mengorbankan putrinya. Meski perempuan, aku lumayan pembangkang.
Dan salah satu hal yang paling dikenal dari seorang Dyah Pitaloka Citaresmi
selain kecantikannya adalah sifatnya yang ingin bebas mengambil keputusan.
Mungkin karena aku tidak punya sosok
ratu sebagai ibu, makanya aku cukup sering melawan norma. Aku mau bebas memilih
sendiri pelajaran-pelajaran yang kusuka, aku mau bebas berpakaian dan
bepergian. Aku juga ingin bebas menentukan kapan aku akan menikah, bahkan bebas
menentukan sendiri siapa calon suamiku kelak. Tapi takdir berkata lain. Aku
bukan hanya dipaksa menikah di saat aku belum merasa siap.
Aku pun dipaksa menikah dengan alasan demi
keselamatan puluhan ribu rakyatku. Tentu hal ini membuat beban besar jadi
bertumpu di pundakku. Jika sebelumnya penolakan pernikahan hanya akan membuat
jengkel beberapa petinggi istana. Kini aku bisa jadi musuh terbesar sepanjang
masa kerajaan Sejagat jika menolak menikah dengan raja Rekso Bumi.
“Begitu rupanya ya…” ujar Dewangga
keceplosan.
“Hahahaha!” Kanjeng Shima tertawa
melecehkan.
“Kamu baru sadar strategi raja Sejagat
yang kumaksud?”
Dewangga menjawab pertanyaan retoris
itu dengan senyuman sinis. Memberi kode bahwa canda yang Kanjeng Shima
lontarkan sudah melampaui batas kesabaran Dewangga.
“Hmm.. Ehmm.. baiklah jika kita semua
sudah sama-sama paham. Saya akan memberikan kewenangan kepada Mahapatih Dewangga
untuk menentukan cara terbaik untuk bepergian. Harap diingat, Maharaja Satrio
Purwa ingin pesta pernikahan dilangsungkan pada purnama berikutnya.”
“Dengan hormat, boleh saya bertanya
kepada Raja Sejagat?” pinta Dewangga.
“Silakan Mahapatih,” jawab Kanjeng Shima.
“Raja dan Puteri adalah kaum
terpelajar. Mereka dapat berbicara bahasa Jawa meski sedikit-sedikit. Jika ada
yang kurang dapat dipahami, aku akan menerjemahkannya untuk kalian.”
“Raja Sejagat dan puteri, apakah akan
keberatan jika kita pergi secara berkuda?” tanya Dewangga secara singkat,
jelas, dan padat.
“Sebab jika Maharaja Satrio Purwa
ingin melangsungkan pesta pernikahan pada purnama berikutnya, maka kita hanya
punya waktu beberapa hari saja.”
“Bukankah berlayar akan lebih cepat?”
tanya Kanjeng Shima agak waswas.
“Kemarin aku bisa sampai ke kerajaan Sejagat
dalam waktu yang cukup singkat dengan berlayar.”
“Dengan hormat, Kanjeng bisa sampai
dengan cepat karena di musim ini angin laut sedang berhembus ke barat,” terang Dewangga.
“Jika kita ke Rekso Bumi menggunakan
kapal, kita akan berlayar melawan angin. Perjalanan akan jauh lebih lambat.
Belum lagi kita tetap harus berkuda untuk pergi ke pelabuhan Sejagat Kelapa.
Sangat memakan waktu.”
“Tapi jika berkuda, berarti kita
hanya akan membawa sepersepuluh pasukanmu saja, Mahapatih!” lanjut Kanjeng Shima
lagi.
“Tidak kah itu berbahaya?”
“Aku bahkan hanya berniat membawa 10
orang terbaikku saja.”
“Apa kau gila?!” Kanjeng Shima naik
pitam.
“Kau punya tugas mengawal calon ratu Rekso
Bumi! Bukan upeti hewan ternak!”
“Aku sadar betul tanggungjawabku,
Kanjeng!” jawab Dewangga dengan kalem.
“Berkuda dalam rombongan kecil akan
memudahkan kita untuk bergerak lebih cepat karena kita tidak perlu memutari
gunung. Ingat, kita harus mengejar waktu! Lagipula 10 orang terbaikku punya
kekuatan yang setara dengan 1.000 prajurit!”
“Aku tahu pasukanmu adalah yang
terkuat di seantero jagat. Tapi kau yakin ini adalah jalan yang terbaik? Kita
perlu waspada dengan macan dan perampok gunung!”
