DANGEROUS GAME
PART 1
Langit bersemu merah seiring
munculnya sang mentari. Suara binatang mulai terdengar di dalam hutan yang
penuh pepohonan besar. Pepohonan itu mengelilingi sebuah villa yang berdiri
kokoh di lereng gunung dengan posisi menghadap ke sebuah danau. Suara berisik
terdengar dari dalam villa. Dari sebuah kamar luas yang memiliki teras terbuka.
“Pikiran gue blank. Boring!!” Seorang
perempuan berambut pirang berucap keras.
“Super dingin! Brrrrrr!” Wanita
mengenakan jaket tebal menyahut, jemari lentiknya menjepit sebatang rokok yang
menyala.
“Liat ini! Susu gue mengkerut!”
“Sinyal buruk sekali. Payah!”
Terdengar sahutan dari wanita lain yang rebah di sofa dibalut selimut tebal.
Bibirnya berdecak galau karena signal di handphone-nya tidak stabil.
“Tanpa lelaki?! It’s okay, but at
least, harus ada sesuatu yang bikin gairah gue membara. It’s totally
failed!”
Dua pasang mata melirik malas ke arah
sumber suara. Mereka menarik nafas panjang, kemudian mengalihkan pandangan ke
hamparan danau yang tenang. Mereka enggan meladeni ocehan teman-temanya yang
menggangu keheningan pagi.
“Gue bela-belain kaga tidur
semaleman. Gue kira bakal ada kejutan. Nothing happened!”
“Em, elo payah kalo bikin rencana!”
“Next event gue yang urus!!
Gue udah punya rencana super duper hebooh!!!"
***
Anggi mendesah resah di dalam mobil
mewah yang melaju meninggalkan kampung menuju ibu kota. Wajah cantiknya keruh.
Perempuan muda berperawakan sedang itu duduk bertopang dagu. Mata indahnya
mengintip lewat kaca mobil, melihat pepohonan yang melambai sedih mengucapkan
salam perpisahan untuknya.
Anggi melirik Emilia yang tertidur
nyenyak di sampingnya. Emilia adalah wanita yang menawarkan pekerjaan kepada
gadis berumur dua puluh tahun itu. Tawaran gaji yang menggiurkan membuat Anggi
menerima pekerjaan tanpa berpikir panjang. Anggi mengenal Eimilia dua hari yang
lalu ketika dia mendapat tugas mengantar perempuan cantik nan kaya itu
berkeliling kampung untuk melihat beberapa tempat wisata.
“Apakah Bu Emilia benar-benar orang
baik?” Anggi
membatin ragu. Dia kemudian memejamkan mata. Mencoba menghilangkan pikiran
negatif yang beberapa kali berkelebat di kepalanya.
“Bu, kita udah sampe.”
Anggi tersentak mendengar suara si
supir. Dia mengucek mata dan merapikan rambut yang acak-acakan. Kesadaran belum
sepenuhnya kembali ke tubuhnya. Emilia sudah turun lebih dulu.
“Ini rumah saya, Anggi.”
Anggi turun dari mobil kemudian
mengikuti Emilia melangkah di jalan berpaving yang membelah taman menuju pintu
rumah. Lantai marmer yang berkilau indah membuat Anggi semakin terpukau. Anggi
merasa berada di tempat asing tetapi mengagumkan. Anggi mengikuti langkah
Emilia. Membantu menjijing tas milik Emilia menaiki tangga kayu menuju lantai
tiga.
TAP
TAP
TAP
Suara alas kaki menghantam tangga
terdengar nyaring di belakang Anggi. Anggi yang baru menginjakan kaki di lantai
tiga menoleh ke arah sumber suara.
“Em, elo baru pulang?“ Seorang lelaki
mengenakan pakaian olahraga menyapa mereka.
“Iya, gue baru nyampe,” ujar Emilia
santai.
“Oh ya Jo! Kenalin ini Anggi, staff
baru gue. Dia bakal tinggal di sini.” Emilia memperkenalkan Anggi.
“Anggi, ini Jonathan, kakak saya.”
Emilia melanjutkan.
Anggi tersipu malu melihat wajah
ganteng Jonathan. Matanya tidak berkedip cukup lama, menatap wajah mirip aktor
kesukaannya yang sering dilihatnya di televisi.
“Hai Anggi, semoga betah di sini ya.”
Anggi hanya tersenyum dan mengangguk.
Jonathan memeluk Emilia sesaat dan memberi kecupan di kening adiknya sebelum
kembali melanjutkan lari menuju kamarnya di lantai empat. Bola mata Anggi
bergerak mengikuti sampai lelaki itu tidak terjangkau pandangannya.
