DANGEROUS GAME

 

GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 190 HALAMAN
HARGA: Rp 25.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Langit bersemu merah seiring munculnya sang mentari. Suara binatang mulai terdengar di dalam hutan yang penuh pepohonan besar. Pepohonan itu mengelilingi sebuah villa yang berdiri kokoh di lereng gunung dengan posisi menghadap ke sebuah danau. Suara berisik terdengar dari dalam villa. Dari sebuah kamar luas yang memiliki teras terbuka.

“Pikiran gue blank. Boring!!” Seorang perempuan berambut pirang berucap keras.

“Super dingin! Brrrrrr!” Wanita mengenakan jaket tebal menyahut, jemari lentiknya menjepit sebatang rokok yang menyala.

“Liat ini! Susu gue mengkerut!”

“Sinyal buruk sekali. Payah!” Terdengar sahutan dari wanita lain yang rebah di sofa dibalut selimut tebal. Bibirnya berdecak galau karena signal di handphone-nya tidak stabil.

“Tanpa lelaki?! It’s okay, but at least, harus ada sesuatu yang bikin gairah gue membara. It’s totally failed!”

Dua pasang mata melirik malas ke arah sumber suara. Mereka menarik nafas panjang, kemudian mengalihkan pandangan ke hamparan danau yang tenang. Mereka enggan meladeni ocehan teman-temanya yang menggangu keheningan pagi.

“Gue bela-belain kaga tidur semaleman. Gue kira bakal ada kejutan. Nothing happened!”

“Em, elo payah kalo bikin rencana!”

Next event gue yang urus!! Gue udah punya rencana super duper hebooh!!!"

 

***

​         

Anggi mendesah resah di dalam mobil mewah yang melaju meninggalkan kampung menuju ibu kota. Wajah cantiknya keruh. Perempuan muda berperawakan sedang itu duduk bertopang dagu. Mata indahnya mengintip lewat kaca mobil, melihat pepohonan yang melambai sedih mengucapkan salam perpisahan untuknya.

Anggi melirik Emilia yang tertidur nyenyak di sampingnya. Emilia adalah wanita yang menawarkan pekerjaan kepada gadis berumur dua puluh tahun itu. Tawaran gaji yang menggiurkan membuat Anggi menerima pekerjaan tanpa berpikir panjang. Anggi mengenal Eimilia dua hari yang lalu ketika dia mendapat tugas mengantar perempuan cantik nan kaya itu berkeliling kampung untuk melihat beberapa tempat wisata.

“Apakah Bu Emilia benar-benar orang baik?” Anggi membatin ragu. Dia kemudian memejamkan mata. Mencoba menghilangkan pikiran negatif yang beberapa kali berkelebat di kepalanya.

“Bu, kita udah sampe.”

Anggi tersentak mendengar suara si supir. Dia mengucek mata dan merapikan rambut yang acak-acakan. Kesadaran belum sepenuhnya kembali ke tubuhnya. Emilia sudah turun lebih dulu.

“Ini rumah saya, Anggi.”

Anggi turun dari mobil kemudian mengikuti Emilia melangkah di jalan berpaving yang membelah taman menuju pintu rumah. Lantai marmer yang berkilau indah membuat Anggi semakin terpukau. Anggi merasa berada di tempat asing tetapi mengagumkan. Anggi mengikuti langkah Emilia. Membantu menjijing tas milik Emilia menaiki tangga kayu menuju lantai tiga.

TAP

TAP

TAP

Suara alas kaki menghantam tangga terdengar nyaring di belakang Anggi. Anggi yang baru menginjakan kaki di lantai tiga menoleh ke arah sumber suara.

“Em, elo baru pulang?“ Seorang lelaki mengenakan pakaian olahraga menyapa mereka.

“Iya, gue baru nyampe,” ujar Emilia santai.

“Oh ya Jo! Kenalin ini Anggi, staff baru gue. Dia bakal tinggal di sini.” Emilia memperkenalkan Anggi.

“Anggi, ini Jonathan, kakak saya.” Emilia melanjutkan.

Anggi tersipu malu melihat wajah ganteng Jonathan. Matanya tidak berkedip cukup lama, menatap wajah mirip aktor kesukaannya yang sering dilihatnya di televisi.

“Hai Anggi, semoga betah di sini ya.”

