PESONA BINOR
PART
1
Sinar
matahari sore menerobos masuk melalui jendela-jendela tinggi bergaya Eropa
klasik di kediaman keluarga Richard Wijaya. Ruang keluarga yang luas itu tampak
begitu megah dengan langit-langit tinggi berornamen dan lampu kristal yang
berkilauan. Sofa mewah berwarna krem dengan bantal-bantal sutra yang senada
tertata rapi di atas karpet Persia bermotif rumit.
Di
ruangan itu, lima orang sedang duduk melingkar sambil menikmati Earl Grey Tea dari cangkir porselen
antik bermotif bunga. Sandra Wijaya, sang nyonya rumah yang anggun dalam
balutan dress hijau zamrud, duduk di sofa utama bersama suaminya, Richard Wijaya yang mengenakan kemeja putih
lengan panjang rapi. Di hadapan mereka, Aksa Damian, pria 25 tahun dengan
rambut tersisir rapi dan setelan casual premium duduk dengan sikap tak acuh
sambil sesekali melirik jam tangan mewahnya. Sementara di kedua sisi, ada sepasang
suami istri Hendra Abiyokso dan Maria Lovita yang juga merupakan anggota aktif
yayasan.
"Jadi
untuk bakti sosial minggu depan, saya sudah survey ke daerah Kampung
Mekar," Aksa membacakan laporan yang disiapkan sejak semalam dengan nada
datar, jelas terlihat bahwa ia melakukannya hanya sebagai formalitas. "Ada
sekitar 50 kepala keluarga yang sangat membutuhkan bantuan kita."
Sandra,
yang mengenal baik Bramantyo Damian, ayah Aksa yang merupakan pengusaha sukses
dan donatur tetap yayasan mencoba mencairkan suasana. "Semoga kita bisa
membantu meringankan beban mereka. Saya sudah bicarakan dengan beberapa rekan
pengusaha, mereka siap mendukung kegiatan ini."
"Kita
bisa sediakan sembako, pakaian layak pakai, dan mungkin beberapa keperluan
sekolah untuk anak-anak mereka," tambah Hendra sambil menyesap tehnya,
sementara Aksa diam-diam mengetik pesan di ponselnya.
Sementara
mereka berdiskusi, aroma roti yang baru dipanggang menguar dari dapur mewah di
sebelah ruang keluarga. Seorang pelayan dengan seragam rapi datang membawa
nampan berisi pastry-pastry kecil yang masih hangat. Aksa mengambil satu dan
mengunyahnya pelan, pikirannya melayang ke acara yang sebenarnya ingin ia
hadiri malam ini pembukaan klub malam baru di pusat kota.
"Oh
ya, selain bantuan material, bagaimana kalau kita juga mengadakan pemeriksaan
kesehatan gratis?" usul Maria, membuat Aksa menghela napas pelan, tanda
bahwa pertemuan ini akan berlangsung lebih lama dari yang ia harapkan.
Richard
yang sedari tadi lebih banyak mendengarkan akhirnya angkat bicara, "Ide
bagus. Saya juga akan koordinasi dengan tim dari rekanan dari Rumah Sakit Umum
untuk membantu pelaksanaan teknisnya nanti."
Langit
sore mulai berubah jingga, menciptakan bayangan-bayangan panjang di lantai
marmer yang mengkilap. Diskusi terus berlanjut dengan hangat, meski Aksa lebih
banyak diam dan hanya sesekali mengangguk, mengikuti pesan ayahnya untuk mulai
terlibat dalam kegiatan sosial sebagai persiapan meneruskan bisnis keluarga.
Baginya, ini hanyalah salah satu kewajiban yang harus ia jalani sebagai pewaris
tunggal kerajaan bisnis Bramantyo Damian.
Sore
nyaris menyising saat pertemuan ini berakhir. Pintu ruang tamu rumah mewah itu
terbuka, udara lembab dari sore yang mendung merembes masuk. Aksa sudah bersiap
meninggalkan kediaman keluarga Wijaya, tas jinjingnya tersandang di bahu, kunci
motor sport miliknya sudah di tangan. Dia baru saja bersalaman dengan sang tuan
rumah, pikiran sudah melayang ingin segera pulang. Namun langkahnya terhenti
ketika suara berat Hendra memotong.
“Bro,
Gue bisa minta tolong nggak?" ucap Hendra dengan nada yang tak memberi ruang
untuk penolakan.
“Ya
Pak? Ada apa ya?” Aksa mencoba bersikap ramah mengingat usia Hendra jauh lebih
tua darinya.
“Jadi
begini, Pak Richard masih mau revans catur nih. Nggak enak Gue kalo langsung
pulang. Tau sendiri lah gimana Pak Richarad orangnya, nggak bisa ditolak kalo
soal main catur.” Cerocos Hendra panjang lebar. Aksa masih menyimak ucapan pria
yang baru setahun terakhir pindah ke komplek perumahan mewah ini.
“Bisa
nggak kalo Maria pulang nebeng lo?”
Aksa
sempat terkejut. "Maaf, Pak. Tapi Saya hari ini bawa motor. Emangnya Bu
Maria nyaman kalo naik motor?" jawabnya mencoba mengelak.
Pak
Hendra tersenyum tipis, tatapannya tajam. "Bisa kok Bro, gampang itu!”
Maria
yang berdiri di samping Hendra tersenyum
lembut, seolah mendukung permintaan suaminya. Aksa tahu, dia tidak bisa
menolak. Apalagi Maria adalah istri dari rekan bisnis ayahnya.
"Ya
sudah kalo gitu Pak. Saya antar Bu Maria pulang." jawab Aksa akhirnya,
menerima nasib.
“Thanks
Bro! Mah, ati-ati di jalan ya.” Sahut Hendra sebelum mengecup kening istrinya
dan berjalan masuk kembali ke dalam ruangan. Aksa melirik jam tangannya,
menghela napas panjang. Hari ini sepertinya tidak akan berjalan sesuai
rencananya.
"Siap
berangkat, Bu?" tanya Aksa pada Maria.
Maria
mengangguk, mengamit tas kecilnya. "Terima kasih ya Aksa, maaf kalo
merepotkan." Maria memandang punggung suaminya menjauh seolah menganggap
catur lebih penting dibanding istrinya. Maria sudah maklum dengan sikap Hendra
yang seperti itu.