“Tenang saja, kita tidak akan
bermalam di gunung. Lagipula aku jamin, pasukanku siap berkorban nyawa demi
keselamatan rombongan raja dan puteri Sejagat.”
“Hmm…Mahapatih. Kau tahu kan, aku tidak
pandai berkuda.”
“Kau bisa berkuda bersamaku, Kanjeng.
Dengan begitu aku bisa melindungimu dengan nyawaku.”
“Ah.. ya… baiklah jika itu
keinginanmu. Aku.. hmm..akan berkuda bersamamu.”
“Satu pengecualian,” sahut Dewangga
tiba-tiba.
“Aku akan berkuda bersama raja atau
puteri Sejagat, andai mereka tidak bisa berkuda.” Kanjeng Shima langsung
menoleh ke arahku dan ayahku. Seolah berharap kami berdua pandai berkuda.
“Tenang mahapatih,” jawabku.
“Aku dan ayahanda Maharaja Lingga
Buana cukup piawai berkuda.” Mata Kanjeng Shima langsung berbinar mendengar
jawabanku. Sementara mata Dewangga langsung terbelalak. Kenapa sih orang ini? Aku
tahu suaraku halus dan merdu, tapi kurasa wajahnya tidak perlu sekaget itu,
kan?
PART 2
Karena mengejar waktu, kami segera
berangkat ke Rekso Bumi hari itu juga. Perhitungan Dewangga sangat tepat, kami
bisa bepergian jauh lebih cepat dengan berkuda. Bahkan sebelum malam tiba, kami
sudah berhasil melewati gunung pertama. Mungkin karena kami jadi bisa melewati
jalur sempit dan kecil yang tidak mungkin dilalui oleh kereta kencana.
Di sebuah tanah lapang, kami
mendirikan tenda dan beristirahat. Kanjeng Shima yang memasak. Selain cerdas,
ternyata dia sangat cekatan. Pantas saja Rekso Bumi mempercayakan urusan istana
kepadanya. Jujur saja, andai Kanjeng Shima bukan musuh kami, aku mungkin akan
minta diajari banyak hal olehnya. Tak lama kemudian, Kanjeng Shima sudah
mengajak seluruh rombongan untuk makan malam. Masakannya harum dan rasanya
lezat. Padahal kulihat tadi dia hanya menggunakan bumbu dan rempah sederhana.
Sudah begitu dia bisa tetap tampil
cantik mempesona meski dengan wajah penuh peluh akibat perjalanan panjang dan
panas kuali. Setelah menyajikan makanan untuk pihak kerajaan Pajajaran dan para
pengawal, barulah Kanjeng Shima menyiapkan hidangan untuk dirinya dan Mahapatih
Dewangga.
“Kau tetap makan tanpa garam dan
rempah?” tanya Kanjeng Shima ke Dewangga saat kami makan malam bersama sambil
mengelilingi api unggun.
“Tunggu! Kenapa kau bertanya seperti
itu? Kau terlanjur memberi rasa untuk makananku, ya?” tanya balik Dewangga.
“Kenapa kau jadi pikun begini sih?
Kau sudah tua ya?”
Hadeuhh…
Aku sebenarnya tidak bermaksud
menguping, tapi saat ini kami berkerumun mengelilingi api unggun kecil dan
volume suara Dewangga sangat besar. Sudah begitu Kanjeng Shima adalah tipe
orang yang mudah sekali disulut emosinya sehingga nada suaranya sering
tiba-tiba meninggi. Benar-benar, deh. Mereka berdua terlihat bagaikan kucing
dan anjing.
“Tentu saja aku ingat! Aku ingat
semua tentangmu!” jawab Kanjeng Shima sebal.
“Eh, maksudku bukan cuma kamu. Aku ingat semua
hal yang berkaitan dengan makanan dan pantangan para penghuni istana Rekso Bumi.”
“Lalu kenapa masih tanya-tanya soal
makananku?”
“Aku cuma heran, apa enaknya sih
makanan seperti itu?”
“Kau makan di sebelahku untuk meledek
sumpahku?”
“Kenapa sih kau selalu berpikir buruk
kepadaku? Padahal niatku tulus.”
“Memangnya apa niatmu malam ini?”
“Mahapatih sudah pergi berkelana lama
sekali, wajar kan bila aku sekedar ingin bertanya kabar?”
“Hhh.. ya.. wajar”
“Hihihi.. aku senang bisa
bercengkrama lagi dengan mahapatih..”
“Bukannya kau punya banyak teman
laki-laki untuk diajak bercengkrama?”