Rumah keluarga Emilia berlantai empat
bergaya semi modern. Isi rumah sangat komplit. Mulai dari kolam renang, tempat
olahraga, tempat yoga, dan taman yang indah. Emilia tinggal di lantai tiga dan
Anggi kebagian satu kamar yang ukuranya sepertiga kamar Emilia. Bagi Anggi
kamar itu cukup luas. Dia juga mewarisi beberapa perabotan dari penghuni
sebelumnya.
Adaptasi Anggi tidak sepenuhnya
lancar. Minggu pertama, Anggi gelisah bukan main dan sempat berpikir untuk
kembali ke kampung halamannya. Dia merasa berada di tempat asing yang tidak
nyaman. Minggu kedua, Anggi mulai menemukan kenyamanan. Emilia sering mengajaknya
keluar, menemani bertemu klien, dinner atau pesta tertentu. Dia juga sudah
hapal para penghuni rumah di sana, yaitu Emilia, Jonathan, Sapta si sopir, Ryan
si tukang kebun, Torus si satpam, dan Mimi seorang tukang masak.
Orang tua Emilia tidak berada di sana
dan hanya sesekali berkunjung. Mereka memiliki memiliki banyak usaha. Pabrik,
pertambangan, usaha rokok, penginapan, dan beberapa usaha kecil. Jonathan lebih
banyak mengurusi usaha itu, sementara Emilia membangun bisnisnya sendiri yaitu
membuka beberapa butik hasil desain dia dan teman-temannya.
Pekerjaan yang diberikan Emilia
kepada Anggi tidak begitu berat tetapi butuh kesabaran karena mood Emilia yang
sering turun naik. Selain itu, jam kerja Anggi juga tidak menentu. Emilia sudah
mengajarkan banyak hal baru kepadanya. Anggi mulai terbiasa ke bank, ke
supermarket, mengunakan komputer, mebuat gambar dan banyak pekerjaan lainnya.
Anggi sangat menghomati Emilia.
Bagi gadis yang memiliki tahilalat di
atas alis kanan itu, Emilia seperti wanita yang berasal dari dimensi lain.
Kulitnya yang putih, matanya yang indah penuh pesona, bibirnya yang kemerahan
dan senyumnya yang begitu berharga. Anggi merasa menjadi begitu kecil dan tidak
berarti ketika dibandingkan dengan perempuan itu, padahal Anggi adalah seorang
wanita primadona di kampungnya.
TAP
TAP
TAP
Anggi hafal suara itu. Itu adalah
suara kaki Jonathan ketika berlari menaiki atau menuruni tangga. Itu sekaligus
sebagai penanda bagi Anggi kalau Jonathan ada di rumah. Lelaki itu beberapa
kali menyapa sekedar berkata,
“Haii Anggi!”
“Selamat pagi Anggi ”
“Selamat sore Anggi.”
Mereka tidak pernah mengobrol lebih
jauh. Adaptasi Anggi hampir mendekati sempurna andai saja dia
tidak melihat beberapa coretan di dalam lemari pakaian di kamarnya. Lemari yang
dipakai mantan staff Emilia. Tulisan tangan dengan gaya berbeda, penanda
ditulis oleh beberapa orang.
"LELAKI BANGSAAT! BERWAJAH
MALAIKAT, BERHATI IBLIS!"
"WANITA PENIPU!! PEMBOHONG!!
"KELUARGA TERKUTUK!!"
"GUE ANCUUUR , ELO REMUK! DASAR
LONTE SIALAN!!”
Tulisan yang berisi makian kasar itu
membuat Anggi mengerutkan kening bertanya-tanya.
***
Mendung tebal menyelimuti kota,
berbarengan dengan terbenamnya sang mentari. Hari ini adalah jatah liburnya
Anggi, Emilia memberi Anggi waktu bersantai di rumah karena Emilia ada
pertemuan khusus sejak pagi.
Udara lebih dingin dari biasanya.
Anggin berhembus cukup kencang menghempas tirai di teras sehingga menimbulkan
suara berisik ketika beradu dengan jendela. Tidak berapa lama, hujan turun
begitu deras. Anggi baru saja selesai mandi. Dia berdiri menatap cermin dengan
rambut digelung ke atas. Senyumnya mekar saat menatap pantulan tubuhnya yang
dililit handuk warna putih. Tonjolan payudaranya yang indah tercetak di handuk.
