IPAR ENAK
PART 1
“Panggilan terakhir kepada penumpang
pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA tiga nol empat, silahkan
masuk ke pesawat melalui pintu tujuh belas.”
“This is a final call for all
passengers of Garuda Indonesia flight number GA three zero four for destination
to Surabaya, please boarding through gate seventeenth.”
Terdengar suara wanita menggema di
seluruh bangunan terminal yang baru dan modern ini, memberikan pemberitahuan
terakhir untuk naik ke pesawat yang akan kutumpangi sebelum pintu gerbang
menuju pesawat ditutup. Kulihat antrian pemeriksaan boarding pass dan kartu
identitas di pintu gerbang masih ada sekitar sembilan penumpang lagi yang
mengantri.
“Loh, Bagas?”
Tiba-tiba suara wanita memanggil
namaku. Reflek aku menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara
itu. Tepat di arah belakangku berdiri seorang wanita berusia tiga puluh dua
tahun, dengan tinggi sekitar seratus lima puluh tiga dan berat empat puluh
empat kilogram, berkulit coklat eksotis, yang saat ini menggunakan pakaian rok
selutut warna biru tua dengan atasan kemeja putih yang dipadu dengan blazer
senada dengan bawahannya.
“Eh ada Mbak Farah, mau kemana Mbak?”
Jawabku membalas sapaannya.
“Mau ke Surabaya.” Sahutnya.
“Lah bareng dong?! Gue juga mau ke
Surabaya!” ucapku sambil tanganku menunjuk ke arah pintu pemeriksaan masuk
pesawat.
“Bukan yang ini, Gue masih nanti
sejam lagi. Ngga kebagian tiket yang setengah tujuh.” sahut Mbak Farah.
“Ooo gitu. Rencana berapa hari Mbak
di Surabaya?” Tanyaku.
“Cuma tiga hari kok, kamis juga udah
balik. Elo sendiri berapa hari?”
“Tentative Mbak, yang pasti
sih besok masih di sana.” Jawabku. Kulihat lagi antrian di pintu
pemeriksaan masuk pesawat tinggal dua penumpang lagi, aku pun berkata ke Mbak Farah,
“Gue duluan ya Mbak, udah final
call nih. Nanti kabar-kabaran ya?” Basa-basiku.
“Bye Mbak” Lanjutku.
“Ok, bye. Hati-hati ya!” Jawabnya
diiringi senyumannya yang manis.
Kulangkahkan kakiku menuju pintu
pemeriksaan boarding pass dan disambut sapaan serta senyuman dari
petugasnya yang menurutku cantik, kubalas sapaan dan senyumannya sambil
menyodorkan boarding pass dan KTP milikku.
Di pesawat, aku duduk di bangku nomor
46K, bangku paling belakang di ujung dekat jendela kanan pesawat. Bangku itu
merupakan bangku favoritku. Karena menurut statistik, penumpang yang duduk di
bagian belakang pesawat mempunyai tingkat keselamatan lebih tinggi daripada
penumpang yang duduk di bagian depan atau tengah apabila terjadi kecelakaan.
Selain itu juga, bagian belakang ini
sering kosong jarang peminatnya, sehingga para pramugari dapat ikut duduk di
deret bangku belakang pada saat istirahat sebelum menjalankan tugasnya lagi
melayani penumpang. Hal ini dapat aku manfaatkan untuk sekedar mengobrol dan
berkenalan dengan mereka, iseng-iseng siapa tahu ada yang nyangkut hehehe.
Tampaknya harapanku hari ini belum
bisa terkabul, karena terlihat bangku sebelah kiriku sudah ditempati penumpang
lainnya. Setelah selesai memasang sabuk pengaman, aku kabari Risa,
istriku, kalau pesawat yang aku tumpangi akan segera lepas landas, tidak lupa
juga kuceritakan kalau tadi aku sempat bertemu dengan kakaknya, Mbak Farah.
Selanjutnya segera aku nonaktifkan ponselku.
***
Kurebahkan diriku di kasur kamar
hotel setelah seharian berkutat dengan rapat dan rapat. Kepejamkan mata sejenak
sambil menikmati empuknya kasur ini. Kamar masih terasa hangat, karena belum
beberapa lama pendingin udaranya dinyalakan.
Kuraih ponselku untuk melihat kembali
beberapa pesan yang belum sempat aku baca karena kesibukanku seharian ini. Ada
satu pesan ternyata dari Mbak Farah. Terlihat dilayar ponsel pesan itu diterima
jam lima belas lewat tiga puluh enam menit. Sudah hampir tiga jam yang lalu.