Kanjeng Shima tidak menjawab. Kukira
saat disindir seperti itu dia akan membalas ucapan Dewangga dengan kalimat yang
lebih pedas. Tapi ternyata tidak. Kulihat dia hanya tersenyum sambil memandang
kosong daun jati yang menjadi wadah makannya.
“Kenapa mendadak diam? Kau tidak suka
makananmu? Tidak lapar?” tanya Dewangga tanpa rasa bersalah. Kanjeng Shima
menggeleng.
“Sebaiknya kau habiskan makananmu,
kita akan menempuh perjalanan panjang. Kau butuh energi yang cukup,” kata Dewangga
sambil menatap Kanjeng Shima.
“Lagipula ini hasil bumi yang bagus,
tidak boleh disia-siakan.”
“Menurutku…” kata Kanjeng Shima
tiba-tiba.
“Yang suka menyia-nyiakan barang
bagus itu justru kamu.” Aku memperlambat gerakan mengunyahku. Berusaha mencerna
apa maksud perkataan Kanjeng Shima barusan.
“Apa maksudmu?” tanya Dewangga dengan
polos. Kanjeng Shima tersenyum sambil mendengus,
“Lihat di sekitarmu!”
Aku jadi ikut melirik ke sekeliling.
Hanya ada beberapa anggota pasukan yang sedang dapat giliran istirahat makan
malam, dan beberapa anggota rombongan kerajaan Sejagat. Satu Raja, satu puteri,
dan lima dayang.
“Aahh.. maksudmu perempuan?” tanya Dewangga
sambil tersenyum.
“Kau tahu kan kalau aku terikat
sumpah?”
“Sumpah Nelongso? Sumpah dari
Mahapatih Dewangga yang berpuasa dari segala nikmat dunia sebelum berhasil
mempersatukan Nusantara? Tentu saja aku tahu, tapi bukankah bisa dibilang rombongan
ini sudah cukup untuk jadi bukti bahwa kerajaan Sejagat dan Rekso Bumi sudah
sepakat untuk bersatu?” tanya Kanjeng Shima.
“Kau sudah mempersatukan nusantara!
Kupikir dengan ini kau sudah bisa mengakhiri puasamu?”
Sumpah Nelongso. Aku pernah
diberitahu soal itu. Sebuah ikrar yang awalnya dianggap sekedar sumpah serapah,
tapi ternyata jadi sumpah paling terkenal di seantero Nusantara. Setelah
mengucap sumpah itu, Dewangga mulai menaklukan seluruh kerajaan besar di
Nusantara satu persatu. Hampir semua kerajaan berhasil ditundukkan Dewangga
hanya dalam satu kali serangan. Sementara beberapa kerajaan kecil lainnya
langsung menyerah begitu mendengar Dewangga mengincar mereka.
Satu-satunya kerajaan yang belum Dewangga
taklukkan adalah kerajaan Sejagat. Andai ide menyatukan kerajaan Sejagat dan Rekso
Bumi lewat ikatan perkawinan tidak disetujui oleh raja Satrio Purwa, mungkin
kerajaanku sudah dibumihanguskan oleh Dewangga.
“Andai… Maharaja Satrio Purwa hadir
malam ini dan mengakui bahwa kau telah berhasil memenuhi sumpahmu, apakah di
sini ada perempuan yang kau inginkan untuk melepaskan puasamu?” tanya Kanjeng Shima.
Saat kulirik, Dewangga sedang menatap api unggun yang meliuk-liuk terhembus
angin malam.
“Ada,” jawabnya.
“Tapi hubunganku dengannya cukup
rumit.” Kanjeng Shima tersenyum, tapi sorot matanya menyelidik.
“Serumit apa?”
“Jujur. Aku sudah lama menyukainya.”
kata Dewangga.
“Saat aku mengucap sumpah Nelongso,
kupikir aku akan kehilangan dia. Sebab aku akan berkelana dan berperang ke
berbagai negeri. Aku bisa saja mati dihunus tombak, tenggelam dihantam badai,
atau justru dia yang keburu menikah dengan orang lain”
“Kalau sampai bisa mencuri hati
Mahapatih pasti paras wanita itu sangatlah cantik, ya?” tanya Kanjeng Shima
sambil merapihkan helai rambutnya ke belakang telinga.
“Tentu saja, bagiku dia perempuan
tercantik di muka bumi”
“Ah, masa? Apakah Kakanda Dewangga
tidak berlebihan? Hihihihi…”
Entah kenapa tatapan Kanjeng Shima
kurasa jadi aneh. Bola matanya seperti membesar. Tapi mungkin itu hanya
perasaanku saja.