Suara lagu favorit Anggi mengalun
lembut dari handphone-nya. Anggi ikut menyanyi sambil mengoleskan lotion di
leher, kemudian lengan, kaki, dan pahanya yang kencang berisi. Dia memonyongkan
bibir, mengoleskan listik berwarna merah pemberian Emilia.
Dia memutar tubuh di depan cermin
beberapa kali, mengagumi tubuhnya sendiri. Perut rata, pinggang ramping dan
pinggul indah. Ketika Anggi sedang asik menilai diri sendiri, terlihat kilatan
cahaya di cermin. Anggi refleks menutup telingga dan memejamkan mata.
Suara petir menggelegar. Anggi
menahan nafas. Dia tidak takut petir, hanya saja suaranya terkadang membuatnya
kaget.
TTTJJDUUAARRR!!!
Terdengar suara petir yang lebih
keras. Suaranya bergema menakutkan. Anggi memaki dalam hati.
BLAAAMMM!
Lampu padam. Aliran listrik terputus.
Ruangan gelap gulita membuat Anggi bergerak kelimpungan. Dia meraba-raba,
mencoba meraih hanphone-nya yang masih memutar lagu.
TAP
TAP
TAP
Anggi mendengar derap kaki berlari
menaiki tangga. Dia buru-buru merapikan handuk karena belum sempat mengenakan
pakaian.
“Nggi.. Anggii!”
Anggi mendengar suara orang
memanggil. Dia mencoba menyalakan flash light di handphone dan keluar dari
kamar.
“Anggii.. Anggiii!” Sesosok tubuh
yang menggunakan handphone sebagai senter bergerak cepat ke arah Anggi.
“Iya, Bu. Ada apa? Ibu baru pulang?
Kenapa lari-lari?”
“Duuhh! Saya lupa kalo hari ini ada
janji, kamu temenin saya, ya!” Wajah Emilia keruh karena kelelahan,
“Ujan dan gelap, saya males sendirian.”
“Iya Bu, ketemu dengan siapa?”
“A-Lima.”
Jawaban Emilia berbarengan dengan
lampu di rumah itu menyala. Anggi lega dan melihat ke luar, banyak rumah yang
masih gelap gulita. Dia tahu, pasti pak satpam menyalakan genset.
***
Emilia mengemudikan mobil melewati
jalan sepi yang membelah hutan Mangrove menuju sebuah rumah yang disebut Emilia
sebagai ‘Rumah A-Lima’. Rumah itu terletak di dekat tebing yang menghadap ke
pantai.
Hujan sudah berhenti turun ketika
mereka sampai di pintu gerbang yang menyatu dengan tembok tinggi. Tembok itu
mengelilingi lima buah bangunan yang berukuran luas, menyembunyikan dari
pengelihatan orang luar. Kelima bangunan bergaya modern tetapi sederhana.
Memiliki ukuran hampir sama, tetapi dengan warna cat berbeda. Merah, kuning,
hijau, biru muda, dan biru tua.
“Kenapa warna bangunannya aneh-aneh,
Bu?”
“Warna menunjukan identitas.
Identitas itu sebagai pembeda. Perbedaan membuat mudah dikenali.” Jawaban
Emilia cukup membuat Anggi bingung dan tidak melanjutkan pertanyaan.
Luas kelima bangunan itu hanya
setengah dari luas tempat itu. Ada sebuah taman dengan rumput pendek hijau dan
kolam renang di tengah-tengah, di dekatnya terdapat parkir mobil dengan lantai
paving abu-abu. Tidak jauh dari tempat itu berderet tiga pohon besar nan
rimbun. Di bawahnya terdapat lampu bulat besar yang menyala redup. Beberapa
kursi kayu panjang berderet di dekatnya.
Anggi mengikuti Emilia berjalan ke
arah kamar berwarna kuning. Di teras kamar yang terang, ada empat orang yang
menunggu Emilia. Anggi mengenal mereka, mereka adalah anggota A-Lima, sebuah
group tidak resmi yang beranggotakan Emila dan empat orang temannya.
Emilia pernah bercerita kepada Anggi,
nama A-Lima berasal dari nama mereka. Kelima anggota memiliki nama berakhiran
huruf ‘A’. Emilia, Diandra, Rimelda, Davina, dan Monica. Mereka berteman sudah
sejak lama dan sama-sama berasal dari keluarga kaya. Mereka setidaknya
berkumpul sekali dalam sebulan. Meskipun tidak selalu dengan anggota lengkap.
“Nggi, kamu jangan baper ama mereka.
Mereka terkadang rese dan kelewatan batas. Apalagi kalau mereka mabuk.” Emilia
berpesan kepada Anggi.