Anggi hanya tersenyum dan mengangguk. Jonathan memeluk Emilia sesaat dan memberi kecupan di kening adiknya sebelum kembali melanjutkan lari menuju kamarnya di lantai empat. Bola mata Anggi bergerak mengikuti sampai lelaki itu tidak terjangkau pandangannya.

Rumah keluarga Emilia berlantai empat bergaya semi modern. Isi rumah sangat komplit. Mulai dari kolam renang, tempat olahraga, tempat yoga, dan taman yang indah. Emilia tinggal di lantai tiga dan Anggi kebagian satu kamar yang ukuranya sepertiga kamar Emilia. Bagi Anggi kamar itu cukup luas. Dia juga mewarisi beberapa perabotan dari penghuni sebelumnya.

Adaptasi Anggi tidak sepenuhnya lancar. Minggu pertama, Anggi gelisah bukan main dan sempat berpikir untuk kembali ke kampung halamannya. Dia merasa berada di tempat asing yang tidak nyaman. Minggu kedua, Anggi mulai menemukan kenyamanan. Emilia sering mengajaknya keluar, menemani bertemu klien, dinner atau pesta tertentu. Dia juga sudah hapal para penghuni rumah di sana, yaitu Emilia, Jonathan, Sapta si sopir, Ryan si tukang kebun, Torus si satpam, dan Mimi seorang tukang masak.

Orang tua Emilia tidak berada di sana dan hanya sesekali berkunjung. Mereka memiliki memiliki banyak usaha. Pabrik, pertambangan, usaha rokok, penginapan, dan beberapa usaha kecil. Jonathan lebih banyak mengurusi usaha itu, sementara Emilia membangun bisnisnya sendiri yaitu membuka beberapa butik hasil desain dia dan teman-temannya.

Pekerjaan yang diberikan Emilia kepada Anggi tidak begitu berat tetapi butuh kesabaran karena mood Emilia yang sering turun naik. Selain itu, jam kerja Anggi juga tidak menentu. Emilia sudah mengajarkan banyak hal baru kepadanya. Anggi mulai terbiasa ke bank, ke supermarket, mengunakan komputer, mebuat gambar dan banyak pekerjaan lainnya. Anggi sangat menghomati Emilia.

Bagi gadis yang memiliki tahilalat di atas alis kanan itu, Emilia seperti wanita yang berasal dari dimensi lain. Kulitnya yang putih, matanya yang indah penuh pesona, bibirnya yang kemerahan dan senyumnya yang begitu berharga. Anggi merasa menjadi begitu kecil dan tidak berarti ketika dibandingkan dengan perempuan itu, padahal Anggi adalah seorang wanita primadona di kampungnya.

TAP

TAP

TAP

Anggi hafal suara itu. Itu adalah suara kaki Jonathan ketika berlari menaiki atau menuruni tangga. Itu sekaligus sebagai penanda bagi Anggi kalau Jonathan ada di rumah. Lelaki itu beberapa kali menyapa sekedar berkata,

“Haii Anggi!”

“Selamat pagi Anggi ”

“Selamat sore Anggi.”

Mereka tidak pernah mengobrol lebih jauh. Adaptasi Anggi hampir mendekati sempurna andai saja dia tidak melihat beberapa coretan di dalam lemari pakaian di kamarnya. Lemari yang dipakai mantan staff Emilia. Tulisan tangan dengan gaya berbeda, penanda ditulis oleh beberapa orang.

"LELAKI BANGSAAT! BERWAJAH MALAIKAT, BERHATI IBLIS!"

"WANITA PENIPU!! PEMBOHONG!!

"KELUARGA TERKUTUK!!"

"GUE ANCUUUR , ELO REMUK! DASAR LONTE SIALAN!!”

Tulisan yang berisi makian kasar itu membuat Anggi mengerutkan kening bertanya-tanya.

 

***

 

Mendung tebal menyelimuti kota, berbarengan dengan terbenamnya sang mentari. Hari ini adalah jatah liburnya Anggi, Emilia memberi Anggi waktu bersantai di rumah karena Emilia ada pertemuan khusus sejak pagi.

Udara lebih dingin dari biasanya. Anggin berhembus cukup kencang menghempas tirai di teras sehingga menimbulkan suara berisik ketika beradu dengan jendela. Tidak berapa lama, hujan turun begitu deras. Anggi baru saja selesai mandi. Dia berdiri menatap cermin dengan rambut digelung ke atas. Senyumnya mekar saat menatap pantulan tubuhnya yang dililit handuk warna putih. Tonjolan payudaranya yang indah tercetak di handuk.