“Ah
santai kok Bu.” Jawab Aksa sambil tersenyum tipis.
Mereka
pun bergegas keluar, meninggalkan dua pria tua yang sudah asyik dengan
permainan catur mereka, sementara langit di luar masih mendung. Begitu sampai
di halaman, Maria berdiri canggung di samping motor sport Ducati Panigale V4
milik Aksa. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah dibonceng naik motor, apalagi
motor sport yang terlihat begitu tinggi dan sporty ini. Rok pendek selutut yang
dikenakannya hari ini sama sekali tidak memudahkan situasi.
"Bagaimana
caranya naik?" tanyanya dengan nada gugup.
Aksa
tersenyum tipis, sedikit geli melihat Bu Maria yang tampak kebingungan.
"Tenang saja, Bu. Saya bantu," jawabnya.
Dengan
sabar, Aksa menjelaskan posisi duduk yang benar. "Ibu bisa meletakkan kaki
di footstep, pegang jok di belakang saya, dan duduk agak ke belakang."
Bu
Maria tampak ragu. Rok pendeknya membuatnya khawatir akan kesulitan bergerak.
Dia mencoba mengatur roknya, berusaha menutupi sebanyak mungkin bagian pahanya.
Maria
memang sudah menginjak usia 38 tahun, namun penampilannya masih sangat
terpelihara. Tubuh sintalnya tetap proporsional, hasil dari rutinitas fitness
dan perhatian khusus pada pola makan. Kulitnya masih mulus, dengan sedikit
garis halus yang justru menambah kesan dewasa dan sophisticated.
Rambut
hitam legamnya yang sedikit bergelombang dia atur dengan rapi, menambah kesan
elegan. Rias wajahnya natural namun tepat, menyembunyikan jejak usia dengan
makeup yang profesional. Matanya yang tajam dan berbinar masih mampu memikat
siapa pun yang memandang. Perpaduan kecantikan Polandia-Sunda tergambar jelas
di wajah wanita itu.
Dengan
balutan rok mini dan kaos ketat, lekuk tubuh wanita sintal itu terlihat sangat
menggoda. Apalagi bentuk payudaranya yang cenderung bulat kencang ditambah
kesemokan pantat di bagian bawah jadi kombinasi menggiurkan untuk setiap mata
lelaki yang memandang.
Aksa
sempat terpana sejenak, namun cepat-cepat mengalihkan pandangan. Wanita di
depannya ini memang masih sangat menarik untuk ukuran seorang wanita yang
usianya jauh lebih tua darinya. Saat berjalan, gerakan Bu Maria begitu luwes
dengan gerak pinggul aduhai. Dia bergerak dengan percaya diri, menunjukkan
bahwa usia sama sekali bukan penghalang untuk tetap tampil memesona.
"Tidak
apa-apa, Bu. Santai saja," Aksa mencoba menenangkan.
Dengan
gerakan perlahan dan sedikit canggung, Bu Maria akhirnya berhasil naik ke
boncengan motor. Dia memegang pegangan di jok dengan erat, tubuhnya tegang,
mencoba menjaga keseimbangan.
Aksa
menyalakan mesin motor. Suara mesin Ducati yang garang membelah sunyi sore itu.
Bu Maria refleks mencengkeram jaket Aksa, matanya terpejam, berharap perjalanan
cepat selesai.
"Siap,
Bu?" tanya Aksa. Bu Maria hanya mengangguk kaku, inilah pengalaman pertama
berada di atas boncengan motor sport.
“Peluk
aja tubuh Saya nggak apa-apa kok Bu. Biar nggak jatuh.” Kata Aksa
memperingatkan.
Ragu
dan canggung, tangan Maria awalnya hanya mencengkram bagian saku jaket kulit
yang dikenakan oleh Aksa, kini bergerak dan berubah melingkari tubuh kekar Aksa
dari belakang. Aksa tersenyum di balik helm full face yang dikenakannya, dada
Maria yang berukuran besar terasa menekan pelan punggungnya. Setidaknya ini
adalah bayaram setimpal dari menuruti permintaan Hendra, begitu pikirnya. Motor
pun melaju meninggalkan halaman rumah mewah milik Richard.
Namun
baru beberapa ratus meter motor melaju melewati jalanan komplek perumahan,
tiba-tiba langit pecah. Hujan deras turun dengan tanpa ampun, seperti ember
raksasa yang dibalik. Tetes-tetes air besar jatuh menghajar tubuh Aksa dan
Maria bertubi-tubi. Aksa refleks memperlambat laju motor, visibility jalan
mendadak menurun.
"Astaga!
Hujan deras nih!" teriak Maria tertahan, roknya sudah basah kuyup dan
menempel di kulitnya.
"Pegangan
lebih kenceng Bu, saya mau ngebut biar cepet sampai rumah." ucap Aksa
dengan suara tegas.
Motor
melaju kencang, roda belakang sesekali tergelincir di genangan air. Maria
mencengkeram erat punggung Aksa, tubuhnya gemetar antara takut dan kedinginan. Beberapa kali Aksa harus memperlambat laju
motor menghindari genangan air yang cukup dalam. Jalanan licin membuat
perjalanan semakin menantang. Keberanian dan kemampuan mengemudi Aksa diuji
habis-habisan. Akhirnya, setelah perjalanan yang menegangkan, mereka tiba di
rumah Maria. Motor Ducati berhenti tepat di depan pagar rumah. Keduanya basah
kuyup, seolah baru saja dilempar ke dalam kolam.
"Kita
sampai, Bu," ucap Aksa, nafasnya tersengal.
Maria
turun dengan gemetar, tubuhnya basah kuyup. Make-up luntur, rambut acak-acakan.
Dia menatap Aksa dengan campuran rasa syukur dan tidak percaya.
"Terima
kasih, Aksa," ucapnya dengan suara bergetar.
Aksa
terpaku, matanya tidak sengaja terfokus pada tubuh Maria yang basah kuyup.
Pakaian yang dikenakannya, yang sebelumnya terlihat elegan, kini menempel di
kulit, menonjolkan lekuk tubuh Maria yang masih terawat dengan baik. Dari balik
kaos ketat itu, tonjolan payudara besar milik Maria yang terlindungi BH
berwarna hitam bisa terlihat dengan sangat jelas. Namun, lamunan jorok Aksa
terhenti ketika Maria memanggil namanya beberapa kali.