Kubuka pesan itu dan tertulis,
Malam ini nginap di mana Bagas?
Jadinya nginap di hotel X, Mbak. Mbak
Farah sendiri nginap di mana? Sorry Mbak telat bales, sibuk rapat seharian tadi
Tulisku dan segera kupencet tombol
‘kirim’ di ponselku. Aku pun melanjutkan kembali membaca
pesan-pesan lainnya yang belum aku baca, lalu mengirimkan kabar ke istriku
kalau aku sudah berada di hotel. Tak lama kemudian ponselku bergetar,
menandakan ada pesan baru yang masuk.
Wah ngga begitu jauh donk dari hotel Gue.
Gue di hotel Y. Elo udah acara belum malam ini? Kalo belum, temenin Gue makan
yuk? Laper nih
Bunyi pesan dari Mbak Farah. Aku
cukup bingung juga menjawab pesan dari Mbak Farah. Karena sejujurnya aku
merencanakan untuk istirahat aja di kamar hotel malam ini, mempersiapkan energi
untuk kegiatan besok. Yapi tidak enak juga menolak ajakan kakak iparku. Ya
sudahlah iyakan aja, toh jarang juga aku bisa ketemu berdua gini dengan Mbak Farah.
Boleh Mbak. Mau di mana makannya?
Tapi traktir Gue yaa? Hehehe
Bunyi pesan balasanku ke Mbak Farah.
Traktir mah gampang. Di Ice Cream Z
aja. Gue lagi pengen es krim. Jam delapan ya? Gue langsung tunggu di sana
Tulis pesannya.
Ok Mbak
Balasku singkat. Aku pun bangkit dari
tempat tidur menuju kamar mandi, untuk segera membersihkan diri, karena waktuku
tidak lebih dari dua puluh menit untuk datang ke lokasi yang ditentukan.
***
Setibanya di Ice Cream Z, terlihat
dari jauh Mbak Farah melampaikan tangannya sambil berdiri, memberi isyarat
kepadaku untuk menuju ke tempatnya. Dia memakai pakain casual, rok ketat warna
krem selutut yang membuat pinggul dan bongkahan pantatnya semakin jelas
terlihat, dipadu dengan kaos ketat warna hitam dengan kerah V, sehingga
terlihat belahan payudaranya yang kira-kira berukuran 34C.
Mbak Farah ini memang cantik, tapi
memang bukan tipeku. Dengan rambut sebahu, kulit kecoklatan. Wajahnya mirip
dengan istriku, Risa. Tapi yang ini versi kulit lebih gelap, postur lebih
pendek, payudara yang lebih besar tentunya. Payudara besar milik Mbak Farah ini
sudah terlihat sejak dia SMP, ini salah satu daya tarik dirinya.
Banyak teman-temanku dulu yang
bersaing berusaha mendapatkannya. Dia pernah menjadi presenter kemudian menjadi
pembawa berita di salah satu tv nasional kepunyaan taipan negeri ini. Aku sudah
mengenalnya sejak kecil, termasuk Risa, istriku. Rumah orang tuaku dulu dan
rumah mertuaku masih satu perumahan dan masih dalam satu RW tetapi beda RT.
Mbak Farah menikah dengan salah satu
sahabatku, Hari. Hari merupakan sahabatku sejak kecil. Umurku dengan Hari
selisih satu tahun di bawahku. Sedangkan dengan Mbak Farah selisihnya denganku
hanya tiga tahun lebih muda. Aku memanggilnya Mbak, sebagai penghormatanku
karena aku menikahi adiknya.
Rumahku dengan rumah Hari hanya
terpaut dua rumah. Banyak kenakalan-kenakalan masa anak-anak dan remaja kami
lakukan bersama. Mulai dari bermain petasan, mencuri mangga milik tetangga,
bermain kartu, bahkan minum minuman beralkohol.
Saat ini Mbak Farah dan Hari sudah
diberi dua orang anak yang masing-masing berumur lima dan tiga tahun, dan
tinggal di rumah sendiri sekitar lima belas kilometer dari rumahku saat ini.
Mbak Farah mengambil tempat di sudut
kanan bagian luar teras bangunan. Malam ini Ice Cream Z tidak terlalu ramai,
masih terlihat beberapa meja yang masih kosong. Sehingga dari tempat kami
berada ke tempat pengunjung lainnya masih terpisahkan satu meja lagi.