Suara lagu favorit Anggi mengalun lembut dari handphone-nya. Anggi ikut menyanyi sambil mengoleskan lotion di leher, kemudian lengan, kaki, dan pahanya yang kencang berisi. Dia memonyongkan bibir, mengoleskan listik berwarna merah pemberian Emilia.

Dia memutar tubuh di depan cermin beberapa kali, mengagumi tubuhnya sendiri. Perut rata, pinggang ramping dan pinggul indah. Ketika Anggi sedang asik menilai diri sendiri, terlihat kilatan cahaya di cermin. Anggi refleks menutup telingga dan memejamkan mata.

TTTJJDUUAARRR!!!

Suara petir menggelegar. Anggi menahan nafas. Dia tidak takut petir, hanya saja suaranya terkadang membuatnya kaget.

TTTJJDUUAARRR!!!

Terdengar suara petir yang lebih keras. Suaranya bergema menakutkan. Anggi memaki dalam hati.

BLAAAMMM!

Lampu padam. Aliran listrik terputus. Ruangan gelap gulita membuat Anggi bergerak kelimpungan. Dia meraba-raba, mencoba meraih hanphone-nya yang masih memutar lagu.

TAP

TAP

TAP

Anggi mendengar derap kaki berlari menaiki tangga. Dia buru-buru merapikan handuk karena belum sempat mengenakan pakaian.

“Nggi.. Anggii!”

Anggi mendengar suara orang memanggil. Dia mencoba menyalakan flash light di handphone dan keluar dari kamar.

“Anggii.. Anggiii!” Sesosok tubuh yang menggunakan handphone sebagai senter bergerak cepat ke arah Anggi.

“Iya, Bu. Ada apa? Ibu baru pulang? Kenapa lari-lari?”

“Duuhh! Saya lupa kalo hari ini ada janji, kamu temenin saya, ya!” Wajah Emilia keruh karena kelelahan,

 “Ujan dan gelap, saya males sendirian.”

“Iya Bu, ketemu dengan siapa?”

“A-Lima.”

Jawaban Emilia berbarengan dengan lampu di rumah itu menyala. Anggi lega dan melihat ke luar, banyak rumah yang masih gelap gulita. Dia tahu, pasti pak satpam menyalakan genset.

 

***

​         

Emilia mengemudikan mobil melewati jalan sepi yang membelah hutan Mangrove menuju sebuah rumah yang disebut Emilia sebagai ‘Rumah A-Lima’. Rumah itu terletak di dekat tebing yang menghadap ke pantai.

Hujan sudah berhenti turun ketika mereka sampai di pintu gerbang yang menyatu dengan tembok tinggi. Tembok itu mengelilingi lima buah bangunan yang berukuran luas, menyembunyikan dari pengelihatan orang luar. Kelima bangunan bergaya modern tetapi sederhana. Memiliki ukuran hampir sama, tetapi dengan warna cat berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.

“Kenapa warna bangunannya aneh-aneh, Bu?”

“Warna menunjukan identitas. Identitas itu sebagai pembeda. Perbedaan membuat mudah dikenali.” Jawaban Emilia cukup membuat Anggi bingung dan tidak melanjutkan pertanyaan.

Luas kelima bangunan itu hanya setengah dari luas tempat itu. Ada sebuah taman dengan rumput pendek hijau dan kolam renang di tengah-tengah, di dekatnya terdapat parkir mobil dengan lantai paving abu-abu. Tidak jauh dari tempat itu berderet tiga pohon besar nan rimbun. Di bawahnya terdapat lampu bulat besar yang menyala redup. Beberapa kursi kayu panjang berderet di dekatnya.

Anggi mengikuti Emilia berjalan ke arah kamar berwarna kuning. Di teras kamar yang terang, ada empat orang yang menunggu Emilia. Anggi mengenal mereka, mereka adalah anggota A-Lima, sebuah group tidak resmi yang beranggotakan Emila dan empat orang temannya.

Emilia pernah bercerita kepada Anggi, nama A-Lima berasal dari nama mereka. Kelima anggota memiliki nama berakhiran huruf ‘A’. Emilia, Diandra, Rimelda, Davina, dan Monica. Mereka berteman sudah sejak lama dan sama-sama berasal dari keluarga kaya. Mereka setidaknya berkumpul sekali dalam sebulan. Meskipun tidak selalu dengan anggota lengkap.