"Aksa?
Aksa? Masuk dulu yuk, kamu bisa ganti baju di dalam."
Aksa
tersadar dan segera mengalihkan pandangannya. "Oh, tidak perlu, Bu. Saya
langsung pulang saja." Maria menggelengkan kepala.
"Ayolah,
kamu basah kuyup kayak gini kok. Masuk dulu, setidaknya kamu bisa ganti baju
kering. Nanti kamu masuk angin loh.”
Aksa
seperti tak punya pilihan lain, lagipula dengan menerima ajakan Maria, maka dia
bisa berlama-lama menikmati keindahan lekuk tubuh wanita sintal itu. Jiwa muda
Aksa bersorak saat dia memakirkan motor di halaman yang cukup luas, tapi tak
seluas halaman rumah milik Richard ataupun rumahnya.
Aksa
kemudian melangkah masuk, sebelumnya dia melepas jaket kulit yang basah dan
meninggalkannya di atas motor. Rumah Maria tampak sepi, hanya suara derai hujan
di luar yang memenuhi ruangan. Dia mengamati interior rumah yang rapi dan
mewah, dengan sentuhan desain modern nan elegan.
"Anak-anak
sedang ada kunjungan studi ke Jogja." ujar Maria sambil berjalan menuju
sebuah kamar di dekat tangga "Mereka pergi sejak kemarin, mungkin dua hari
lagi baru pulang."
Aksa
mengangguk, tak lama Maria kembali lagi dengan membawa handuk dan pakaian
kering. Suasana rumah terasa sunyi.
"Bi
Inah juga sedang izin pulang kampung," lanjut Bu Maria. "Suaminya
sedang sakit, dia minta izin beberapa hari. Jadi ya, selama beberapa hari ini
aku dan Mas Hendra aja yang tinggal di rumah.”
"Oh,"
balas Aksa singkat.
“Ini
handuk dan pakaian gantinya. Kamu bisa ganti di kamar mandi dekat dapur ya.”
Maria menunjuk sebuah lorong panjang di bagian belakang ruang tamu.
“Ba-baik
Bu. Terima kasih.” Aksa sedikit tergugup saat menerima handuk dan pakaian
kering.
Pandangan
matanya kembali tanpa sadar menyasar bagian dada Maria yang begitu besar nan
menggiurkan. Suara hujan masih menderu di luar, menciptakan atmosfer yang intim
dan sepi di rumah mewah itu. Aksa berjalan perlahan di lorong rumah Maria.
Dinding lorong dipenuhi foto-foto keluarga yang tertata rapi. Dia sesekali
melirik, mengamati deretan foto yang memperlihatkan perjalanan hidup keluarga
ini.
Di
sisi kiri, terpajang foto keluarga dengan latar belakang pemandangan alam yang
indah. Maria tampak lebih muda, tersenyum di samping suaminya. Dua anak remaja
yang tampan dan cantik berdiri di depan mereka. Foto-foto lain menunjukkan
momen-momen keluarga, liburan, perayaan ulang tahun, dan momen-momen spesial
lainnya.
Lukisan-lukisan
mahal menghiasi dinding, sebagian terlihat seperti karya seniman lokal dengan
nuansa tradisional. Aksa memperhatikan detail interior rumah yang menunjukkan
status sosial keluarga ini, mewah namun tidak berlebihan.
Beberapa
piala prestasi anak-anak terpajang di rak kaca, menandakan mereka adalah
anak-anak yang berprestasi. Aksa tersenyum tipis, mengapresiasi pencapaian
keluarga ini dari balik punggungnya. Lorong sempit itu membawanya menuju kamar
mandi tamu.
Di
dalam kamar mandi, Aksa mulai melucuti pakaiannya satu persatu hingga telanjang
bulat. Tubuhnya sempat mengigil karena terpaan air hujan sebelumnya. Namun
entah darimana datangnya pikiran itu datang, tiba-tiba bayangan tubuh sintal
Maria berarak liar di pikiran pria itu.
Tangan
Aksa menjulur ke bawah, mencengkram batang penisnya yang menggeliat akibat
respon suhu udara dingin. Cengkraman tangannya berubah menjadi gerakan maju
mundur, mengocok serta mengurut daging kenyal yang makin lama semakin
membengkak dan mengeras.
Aksa
membiarkan guyuran air dari shower mengalir. Air hangat itu menciptakan kabut
tipis yang menyelimuti kamar, memberikan rasa nyaman seolah-olah ia sedang
berada di dalam pelukan lembut.
Aksa
menutup matanya sejenak, merasakan setiap tetes air hangat menggelontorkan sisa
dingin hujan yang menerpa tubuhnya. Ia membiarkan aliran air menyapu bersih
seluruh tubuhnya, namun bayangan kemolekan tubuh Maria makin merajai isi
pikirannya. Air yang mengalir membentuk aliran kecil di atas ubin, menciptakan
irama lembut yang menyatu dengan suara desiran.
Sambil
bergerak perlahan, Aksa mengambil sabun dan mulai menggosokkan ke kulitnya.
Aroma segar dari sabun itu semakin menambah rasa tenang, membuatnya merasa
seolah-olah semua masalah di dunia ini bisa sirna. Tangannya kembali
mencengkram batang penisnya, melumuri dengna sabun lalu mengocoknya.
“Ooocchhhh…”
Aksa mengerang, pikirannya memutar ulang momen dimana dia bisa melihat lekuk
indah tubuh basah Maria.
“Eeemmcchhhhh…”
Aksa membayangkan bagaimana jika dia bisa meremasi payudara Maria yang
berukuran besar itu.
Gerakan
tangan Aksa makin cepat, pikirannya dipenuhi fantasi-fantasi cabul tentang
kemolekan tubuh Maria. Wanita yang usianya jauh darinya, wanita yang tak lain
adalah istri dari rekan bisnis Ayahnya! Lenguhan Aksa terdengar parau seiring
gerakan tangannya yang mengocok batang penis dengan kecepatan tinggi.
Setelah
hampir sepuluh menit berlalu Aksa merasakan ujung kenikmatan birahi sudah
berada di kepala penisnya. Beberapa kali batangnya berkedut, tanda jika
ejakulasi akan segera tiba. Aksa makin berkonsentrasi membayangkan Maria, namun
tiba-tiba konsentrasinya buyar saat pintu kamar mandi terketuk dari luar.
