PESONA BINOR

 

GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 230 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY

PART 1

 

Sinar matahari sore menerobos masuk melalui jendela-jendela tinggi bergaya Eropa klasik di kediaman keluarga Richard Wijaya. Ruang keluarga yang luas itu tampak begitu megah dengan langit-langit tinggi berornamen dan lampu kristal yang berkilauan. Sofa mewah berwarna krem dengan bantal-bantal sutra yang senada tertata rapi di atas karpet Persia bermotif rumit.

Di ruangan itu, lima orang sedang duduk melingkar sambil menikmati  Earl Grey Tea dari cangkir porselen antik bermotif bunga. Sandra Wijaya, sang nyonya rumah yang anggun dalam balutan dress hijau zamrud, duduk di sofa utama bersama suaminya,  Richard Wijaya yang mengenakan kemeja putih lengan panjang rapi. Di hadapan mereka, Aksa Damian, pria 25 tahun dengan rambut tersisir rapi dan setelan casual premium duduk dengan sikap tak acuh sambil sesekali melirik jam tangan mewahnya. Sementara di kedua sisi, ada sepasang suami istri Hendra Abiyokso dan Maria Lovita yang juga merupakan anggota aktif yayasan.

"Jadi untuk bakti sosial minggu depan, saya sudah survey ke daerah Kampung Mekar," Aksa membacakan laporan yang disiapkan sejak semalam dengan nada datar, jelas terlihat bahwa ia melakukannya hanya sebagai formalitas. "Ada sekitar 50 kepala keluarga yang sangat membutuhkan bantuan kita."

Sandra, yang mengenal baik Bramantyo Damian, ayah Aksa yang merupakan pengusaha sukses dan donatur tetap yayasan mencoba mencairkan suasana. "Semoga kita bisa membantu meringankan beban mereka. Saya sudah bicarakan dengan beberapa rekan pengusaha, mereka siap mendukung kegiatan ini."

"Kita bisa sediakan sembako, pakaian layak pakai, dan mungkin beberapa keperluan sekolah untuk anak-anak mereka," tambah Hendra sambil menyesap tehnya, sementara Aksa diam-diam mengetik pesan di ponselnya.

Sementara mereka berdiskusi, aroma roti yang baru dipanggang menguar dari dapur mewah di sebelah ruang keluarga. Seorang pelayan dengan seragam rapi datang membawa nampan berisi pastry-pastry kecil yang masih hangat. Aksa mengambil satu dan mengunyahnya pelan, pikirannya melayang ke acara yang sebenarnya ingin ia hadiri malam ini pembukaan klub malam baru di pusat kota.

"Oh ya, selain bantuan material, bagaimana kalau kita juga mengadakan pemeriksaan kesehatan gratis?" usul Maria, membuat Aksa menghela napas pelan, tanda bahwa pertemuan ini akan berlangsung lebih lama dari yang ia harapkan.

Richard yang sedari tadi lebih banyak mendengarkan akhirnya angkat bicara, "Ide bagus. Saya juga akan koordinasi dengan tim dari rekanan dari Rumah Sakit Umum untuk membantu pelaksanaan teknisnya nanti."

Langit sore mulai berubah jingga, menciptakan bayangan-bayangan panjang di lantai marmer yang mengkilap. Diskusi terus berlanjut dengan hangat, meski Aksa lebih banyak diam dan hanya sesekali mengangguk, mengikuti pesan ayahnya untuk mulai terlibat dalam kegiatan sosial sebagai persiapan meneruskan bisnis keluarga. Baginya, ini hanyalah salah satu kewajiban yang harus ia jalani sebagai pewaris tunggal kerajaan bisnis Bramantyo Damian.

Sore nyaris menyising saat pertemuan ini berakhir. Pintu ruang tamu rumah mewah itu terbuka, udara lembab dari sore yang mendung merembes masuk. Aksa sudah bersiap meninggalkan kediaman keluarga Wijaya, tas jinjingnya tersandang di bahu, kunci motor sport miliknya sudah di tangan. Dia baru saja bersalaman dengan sang tuan rumah, pikiran sudah melayang ingin segera pulang. Namun langkahnya terhenti ketika suara berat  Hendra memotong.

“Bro, Gue bisa minta tolong nggak?" ucap  Hendra dengan nada yang tak memberi ruang untuk penolakan.

“Ya Pak? Ada apa ya?” Aksa mencoba bersikap ramah mengingat usia Hendra jauh lebih tua darinya.

“Jadi begini, Pak Richard masih mau revans catur nih. Nggak enak Gue kalo langsung pulang. Tau sendiri lah gimana Pak Richarad orangnya, nggak bisa ditolak kalo soal main catur.” Cerocos Hendra panjang lebar. Aksa masih menyimak ucapan pria yang baru setahun terakhir pindah ke komplek perumahan mewah ini.

“Bisa nggak kalo Maria pulang nebeng lo?”

Aksa sempat terkejut. "Maaf, Pak. Tapi Saya hari ini bawa motor. Emangnya Bu Maria nyaman kalo naik motor?" jawabnya mencoba mengelak.

Pak Hendra tersenyum tipis, tatapannya tajam. "Bisa kok Bro, gampang itu!”

Maria yang berdiri di samping  Hendra tersenyum lembut, seolah mendukung permintaan suaminya. Aksa tahu, dia tidak bisa menolak. Apalagi Maria adalah istri dari rekan bisnis ayahnya.

"Ya sudah kalo gitu Pak. Saya antar Bu Maria pulang." jawab Aksa akhirnya, menerima nasib.

“Thanks Bro! Mah, ati-ati di jalan ya.” Sahut Hendra sebelum mengecup kening istrinya dan berjalan masuk kembali ke dalam ruangan. Aksa melirik jam tangannya, menghela napas panjang. Hari ini sepertinya tidak akan berjalan sesuai rencananya.

"Siap berangkat, Bu?" tanya Aksa pada Maria.

Maria mengangguk, mengamit tas kecilnya. "Terima kasih ya Aksa, maaf kalo merepotkan." Maria memandang punggung suaminya menjauh seolah menganggap catur lebih penting dibanding istrinya. Maria sudah maklum dengan sikap Hendra yang seperti itu.