Seorang wanita memakai dress hitam
panjang berjalan anggun menghampiri Anggi. Anggi tersenyum dan menyapa. Dia
adalah Rimelda, salah seorang teman Emilia yang merupakan seorang produser
film. Keluarganya memang memiliki usaha di bidang perfilman. Rimelda berkulit
mulus kecokelatan, buah dada besar dan bentuk bokong membulat indah.
Wanita lain memakai dress merah duduk
menyilangkan kaki sambil menyedot sebatang rokok. Dia adalah Davina. Davina
kurus, tinggi, pinggang langsing dan perut rata, tetapi payudaranya cukup
besar. Warna kulitnya hampir sama dengan Rimelda. Sorot matanya terkesan
angkuh.
Dia memiliki pekerjaan sampingan
sebagai model. Perkejaan utamanya adalah bekerja di perusaah keluarga. Anggi
pernah dititipkan oleh Emilia kepada wanita ini selama beberapa jam di mall.
Menurut Anggi, Davina adalah wanita merepotkan dan suka bikin heboh. Dia punya
hobi merecoki kasir dan SPG sehingga kelabakan dengan perkataan,
“Cepetan dong! Saya mau ke bandara!”,
“Cepetan dong! saya mau makan malam!”
“Cepet cepet cepet! Saya sudah
ditunguin taxi!”
Semua yang diucapkan Davina itu
adalah bohong. Davina tidak melakukan hal penting setelahnya.
Di dekat Davina, seorang wanita
memakai kaos putih dan bercelana pendek asik memainkan handphone. Terlihat
tatoo bunga melintang di pegelangan tangan kanannya. Dia adalah Monica si
seniman. Monica memiliki bentuk tubuh ideal. Ukuran dada, perut, pinggul dan
bokongnya sangat pas, tidak terkesan gemuk atau kurus. Hanya saja dia memiliki
kaki berbentuk X sehingga caranya berjalan kurang angun.
Selain itu, dia memiliki kebiasaan
memiringkan kepala ke kiri, mungkin itu adalah salah satu efek dari bakat
seninya sebagai pelukis. Dia keturunan indonesia dan New Zealand. Monica senang
mencampur bahasa indonesia dengan bahasa Ingris ketika berbicara sehingga
terkesan agak kacau. Dia sempat berkuliah di Australia.
Emila kemudian duduk di dekat seorang
perempuan berkacamata bulat besar, berambut pendek sebahu, bermata sipit, dan
kulit putih. Bibirnya begitu mungil dan tipis kemerahan. Dia memakai kemeja dan
celana panjang, pakaian favoritnya. Dia keturunan tionghoa sama seperti Emilia.
Dia bernama Diandra, seorang dokter hewan. Dia adalah yang termuda dari mereka
berlima. Diandra merupakan teman Emilia ketika mereka kuliah di USA.
“Itu adalah gallery kami, berisi
barang seni dari berbagai daerah di dunia.” Emilia menunjuk sebuah ruangan
bercat kuning tidak jauh dari mereka.
“Kecuali lukisan-lukisan jelek dan
berantakan itu,” ujar Rimelda sambil mengarahkan telujuk ke beberapa lukisan
yang tertutup kain.
“At least, itu hasil imajinasi
gue. Tidak payah seperti elo yang tidak bisa berimajinasi,” terdengar sahutan
Monica.
“Dasar tukang bacot!”
“Anggi, kami berlima mau membahas
sesuatu. Kamu liat-liat ke sana dulu, ya!”
Anggi mengerti ucapan Emilia.
Perempuan itu menyuruhnya menjauh karena mungkin akan membicarakan sesuatu yang
tidak boleh dia dengar. Anggi masuk ke dalam ruangan yang disebut ‘Gallery’
oleh mereka. Pandangan mata teman-teman Emilia mengikuti.
“Em, asisten Lo ngikut terus ya?”
ujar Rimelda sambil mengelus rambutnya.
“Elo balik jadi anak manja dan
penakut, hihihi.” Emilia tersenyum manis kemudian memutar kepala, menoleh ke
arah Anggi .
“Gue demen dia. Dia polos dan bisa
dipercaya,” ujarnya lirih.
“Gue ngerasa nyaman ama dia.”
“Yakin?” Davina menatap tajam.
“Elo kagak bakal korbanin dia, kan?
kayak asisten elo yang dulu.” Dia melanjutkan ucapan sambil merapikan bajunya
yang kedodoran. Emilia menarik nafas panjang. Hening beberapa detik. Tidak ada
jawaban atas pertanyaan itu.