TOK!
TOK!
TOK!
“Aksa?!
Kamu nggak apa-apa kan? Kenapa lama sekali??”
“I-Iya
Bu! Sebentar lagi selesai kok.” Jawab Aksa gugup.
Tak
ada jawaban dari luar lagi, Aksa bernafas lega. Namun birahinya yang sudah
diujung tanduk terpaksa harus pupus begitu saja. Pria berbadan kekar itu
kemudian menyalakan shower, air hangat menerpa tubuhnya, suara gemercik air
yang menghantam permukaan lantai terdengar lirih. Aksa memejamkan matanya,
mengemasi sisa-sisa-sisa birahi yang tak tuntas baru saja.
PART
2
Setelah
beres membilas tubuhnya dan mengganti pakaian Aksa membuka pintu kamar mandi,
dan pandangannya langsung tertuju pada Bu Maria yang berdiri di depannya. Aksa
tercengang, tidak siap dengan pemandangan yang disajikan.
Maria
mengenakan kaos oversize putih yang longgar, namun tidak cukup panjang untuk
menutupi betisnya yang mulus. Pakaian itu terlihat sangat sederhana, tetapi
justru menambah kesan sensual pada sosok wanita cantik itu. Maria sendiri
tampaknya tidak menyadari efek yang ditimbulkan oleh pakaian yang dikenakannya
itu. Dia tersenyum hangat.
“Aku
pikir kamu kenapa-kenapa. Kok lama banget di dalem.”
“Eh
Ma-Maaf Bu, saya tadi sekalian mandi.” Jawab Aksa gugup. Sekali lagi maytanya
menatap bagian payudara Maria yang menyembul kencang dari balik kaos oversize.
“Ohhh,
ya udah ayo kita minum teh dulu. Hujan masih deras banget, kamu pulang setelah
reda aja ya?”
“Ba-Baik
Bu.”
Maria
berbalik badan dan berjalan menuju ruang tamu sementara Aksa mengekor di
belakangnya. Aksa bisa melihat bagaimana lenggok gerak tubuh Maria yang makin
menggoda. Dia meyakini jika bagian bawah tubuh wanita sintal itu hanya
mengenakan hotpants ketat. Birahi Aksa yang tadi belum tuntas pelan namun pasti
kembali datang.
“Ayo
silahkan duduk.”
“Terima
kasih Bu.” Aksa mengambil posisi duduk di samping Maria.
“Eh
boleh nggak kalo jangan manggil aku pake Bu? Kesannya aku tua banget,
hehehehe.” Celetuk Maria sembari menyerahkan secangkir teh hangat pada Aksa.
“Terus
saya harus manggil apa?”
“Panggil
Maria atau Mbak Maria aja.”
“Oh,
baik kalo begitu Mbak.”
Maria
menuangkan teh ke dalam cangkir lalu menyerahkannya pada Aksa. Pria itu
menerimanya sebelum kemudian meneguk teh hangat tersebut. Maria meletakkan
cangkir teh di meja kecil di depannya
"Jadi,
kamu sudah lama tinggal di komplek perumahan ini, atau baru pindah juga?"
Aksa
berusaha fokus pada pertanyaan Maria, tapi sesekali melirik ke arah Maria yang
duduk santai dengan kaos oversize yang terlihat longgar namun tetap menonjolkan
lekuk tubuhnya. "Eh, saya... saya sudah lama di sini, Mbak. Dari kecil
memang tinggal di sini."
Maria
tersenyum ramah, tidak menyadari lirikan Aksa. "Oh, begitu. Pantas saja
tadi kelihatan hafal semua jalan pintas.
Aku sendiri masih sering nyasar kalau ke daerah-daerah baru."
Aksa
tersenyum kecil, mencoba mengalihkan pandangan ke luar jendela, melihat hujan
yang masih deras. "Ah, itu karena sejak kecil saya tumbuh besar di sini
Mbak.”
Maria
mengangguk sambil menyilangkan kaki, kaos oversize-nya sedikit bergeser,
memperlihatkan siluet tubuhnya lebih jelas. "Iya, benar. Kadang aku juga
merasa kota ini berubah terlalu cepat. Tapi ya, mau bagaimana lagi, kita harus
menyesuaikan."
Aksa
berusaha menjaga nada bicara tetap santai, meski matanya sempat tertarik ke
arah Maria sebelum buru-buru kembali menatap cangkir tehnya. "Betul, Mbak.
Kadang saya juga rindu suasana kota ini waktu masih kecil. Lebih tenang, lebih
sederhana."
Maria
menatap Aksa dengan penuh perhatian, tidak menyadari kegugupan kecilnya,
"Masih muda tapi sudah punya banyak pengalaman ya kamu. Aku yakin, kalau
terus konsisten, kamu bisa jadi salah satu penggerak utama di yayasan. Sama
seperti Ayahmu."
Aksa
tersenyum canggung, merasa sedikit salah tingkah dengan pujian itu. "Ah,
saya masih belajar, Mbak. Masih jauh kalau dibandingkan dengan senior-senior
seperti Mbak Maria dan Pak Hendra."
Maria
tertawa kecil, suaranya lembut. "Jangan panggil Aku senior, dong. Aku jadi
merasa makin tua. Panggil saja Mbak Maria, seperti tadi."
Aksa
mengangguk sambil tersenyum, tapi matanya kembali melirik sekilas ke arah Maria
yang duduk santai dengan postur tubuh yang terlihat anggun meski dalam pakaian
sederhana. "Baik, Mbak Maria."
Di
sini Aksa baru menyadari jika dibalik kaos oversize yang dipakainya, Maria
ternyata tak mengenakan BH! Puting Maria yang keras menyembul seolah berontak
dari balik kaos yang berbahan katun itu.
Aksa menghela napas pelan, mencoba menenangkan pikirannya sambil menatap ke
luar jendela, mendengarkan suara hujan yang deras. Ia tahu, ia harus menjaga
sikap dan pikirannya agar tetap normal, meski ada sesuatu tentang Maria yang
sulit diabaikan.
Maria
meletakkan cangkir tehnya, kemudian menatap Aksa dengan sedikit senyum jahil.
"Bagaimana dengan kehidupan asmaramu? Kelihatannya tenang-tenang saja.
Kapan menikah?"