“Ah santai kok Bu.” Jawab Aksa sambil tersenyum tipis.

Mereka pun bergegas keluar, meninggalkan dua pria tua yang sudah asyik dengan permainan catur mereka, sementara langit di luar masih mendung. Begitu sampai di halaman, Maria berdiri canggung di samping motor sport Ducati Panigale V4 milik Aksa. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah dibonceng naik motor, apalagi motor sport yang terlihat begitu tinggi dan sporty ini. Rok pendek selutut yang dikenakannya hari ini sama sekali tidak memudahkan situasi.

"Bagaimana caranya naik?" tanyanya dengan nada gugup.

Aksa tersenyum tipis, sedikit geli melihat Bu Maria yang tampak kebingungan. "Tenang saja, Bu. Saya bantu," jawabnya.

Dengan sabar, Aksa menjelaskan posisi duduk yang benar. "Ibu bisa meletakkan kaki di footstep, pegang jok di belakang saya, dan duduk agak ke belakang."

Bu Maria tampak ragu. Rok pendeknya membuatnya khawatir akan kesulitan bergerak. Dia mencoba mengatur roknya, berusaha menutupi sebanyak mungkin bagian pahanya.

Maria memang sudah menginjak usia 38 tahun, namun penampilannya masih sangat terpelihara. Tubuh sintalnya tetap proporsional, hasil dari rutinitas fitness dan perhatian khusus pada pola makan. Kulitnya masih mulus, dengan sedikit garis halus yang justru menambah kesan dewasa dan sophisticated.

Rambut hitam legamnya yang sedikit bergelombang dia atur dengan rapi, menambah kesan elegan. Rias wajahnya natural namun tepat, menyembunyikan jejak usia dengan makeup yang profesional. Matanya yang tajam dan berbinar masih mampu memikat siapa pun yang memandang. Perpaduan kecantikan Polandia-Sunda tergambar jelas di wajah wanita itu.

Dengan balutan rok mini dan kaos ketat, lekuk tubuh wanita sintal itu terlihat sangat menggoda. Apalagi bentuk payudaranya yang cenderung bulat kencang ditambah kesemokan pantat di bagian bawah jadi kombinasi menggiurkan untuk setiap mata lelaki yang memandang.

Aksa sempat terpana sejenak, namun cepat-cepat mengalihkan pandangan. Wanita di depannya ini memang masih sangat menarik untuk ukuran seorang wanita yang usianya jauh lebih tua darinya. Saat berjalan, gerakan Bu Maria begitu luwes dengan gerak pinggul aduhai. Dia bergerak dengan percaya diri, menunjukkan bahwa usia sama sekali bukan penghalang untuk tetap tampil memesona.

"Tidak apa-apa, Bu. Santai saja," Aksa mencoba menenangkan.

Dengan gerakan perlahan dan sedikit canggung, Bu Maria akhirnya berhasil naik ke boncengan motor. Dia memegang pegangan di jok dengan erat, tubuhnya tegang, mencoba menjaga keseimbangan.

Aksa menyalakan mesin motor. Suara mesin Ducati yang garang membelah sunyi sore itu. Bu Maria refleks mencengkeram jaket Aksa, matanya terpejam, berharap perjalanan cepat selesai.

"Siap, Bu?" tanya Aksa. Bu Maria hanya mengangguk kaku, inilah pengalaman pertama berada di atas boncengan motor sport.

“Peluk aja tubuh Saya nggak apa-apa kok Bu. Biar nggak jatuh.” Kata Aksa memperingatkan.

Ragu dan canggung, tangan Maria awalnya hanya mencengkram bagian saku jaket kulit yang dikenakan oleh Aksa, kini bergerak dan berubah melingkari tubuh kekar Aksa dari belakang. Aksa tersenyum di balik helm full face yang dikenakannya, dada Maria yang berukuran besar terasa menekan pelan punggungnya. Setidaknya ini adalah bayaram setimpal dari menuruti permintaan Hendra, begitu pikirnya. Motor pun melaju meninggalkan halaman rumah mewah milik Richard.

Namun baru beberapa ratus meter motor melaju melewati jalanan komplek perumahan, tiba-tiba langit pecah. Hujan deras turun dengan tanpa ampun, seperti ember raksasa yang dibalik. Tetes-tetes air besar jatuh menghajar tubuh Aksa dan Maria bertubi-tubi. Aksa refleks memperlambat laju motor, visibility jalan mendadak menurun.

"Astaga! Hujan deras nih!" teriak Maria tertahan, roknya sudah basah kuyup dan menempel di kulitnya.

"Pegangan lebih kenceng Bu, saya mau ngebut biar cepet sampai rumah." ucap Aksa dengan suara tegas.

Motor melaju kencang, roda belakang sesekali tergelincir di genangan air. Maria mencengkeram erat punggung Aksa, tubuhnya gemetar antara takut dan kedinginan.  Beberapa kali Aksa harus memperlambat laju motor menghindari genangan air yang cukup dalam. Jalanan licin membuat perjalanan semakin menantang. Keberanian dan kemampuan mengemudi Aksa diuji habis-habisan. Akhirnya, setelah perjalanan yang menegangkan, mereka tiba di rumah Maria. Motor Ducati berhenti tepat di depan pagar rumah. Keduanya basah kuyup, seolah baru saja dilempar ke dalam kolam.

"Kita sampai, Bu," ucap Aksa, nafasnya tersengal.

Maria turun dengan gemetar, tubuhnya basah kuyup. Make-up luntur, rambut acak-acakan. Dia menatap Aksa dengan campuran rasa syukur dan tidak percaya.

"Terima kasih, Aksa," ucapnya dengan suara bergetar.

Aksa terpaku, matanya tidak sengaja terfokus pada tubuh Maria yang basah kuyup. Pakaian yang dikenakannya, yang sebelumnya terlihat elegan, kini menempel di kulit, menonjolkan lekuk tubuh Maria yang masih terawat dengan baik. Dari balik kaos ketat itu, tonjolan payudara besar milik Maria yang terlindungi BH berwarna hitam bisa terlihat dengan sangat jelas. Namun, lamunan jorok Aksa terhenti ketika Maria memanggil namanya beberapa kali.