“Nggi, kamu jangan baper ama mereka. Mereka terkadang rese dan kelewatan batas. Apalagi kalau mereka mabuk.” Emilia berpesan kepada Anggi.

Seorang wanita memakai dress hitam panjang berjalan anggun menghampiri Anggi. Anggi tersenyum dan menyapa. Dia adalah Rimelda, salah seorang teman Emilia yang merupakan seorang produser film. Keluarganya memang memiliki usaha di bidang perfilman. Rimelda berkulit mulus kecokelatan, buah dada besar dan bentuk bokong membulat indah.

Wanita lain memakai dress merah duduk menyilangkan kaki sambil menyedot sebatang rokok. Dia adalah Davina. Davina kurus, tinggi, pinggang langsing dan perut rata, tetapi payudaranya cukup besar. Warna kulitnya hampir sama dengan Rimelda. Sorot matanya terkesan angkuh.

Dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai model. Perkejaan utamanya adalah bekerja di perusaah keluarga. Anggi pernah dititipkan oleh Emilia kepada wanita ini selama beberapa jam di mall. Menurut Anggi, Davina adalah wanita merepotkan dan suka bikin heboh. Dia punya hobi merecoki kasir dan SPG sehingga kelabakan dengan perkataan,

“Cepetan dong! Saya mau ke bandara!”,

“Cepetan dong! saya mau makan malam!”

“Cepet cepet cepet! Saya sudah ditunguin taxi!”

Semua yang diucapkan Davina itu adalah bohong. Davina tidak melakukan hal penting setelahnya.

Di dekat Davina, seorang wanita memakai kaos putih dan bercelana pendek asik memainkan handphone. Terlihat tatoo bunga melintang di pegelangan tangan kanannya. Dia adalah Monica si seniman. Monica memiliki bentuk tubuh ideal. Ukuran dada, perut, pinggul dan bokongnya sangat pas, tidak terkesan gemuk atau kurus. Hanya saja dia memiliki kaki berbentuk X sehingga caranya berjalan kurang angun.

Selain itu, dia memiliki kebiasaan memiringkan kepala ke kiri, mungkin itu adalah salah satu efek dari bakat seninya sebagai pelukis. Dia keturunan indonesia dan New Zealand. Monica senang mencampur bahasa indonesia dengan bahasa Ingris ketika berbicara sehingga terkesan agak kacau. Dia sempat berkuliah di Australia.

Emila kemudian duduk di dekat seorang perempuan berkacamata bulat besar, berambut pendek sebahu, bermata sipit, dan kulit putih. Bibirnya begitu mungil dan tipis kemerahan. Dia memakai kemeja dan celana panjang, pakaian favoritnya. Dia keturunan tionghoa sama seperti Emilia. Dia bernama Diandra, seorang dokter hewan. Dia adalah yang termuda dari mereka berlima. Diandra merupakan teman Emilia ketika mereka kuliah di USA.

“Itu adalah gallery kami, berisi barang seni dari berbagai daerah di dunia.” Emilia menunjuk sebuah ruangan bercat kuning tidak jauh dari mereka.

“Kecuali lukisan-lukisan jelek dan berantakan itu,” ujar Rimelda sambil mengarahkan telujuk ke beberapa lukisan yang tertutup kain.

At least, itu hasil imajinasi gue. Tidak payah seperti elo yang tidak bisa berimajinasi,” terdengar sahutan Monica.

“Dasar tukang bacot!”

“Anggi, kami berlima mau membahas sesuatu. Kamu liat-liat ke sana dulu, ya!”

Anggi mengerti ucapan Emilia. Perempuan itu menyuruhnya menjauh karena mungkin akan membicarakan sesuatu yang tidak boleh dia dengar. Anggi masuk ke dalam ruangan yang disebut ‘Gallery’ oleh mereka. Pandangan mata teman-teman Emilia mengikuti.

“Em, asisten Lo ngikut terus ya?” ujar Rimelda sambil mengelus rambutnya.

“Elo balik jadi anak manja dan penakut, hihihi.” Emilia tersenyum manis kemudian memutar kepala, menoleh ke arah Anggi .

“Gue demen dia. Dia polos dan bisa dipercaya,” ujarnya lirih.

“Gue ngerasa nyaman ama dia.”

“Yakin?” Davina menatap tajam.

“Elo kagak bakal korbanin dia, kan? kayak asisten elo yang dulu.” Dia melanjutkan ucapan sambil merapikan bajunya yang kedodoran. Emilia menarik nafas panjang. Hening beberapa detik. Tidak ada jawaban atas pertanyaan itu.