Aksa
sedikit salah tingkah. "Saat ini saya masih fokus pada karier Mbak."
"Jangan
sampai seperti Aku" ujar Maria dengan nada sedikit getir. "Kehidupan
rumah tangga itu butuh perhatian dan kedekatan."
Dia
mulai bercerita tentang hubungannya dengan Hendra. "Suamiku lebih sibuk
dengan dunianya sendiri. Lihat saja tadi, dia memilih bermain catur dengan Pak
Richard daripada mengantarku pulang."
Tatapan
Bu Maria sedikit sendu. "Bertahun-tahun pernikahan, tapi kedekatan kami
sudah mulai menipis. Suamiku lebih peduli pada kariernya, pada teman-teman
bisnisnya."
Aksa
mendengarkan dalam diam. Maria
melanjutkan, "Kamu harus pintar memilih pasangan. Cari yang bisa membuat
kamu nyaman, yang mau berbagi, bukan sekadar mendampingi."
Suara
hujan di luar perlahan mereda, meninggalkan keheningan di ruang tamu. Maria
tersenyum getir, seolah membuka lemAksan kisah rumah tangganya yang mulai
retak.
"Jangan
sampai seperti Aku," ulangnya lagi pada Aksa.
Petir
menggelegar tiba-tiba, membelah keheningan ruang tamu. Cahaya putih menyambar
di balik jendela, diikuti bunyi menggelegar yang memekakkan telinga. Maria
spontan bereaksi. Tubuhnya refleks bergerak dan dengan cepat ia memeluk Aksa.
Wanita itu gemetar ringan, wajahnya tersembunyi di bahu Aksa. Tubuh sintalnya
menempel erat pada Aksa, membuat pemuda itu terkejut dan tidak bergerak.
"Maaf,"
bisik Maria lirih. "Aku tidak suka suara petir."
Aksa
bisa merasakan detak jantung Maria yang
berdetak cepat. Aroma parfum wanita itu tercium begitu dekat, membuat Aksa
sedikit gugup. Pelukan Maria begitu erat dan intim. Petir kembali menggelegar.
Maria semakin mengeratkan pelukannya pada Aksa, tubuhnya gemetar pelan. Aksa
hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya salin bertatapan mata,
lalu sepersekian detik insting pejantan Aksa terpacu untuk mendekatkan bibirnya
pada bibir sensual milik Maria.
“Aksa,
jangan nakal kamu...” Maria berujar sambil menggeliat, berusaha melepaskan
dirinya dari pelukan Aksa.
“Mbak
Maria yang memelukku lebih dulu kan?” Ujar Aksa tanpa melepas pelukannya pada
tubuh Maria.
“Aksa
Ihhhh...”
Kedua
tangan Maria memegang tangan Aksa yang melingkari perutnya. Lagi-lagi Maria
mencoba melepaskan pelukan pria itu. Semakin keras usaha Maria untuk melepaskan
diri makin membakar adrenalin Aksa, rasa takut bercampur dengan birahi telah
meracuni isi otak pria itu.
Aksa
mengikuti lengan Maria dan tangan kanannya terlepas dari pelukan, sementara
tangan kirinya masih memeluk. Di saat itu, bibirnya segera bergerak ke leher Maria
yang terbuka. Tangan kanan Aksa yang sudah bebas mengelus pelan punggung Maria.
Tak butuh waktu lama hingga bibir Aksa sudah hinggap di leher jenjang sang
betina dan mulai mengecupinya perlahan. Tubuh Maria makin menggeliat tak
karuan.
“Aksa!!
Jangan kurang ajar kamu!!” Maria
membentak sambil kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri guna mengusir bibir
Aksa yang kini menempel di lehernya.
“Kalo
Mbak Maria gerak terus, bisa-bisa aku kasih cupang di leher loh.” Ujar Aksa
santai seolah tanpa beban, meskipun sedari tadi dadanya bergemuruh kencang.
“Kamu
jangan main-main Aksa! Gimana kalo nanti suamiku tau?!” Maria mendesis namun
gerakan tubuhnya terhenti.
“Makanya
jangan dilawan Mbak, nikmati aja.” Balas Aksa dengan semburat senyum kemenangan
terlihat di wajahnya.
Maria
menghentikan gerakan kepalanya. Juga tangannya tak lagi memegang tangan kiri
Aksa yang masih memeluk perutnya. Rupanya ancaman Aksa membuat nyali wanita
cantik itu ciut. Aksa yang sudah berada di atas angin tak mau membuang
kesempatan emas itu. Bibirnya segera bergerak liar di sekujur leher Maria yang
jenjang. Tak hanya mengecupinya saja, Aksa tak lupa menggunakan lidahnya untuk
menjelejahi tiap jengkal kulit mulus bagian leher sang betina.
“Ouuucchhh!
Aksa! Sudah cukup!”
Tubuh
Maria yang sintal menggeliat bak cacing kepanasana, sentuhan hangat cenderung
panas dari bibir serta lidah Aksa di lehernya lambat laun membuat Maria
melayang. Suaminya sudah begitu lama tak memberikan cumbuan nakal seperti ini.
Aksa sama sekali tak mempedulikan rintihan Maria, justru suara seksi wanita itu
makin membuat birahinya terbakar.
Tangan
Aksa bergerak dari punggung menuju
payudara Maria yang berukuran besar. Diremasnya gundukan kenyal daging surgawi
yang hanya dilapisi kaos saja tanpa daleman itu sambil terus menjelajahi leher
mulus Maria. Tak hanya dari luar saja, tangan Aksa bergerak liar masuk ke dalam
kaos yang dikenakan oleh Maria. Alhasil dalam sepersekian detik pria jangkung
itu bisa merasakan kelembutan serta kekenyalan payudara Maria lewat remasan
tangannya.
“Aksa!
Aaach! Kurang ajar kamu!”
Maria
setengah berteriak sambil mencoba mengusir kedua tangan Aksa yang kini dengan
nakal meremas-remas pucuk bukit kembar di dada. Namun Aksa sama sekali tidak megendurkan
aksi cabulnya. Sambil terus mengecupi da menjilati leher Maria, tangannya
bergerak makin intens memberi rangsangan pada dua buah gundukan gunung kembar
milik sang betina. Bahkan sesekali Aksa memainkan kedua puting Maria secara
bergantian, membuatnya lambat laun semakin mengeras.