“Gimana, kalian udah dapet cowo keren
untuk pesta?” Terdengar suara Rimelda.
“Of course! Gue tinggal julurin lidah
aja dapet cowo,” ujar Monica sambil mengoyangkan kepala.
“Berarti persiapan udah beres, ya?”
tanya Emilia.
“Yes, but we need extra money.”
“Em, lo mesti ajak assiten lo
terlibat dalam game!” Davina berucap serius.
“Game kali ini spesial!”
“Emang game-nya apaan?” Emilia
penasaran. Davina mendekatkan bibir ke telinga Emilia. Dia membisikan sesuatu
dan membuat Emilia berpikir.
PART 2
Gallery merupakan ruangan yang luas.
Cahaya lampunya remang. Ukiran-ukiran antik khas Bali dan Jepara menghiasi
dinding. Ada juga beberapa lukisan yang dibingkai dengan kayu berukir. Banyak
meja kayu solid di tengah ruangan, beberapa diberi alas kain tenun tradisional.
Di atas beberapa meja kayu terdapat topeng berbentuk wajah manusia. Di pojok
ruangan, di atas lantai berwarna coklat tua, ada beberapa lampu yang terbuat
dari kayu memancarkan cahaya kuning redup. Banyak anyaman dari bahan rotan dan
bambu tergantung di dinding.
Anggi mulai merasa bosan. Menurut
Anggi yang tidak mengerti seni, terlalu banyak benda yang menurutnya aneh
berada di tempat itu. Barang yang sama sekali tidak membuat Anggi kagum. Anggi
lebih menyukai pakaian indah ketimbang benda seperti itu. Mungkin cara orang
kaya menghabiskan uang adalah dengan membeli benda seperti itu, pikir Anggi.
Anggi memutuskan berjalan keluar
ruangan. Dia mendekat ke arah A-Lima berkumpul dan hendak minta ijin kepada
Emilia untuk berjalan-jalan di taman. Denting suara gelas beradu terdengar
ketika anggota A-Lima mengangkat tangan bersulang.
“Kamu mau wine, Nggi?”
“Bikin mabuk ya Bu?”
“Enggak kalo sedikit. Mau coba?”
“Eh, tidak usah Bu. Dulu pacar saya
ngelarang saya minum yang bikin mabuk.”
“What?! Elo punya pacar Nggi?” Monica
berteriak sambil tertawa.
“Dulu Bu. Sekarang dia udah nikah ama
orang.” Anggi tersipu malu dan juga merasa sedih.
“Udah diapain aja?” Rimelda menaikan
kedua alis mengoda.
“Susumu pasti sering disedot dan
diremes yaaaa?! Hihihi.”
“Gimana rasanya Nggi? Enak? Geli?”
“Eh! Enggak Bu!” Wajah Anggi merah
padam.
“Bo’ong! Sini gue cek! Gue tau mana
yang udah pernah disedot ato belom! Hihihi.”
Anggi terdiam dan merasa risih.
Serangan dari mereka memang susah dilawan. Dia merasa malu, jengah, dan
bingung. Emilia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Anggi merasa wajahnya
semakin panas.
Mereka bersorak seperti berdemo.
Anggi buru-buru pamit ke taman karena sangat malu. Terdengar gelak tawa di
belakangnya. Dia berusaha tidak terlalu memikirkanya. Dia mulai mengerti kenapa
Emilia menyuruhnya agar tidak baper. Suasana di taman saat itu hening. Udara
berhembus segar dan dingin setelah hujan. Anggi menikmati rumput yang basah
menyentuh kakinya. Dia melanjutkan berjalan menikmati indahnya malam.
Anggi melihat sebuah bangunan besar
yang memiliki warna tembok biru muda tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah
pintu yang memiliki warna aneh membuatnya tertegun. Terdapat sebuah tulisan di
tengah-tengah pintu.
“KE-GEM-BI-RA-AN” Anggi membaca
tulisan itu sambil menjulurkan tangan meraba.
“Pintu itu hasil kegilaan si Em, bos
elo.” Anggi menoleh ke arah sumber suara. Rimelda dan Davina sudah berdiri
tidak jauh dari Anggi.
“Em suka corat-coret sembarangan.
Bagi gue itu kotor, tapi bagi dia itu seni.“ ujar Rimelda.
“Bulan depan, kami mau pesta di
sini,” ujar Davina sambil menunjuk bangunan berwarna biru muda itu.
“Lo dateng ya, Anggi!”
“Mungkin Bu, kalo Bu Emilia
mengijinkan,” ujar Anggi ragu.
“Hahaha. Bahasa lo kaku amat!”