“Gimana, kalian udah dapet cowo keren untuk pesta?” Terdengar suara Rimelda.

“Of course! Gue tinggal julurin lidah aja dapet cowo,” ujar Monica sambil mengoyangkan kepala.

“Berarti persiapan udah beres, ya?” tanya Emilia.

“Yes, but we need extra money.”

“Em, lo mesti ajak assiten lo terlibat dalam game!” Davina berucap serius.

“Game kali ini spesial!”

“Emang game-nya apaan?” Emilia penasaran. Davina mendekatkan bibir ke telinga Emilia. Dia membisikan sesuatu dan membuat Emilia berpikir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

​          PART 2

 

Gallery merupakan ruangan yang luas. Cahaya lampunya remang. Ukiran-ukiran antik khas Bali dan Jepara menghiasi dinding. Ada juga beberapa lukisan yang dibingkai dengan kayu berukir. Banyak meja kayu solid di tengah ruangan, beberapa diberi alas kain tenun tradisional. Di atas beberapa meja kayu terdapat topeng berbentuk wajah manusia. Di pojok ruangan, di atas lantai berwarna coklat tua, ada beberapa lampu yang terbuat dari kayu memancarkan cahaya kuning redup. Banyak anyaman dari bahan rotan dan bambu tergantung di dinding.

Anggi mulai merasa bosan. Menurut Anggi yang tidak mengerti seni, terlalu banyak benda yang menurutnya aneh berada di tempat itu. Barang yang sama sekali tidak membuat Anggi kagum. Anggi lebih menyukai pakaian indah ketimbang benda seperti itu. Mungkin cara orang kaya menghabiskan uang adalah dengan membeli benda seperti itu, pikir Anggi.

Anggi memutuskan berjalan keluar ruangan. Dia mendekat ke arah A-Lima berkumpul dan hendak minta ijin kepada Emilia untuk berjalan-jalan di taman. Denting suara gelas beradu terdengar ketika anggota A-Lima mengangkat tangan bersulang.

“Kamu mau wine, Nggi?”

“Bikin mabuk ya Bu?”

“Enggak kalo sedikit. Mau coba?”

“Eh, tidak usah Bu. Dulu pacar saya ngelarang saya minum yang bikin mabuk.”

“What?! Elo punya pacar Nggi?” Monica berteriak sambil tertawa.

“Dulu Bu. Sekarang dia udah nikah ama orang.” Anggi tersipu malu dan juga merasa sedih.

“Udah diapain aja?” Rimelda menaikan kedua alis mengoda.

“Susumu pasti sering disedot dan diremes yaaaa?! Hihihi.”

“Gimana rasanya Nggi? Enak? Geli?”

“Eh! Enggak Bu!” Wajah Anggi merah padam.

“Bo’ong! Sini gue cek! Gue tau mana yang udah pernah disedot ato belom! Hihihi.”

Anggi terdiam dan merasa risih. Serangan dari mereka memang susah dilawan. Dia merasa malu, jengah, dan bingung. Emilia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Anggi merasa wajahnya semakin panas.

Mereka bersorak seperti berdemo. Anggi buru-buru pamit ke taman karena sangat malu. Terdengar gelak tawa di belakangnya. Dia berusaha tidak terlalu memikirkanya. Dia mulai mengerti kenapa Emilia menyuruhnya agar tidak baper. Suasana di taman saat itu hening. Udara berhembus segar dan dingin setelah hujan. Anggi menikmati rumput yang basah menyentuh kakinya. Dia melanjutkan berjalan menikmati indahnya malam.

Anggi melihat sebuah bangunan besar yang memiliki warna tembok biru muda tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah pintu yang memiliki warna aneh membuatnya tertegun. Terdapat sebuah tulisan di tengah-tengah pintu.

“KE-GEM-BI-RA-AN” Anggi membaca tulisan itu sambil menjulurkan tangan meraba.

“Pintu itu hasil kegilaan si Em, bos elo.” Anggi menoleh ke arah sumber suara. Rimelda dan Davina sudah berdiri tidak jauh dari Anggi.

“Em suka corat-coret sembarangan. Bagi gue itu kotor, tapi bagi dia itu seni.“ ujar Rimelda.

“Bulan depan, kami mau pesta di sini,” ujar Davina sambil menunjuk bangunan berwarna biru muda itu.

“Lo dateng ya, Anggi!”