“Aksa!!!
Aku akan berteriak kalo kamu tidak berhenti sekarang juga!!" Pekik Maria
memberi ancaman. Aksa terkesiap, pria lajang itu benar-benar menghentikan aksi
cabulnya kali ini.
“Mbak
Maria yakin mau berteriak sekarang?” Aksa memandang wajah Maria yang panik dan
ketakutan. Wanita itu mengrenyitkan dahinya, seperti tak menyangka akan
mendapat pertanyaan semacam itu.
“Mak-Maksudmu
apa?”
“Kalo
Mbak Maria berteriak dan mengundnag banyak orang ke sini, apa yang akan mereka
pikirkan melihat kita berdua dalam keadaan seperti ini? Bagaimana pendapat Pak
Hendra nanti kalo tau istrinya mengundang pria lain masuk ke dalam rumah saat
tidak ada orang lain di sini?”
Maria
terdiam, pikirannya makin kalut tanpa arah. Ucapan Aksa barusan seolah layaknya
palu godam kenyataan yang tak bisa dia elak. Semuanya jadi runyam sekarang,
Maria benar-benar sudah terpojok bak mangsa yang siap diterkam hidup-hidup oleh
binatang buas.
“Aku
mohon Aksa, jangan lakukan lagi. Aku sudah bersuami.” Maria masih berusaha
untuk menghentikan aksi cabul Aksa, meskipun dia tau pria di hadapannya itu
sudah tenggelam dalam birahi tak berkesudahan.
“Sudahlah
Mbak, aku tau kamu juga menginginkan hal ini. Kita nikmati saja sebelum Pak
Hendra pulang.” Desis Aksa sebelum kembali melanjutkan aksinya.
Tanpa
komando Aksa kembali mendekat, kali ini dia memaksa Maria untuk melepas kaos
oversize yang dikenakannya. Tentu awalnya Maria menolak keras, namun apa daya
tenaganya tak sebanding dengan kekuatan Aksa yang sudah terbakar nafsu. Belum
lagi ancaman demi ancaman keluar mulus begitu saja dari mulut pria muda itu,
membuat Maria tak bisa lagi meneruskan perlawanannya. Hanya dengan sekali
gerakan, Aksa berhasil melepas kaos itu hingga memperlihatkan payudara mulus
berukuran besar menggantung sempurna di hadapannya.
“Wow!!
Luar biasa!”
Aksa
tak bisa lagi menyembunyikan kekagumannya pada bentuk dan ukuran payudara sang
betina. Tak hanya besar, payudara Maria juga terlihat masih kencang untuk
standar wanita seusianya. Daging kenyal berwarna putih itu terlihat sangat
mulus, putingnya pun sudah mengeras, makin menambah daya sensualitas sekaligus
memacu birahi Aksa ke titik tertinggi. Tau jadi sasaran mata jalang Aksa, Maria
reflek menutupi payudaranya dengan kedua tangan, meskipun hal itu sama sekali
tak berarti apa-apa karena payudaranya tak bisa tertutup secara sempurna.
“Kenapa
harus ditutup segala?” Ujar Aksa sembari menyingkirkan kedua tangan Maria dari
area dada.
“Aku
janji akan membuat Mbak Maria keenakan hari ini.” Desis Aksa dengan tatapan
mata penuh kecabulan.
PART
3
“Ouuuhhh...
Aksa...”
Maria
mengeluh tertahan ketika kesepuluh jemari Aksa kini menyentuh payudara
miliknya. Ada perbedaan ketika menyentuh payudara dari luar pakaian dengan di
dalam pakaian. Menyentuh dari luar itu menyenangkan, namun memegangnya dari
dalam jauh lebih mengasyikkan. Dengan menyentuh di bagian dalam, Aksa bisa
merasakan kehalusan kulit Maria. Jemarinya bisa langsung bersentuhan dengan puting
yang kini terasa semakin keras. Bagi Maria, sentuhan secara langsung juga
rupanya punya dampak. Dia kini menggeliat kegelian.
“Cukup
Aksa, hentikan...”
Maria
berujar lemah. Nada suaranya kini tidak setegas sebelumnya. Jika tadi dia
bersuara agak keras, kini suaranya mirip rintihan. Aksa bukan bocah kemarin
sore, pengalamannya soal sex sudah mumpuni karena jam terbang tinggi. Rupanya,
sentuhan jemarinya pada area payudara mulai membuat Maria terangsang.
Bagaimanapun, payudara merupakan organ tubuh perempuan yang sangat peka
terhadap rangsangan. Bagian itu, terutama puting, sangat sensitif terhadap
sentuhan. Itu sebabnya perlawanan Maria kini mulai melemah.
Karena
sang betina kini mulai melemah, Aksa memutuskan untuk bertindak lebih jauh lagi.
Jemari tangan kanannya yang tadinya meraba-raba bagian payudara, perlahan turun
ke bawah. Jemarinya kemudian hinggap pada bagian di antara kedua paha Maria. Hotpants
pendek yang dikenakan Maria membuat jemari nakal Aksa begitu leluasa mengeksplorasi
kulit mulus paha wanita cantik itu
“Aksa...
Kamu nakal Aksa...”
Jemarinya
berusaha menyingkirkan tangan Aksa yang
berada di antara kedua pahanya. Namun Aksa bisa merasakan kalau usaha Maria itu
sangat lemah. Jelas kalau dia tidak benar-benar bermaksud menyingkirkan tangannya.
“Mulus
banget pahamu Mbak..”
Sambil
terus meraba, jari-jari tangan Aksa bergerak sedemian rupa menelusup masuk ke
dalam hotpants. Maria terbeliak tak percaya, namun belum sempat wanita cantik
itu bereaksi, jemari Aksa lebih cepat bermanuver. Aksa bethasil merengkuh
permukaan vagina, menggeseknya dengan jari, mengucek-nguceknya beberapa kali
hingga basah kuyup.
“Aksaaaa!!!”
Teriakan
Maria makin membuat Aksa bersemangat untuk terus menggerakkan jemarinya di
antara lipata vagina becek wanita cantik itu. Tubuh Maria menggelinjang
beberapa kali, terutama saat ujung jari Aksa menyentuh bagian klitoris.
“Ouucchh!
Aksaaa!”
“Kenapa
Mbak? Enak ya?”