“Sungguh! Silakan cabut lidah dan
kedua bola mataku sekarang juga jika aku berdusta. Selama berkelana aku sudah
melihat wanita dari seluruh penjuru nusantara dan dia tetaplah menjadi mahluk
tercantik yang pernah kulihat,” jawab Dewangga sambil menatap lawan bicaranya.
Kanjeng Shima yang ditatap seperti itu malah memalingkan mukanya sambil
malu-malu.
“Bukannya perempuan itu sudah
bertambah tua ya, sejak ditinggal Mahapatih berkelana? Memangnya dia masih
menarik?”
“Khusus untuk wanita dambaanku ini,
usia justru mematangkan dirinya. Dia bukan bertambah tua, tapi bertambah
dewasa. Terkesan dua hal yang sama padahal berbeda artinya. Ah, maaf jika
omonganku ngawur.”
“Tidak kok, Mahapatih. Aku paham yang
kau bicarakan,” balas Kanjeng Shima.
“Kau terdengar sangat jatuh hati
dengan perempuan ini. Lalu apa yang menundamu untuk mendapatkannya? Sumpahmu?”
“Yang pertama, aku terganjal
sumpahku. Dan yang kedua seperti yang tadi sudah kubilang, hubunganku dengannya
rumit.”
“Di mana letak rumitnya?”
“Aku tidak tahu bagaimana perasaannya
padaku!”
“Astaga Dewa!” ledek Kanjeng Shima.
Dewa? Tidak sembarang orang dapat
memanggil Mahapatih dari Rekso Bumi dengan nama kecilnya. Apakah Kanjeng Shima
adalah orang yang punya kedudukan istimewa di hadapan Dewangga?
“Dewa… Dewa…” ledek Kanjeng Shima
sekali lagi.
“Shima.. Shima..” balas Dewangga
menyebut nama lahir Kanjeng Shima.
“Ih, sudah lama tidak ada yang
memanggilku dengan Shima.” ucap Kanjeng Shima malu-malu.
“Aku jadi teringat masa lalu.”
“Kau ingat? Dulu aku sering
mengacak-acak rambutmu seperti ini hahahaha…” ujar Mahapatih sambil melepas
ikat rambut Kanjeng Shima lalu memainkan rambutnya.
“Mahapatih! Ah! Rambutku jadi
berantakan!” protes Kanjeng Shima sebal, namun dengan ekspresi wajah penuh
senyuman.
“Hahahaha… kau masih sama saja ya
reaksinya seperti dulu saat kupermainkan rambutmu!”
“Iya! Dulu kau sering sekali
mengacak-acak rambutku!”
“Daripada kamu, sering mengacak-acak
ranjangku!”
Pipi Kanjeng Shima langsung bersemu
merah sekali. Dia mencubit lengan Mahapatih kuat-kuat. Tapi sebagai panglima
perang dengan ilmu kanuragan tingkat tinggi seperti Mahapatih Dewangga, cubitan
manja dari seorang perempuan tentu tidak terasa menyakitkan.
“Dulu situasinya lebih sederhana ya?
Kita tidak perlu menjaga citra dan wibawa. Bebas saja mengungkapkan rasa,”
sambung Dewangga sambil mengenang masa lalu.
“Iya, kupikir dengan semakin tinggi
kedudukan yang kita emban saat ini, kita bisa semakin bebas,” lanjut Kanjeng Shima.
“Tapi kekuasaan justru malah
mengekang kita dengan berbagai norma.”
“Makanya kubilang, situasinya rumit.
Statusku sebagai mahapatih membuatnya jadi rumit.”
“Situasi memang sudah sedikit
berubah, tapi kurasa tidak sampai membuatnya serumit itu. Kau tinggal
meminangnya saja, bukan? Toh, sumpahmu sedikit lagi terpenuhi”
“Bagaimana kalau dia tidak suka
padaku?”
“Dewa… kurasa… dia pasti suka kamu
juga!”
“Masa iya?”
“Iya! Aku yakin! Mana ada perempuan
yang tidak jatuh hati dengan pria gagah sepertimu? Lihat saja dayang-dayang
kerajaan Sejagat yang jelalatan memandang tubuhmu sejak tadi”
Aku melirik ke arah yang dimaksud
Kanjeng Shima. Kelima dayangku mendadak buang muka saat mereka ketahuan
memandangi Dewangga diam-diam. Mereka menunduk sambil senyum-senyum. Secara
fisik, Dewangga memang menarik. Apalagi secara kedudukan. Jadi kurasa wajar
saja jika dayang-dayangku jadi agak kegatelan.