“Udah dari tadi Mbak?” Sapaku duluan.
“Ngga kok, paling sepuluh menitan lah.”
jawabnya.
“Elo mau pesen apa? Gue udah pesen
duluan tadi. Udah kelaperan soalnya hehehe…” lanjutnya. Kemudian dia pun
memberikan isyarat ke arah pelayan untuk meminta menu.
Setelah melihat-lihat menu, aku
memutuskan memesan pizza dan es krim strowberi, dan meminta supaya pesananku
tidak terlalu lama datangnya, karena perutku juga sudah cukup lapar.
“Kok sendirian aja Mbak? Orang kantor
yang lain ngga ikut?” tanyaku.
“Iya nih, harusnya sih sama boss Gue.
Tapi boss Guenya mendadak ada acara lain hari ini, jadi baru bisa ke sini besok
pagi. Nah Elo sendiri kok ngga ada yang nemenin?” tanyanya balik kepadaku.
“Ooo gitu. Kalo Gue emang kemana-mana
jarang ngajak temen. Biar lebih leluasa dan bebas mau ngapain aja hehehe…”
jawabku.
“Hayooo bebas ngapain emangnya nih? Gue
bilangin Risa ya!” sahutnya.
“Yaa bebas, kan udah gede ini, hehehe.”
jawabku sambil nyengir. Tiba-tiba ponsel di kantong kanan celanaku bergetar.
Aku keluarkan dari kantong, dan terlihat nama istriku muncul di ponselku.
“Wah panjang umur nih, baru juga
diomongin.” sahutku ke Mbak Farah, sambil ku geser layar sentuh ponsel untuk
menerima telepon dari istriku.
“Mana sini biar Gue yang jawab!”
tiba-tiba Mbak Farah menyahut sambil tangannya meraih ponselku kemudian
didekatkan ke telinganya.
“Halo, laki lo Gue pinjem dulu ya.”
itu kalimat pertama yang terucap dari bibir Mbak Farah. Selanjutnya aku tak
mengerti lagi apa yang sedang mereka bicarakan di telepon. Satu dua kali,
namaku disebut dalam obrolannya.
Sambil menunggu Mbak Farah teleponan
dengan istriku dan pesanan makanan datang, aku ambil ponselku yang satu lagi
dari kantong kiri celanaku. Kubuka aplikasi permainan favoritku, yaitu
permainan kartu capsa susun. Tidak lama kemudian pesanan Mbak Farah
datang disusul dengan pesananku.
“Nih, udah.” tiba-tiba Mbak Farah
menyodorkan ponselku kepadaku. Langsung kuraih ponselku dan mendekatkannya ke
telinga kiriku.
“Halo? Halo? Lah udah dimatiin
handphonenya?” sahutku.
“Hehehe iya.” jawabnya tanpa berdosa.
“Trus ngapain dong Risa telepon kalo
ngga ngobrol ama Gue?! Hadeeuuhh!” sahutku.
“Udaah, gampang nelpon mah. Makan
dulu. Udah laper Gue!” ucap Mbak Farah.
Kemudian aku kembali memasukkan kedua
ponselku ke kantong celanaku, setelah sebelumnya aku keluar dari aplikasi
permainan capsa susun di ponselku yang satunya. Kami pun mulai memakan makanan
yang kami pesan. Di sela-sela aktifitas kami makan, kami mengobrol ngalor
ngidul tentang perkembangan dinamika kantor kami masing-masing, dan juga
tentang berita-berita terhangat yang sedang trend saat ini.
Sambil mengobrol, sesekali aku
curi-curi pandang ke arah bongkahan padat yang menyembul dari bajunya, yang
terlihat jelas sedikit belahan payudaranya, sehingga sedikit banyak membuat
diriku ingin meremasnya dan menghisap payudaranya.
“Elo abis ini mau kemana?” tanya Mbak
Farah tiba-tiba membuyarkan pikiran kotorku.
“Ngga kemana-mana Mbak, paling
langsung ke hotel.” jawabku.
“Lanjutin ngobrol di hotel Gue aja
yuk? Di sini banyak nyamuk nih.” sahut Mbak Farah disertai tepukan tangan
kirinya ke kakinya.
“Ngga jauh kok hotelnya, sekitar 200
meteran lah. Kita jalan kaki aja.”’ lanjutnya lagi.
“Mm.. bolehlah. Ngga jauh kan? lagi
lemes nih Gue!” sahutku.
“Kaya abis ngapain aja Lo lemes
hehehe…” tanggapnya disertai senyum yang penuh arti.