Rimelda tertawa.
“Udah berapa bulan lo kerja ama Em?”
“Sudah tiga bulan lebih, Bu.”
“Betah?” Kedua alis Rimelda naik.
“Biasanya kagak ada yang betah ama
dia lebih dari dua bulan!”
“Meskipun sering marah sama saya, dia
baik sekali,” ujar Anggi tulus mencoba membela Emilia. Davina dan Rimelda
saling pandang, kemudian kompak tertawa begitu keras. Anggi keheranan.
“Hihihi. Hati-hati Anggi! Em itu
monster!” Rimelda berbisik.
“Emmmmm, mungkin lebih kejam dari
monster. Kami kenal Em udah dari dulu. Sebelum lo lahir.”
”Lo itu polos. Dia suka orang polos,
Hahaha. “
Anggi mengerutkan alis. Mungkin ini
yang dimaksud Emilia kalau teman-temanya rese dan kelewatan. Sebelum berlalu,
mereka mengingatkan Anggi lagi.
“Oh ya. Inget datang bulan depan!
Kami ada game seru."
***
Sebulan kemudian di Rumah A-Lima.
Senin, 20:00
Anggi berdandan rapi. Dia mengenakan
kemeja berwarna hitam dan celana jeans biru yang menunjukan bentuk indah
pinggulnya. Wajahnya cerah berseri. Bibirnya terlihat lebih merah karena
lipstick. Emilia berjalan di sampingnya. Wanita yang tingginya hampir sama
dengan Anggi itu juga mengenakan kemeja berbahan sutra lembut berwarna biru
gelap. Bawahannya berupa celana panjang longgar juga berwarna biru. Sangat
kontras dengan kulit putihnya.
Dia menggenggam sebuah handbag
berwarna hampir sama dengan pakaiannya. Mereka berdua berjalan di bawah cahaya
remang lampu taman di Rumah A-Lima. Bintang di langit bertaburan indah. Tidak
seperti sebulan yang lalu, ketika pertama kalinya Anggi kesana.
Hari ini akan diadakan pesta di rumah
A-Lima. Anggi melihat jumlah kendaraan di parkir lebih banyak dibandingkan
ketika pertama kali dia ke sini. Bangunan itu juga sudah di dekorasi berbeda,
ada beberapa kursi di dekat kolam renang. Lampu di depan masing-masing ruangan
menyala lebih terang.
Rimelda yang memakai dress ketat
hitam menyambut mereka dengan segelas minuman. Seperti biasa, dia itu selalu
tampil heboh dan seksi. Belahan dadanya terlihat menggoda. Dia juga menggunakan
wedges yang cukup tinggi.
Davina dengan dress panjang berwarna
merah menyala. Dress lembut itu sampai ke mata kakinya. Dia terlihat begitu
anggun. Warna rambutnya saat ini adalah biru dengan sedikit warna abu-abu
menyala.
Diandra mengenakan pakaian mirip
Anggi. Sebuah kemeja longgar, berwarna biru dengan garis-garis putih
horizontal. Dia juga memakai celana jeans ketat. Kacamata yang dikenakan saat
ini berbentuk kotak. Bibir munggil wanita itu begitu glossy, basah dan menggoda.
Rambut pendek sebahu tidak mampu menyembunyikan leher jenjangnya.
“Kamu cantik sekali malam ini. Sudah
siap bermain?” Rimelda bertanya kepada Anggi.
“Elo yang bakal gantiin Em, kan?”
“Iya Bu.”
“Be carefull sweety. She so tricky.
Em itu licik!” Monica menakuti Anggi. Anggi terlihat ragu. Dia menatap Emilia
meminta penjelasan.
“Dia udah sepakat jadi wakil gue. Elo
tinggal jelasin peraturannya ama dia.” Emilia menyahut dengan tenang.
“Kami tidak akan mengubah keputusan.”
Anggi sudah berjanji menggantikan
Emilia dalam permainan itu, tetapi dia belum mendapat informasi mengenai
permainan apa yang akan mereka mainkan. Emilia juga mengatakan kalau dia tidak
mengetahui detail permainan. Hanya Monica dan Davina yang tahu karena merekalah
yang merancang game-nya. Emilia mampu meyakinkan Anggi kalau permainan itu
hanya untuk bergembira.
“Actualy, this game a bit
different. Game yang WOW dan enggak akan terlupakan. Tapi elo malah minta
asisten elo ngewakilin. I hope, elo gak nyesel nanti, Em!”
“Kalo boleh tau, itu game apa?” Tanya
Anggi. Perasaanya mulai tidak enak.