“Ouucchh!
Udah Aksa! Udaah!”
Maria
berusaha memejamkan matanya, tubuhnya melengkung ke belakang hingga membuat
payudaranya yang besar membusung ke depan. Aksa tak mau kehilangan momen,
mulutnya langsung mencaplok putting Maria. Menghisapnya, menyedotnya,
menjilatinya sambil terus mengobel permukaan vagina basah.
“Ouucchhhh!
Gila! Gila kamu Aksa!”
Racauan
Maria makin tak karuan, tubuhnya yang sintal pun bergerak kian liar. Bagaimana
tidak, dua bagian tubuhnya yang paling sensitif kini sedang dikerjai oleh pria
yang bukan suaminya. Anehnya, kini Maria sama sekali tak melakukan perlawanan
berarti seperti tadi. Maria tidak memberontak, padahal saat ini Aksa sedang
menyentuh bagian tubuhnya yang seharusnya tidak boleh disentuh laki-laki lain
selain suaminya.
“Aksa...Stop
Aksa...” Suara Maria yang lemah bercampur desahan.
Aksa
tentu saja tidak berhenti. Jemarinya terus bermain-main di vagina, sementara
mulutnya sibuk menghisapi puting wanita cantik itu. Tau jika Maria tak lagi
menghalangi niat cabulnya, jemari Aksa makin berani bermanuver. Tak hanya
sekedar menggesek permukaan vagina saja atau memainkan bagian luar klitoris,
Aksa menelusupkan jari tengahnya ke dalam vagina. Maria sontak makin menggelinjang.
“Aksa...
Aksa...Aaachhhhh!”
Tak
puas hanya dengan satu jari saja, Aksa menambahkan satu ruas jarinya lagi.
Maria sempat melirik ke bawah, mengintip apa yang sednag dilakukan oleh Aksa
karena vagiannya terasa lebih sesak sekarang. Belum sempat bereaksi, Aksa lebih
dulu mengocokkkan jarinya.
“Aaaaahhh!
Aaaahh!!! Aksaaa!”
Aksa
juga menambahkan satu rangsangan lagi pada area intim Maria. Pria jangkung itu
menggunakan permukaan jempolnya untuk menekan-nekan klitoris Maria saat dua
jarinya sibuk mengocok bagian dalam vagina. Alhasil lenguhan Maria yang parau
berubah jadi desahan nikmat, tubuhnya tak bisa lagi menyembunyikan birahi yang
sedari tadi ditahannya atas dasar rasa malu.
“Gimana
Mbak? Enak kan? Memekkmu kenapa jadi basah banget sekarang?” Ejek Aksa
merayakan kemenangannya.
“Udah
Aksa! Udah! Ampuunn!”
Tubuh
Maria bergerak liar sebelum kemudian menegang kuat. Punggungnya melengkung
diiringi desisan nafas tak beraturan. Aksa tau jika wanita sang betina sedang
menjemput orgasme yang pertama. Bukannya menghentikan aksi jemari nakalnya,
Aksa justru makin mempercepat kocokan di vagina Maria. Makin lama makin cepat,
hingga kemudian sebuah cairan bening mengucur deras dari rahim wanita cantik
itu tanpa ampun.
“AAAARGHHTTT!!!
AKSAAAAA!”
Tubuh
Maria luruh serasa tanpa tulang, di lantai cairan squirt tumpah dan menggenang.
Pikirnya Aksa akan menyudahi aksi dan beranjak pergi, tapi Maria salah, karena
kini pria jangkung itu sudah berdiri di hadapannya dengan keadaan telanjang
bulat. Penisnya lumayan besar, setidaknya jauh lebih besar dibanding milik
Hendra. Aksa mengarahkan tubuh Maria agar terlentang di atas sofa, membuka
kedua pahanya yag semok dan mulus.
“Kau
mau apa Aksa?” Maria berdesis ketika menyadari Aksa mengarahkan ujung penisnya
pada vagina.
“Aku
gesek-gesekkin aja kok Mbak.” Kata Aksa beralasan.
“Jangan
dimasukin ya...”
“Iya...”
“Bener
ya, nggak dimasukin...”
“Iya
Mbak. Cuma digesek aja.” Kata Aksa sekali lagi.
Tentu
saja Aksa berdusta. Pria itu tentu tak hanya ingin sekedar menggesek permukaan
vagina milik Maria saja. Dalam posisi seperti ini, ketika dia punya kesempatan
untuk melakukannya, tentu Aksa tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas untuk
menyetubuhi istri Hendra tersebut.
Perlahan
Aksa memainkan ujung penisnya pada permukaan vagina Maria yang basah. Dia
gerakkan naik turun, menggesek pintu gerbang surgawi itu. Maria memejamkan
kedua matanya, seolah sedang menikmati sensasi geli dan gatal yang merayap ke
sukujur tubuhnya. Sesekali Aksa menekan ujung penisnya pada permukaan klitoris,
kemudian memutarnya serah jarum jam.
“Aaachhhhh!
Aksaaa! Nakal!”
“Sakit
Mbak?” Tanya Aksa pura-pura peduli. Maria menggeleng lemah.
Disaat
Maria masih menikmati gesekan ujung penis Aksa di permukaan vaginanya,
tiba-tiba pria itu menekan pinggulnya ke bawah. Alhasil ujung penisnya melewati
“pintu gerbang” sang betina. Aksa bisa merasakan jika vagina Maria masih peret
padahal beberapa saat lalu dua jarinya mengobok-oboknya.
“AKSA!!!
Jangan dimasukin!” Maria panik.
“Nggak
kok, ini nggak masuk." Aksa menahan laju pinggulnya, namun penisnya sudah
terlanjur masuk separo.
“Itu
udah... Udah masuk Aksa!!” Maria makin panik saat melirik ke bawah dan
menyadari sebagian penis Aksa sudah bersemayam di dalam liang senggamanya.
“Ah
masak sih? Nggak kerasa masuknya.” Aksa menarik pinggulnya ke atas namun tak
sampai membuat penisnya terlepas dari dalam vagina. Pria muda itu seperti
sedang mempermainkan birahi Maria.
“Aksa!
Cepat cabut! Jangan dimasukin!” Maria kembali memprotes, wanita itu berusaha
mendorong dada Aksa agar menjauhi tubuhnya namun sang pejantan hanya bergeming.