“Mungkin Bu, kalo Bu Emilia mengijinkan,” ujar Anggi ragu.

“Hahaha. Bahasa lo kaku amat!” Rimelda tertawa.

“Udah berapa bulan lo kerja ama Em?”

“Sudah tiga bulan lebih, Bu.”

“Betah?” Kedua alis Rimelda naik.

“Biasanya kagak ada yang betah ama dia lebih dari dua bulan!”

“Meskipun sering marah sama saya, dia baik sekali,” ujar Anggi tulus mencoba membela Emilia. Davina dan Rimelda saling pandang, kemudian kompak tertawa begitu keras. Anggi keheranan.

“Hihihi. Hati-hati Anggi! Em itu monster!” Rimelda berbisik.

“Emmmmm, mungkin lebih kejam dari monster. Kami kenal Em udah dari dulu. Sebelum lo lahir.”

”Lo itu polos. Dia suka orang polos, Hahaha. “

Anggi mengerutkan alis. Mungkin ini yang dimaksud Emilia kalau teman-temanya rese dan kelewatan. Sebelum berlalu, mereka mengingatkan Anggi lagi.

“Oh ya. Inget datang bulan depan! Kami ada game seru."

 

***

 

Sebulan kemudian di Rumah A-Lima.

Senin, 20:00

 

Anggi berdandan rapi. Dia mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana jeans biru yang menunjukan bentuk indah pinggulnya. Wajahnya cerah berseri. Bibirnya terlihat lebih merah karena lipstick. Emilia berjalan di sampingnya. Wanita yang tingginya hampir sama dengan Anggi itu juga mengenakan kemeja berbahan sutra lembut berwarna biru gelap. Bawahannya berupa celana panjang longgar juga berwarna biru. Sangat kontras dengan kulit putihnya.

Dia menggenggam sebuah handbag berwarna hampir sama dengan pakaiannya. Mereka berdua berjalan di bawah cahaya remang lampu taman di Rumah A-Lima. Bintang di langit bertaburan indah. Tidak seperti sebulan yang lalu, ketika pertama kalinya Anggi kesana.

Hari ini akan diadakan pesta di rumah A-Lima. Anggi melihat jumlah kendaraan di parkir lebih banyak dibandingkan ketika pertama kali dia ke sini. Bangunan itu juga sudah di dekorasi berbeda, ada beberapa kursi di dekat kolam renang. Lampu di depan masing-masing ruangan menyala lebih terang.

Rimelda yang memakai dress ketat hitam menyambut mereka dengan segelas minuman. Seperti biasa, dia itu selalu tampil heboh dan seksi. Belahan dadanya terlihat menggoda. Dia juga menggunakan wedges yang cukup tinggi.

Davina dengan dress panjang berwarna merah menyala. Dress lembut itu sampai ke mata kakinya. Dia terlihat begitu anggun. Warna rambutnya saat ini adalah biru dengan sedikit warna abu-abu menyala.

Diandra mengenakan pakaian mirip Anggi. Sebuah kemeja longgar, berwarna biru dengan garis-garis putih horizontal. Dia juga memakai celana jeans ketat. Kacamata yang dikenakan saat ini berbentuk kotak. Bibir munggil wanita itu begitu glossy, basah dan menggoda. Rambut pendek sebahu tidak mampu menyembunyikan leher jenjangnya.

“Kamu cantik sekali malam ini. Sudah siap bermain?” Rimelda bertanya kepada Anggi.

“Elo yang bakal gantiin Em, kan?”

“Iya Bu.”

“Be carefull sweety. She so tricky. Em itu licik!” Monica menakuti Anggi. Anggi terlihat ragu. Dia menatap Emilia meminta penjelasan.

“Dia udah sepakat jadi wakil gue. Elo tinggal jelasin peraturannya ama dia.” Emilia menyahut dengan tenang.

“Kami tidak akan mengubah keputusan.”

Anggi sudah berjanji menggantikan Emilia dalam permainan itu, tetapi dia belum mendapat informasi mengenai permainan apa yang akan mereka mainkan. Emilia juga mengatakan kalau dia tidak mengetahui detail permainan. Hanya Monica dan Davina yang tahu karena merekalah yang merancang game-nya. Emilia mampu meyakinkan Anggi kalau permainan itu hanya untuk bergembira.

Actualy, this game a bit different. Game yang WOW dan enggak akan terlupakan. Tapi elo malah minta asisten elo ngewakilin. I hope, elo gak nyesel nanti, Em!”