“Jika perempuan itu yakin telah jatuh
hati kepadaku, lalu kenapa sampai malam ini dia belum juga mengutarakan
perasaannya?”
“Dalam urusan perang, kau adalah yang
terbaik Dewangga. Tapi kalau urusan hati? Astaga kau bodoh sekali! Masa iya
perempuan yang harus maju terlebih dahulu? Perempuan itu maunya dikejar,
dipuja, diagungkan. Kalau mereka yang menggoda sih namanya perempuan Sejagatl!”
Cih! Kurang ajar! Ini yang kubenci
dari orang Rekso Bumi. Mereka menggunakan nama kerajaanku sebagai istilah untuk
menyebut perempuan penggoda. Bukan salah kami dong jika perempuan Sejagat lebih
cantik dari perempuan tanah Jawa lainnya. Laki-laki Rekso Bumi saja yang lemah
imannya. Mereka yang nafsu, malah kami yang dituduh binal!
“Hahahaha….” Dewangga tertawa geli
mendengar ocehan Kanjeng Shima.
“Sudah lama aku tidak mendengar kamu
berceloteh segemas ini. Terima kasih sudah membuat hatiku jadi cerah, Shima.” Nah,
kan. Lagi-lagi mata Kanjeng Shima berbinar-binar saat dipuji Dewangga.
“Perkataanmu tadi terngiang-ngiang di
benakku,” kata Dewangga.
“Yang mana?”
“Katamu semua perempuan pasti suka
padaku?”
“Benar, kan? Lihat saja dayang-dayang
itu!”
“Yang kumaksud bukan dayang-dayang
genit itu, di sini kan ada perempuan lain yang lebih cantik,” kata Dewangga
sambil menyenggol lengan Kanjeng Shima. Kanjeng Shima menundukkan mukanya
dengan pipi yang bersemu merah muda. Dia tampak sumringah sekali.
“Hmm… Shima. Bisa kau bantu aku yang
bodoh dalam hal cinta ini? Tolong beritahu aku bagaimana perasaan perempuan itu
terhadapku?”
“Eh? A-aku kalau kamu bertanya
tiba-tiba seperti itu… aku…” Kanjeng Shima tiba-tiba panik karena tidak siap
dan malu.
“Habisnya di calon ratu kita hahaha…
Lagipula aku tidak bisa berbahasa Sejagat. Duh rumit sekali ya. Tapi andai
perempuan secantik dia memang benar-benar menyukaiku mungkin aku bisa membujuk
Maharaja untuk menyatukan kerajaan Sejagat dan Rekso Bumi lewat perkawinan
Mahapatih Dewangga dan Putri Dyah Pitaloka Citaresmi. Bagaimana menurutmu
Kanjeng Shima? Apakah aku punya peluang?”
Entah mana yang lebih mengejutkan, Dewangga
yang benar-benar sebodoh itu dalam menangkap kode yang ditebar Kanjeng Shima.
Atau Dewangga yang baru saja menyatakan cintanya kepadaku di depan orang yang
mencintainya. Kanjeng Shima langsung menatapku dengan tajam tapi tidak berkata
apa-apa. Dia hanya menggelengkan kepala lalu berkata,
“Sungguh bodoh.”
“Hei! Jaga tutur katamu Kanjeng!
Siapa yang kau bilang bodoh?” hardik Dewangga.
“Aku! Aku yang bodoh!” jawab Kanjeng Shima
dengan nada lirih.
“Hah? Bagaimana?”
“Kau mau bisa bermesraan dengan putri
Dyah Pitaloka? Tunggu besok malam!”
“Kenapa bukan malam ini?”
“Aku mau tidur. Kau sendiri kan yang bilang
kita harus menjaga tenaga karena perjalanan masih panjang?”
“Benar. Tapi kenapa kau tiba-tiba
jadi kesal begitu, sih?”
Kanjeng Shima tidak menjawab. Dia
cepat-cepat bangkit lalu masuk ke dalam tendanya. Sekilas, kulihat tadi Kanjeng
Shima menyeka ujung matanya. Setetes air mata keluar, tapi bukan karena rasa
kantuk. Jujur, aku jadi takut karena tiba-tiba terjebak di tengah kisah cinta
segitiga ini. Sebab aku tahu seorang perempuan bisa nekat melakukan hal-hal di
luar akal sehat, jika atas nama cinta. Kupikir dipaksa menikah demi
menyelamatkan kerajaan sudah jadi beban yang serat berat. Namun kini situasinya
jadi semakin runyam lagi.

Posting Komentar
0 Komentar