"Aksa? Aksa? Masuk dulu yuk, kamu bisa ganti baju di dalam."

Aksa tersadar dan segera mengalihkan pandangannya. "Oh, tidak perlu, Bu. Saya langsung pulang saja." Maria menggelengkan kepala.

"Ayolah, kamu basah kuyup kayak gini kok. Masuk dulu, setidaknya kamu bisa ganti baju kering. Nanti kamu masuk angin loh.”

Aksa seperti tak punya pilihan lain, lagipula dengan menerima ajakan Maria, maka dia bisa berlama-lama menikmati keindahan lekuk tubuh wanita sintal itu. Jiwa muda Aksa bersorak saat dia memakirkan motor di halaman yang cukup luas, tapi tak seluas halaman rumah milik Richard ataupun rumahnya.

Aksa kemudian melangkah masuk, sebelumnya dia melepas jaket kulit yang basah dan meninggalkannya di atas motor. Rumah Maria tampak sepi, hanya suara derai hujan di luar yang memenuhi ruangan. Dia mengamati interior rumah yang rapi dan mewah, dengan sentuhan desain modern nan elegan.

"Anak-anak sedang ada kunjungan studi ke Jogja." ujar Maria sambil berjalan menuju sebuah kamar di dekat tangga "Mereka pergi sejak kemarin, mungkin dua hari lagi baru pulang."

Aksa mengangguk, tak lama Maria kembali lagi dengan membawa handuk dan pakaian kering. Suasana rumah terasa sunyi.

"Bi Inah juga sedang izin pulang kampung," lanjut Bu Maria. "Suaminya sedang sakit, dia minta izin beberapa hari. Jadi ya, selama beberapa hari ini aku dan Mas Hendra aja yang tinggal di rumah.”

"Oh," balas Aksa singkat.

“Ini handuk dan pakaian gantinya. Kamu bisa ganti di kamar mandi dekat dapur ya.” Maria menunjuk sebuah lorong panjang di bagian belakang ruang tamu.

“Ba-baik Bu. Terima kasih.” Aksa sedikit tergugup saat menerima handuk dan pakaian kering.

Pandangan matanya kembali tanpa sadar menyasar bagian dada Maria yang begitu besar nan menggiurkan. Suara hujan masih menderu di luar, menciptakan atmosfer yang intim dan sepi di rumah mewah itu. Aksa berjalan perlahan di lorong rumah Maria. Dinding lorong dipenuhi foto-foto keluarga yang tertata rapi. Dia sesekali melirik, mengamati deretan foto yang memperlihatkan perjalanan hidup keluarga ini.

Di sisi kiri, terpajang foto keluarga dengan latar belakang pemandangan alam yang indah. Maria tampak lebih muda, tersenyum di samping suaminya. Dua anak remaja yang tampan dan cantik berdiri di depan mereka. Foto-foto lain menunjukkan momen-momen keluarga, liburan, perayaan ulang tahun, dan momen-momen spesial lainnya.

Lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding, sebagian terlihat seperti karya seniman lokal dengan nuansa tradisional. Aksa memperhatikan detail interior rumah yang menunjukkan status sosial keluarga ini, mewah namun tidak berlebihan.

Beberapa piala prestasi anak-anak terpajang di rak kaca, menandakan mereka adalah anak-anak yang berprestasi. Aksa tersenyum tipis, mengapresiasi pencapaian keluarga ini dari balik punggungnya. Lorong sempit itu membawanya menuju kamar mandi tamu.

Di dalam kamar mandi, Aksa mulai melucuti pakaiannya satu persatu hingga telanjang bulat. Tubuhnya sempat mengigil karena terpaan air hujan sebelumnya. Namun entah darimana datangnya pikiran itu datang, tiba-tiba bayangan tubuh sintal Maria berarak liar di pikiran pria itu.

Tangan Aksa menjulur ke bawah, mencengkram batang penisnya yang menggeliat akibat respon suhu udara dingin. Cengkraman tangannya berubah menjadi gerakan maju mundur, mengocok serta mengurut daging kenyal yang makin lama semakin membengkak dan mengeras.

Aksa membiarkan guyuran air dari shower mengalir. Air hangat itu menciptakan kabut tipis yang menyelimuti kamar, memberikan rasa nyaman seolah-olah ia sedang berada di dalam pelukan lembut.

Aksa menutup matanya sejenak, merasakan setiap tetes air hangat menggelontorkan sisa dingin hujan yang menerpa tubuhnya. Ia membiarkan aliran air menyapu bersih seluruh tubuhnya, namun bayangan kemolekan tubuh Maria makin merajai isi pikirannya. Air yang mengalir membentuk aliran kecil di atas ubin, menciptakan irama lembut yang menyatu dengan suara desiran.

Sambil bergerak perlahan, Aksa mengambil sabun dan mulai menggosokkan ke kulitnya. Aroma segar dari sabun itu semakin menambah rasa tenang, membuatnya merasa seolah-olah semua masalah di dunia ini bisa sirna. Tangannya kembali mencengkram batang penisnya, melumuri dengna sabun lalu mengocoknya.

“Ooocchhhh…” Aksa mengerang, pikirannya memutar ulang momen dimana dia bisa melihat lekuk indah tubuh basah Maria.

“Eeemmcchhhhh…” Aksa membayangkan bagaimana jika dia bisa meremasi payudara Maria yang berukuran besar itu.

Gerakan tangan Aksa makin cepat, pikirannya dipenuhi fantasi-fantasi cabul tentang kemolekan tubuh Maria. Wanita yang usianya jauh darinya, wanita yang tak lain adalah istri dari rekan bisnis Ayahnya! Lenguhan Aksa terdengar parau seiring gerakan tangannya yang mengocok batang penis dengan kecepatan tinggi.

Setelah hampir sepuluh menit berlalu Aksa merasakan ujung kenikmatan birahi sudah berada di kepala penisnya. Beberapa kali batangnya berkedut, tanda jika ejakulasi akan segera tiba. Aksa makin berkonsentrasi membayangkan Maria, namun tiba-tiba konsentrasinya buyar saat pintu kamar mandi terketuk dari luar.