“Kalo boleh tau, itu game apa?” Tanya Anggi. Perasaanya mulai tidak enak.

“Ayo masuk ke kamar Biru Muda. Gue jelasin di sana,” sahut Davina.

Rasa ingin tahu yang membuncah menuntun Anggi mengikuti langkah Emilia memasuki satu-satunya pintu penghubung. Mereka tiba di sebuah ruangan yang luas tetapi remang. Hanya ada cahaya redup di langit-langit ruangan yang cukup tinggi. Cahaya itu hanya membantu membuat bentuk samar yang memberi penunjuk akan adanya suatu benda.

Kamar Kegembiraan atau juga disebut Ruang Biru Muda adalah ruangan luas yang bentuknya mirirp tempat pertunjukan seni panggung. Luas ruangan itu 600 meter persegi dengan tinggi tembok delapan meter. Setengah ruangan itu adalah panggung dan setengah lagi adalah ruangan kosong yang biasanya diisi kursi sebagai tempat menonton. Hanya ada sebuah pintu masuk di sebelah Utara dekat panggung. Panggung berbentuk memanjang dengan tinggi satu meter dari lantai.

Monica mengarahkan teman-temannya ke tengah-tengah ruangan. Memersilahkan mereka duduk di kursi yang berjarak sekitar dua meter dari tangga yang berfungsi untuk naik ke atas panggung.

“Let’s start the game!”

Davina tertawa renyah kemudian menekan saklar. Seketika cahaya terang menyorot dari atas menyinari sepertiga panggung, yaitu bagian kanan panggung. Memperlihatkan sebuah tempat tidur berwarna putih berukuran 4x4 meter dikelilingi kelambu tipis biru muda. Di atasnya duduk lima orang lelaki memakai penutup mata dengan pakaian serba hitam.

Saklar kedua ditekan. Cahaya kembali menyorot dari atas, kali ini kebagian sebelah kiri panggung. Di sana terdapat lima kursi berderet. Di setiap kursi, duduk satu orang lelaki menghadap ke arah kursi penonton. Mereka mengenakan penutup mata warna hitam dan juga masker bibir. Pakaian mereka cukup aneh, yaitu celana pendek dan baju kaos mirip pakaian olahraga. Warnanya mencolok dan masing-masing memiliki warna berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.

Saklar ketiga ditekan dan lampu menyorot ke tengah-tengah panggung. Seluruh panggung menjadi terang. Terlihat dua buah sofa berwarna biru tua sepanjang dua meter di posisiakan berhadapan. Jarak antar sofa sekitar satu setengah meter. Di antara sofa berdiri dua orang yang memakai topeng power ranger. Jenis kelamin mereka tidak dapat dikenali dengan jelas karena mengenakan jubah hitam lebar bertuliskan ‘JURI’. Selain itu, terdapat juga sebuah layar berukuran lebar tidak jauh dari sofa, menunjukan angka

00:00:00. Penanda, jam : menit : detik

Alis Anggi mengkerut. Gadis itu menggigit kukunya. Sejak tadi dia berpikir, kira-kira permainan apa yang akan mereka mainkan. Sudah pasti ini bukan permainan yang biasa. Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hatinya. Monica yang menggunakan kaos putih tanpa lengan dan celana jeans pendek berdiri di hadapan kelima wanita lainnya. Sebuah tatoo bunga kecil terlihat di lengan kanan wanita itu.

“Oke! Dengerin baik-baik! Aturan mainnya simple,” kata Monica.

“Pertama, kalian harus memilih salah satu dari lima lelaki yang duduk di kursi.” Telunjuk Monica mengarah ke panggung tempat lelaki pakaian warna-warni duduk.

“Mereka memiliki nomor di punggung baju masing-masing.”

“Setelah kalian memilih, kalian akan mendapat nomer urut sesuai nomor yang tertera di punggung mereka. Ada nomor dari satu sampai lima.” Monica melanjutkan penjelasannya.

“Kemudian kalian akan masuk ke dalam permainan. Kalian dan jagoan pilihan kalian akan saling berhadapan di sofa di tengah panggung.“ Monica menarik nafas sejenak.

”Tugas kalian gampang-gampang nikmat. Kalian diberi waktu tiga puluh menit untuk membuat mereka ‘crot’ tanpa menyentuh. Sudah ada juri yang akan menjadi pengawas dan tukang hitung waktu.”