“Ayo masuk ke kamar Biru Muda. Gue
jelasin di sana,” sahut Davina.
Rasa ingin tahu yang membuncah
menuntun Anggi mengikuti langkah Emilia memasuki satu-satunya pintu penghubung.
Mereka tiba di sebuah ruangan yang luas tetapi remang. Hanya ada cahaya redup
di langit-langit ruangan yang cukup tinggi. Cahaya itu hanya membantu membuat
bentuk samar yang memberi penunjuk akan adanya suatu benda.
Kamar Kegembiraan atau juga disebut
Ruang Biru Muda adalah ruangan luas yang bentuknya mirirp tempat pertunjukan
seni panggung. Luas ruangan itu 600 meter persegi dengan tinggi tembok delapan
meter. Setengah ruangan itu adalah panggung dan setengah lagi adalah ruangan
kosong yang biasanya diisi kursi sebagai tempat menonton. Hanya ada sebuah
pintu masuk di sebelah Utara dekat panggung. Panggung berbentuk memanjang
dengan tinggi satu meter dari lantai.
Monica mengarahkan teman-temannya ke
tengah-tengah ruangan. Memersilahkan mereka duduk di kursi yang berjarak
sekitar dua meter dari tangga yang berfungsi untuk naik ke atas panggung.
“Let’s start the game!”
Davina tertawa renyah kemudian
menekan saklar. Seketika cahaya terang menyorot dari atas menyinari sepertiga
panggung, yaitu bagian kanan panggung. Memperlihatkan sebuah tempat tidur
berwarna putih berukuran 4x4 meter dikelilingi kelambu tipis biru muda. Di
atasnya duduk lima orang lelaki memakai penutup mata dengan pakaian serba
hitam.
Saklar kedua ditekan. Cahaya kembali
menyorot dari atas, kali ini kebagian sebelah kiri panggung. Di sana terdapat
lima kursi berderet. Di setiap kursi, duduk satu orang lelaki menghadap ke arah
kursi penonton. Mereka mengenakan penutup mata warna hitam dan juga masker
bibir. Pakaian mereka cukup aneh, yaitu celana pendek dan baju kaos mirip
pakaian olahraga. Warnanya mencolok dan masing-masing memiliki warna berbeda.
Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.
Saklar ketiga ditekan dan lampu
menyorot ke tengah-tengah panggung. Seluruh panggung menjadi terang. Terlihat
dua buah sofa berwarna biru tua sepanjang dua meter di posisiakan berhadapan.
Jarak antar sofa sekitar satu setengah meter. Di antara sofa berdiri dua orang
yang memakai topeng power ranger. Jenis kelamin mereka tidak dapat dikenali
dengan jelas karena mengenakan jubah hitam lebar bertuliskan ‘JURI’. Selain
itu, terdapat juga sebuah layar berukuran lebar tidak jauh dari sofa,
menunjukan angka
00:00:00. Penanda, jam : menit :
detik
Alis Anggi mengkerut. Gadis itu
menggigit kukunya. Sejak tadi dia berpikir, kira-kira permainan apa yang akan
mereka mainkan. Sudah pasti ini bukan permainan yang biasa. Perasaan tidak
nyaman mulai merayap di hatinya. Monica yang menggunakan kaos putih tanpa
lengan dan celana jeans pendek berdiri di hadapan kelima wanita lainnya. Sebuah
tatoo bunga kecil terlihat di lengan kanan wanita itu.
“Oke! Dengerin baik-baik! Aturan
mainnya simple,” kata Monica.
“Pertama, kalian harus memilih salah
satu dari lima lelaki yang duduk di kursi.” Telunjuk Monica mengarah ke
panggung tempat lelaki pakaian warna-warni duduk.
“Mereka memiliki nomor di punggung
baju masing-masing.”
“Setelah kalian memilih, kalian akan
mendapat nomer urut sesuai nomor yang tertera di punggung mereka. Ada nomor
dari satu sampai lima.” Monica melanjutkan penjelasannya.
“Kemudian kalian akan masuk ke dalam
permainan. Kalian dan jagoan pilihan kalian akan saling berhadapan di sofa di
tengah panggung.“ Monica menarik nafas sejenak.
”Tugas kalian gampang-gampang nikmat.
Kalian diberi waktu tiga puluh menit untuk membuat mereka ‘crot’ tanpa
menyentuh. Sudah ada juri yang akan menjadi pengawas dan tukang hitung waktu.”
“Crot?! Maksudnya apa Bu?” Anggi
mengerutkan alis bingung.