“Ini
nggak masuk Mbak, Cuma digesek-gesek aja.” Aksa kembali menekan pinggulnya ke
bawah, penisnya yang kekar kembali menghujam, lebih dalam dari sebelumnya.
“Acchh!
Keluarin Aksa! Keluarin! Udah masuk ini!!”
“Masa
masuk sih Mbak? Ah iya rupanya, pantesan kok enak banget.”
Aksa
merunduk ke bawah, dilihatnya hampir seluruh batang penis miliknya sudah hilang
ditelan vagina Maria. Pria itu kemudian mulai menggenjot tubuh sang betina dari
atas, pinggulnya bergerak naik turun secara perlahan. Penisnya terasa dijepit
dan diremas di bawah sana.
“Keluarin!
Keluarin Aksa! Aku nggak mau!” Maria makin panik saat merasakan gerakan tubuh
Aksa membuat penis terbenam makin dalam.
“Yakin
mau dikeluarin sekarang? Nanti kalo Mbak Maria hamil gimana?” Goda Aksa sambil
terus menggenjot tubuh Maria.
“Bukan...
uhhhh... bukan keluarin... aduh, bukan keluarin seperti itu. Maksud aku...Aawww...
maksudku dicabut kontolnya...”
“Apa
Mbak yang dicabut?”
“Kon-Kontolmu..”
“Apa?
Aku nggak denger loh.”
“CABUT
KONTOLMU ANJING!! AAACHH!!”
Umpatan
Maria makin membuat birahi Aksa terbakar. Gerakan pinggulnya yang perlahan
berubah jadi makin cepat. Penisnya menerobos keluar masuk di dalam liang vagina
dengan kecepatan tinggi. Tubuh Maria tergelepar tak berdaya, bergoyang naik
turun mengikuti irama sodokan penis sang pejantan muda.
“Kok
masih diterusin sih?! Aaacchh! Aaacchh!”
“Tanggung
Mbak, udah terlanjur enak nih!”
“Aaachh!
Aaachh! Aksaaaa!”
Rintihan
Maria berubah menjadi jeritan kecil saat Aksa tanpa peringatan sebelumnya,
mendesakkan penisnya kuat-kuat hingga menusuk begitu dalam. Maria menggigit
bibirnya merasakan sakit sekaligus nikmat pada lubang vaginanya. Sementara itu,
Aksa terus bergerak memompa tubuhnya untuk menggenjot Maria dengan penisnya yang besar dan panjang.
Mula-mula pelan, tapi saat vagina Maria dirasanya mulai terbiasa dan menjadi
bertambah basah, pria itu pun mempercepat genjotannya.
Badan
Maria sampai terguncang-guncang karenanya, kaki wanita itu mengejang-ngejang,
kedua payudaranya bergoyang cepat, secepat tusukan Aksa yang semakin brutal,
sementara kepalanya terdongak ke atas dengan bibir terkatup rapat, antara
menahan sakit dan nikmat yang dirasakan di dalam vaginanya.
Maria
cuma bisa merintih menjerit-jerit merasakan serangan demi serangan dari pria
yang bukan suaminya itu. Aksa yang melihatnya, menjadi semakin bernafsu. Dia
memompa semakin cepat sambil mulutnya tak henti menciumi dan menjilati payudara
Maria yang bulat besar. Putingnya yang mencuat kemerahan, ia hisap dan
sedot-sedot keras, seperti bayi yang sedang menyusu pada ibunya.
”Ahh..
Ohh.. Ahh...” Maria yang diserang atas bawah, mendesah manja.
Sedikit
rasa sakit yang sempat ia rasakan di awal permainan, kini telah hilang
sepenuhnya, tergantikan oleh rasa nikmat yang amat sangat, membuatnya semakin
liar dalam menggerakkan pinggul.
”Oughh...”
Aksa
menggeram merasakan betapa sempit dan rapatnya vagina wanita cantik itu.
Gesekan kemaluan Maria terasa di batang penisnya. Ohh... nikmatnya! Sofa yang
jadi tempat persenggamaan berderit kencang bergesekan dengan lantai marmer
akibat gerakan brutal Aksa.
”Ohh...
Ahh... Ohh...” desahan Maria juga semakin keras terdengar.
Saatnya
sudah hampir tiba bagi dia. Dengan mata terpejam dan mulut menjerit-jerit, Maria
pun menjemput orgasmenya. Tubuh montoknya terguncang-guncang saat rasa nikmat
itu datang. Cairan cintanya menyembur deras, tapi tidak sampai tumpah karena
disumbat oleh penis besar Aksa. Penuh kepuasan, Maria menikmatinya sampai tetes
terakhir.
Aksa
yang sempat menghentikan goyangannya, begitu tahu kalau rasa itu telah berlalu,
kembali menggenjot pinggulnya, kali ini lebih keras dan lebih dalam. Vagina Maria
yang becek membuat gerakannya menjadi lebih sempurna. Kedua tangannya memegangi
payudara Maria yang membusung indah dan meremas-remasnya penuh nafsu. Benda itu
tampak mengkilap sekarang, basah oleh keringat.
”Ughh..
Aghh.. Ughh..” dengan geraman yang makin sering terdengar, Aksa menusukkan
penisnya dalam-dalam. Sensasi yang sedari tadi ia kejar, kini terasa sudah
semakin dekat. Hingga akhirnya,
”ARGHHHHHH...!!!”
dari ujung penisnya, menyembur cairan mani yang amat banyak.
Penis
Aksa berkedut-kedut saat cairan putih yang licin dan lengket itu memenuhi liang
rahim Maria. Dengan nafas masih ngos-ngosan, dan tubuh basah oleh keringat, Aksa
ambruk sambil mendekap tubuh mulus Maria.
”Ohh...
aku puas sekali, Mbak! Inilah persetubuhan paling nikmat yang pernah aku
rasakan!” bisik Aksa di telinga Maria, lalu mencium bibir wanita cantik itu dan
melumatnya dengan rakus.
Maria tidak sanggup untuk membalas, bahkan
untuk sekedar membuka mata saja ia tidak mampu. Tubuhnya terasa sangat letih
dan lemah. Dan sedetik kemudian, ia pun jatuh ke dalam jurang kehampaan yang
gelap dan kelam. Maria sudah ternodai penis selain milik suaminya.

Posting Komentar
0 Komentar