“Bentar Gue bayar dulu.” sahutnya
disertai lambaian tangan ke pelayan untuk meminta tagihan makanan yang telah
kami makan.
Tidak lama kemudian, pelayan
membawakan tagihan dan disodorkannya tagihan itu ke Mbak Farah. Sebelum Mbak Farah
sempat mengambil tagihan itu, aku langsung menyambar mengambilnya dari tangan
pelayan. Karena bagiku, pantangan untuk dibayarin makan oleh wanita, walaupun
wanita itu sudah berjanji akan menraktirku.
“Udaah santai aja Mbak, kan
sekali-sekali ini bayarin Mbak hehehe…” sahutku.
“Duh jadi Gue yang ngga enak nih. Tau
gitu Gue cari tempat makan yang mahalan dikit hehehe…” sahut Mbak Farah.
“Nah justru itu, Gue cuma mampunya
bayarin yang di sini.” jawabku sambil nyengir kuda. Aku pun mengambil tiga
lembar uang limah puluh ribuan dari dompetku dan menyerahkannya kepada pelayan.
“Nih Mas, nanti ambil aja kembaliannya.” kataku
kepada pelayan.
“Terima kasih Pak.” jawab pelayan
itu.
“Yuk Mbak!” ajakku ke Mbak Farah, aku
bangkit dari dudukku. Kami pun melangkah keluar Kedai Ice Cream Z.
PART 2
Kami berjalan menuju hotel tempat
Mbak Farah menginap, sambil berbincang ringan disertai senda gurau menikmati
suasana malam kota terbesar di wilayah Jawa Timur ini. Tidak sampai lima belas
menit, kami sudah sampai di depan pintu kamar. Mbak Farah mengeluarkan kunci
elektronik dari dompetnya dan menempelkannya di atas gagang pintu kamar.
Setelah lampu warna hijau menyala, Mbak Farah pun membuka pintu dan masuk
terlebih dahulu.
“Masuk Bagas.” katanya. Aku pun segera untuk
menyusulnya masuk ke dalam kamar.
“Tolong sekalian tutup pintunya ya.” pinta
Mbak Farah.
Ruangan kamarnya cukup luas, sekitar
enam meter kali enam meter. Begitu masuk kamar, langsung terlihat sofa yang
cukup untuk diduduki tiga orang, menghadap langsung ke arah pintu, dan di
dinding sebelah kiri terpasang televisi ukuran empat puluh dua inchi yang di
bawahnya menempel meja ukuran setengah meter kali tiga meter yang terdapat
beberapa cangkir, water heater dan makanan ringan lainnya.
Di sebelah kiri pintu, terdapat
lemari untuk menggantung pakaian dan terdapat kotak penyimpanan barang
berharga. Sedangkan kamar mandinya di sebelah kanan pintu masuk, tepat
berhadapan dengan lemari terdapat kamar mandi ukuran 2,5 meter kali 4 meter.
Tempat tidurnya ada di sisi kanan kamar setelah kamar mandi, dengan ukuran queen
size dengan meja kecildi sisi kanan dan kirinya.
“Sebentar Gue ke toilet dulu. Udah
kebelet!” ujarnya sambil meringis.
“Elo duduk aja dulu.” ujarnya lagi.
Aku langsung menuju sofa, mengambil
posisi duduk di tengah-tengah sofa, karena di sisi kanan sofa terdapat tas
koper Mbak Farah yang dalam posisi terbuka, sedangkan kalau duduk di sisi kiri,
aku akan kesulitan menonton televisi. Posisi koper sekarang ada di sisi kiriku.
Terlihat dari dalam koper susunan pakaiannya sudah tidak rapih lagi.
Rupanya isinya sebagian sudah
dikeluarkan dan memang terlihat di lemari terdapat beberapa baju seragam Mbak Farah
yang sudah dalam posisi tergantung rapih. Yang membuat aku penasaran, di dalam
koper itu terdapat pakaian dalam, baik itu celana dalam maupun bra milik Mbak Farah.
Aku pun iseng melihat dan mengambil
bra yang berwarna hitam untuk mencari berapa ukurannya. Dan memang benar
dugaanku, ukuran bra Mbak Farah 34C. Bra dan celana dalam yang dibawa Mbak Farah
mayoritas berwarna hitam, sesuai dengan sifatnya yang berani dan ambisius.
Kemudian aku melihat-lihat celana dalam yang ada di koper.
CEKLEK!