TOK!

TOK!

TOK!

“Aksa?! Kamu nggak apa-apa kan? Kenapa lama sekali??”

“I-Iya Bu! Sebentar lagi selesai kok.” Jawab Aksa gugup.

Tak ada jawaban dari luar lagi, Aksa bernafas lega. Namun birahinya yang sudah diujung tanduk terpaksa harus pupus begitu saja. Pria berbadan kekar itu kemudian menyalakan shower, air hangat menerpa tubuhnya, suara gemercik air yang menghantam permukaan lantai terdengar lirih. Aksa memejamkan matanya, mengemasi sisa-sisa-sisa birahi yang tak tuntas baru saja.

 

 

 

 

 

 

 

PART 2

 

Setelah beres membilas tubuhnya dan mengganti pakaian Aksa membuka pintu kamar mandi, dan pandangannya langsung tertuju pada Bu Maria yang berdiri di depannya. Aksa tercengang, tidak siap dengan pemandangan yang disajikan.

Maria mengenakan kaos oversize putih yang longgar, namun tidak cukup panjang untuk menutupi betisnya yang mulus. Pakaian itu terlihat sangat sederhana, tetapi justru menambah kesan sensual pada sosok wanita cantik itu. Maria sendiri tampaknya tidak menyadari efek yang ditimbulkan oleh pakaian yang dikenakannya itu. Dia tersenyum hangat.

“Aku pikir kamu kenapa-kenapa. Kok lama banget di dalem.”

“Eh Ma-Maaf Bu, saya tadi sekalian mandi.” Jawab Aksa gugup. Sekali lagi maytanya menatap bagian payudara Maria yang menyembul kencang dari balik kaos oversize.

“Ohhh, ya udah ayo kita minum teh dulu. Hujan masih deras banget, kamu pulang setelah reda aja ya?”

“Ba-Baik Bu.”

Maria berbalik badan dan berjalan menuju ruang tamu sementara Aksa mengekor di belakangnya. Aksa bisa melihat bagaimana lenggok gerak tubuh Maria yang makin menggoda. Dia meyakini jika bagian bawah tubuh wanita sintal itu hanya mengenakan hotpants ketat. Birahi Aksa yang tadi belum tuntas pelan namun pasti kembali datang.

“Ayo silahkan duduk.”

“Terima kasih Bu.” Aksa mengambil posisi duduk di samping Maria.

“Eh boleh nggak kalo jangan manggil aku pake Bu? Kesannya aku tua banget, hehehehe.” Celetuk Maria sembari menyerahkan secangkir teh hangat pada Aksa.

“Terus saya harus manggil apa?”

“Panggil Maria atau Mbak Maria aja.”

“Oh, baik kalo begitu Mbak.”

Maria menuangkan teh ke dalam cangkir lalu menyerahkannya pada Aksa. Pria itu menerimanya sebelum kemudian meneguk teh hangat tersebut. Maria meletakkan cangkir teh di meja kecil di depannya

"Jadi, kamu sudah lama tinggal di komplek perumahan ini, atau baru pindah juga?"

Aksa berusaha fokus pada pertanyaan Maria, tapi sesekali melirik ke arah Maria yang duduk santai dengan kaos oversize yang terlihat longgar namun tetap menonjolkan lekuk tubuhnya. "Eh, saya... saya sudah lama di sini, Mbak. Dari kecil memang tinggal di sini."

Maria tersenyum ramah, tidak menyadari lirikan Aksa. "Oh, begitu. Pantas saja tadi  kelihatan hafal semua jalan pintas. Aku sendiri masih sering nyasar kalau ke daerah-daerah baru."

Aksa tersenyum kecil, mencoba mengalihkan pandangan ke luar jendela, melihat hujan yang masih deras. "Ah, itu karena sejak kecil saya tumbuh besar di sini Mbak.”

Maria mengangguk sambil menyilangkan kaki, kaos oversize-nya sedikit bergeser, memperlihatkan siluet tubuhnya lebih jelas. "Iya, benar. Kadang aku juga merasa kota ini berubah terlalu cepat. Tapi ya, mau bagaimana lagi, kita harus menyesuaikan."

Aksa berusaha menjaga nada bicara tetap santai, meski matanya sempat tertarik ke arah Maria sebelum buru-buru kembali menatap cangkir tehnya. "Betul, Mbak. Kadang saya juga rindu suasana kota ini waktu masih kecil. Lebih tenang, lebih sederhana."

Maria menatap Aksa dengan penuh perhatian, tidak menyadari kegugupan kecilnya, "Masih muda tapi sudah punya banyak pengalaman ya kamu. Aku yakin, kalau terus konsisten, kamu bisa jadi salah satu penggerak utama di yayasan. Sama seperti Ayahmu."

Aksa tersenyum canggung, merasa sedikit salah tingkah dengan pujian itu. "Ah, saya masih belajar, Mbak. Masih jauh kalau dibandingkan dengan senior-senior seperti Mbak Maria dan Pak Hendra."

Maria tertawa kecil, suaranya lembut. "Jangan panggil Aku senior, dong. Aku jadi merasa makin tua. Panggil saja Mbak Maria, seperti tadi."

Aksa mengangguk sambil tersenyum, tapi matanya kembali melirik sekilas ke arah Maria yang duduk santai dengan postur tubuh yang terlihat anggun meski dalam pakaian sederhana. "Baik, Mbak Maria."

Di sini Aksa baru menyadari jika dibalik kaos oversize yang dipakainya, Maria ternyata tak mengenakan BH! Puting Maria yang keras menyembul seolah berontak dari balik kaos  yang berbahan katun itu. Aksa menghela napas pelan, mencoba menenangkan pikirannya sambil menatap ke luar jendela, mendengarkan suara hujan yang deras. Ia tahu, ia harus menjaga sikap dan pikirannya agar tetap normal, meski ada sesuatu tentang Maria yang sulit diabaikan.

Maria meletakkan cangkir tehnya, kemudian menatap Aksa dengan sedikit senyum jahil. "Bagaimana dengan kehidupan asmaramu? Kelihatannya tenang-tenang saja. Kapan menikah?"