“Crot?! Maksudnya apa Bu?” Anggi mengerutkan alis bingung.

“Sperma menyembur dari kontol mereka, Anggi! Hihihi,”

Anggi shock. Ucapan yang baginya tabu diucapkan dengan santai oleh mereka. Meskipun dia menjadi paham dengan apa yang dimaksud ‘crot’, tetap saja Anggi merasa malu dan risih.

“Simple-nya begini Anggi, kamu hanya perlu berhadapan dengan lelaki pilihanmu, biarkan dia memainkan kontolnya sendiri. Kamu hanya perlu menggoda. Tapi ingat! TIDAK BOLEH menyentuh mereka.”

“Elo boleh buka baju dan pamerin toket lo!”

DUG

DUG

DUG

Jantung Anggi menendang-nendang. Wajahnya merah, mendengarnya saja dia sudah malu, apalagi harus melakukan itu semua. Dia tidak percaya perempuan itu mengatakan dengan begitu luwes hal yang menurut Anggi sangat tabu.

“Mimpi! Ini pasti mimpi!”

Anggi diam-diam mencubit kulitnya. Anggi merasa sakit. Berarti dia tidak sedang bermimpi. Dia mendadak ingin pergi dari ruangan itu, tetapi sudah terlamabat. Dia sudah berjanji dengan mereka. Bisa saja hal yang lebih gila akan terjadi kalau dia membatalkan janjinya.

“Kamu paham kan, Nggi?!” Anggi tersentak. Dia menganguk lemas, tidak terucap apapun dari bibirnya. Ludahnya mendadak terasa pahit.

“Pemenangnya adalah yang memiliki waktu tercepat untuk crot dan yang kalah adalah yang membutuhkan waktu paling lama untuk crot!”

“Gimana kalo kaga crot setelah waktu habis?” Diandra bertanya.

“Berarti mereka homo, atau kalian bukan wanita asli. Hihihi.” Davina tertawa manis.

“Trus lima laki di tempat tidur itu mo ngapain?”

“Gue akan jelasin lebih lengkap dari atas panggung. Okaay?”

Rimelda yang memakai dress ketat hitam maju ke panggung. Dia mengulangi apa yang dijelaskan Monica tadi dengan lebih bersemangat dan berapi-api.

“Yang butuh waktu paling lama untuk ‘crot’ dinyatakan sebagai pecundang atau loser.“

“Hukuman bagi pecundang adalah menjadi budak mereka yang ada di tempat tidur!”

Rimelda menunjuk tempat tidur yang berisi lima lelaki dengan mata tertutup kain. Terdengar tepuk tangan yang riuh dari tempat tidur. Mereka tahu sebentar lagi mereka akan bergembira.

“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”

“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”

“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”

Kata-kata itu berputar di kepala Anggi. Anggi masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia mendekat ke arah Emilia dan mengutarakan isi hatinya. Dia benar-benar ingin membatalkan permainan itu. Dia tidak sanggup melakukannya.

“Elo mau ingkar janji?! Tidak segampang itu!” Davina berucap dengan sorot mata tajam.

“Kalo elo nggak mau ikut. Elo bakal diserahin pada lelaki di panggung.”

“Kamu dianggap kalah tanpa bermain!!“ Monica menimpali.

“Bukan begitu Em?” Anggi gemetar. Dia memandang Emilia penuh harap.

“Anggi, jangan permalukan saya. Tolong ikut bermain. Kamu pasti bisa!” Emilia berucap serius.

Anggi merasa ada tembok besar yang mendadak menghimpit tubuhnya mendengar ucapan Emilia. Harapannya untuk tidak ikut bermain pupus sudah. Dia mencoba menguasai diri. Mencoba menguatkan hati sambil menunduk dengan tubuh bergetar. Dia merasakan tubuhnya mendadak begitu panas. Aliran darahnya sangat cepat. Ketakutan menguras seluruh fokusnya. Dia menyesal berjanji mewakili Emilia.

“Oke, sekarang kita persilahkan tamu spesial kita untuk memilih jagoannya.” Teriak Rimelda dari panggung. “

“Anggi! Kamu yang pertama memilih!” Saking fokusnya Anggi dengan pikiran sendiri, dia tidak mendengar ketika Rimelda menyebut namanya beberapa kali.

“Anggi!” Teriakan Emilia menyadarkanya.

“Eh! Apa?”

“Kamu pilih yang mana?”

 



Posting Komentar

0 Komentar