“Sperma menyembur dari kontol mereka,
Anggi! Hihihi,”
Anggi shock. Ucapan yang baginya tabu
diucapkan dengan santai oleh mereka. Meskipun dia menjadi paham dengan apa yang
dimaksud ‘crot’, tetap saja Anggi merasa malu dan risih.
“Simple-nya begini Anggi, kamu hanya
perlu berhadapan dengan lelaki pilihanmu, biarkan dia memainkan kontolnya
sendiri. Kamu hanya perlu menggoda. Tapi ingat! TIDAK BOLEH menyentuh mereka.”
“Elo boleh buka baju dan pamerin
toket lo!”
DUG
DUG
DUG
Jantung Anggi menendang-nendang.
Wajahnya merah, mendengarnya saja dia sudah malu, apalagi harus melakukan itu
semua. Dia tidak percaya perempuan itu mengatakan dengan begitu luwes hal yang
menurut Anggi sangat tabu.
“Mimpi! Ini pasti mimpi!”
Anggi diam-diam mencubit kulitnya.
Anggi merasa sakit. Berarti dia tidak sedang bermimpi. Dia mendadak ingin pergi
dari ruangan itu, tetapi sudah terlamabat. Dia sudah berjanji dengan mereka.
Bisa saja hal yang lebih gila akan terjadi kalau dia membatalkan janjinya.
“Kamu paham kan, Nggi?!” Anggi
tersentak. Dia menganguk lemas, tidak terucap apapun dari bibirnya. Ludahnya
mendadak terasa pahit.
“Pemenangnya adalah yang memiliki
waktu tercepat untuk crot dan yang kalah adalah yang membutuhkan waktu paling
lama untuk crot!”
“Gimana kalo kaga crot setelah waktu
habis?” Diandra bertanya.
“Berarti mereka homo, atau kalian
bukan wanita asli. Hihihi.” Davina tertawa manis.
“Trus lima laki di tempat tidur itu
mo ngapain?”
“Gue akan jelasin lebih lengkap dari
atas panggung. Okaay?”
Rimelda yang memakai dress ketat
hitam maju ke panggung. Dia mengulangi apa yang dijelaskan Monica tadi dengan
lebih bersemangat dan berapi-api.
“Yang butuh waktu paling lama untuk
‘crot’ dinyatakan sebagai pecundang atau loser.“
“Hukuman bagi pecundang adalah
menjadi budak mereka yang ada di tempat tidur!”
Rimelda menunjuk tempat tidur yang
berisi lima lelaki dengan mata tertutup kain. Terdengar tepuk tangan yang riuh
dari tempat tidur. Mereka tahu sebentar lagi mereka akan bergembira.
“Menjadi budak lima lelaki yang ada
di tempat tidur?”
“Menjadi budak lima lelaki yang ada
di tempat tidur?”
“Menjadi budak lima lelaki yang ada di
tempat tidur?”
Kata-kata itu berputar di kepala
Anggi. Anggi masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia mendekat ke
arah Emilia dan mengutarakan isi hatinya. Dia benar-benar ingin membatalkan
permainan itu. Dia tidak sanggup melakukannya.
“Elo mau ingkar janji?! Tidak
segampang itu!” Davina berucap dengan sorot mata tajam.
“Kalo elo nggak mau ikut. Elo bakal
diserahin pada lelaki di panggung.”
“Kamu dianggap kalah tanpa bermain!!“
Monica menimpali.
“Bukan begitu Em?” Anggi gemetar. Dia
memandang Emilia penuh harap.
“Anggi, jangan permalukan saya.
Tolong ikut bermain. Kamu pasti bisa!” Emilia berucap serius.
Anggi merasa ada tembok besar yang
mendadak menghimpit tubuhnya mendengar ucapan Emilia. Harapannya untuk tidak
ikut bermain pupus sudah. Dia mencoba menguasai diri. Mencoba menguatkan hati
sambil menunduk dengan tubuh bergetar. Dia merasakan tubuhnya mendadak begitu
panas. Aliran darahnya sangat cepat. Ketakutan menguras seluruh fokusnya. Dia
menyesal berjanji mewakili Emilia.
“Oke, sekarang kita persilahkan tamu
spesial kita untuk memilih jagoannya.” Teriak Rimelda dari panggung. “
“Anggi! Kamu yang pertama memilih!” Saking
fokusnya Anggi dengan pikiran sendiri, dia tidak mendengar ketika Rimelda
menyebut namanya beberapa kali.
“Anggi!” Teriakan Emilia
menyadarkanya.
“Eh! Apa?”
“Kamu pilih yang mana?”

Posting Komentar
0 Komentar