Aksa sedikit salah tingkah. "Saat ini saya masih fokus pada karier Mbak."

"Jangan sampai seperti Aku" ujar Maria dengan nada sedikit getir. "Kehidupan rumah tangga itu butuh perhatian dan kedekatan."

Dia mulai bercerita tentang hubungannya dengan Hendra. "Suamiku lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Lihat saja tadi, dia memilih bermain catur dengan Pak Richard daripada mengantarku pulang."

Tatapan Bu Maria sedikit sendu. "Bertahun-tahun pernikahan, tapi kedekatan kami sudah mulai menipis. Suamiku lebih peduli pada kariernya, pada teman-teman bisnisnya."

Aksa mendengarkan dalam diam.  Maria melanjutkan, "Kamu harus pintar memilih pasangan. Cari yang bisa membuat kamu nyaman, yang mau berbagi, bukan sekadar mendampingi."

Suara hujan di luar perlahan mereda, meninggalkan keheningan di ruang tamu. Maria tersenyum getir, seolah membuka lemAksan kisah rumah tangganya yang mulai retak.

"Jangan sampai seperti Aku," ulangnya lagi pada Aksa.

Petir menggelegar tiba-tiba, membelah keheningan ruang tamu. Cahaya putih menyambar di balik jendela, diikuti bunyi menggelegar yang memekakkan telinga. Maria spontan bereaksi. Tubuhnya refleks bergerak dan dengan cepat ia memeluk Aksa. Wanita itu gemetar ringan, wajahnya tersembunyi di bahu Aksa. Tubuh sintalnya menempel erat pada Aksa, membuat pemuda itu terkejut dan tidak bergerak.

"Maaf," bisik Maria lirih. "Aku tidak suka suara petir."

Aksa bisa merasakan detak jantung  Maria yang berdetak cepat. Aroma parfum wanita itu tercium begitu dekat, membuat Aksa sedikit gugup. Pelukan Maria begitu erat dan intim. Petir kembali menggelegar. Maria semakin mengeratkan pelukannya pada Aksa, tubuhnya gemetar pelan. Aksa hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya salin bertatapan mata, lalu sepersekian detik insting pejantan Aksa terpacu untuk mendekatkan bibirnya pada bibir sensual milik Maria.

“Aksa, jangan nakal kamu...” Maria berujar sambil menggeliat, berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Aksa.

“Mbak Maria yang memelukku lebih dulu kan?” Ujar Aksa tanpa melepas pelukannya pada tubuh Maria.

“Aksa Ihhhh...”

Kedua tangan Maria memegang tangan Aksa yang melingkari perutnya. Lagi-lagi Maria mencoba melepaskan pelukan pria itu. Semakin keras usaha Maria untuk melepaskan diri makin membakar adrenalin Aksa, rasa takut bercampur dengan birahi telah meracuni isi otak pria itu.

Aksa mengikuti lengan Maria dan tangan kanannya terlepas dari pelukan, sementara tangan kirinya masih memeluk. Di saat itu, bibirnya segera bergerak ke leher Maria yang terbuka. Tangan kanan Aksa yang sudah bebas mengelus pelan punggung Maria. Tak butuh waktu lama hingga bibir Aksa sudah hinggap di leher jenjang sang betina dan mulai mengecupinya perlahan. Tubuh Maria makin menggeliat tak karuan.

“Aksa!! Jangan kurang ajar kamu!!”  Maria membentak sambil kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri guna mengusir bibir Aksa yang kini menempel di lehernya.

“Kalo Mbak Maria gerak terus, bisa-bisa aku kasih cupang di leher loh.” Ujar Aksa santai seolah tanpa beban, meskipun sedari tadi dadanya bergemuruh kencang.

“Kamu jangan main-main Aksa! Gimana kalo nanti suamiku tau?!” Maria mendesis namun gerakan tubuhnya terhenti.

“Makanya jangan dilawan Mbak, nikmati aja.” Balas Aksa dengan semburat senyum kemenangan terlihat di wajahnya.

Maria menghentikan gerakan kepalanya. Juga tangannya tak lagi memegang tangan kiri Aksa yang masih memeluk perutnya. Rupanya ancaman Aksa membuat nyali wanita cantik itu ciut. Aksa yang sudah berada di atas angin tak mau membuang kesempatan emas itu. Bibirnya segera bergerak liar di sekujur leher Maria yang jenjang. Tak hanya mengecupinya saja, Aksa tak lupa menggunakan lidahnya untuk menjelejahi tiap jengkal kulit mulus bagian leher sang betina.

“Ouuucchhh! Aksa! Sudah cukup!”

Tubuh Maria yang sintal menggeliat bak cacing kepanasana, sentuhan hangat cenderung panas dari bibir serta lidah Aksa di lehernya lambat laun membuat Maria melayang. Suaminya sudah begitu lama tak memberikan cumbuan nakal seperti ini. Aksa sama sekali tak mempedulikan rintihan Maria, justru suara seksi wanita itu makin membuat birahinya terbakar.

Tangan Aksa bergerak dari punggung  menuju payudara Maria yang berukuran besar. Diremasnya gundukan kenyal daging surgawi yang hanya dilapisi kaos saja tanpa daleman itu sambil terus menjelajahi leher mulus Maria. Tak hanya dari luar saja, tangan Aksa bergerak liar masuk ke dalam kaos yang dikenakan oleh Maria. Alhasil dalam sepersekian detik pria jangkung itu bisa merasakan kelembutan serta kekenyalan payudara Maria lewat remasan tangannya.

“Aksa! Aaach! Kurang ajar kamu!”

Maria setengah berteriak sambil mencoba mengusir kedua tangan Aksa yang kini dengan nakal meremas-remas pucuk bukit kembar di dada. Namun Aksa sama sekali tidak megendurkan aksi cabulnya. Sambil terus mengecupi da menjilati leher Maria, tangannya bergerak makin intens memberi rangsangan pada dua buah gundukan gunung kembar milik sang betina. Bahkan sesekali Aksa memainkan kedua puting Maria secara bergantian, membuatnya lambat laun semakin mengeras.

“Aksa!!! Aku akan berteriak kalo kamu tidak berhenti sekarang juga!!" Pekik Maria memberi ancaman. Aksa terkesiap, pria lajang itu benar-benar menghentikan aksi cabulnya kali ini.

“Mbak Maria yakin mau berteriak sekarang?” Aksa memandang wajah Maria yang panik dan ketakutan. Wanita itu mengrenyitkan dahinya, seperti tak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam itu.

“Mak-Maksudmu apa?”

“Kalo Mbak Maria berteriak dan mengundnag banyak orang ke sini, apa yang akan mereka pikirkan melihat kita berdua dalam keadaan seperti ini? Bagaimana pendapat Pak Hendra nanti kalo tau istrinya mengundang pria lain masuk ke dalam rumah saat tidak ada orang lain di sini?”

Maria terdiam, pikirannya makin kalut tanpa arah. Ucapan Aksa barusan seolah layaknya palu godam kenyataan yang tak bisa dia elak. Semuanya jadi runyam sekarang, Maria benar-benar sudah terpojok bak mangsa yang siap diterkam hidup-hidup oleh binatang buas.

“Aku mohon Aksa, jangan lakukan lagi. Aku sudah bersuami.” Maria masih berusaha untuk menghentikan aksi cabul Aksa, meskipun dia tau pria di hadapannya itu sudah tenggelam dalam birahi tak berkesudahan.

“Sudahlah Mbak, aku tau kamu juga menginginkan hal ini. Kita nikmati saja sebelum Pak Hendra pulang.” Desis Aksa sebelum kembali melanjutkan aksinya.

Tanpa komando Aksa kembali mendekat, kali ini dia memaksa Maria untuk melepas kaos oversize yang dikenakannya. Tentu awalnya Maria menolak keras, namun apa daya tenaganya tak sebanding dengan kekuatan Aksa yang sudah terbakar nafsu. Belum lagi ancaman demi ancaman keluar mulus begitu saja dari mulut pria muda itu, membuat Maria tak bisa lagi meneruskan perlawanannya. Hanya dengan sekali gerakan, Aksa berhasil melepas kaos itu hingga memperlihatkan payudara mulus berukuran besar menggantung sempurna di hadapannya.

“Wow!! Luar biasa!”

Aksa tak bisa lagi menyembunyikan kekagumannya pada bentuk dan ukuran payudara sang betina. Tak hanya besar, payudara Maria juga terlihat masih kencang untuk standar wanita seusianya. Daging kenyal berwarna putih itu terlihat sangat mulus, putingnya pun sudah mengeras, makin menambah daya sensualitas sekaligus memacu birahi Aksa ke titik tertinggi. Tau jadi sasaran mata jalang Aksa, Maria reflek menutupi payudaranya dengan kedua tangan, meskipun hal itu sama sekali tak berarti apa-apa karena payudaranya tak bisa tertutup secara sempurna.

“Kenapa harus ditutup segala?” Ujar Aksa sembari menyingkirkan kedua tangan Maria dari area dada.

“Aku janji akan membuat Mbak Maria keenakan hari ini.” Desis Aksa dengan tatapan mata penuh kecabulan.

 

PART 3

 

“Ouuuhhh... Aksa...”

Maria mengeluh tertahan ketika kesepuluh jemari Aksa kini menyentuh payudara miliknya. Ada perbedaan ketika menyentuh payudara dari luar pakaian dengan di dalam pakaian. Menyentuh dari luar itu menyenangkan, namun memegangnya dari dalam jauh lebih mengasyikkan. Dengan menyentuh di bagian dalam, Aksa bisa merasakan kehalusan kulit Maria. Jemarinya bisa langsung bersentuhan dengan puting yang kini terasa semakin keras. Bagi Maria, sentuhan secara langsung juga rupanya punya dampak. Dia kini menggeliat kegelian.

“Cukup Aksa, hentikan...” 

Maria berujar lemah. Nada suaranya kini tidak setegas sebelumnya. Jika tadi dia bersuara agak keras, kini suaranya mirip rintihan. Aksa bukan bocah kemarin sore, pengalamannya soal sex sudah mumpuni karena jam terbang tinggi. Rupanya, sentuhan jemarinya pada area payudara mulai membuat Maria terangsang. Bagaimanapun, payudara merupakan organ tubuh perempuan yang sangat peka terhadap rangsangan. Bagian itu, terutama puting, sangat sensitif terhadap sentuhan. Itu sebabnya perlawanan Maria kini mulai melemah.

Karena sang betina kini mulai melemah, Aksa memutuskan untuk bertindak lebih jauh lagi. Jemari tangan kanannya yang tadinya meraba-raba bagian payudara, perlahan turun ke bawah. Jemarinya kemudian hinggap pada bagian di antara kedua paha Maria. Hotpants pendek yang dikenakan Maria membuat jemari nakal Aksa begitu leluasa mengeksplorasi kulit mulus paha wanita cantik itu

“Aksa... Kamu nakal Aksa...”

Jemarinya berusaha menyingkirkan  tangan Aksa yang berada di antara kedua pahanya. Namun Aksa bisa merasakan kalau usaha Maria itu sangat lemah. Jelas kalau dia tidak benar-benar bermaksud menyingkirkan tangannya.

“Mulus banget pahamu Mbak..”

Sambil terus meraba, jari-jari tangan Aksa bergerak sedemian rupa menelusup masuk ke dalam hotpants. Maria terbeliak tak percaya, namun belum sempat wanita cantik itu bereaksi, jemari Aksa lebih cepat bermanuver. Aksa bethasil merengkuh permukaan vagina, menggeseknya dengan jari, mengucek-nguceknya beberapa kali hingga basah kuyup.

“Aksaaaa!!!”

Teriakan Maria makin membuat Aksa bersemangat untuk terus menggerakkan jemarinya di antara lipata vagina becek wanita cantik itu. Tubuh Maria menggelinjang beberapa kali, terutama saat ujung jari Aksa menyentuh bagian klitoris.

“Ouucchh! Aksaaa!”

“Kenapa Mbak? Enak ya?”

“Ouucchh! Udah Aksa! Udaah!”

Maria berusaha memejamkan matanya, tubuhnya melengkung ke belakang hingga membuat payudaranya yang besar membusung ke depan. Aksa tak mau kehilangan momen, mulutnya langsung mencaplok putting Maria. Menghisapnya, menyedotnya, menjilatinya sambil terus mengobel permukaan vagina basah.

“Ouucchhhh! Gila! Gila kamu Aksa!”

Racauan Maria makin tak karuan, tubuhnya yang sintal pun bergerak kian liar. Bagaimana tidak, dua bagian tubuhnya yang paling sensitif kini sedang dikerjai oleh pria yang bukan suaminya. Anehnya, kini Maria sama sekali tak melakukan perlawanan berarti seperti tadi. Maria tidak memberontak, padahal saat ini Aksa sedang menyentuh bagian tubuhnya yang seharusnya tidak boleh disentuh laki-laki lain selain suaminya.

“Aksa...Stop Aksa...” Suara Maria yang lemah bercampur desahan.

Aksa tentu saja tidak berhenti. Jemarinya terus bermain-main di vagina, sementara mulutnya sibuk menghisapi puting wanita cantik itu. Tau jika Maria tak lagi menghalangi niat cabulnya, jemari Aksa makin berani bermanuver. Tak hanya sekedar menggesek permukaan vagina saja atau memainkan bagian luar klitoris, Aksa menelusupkan jari tengahnya ke dalam vagina. Maria sontak makin menggelinjang.

“Aksa... Aksa...Aaachhhhh!”

Tak puas hanya dengan satu jari saja, Aksa menambahkan satu ruas jarinya lagi. Maria sempat melirik ke bawah, mengintip apa yang sednag dilakukan oleh Aksa karena vagiannya terasa lebih sesak sekarang. Belum sempat bereaksi, Aksa lebih dulu mengocokkkan jarinya.

“Aaaaahhh! Aaaahh!!! Aksaaa!”

Aksa juga menambahkan satu rangsangan lagi pada area intim Maria. Pria jangkung itu menggunakan permukaan jempolnya untuk menekan-nekan klitoris Maria saat dua jarinya sibuk mengocok bagian dalam vagina. Alhasil lenguhan Maria yang parau berubah jadi desahan nikmat, tubuhnya tak bisa lagi menyembunyikan birahi yang sedari tadi ditahannya atas dasar rasa malu.

“Gimana Mbak? Enak kan? Memekkmu kenapa jadi basah banget sekarang?” Ejek Aksa merayakan kemenangannya.

“Udah Aksa! Udah! Ampuunn!”

Tubuh Maria bergerak liar sebelum kemudian menegang kuat. Punggungnya melengkung diiringi desisan nafas tak beraturan. Aksa tau jika wanita sang betina sedang menjemput orgasme yang pertama. Bukannya menghentikan aksi jemari nakalnya, Aksa justru makin mempercepat kocokan di vagina Maria. Makin lama makin cepat, hingga kemudian sebuah cairan bening mengucur deras dari rahim wanita cantik itu tanpa ampun.

“AAAARGHHTTT!!! AKSAAAAA!”

Tubuh Maria luruh serasa tanpa tulang, di lantai cairan squirt tumpah dan menggenang. Pikirnya Aksa akan menyudahi aksi dan beranjak pergi, tapi Maria salah, karena kini pria jangkung itu sudah berdiri di hadapannya dengan keadaan telanjang bulat. Penisnya lumayan besar, setidaknya jauh lebih besar dibanding milik Hendra. Aksa mengarahkan tubuh Maria agar terlentang di atas sofa, membuka kedua pahanya yag semok dan mulus.

“Kau mau apa Aksa?” Maria berdesis ketika menyadari Aksa mengarahkan ujung penisnya pada vagina.

“Aku gesek-gesekkin aja kok Mbak.” Kata Aksa beralasan.

“Jangan dimasukin ya...”

“Iya...”

“Bener ya, nggak dimasukin...”

“Iya Mbak. Cuma digesek aja.” Kata Aksa sekali lagi.

Tentu saja Aksa berdusta. Pria itu tentu tak hanya ingin sekedar menggesek permukaan vagina milik Maria saja. Dalam posisi seperti ini, ketika dia punya kesempatan untuk melakukannya, tentu Aksa tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas untuk menyetubuhi istri Hendra tersebut.

Perlahan Aksa memainkan ujung penisnya pada permukaan vagina Maria yang basah. Dia gerakkan naik turun, menggesek pintu gerbang surgawi itu. Maria memejamkan kedua matanya, seolah sedang menikmati sensasi geli dan gatal yang merayap ke sukujur tubuhnya. Sesekali Aksa menekan ujung penisnya pada permukaan klitoris, kemudian memutarnya serah jarum jam.

“Aaachhhhh! Aksaaa! Nakal!”

“Sakit Mbak?” Tanya Aksa pura-pura peduli. Maria menggeleng lemah.

Disaat Maria masih menikmati gesekan ujung penis Aksa di permukaan vaginanya, tiba-tiba pria itu menekan pinggulnya ke bawah. Alhasil ujung penisnya melewati “pintu gerbang” sang betina. Aksa bisa merasakan jika vagina Maria masih peret padahal beberapa saat lalu dua jarinya mengobok-oboknya.

“AKSA!!! Jangan dimasukin!” Maria panik.

“Nggak kok, ini nggak masuk." Aksa menahan laju pinggulnya, namun penisnya sudah terlanjur masuk separo.

“Itu udah... Udah masuk Aksa!!” Maria makin panik saat melirik ke bawah dan menyadari sebagian penis Aksa sudah bersemayam di dalam liang senggamanya.

“Ah masak sih? Nggak kerasa masuknya.” Aksa menarik pinggulnya ke atas namun tak sampai membuat penisnya terlepas dari dalam vagina. Pria muda itu seperti sedang mempermainkan birahi Maria.

“Aksa! Cepat cabut! Jangan dimasukin!” Maria kembali memprotes, wanita itu berusaha mendorong dada Aksa agar menjauhi tubuhnya namun sang pejantan hanya bergeming.

“Ini nggak masuk Mbak, Cuma digesek-gesek aja.” Aksa kembali menekan pinggulnya ke bawah, penisnya yang kekar kembali menghujam, lebih dalam dari sebelumnya.

“Acchh! Keluarin Aksa! Keluarin! Udah masuk ini!!”

“Masa masuk sih Mbak? Ah iya rupanya, pantesan kok enak banget.”

Aksa merunduk ke bawah, dilihatnya hampir seluruh batang penis miliknya sudah hilang ditelan vagina Maria. Pria itu kemudian mulai menggenjot tubuh sang betina dari atas, pinggulnya bergerak naik turun secara perlahan. Penisnya terasa dijepit dan diremas di bawah sana.

“Keluarin! Keluarin Aksa! Aku nggak mau!” Maria makin panik saat merasakan gerakan tubuh Aksa membuat penis terbenam makin dalam.

“Yakin mau dikeluarin sekarang? Nanti kalo Mbak Maria hamil gimana?” Goda Aksa sambil terus menggenjot tubuh Maria.

“Bukan... uhhhh... bukan keluarin... aduh, bukan keluarin seperti itu. Maksud aku...Aawww... maksudku dicabut kontolnya...”

“Apa Mbak yang dicabut?”

“Kon-Kontolmu..”

“Apa? Aku nggak denger loh.”

“CABUT KONTOLMU ANJING!! AAACHH!!”

Umpatan Maria makin membuat birahi Aksa terbakar. Gerakan pinggulnya yang perlahan berubah jadi makin cepat. Penisnya menerobos keluar masuk di dalam liang vagina dengan kecepatan tinggi. Tubuh Maria tergelepar tak berdaya, bergoyang naik turun mengikuti irama sodokan penis sang pejantan muda.

“Kok masih diterusin sih?! Aaacchh! Aaacchh!”

“Tanggung Mbak, udah terlanjur enak nih!”

“Aaachh! Aaachh! Aksaaaa!”

Rintihan Maria berubah menjadi jeritan kecil saat Aksa tanpa peringatan sebelumnya, mendesakkan penisnya kuat-kuat hingga menusuk begitu dalam. Maria menggigit bibirnya merasakan sakit sekaligus nikmat pada lubang vaginanya. Sementara itu, Aksa terus bergerak memompa tubuhnya untuk menggenjot  Maria dengan penisnya yang besar dan panjang. Mula-mula pelan, tapi saat vagina Maria dirasanya mulai terbiasa dan menjadi bertambah basah, pria itu pun mempercepat genjotannya.

Badan Maria sampai terguncang-guncang karenanya, kaki wanita itu mengejang-ngejang, kedua payudaranya bergoyang cepat, secepat tusukan Aksa yang semakin brutal, sementara kepalanya terdongak ke atas dengan bibir terkatup rapat, antara menahan sakit dan nikmat yang dirasakan di dalam vaginanya.

Maria cuma bisa merintih menjerit-jerit merasakan serangan demi serangan dari pria yang bukan suaminya itu. Aksa yang melihatnya, menjadi semakin bernafsu. Dia memompa semakin cepat sambil mulutnya tak henti menciumi dan menjilati payudara Maria yang bulat besar. Putingnya yang mencuat kemerahan, ia hisap dan sedot-sedot keras, seperti bayi yang sedang menyusu pada ibunya.

”Ahh.. Ohh.. Ahh...” Maria yang diserang atas bawah, mendesah manja.

Sedikit rasa sakit yang sempat ia rasakan di awal permainan, kini telah hilang sepenuhnya, tergantikan oleh rasa nikmat yang amat sangat, membuatnya semakin liar dalam menggerakkan pinggul.

”Oughh...”

Aksa menggeram merasakan betapa sempit dan rapatnya vagina wanita cantik itu. Gesekan kemaluan Maria terasa di batang penisnya. Ohh... nikmatnya! Sofa yang jadi tempat persenggamaan berderit kencang bergesekan dengan lantai marmer akibat gerakan brutal Aksa.

”Ohh... Ahh... Ohh...” desahan Maria juga semakin keras terdengar.

Saatnya sudah hampir tiba bagi dia. Dengan mata terpejam dan mulut menjerit-jerit, Maria pun menjemput orgasmenya. Tubuh montoknya terguncang-guncang saat rasa nikmat itu datang. Cairan cintanya menyembur deras, tapi tidak sampai tumpah karena disumbat oleh penis besar Aksa. Penuh kepuasan, Maria menikmatinya sampai tetes terakhir.

Aksa yang sempat menghentikan goyangannya, begitu tahu kalau rasa itu telah berlalu, kembali menggenjot pinggulnya, kali ini lebih keras dan lebih dalam. Vagina Maria yang becek membuat gerakannya menjadi lebih sempurna. Kedua tangannya memegangi payudara Maria yang membusung indah dan meremas-remasnya penuh nafsu. Benda itu tampak mengkilap sekarang, basah oleh keringat.

”Ughh.. Aghh.. Ughh..” dengan geraman yang makin sering terdengar, Aksa menusukkan penisnya dalam-dalam. Sensasi yang sedari tadi ia kejar, kini terasa sudah semakin dekat. Hingga akhirnya,

”ARGHHHHHH...!!!” dari ujung penisnya, menyembur cairan mani yang amat banyak.

Penis Aksa berkedut-kedut saat cairan putih yang licin dan lengket itu memenuhi liang rahim Maria. Dengan nafas masih ngos-ngosan, dan tubuh basah oleh keringat, Aksa ambruk sambil mendekap tubuh mulus Maria.

”Ohh... aku puas sekali, Mbak! Inilah persetubuhan paling nikmat yang pernah aku rasakan!” bisik Aksa di telinga Maria, lalu mencium bibir wanita cantik itu dan melumatnya dengan rakus.

 Maria tidak sanggup untuk membalas, bahkan untuk sekedar membuka mata saja ia tidak mampu. Tubuhnya terasa sangat letih dan lemah. Dan sedetik kemudian, ia pun jatuh ke dalam jurang kehampaan yang gelap dan kelam. Maria sudah ternodai penis selain milik suaminya.


Posting Komentar

0 Komentar