Pintu kamar mandi terbuka. Buru-buru
aku letakkan kembali g-string Mbak Farah ke tempat semula.
“Bagas, kalau mau minum ambil sendiri
ya. Itu ada teh sama kopi kalo mau bikin.” ucapnya dengan posisi masih di depan
pintu kamar mandi.
“Iya Mbak, gampang.” jawabku
pura-pura sedang memainkan ponselku dengan tangan kanan, sambil sedikit
menggeser posisi dudukku ke kanan menjauhi koper.
Mbak Farah berjalan menghampiri sofa
yang aku duduki. Aku tidak terlalu memperhatikan sikapnya karena aku pura-pura
sibuk bermain ponsel dengan menyandarkan kepalaku di sandaran sofa. Semula aku
berpikir Mbak Farah mau mengambil pakaiannya yang ada di koper. Alangkah
kagetnya aku tiba-tiba Mbak Farah sudah berada di depanku.
Tindakan dia selanjutnya yang membuat
aku gugup gelagapan. Ditepisnya sedikit tangan kanan ku ke arah kanan, Farahriknya
sedikit roknya ke atas, lalu ditempatkan lututnya di samping kanan dan kiri
pahaku, kemudian menempatkan pantatnya yang hangat di pahaku.
“Kenapa? Kaget ya?” tanya Mbak Farah
diiringi senyuman menggodanya.
“I, i, iya Mbak.” jawabku gugup.
“Gue tau dari tadi Elo penasaran sama
ini kan?” ucapnya sembari mengambil tangan kiriku dengan tangan kanannya dan
menempatkannya di payudara kanannya.
Rupanya dia memperhatikanku curi-curi
pandang ke payudaranya. Namun saat ini tubuhku masih kaku, bingung untuk
berbuat apa. Posisi jidatnya sekarang sudah bersentuhan jidatku.
“Cium Gue!” perintah Mbak Farah
disertai bibirnya menyasar bibirku.
Aku perlahan-lahan bisa menguasai
tubuhku. Ciuman Mbak Farah pun mulai aku tanggapi. Dimulai dengan
kecupan-kecupan ringan dan dilanjutkan dengan pagutan-pagutan bibirnya dengan
bibirku. Tanganku pun tidak mau ketinggalan. Kuletakan ponselku yang daritadi
aku genggam.
Kemudian tangan kananku mulai
meremas-remas payudara kiri Mbak Farah yang masih ditutupi bra dan bajunya.
Sedangkan tangan kiriku memeluk punggungnya dengan mengusap-usap punggung Mbak Farah.
Remasan pertamaku di payudara kirinya cukup membuat Mbak Farah tersentak
keenakan.
Tangan kananku terus meremas-remas
payudara kirinya. Tampaknya Mbak Farah memakai bra yang tipis khusus untuk
tidur, karena terasa di telapak tangan kananku kalau putingnya sudah mulai
mengeras. Remasan tanganku pun berganti menjadi usapan-usapan di sekitar
putingnya yang masih terlindungi baju dan bra-nya.
Puas bermain dengan payudaranya,
kedua tanganku pun turun ke bongkahan pantatnya. Aku sedikit kaget, karena pada
saat tanganku turun dari punggung ke arah pantatnya, aku tidak menemukan adanya
tonjolan garis kain celana dalamnya.
“Nyari celana dalam Gue ya? Udah Gue
copot kok. Basah.” sahutnya dengan nafas tidak teratur, menjawab kebingunganku.
Mendapat jawaban seperti itu, nafsu
birahiku pun semakin tinggi. Aku angkat sedikit bongkahan pantatnya sambil
kuremas. Kemudian aku tarik ujung bawah rok Mbak Farah sampai dengan
pinggulnya, sehingga kulit pantatnya sekarang langsung bersentuhan dengan
celanaku.
PLAK!
Aku tampar pantatnya dengan tangan
kananku. Kemudian aku remas-remas kedua bongkahan pantatnya dengan kedua
tanganku. Kuusap-usap pantat mulusnya. Perlahan-lahan jari tengah tangan
kananku mulai bermain di sekitar dan di permukaan lubang anusnya. Mendapat
sentuhan seperti itu, pantatnya mulai bergerak-gerak, bulu-bulu halus di
pahanya pun mulai meremang.
“Geli, Bagas! Sshh! Hhahh!!”
desahnya.
Tidak sampai di situ, jari tengahku
merambah ke area vaginanya. Kuusap-usap dengan sentuhan ringan ke paha bagian
dalam Mbak Farah. Kumainkan jari tengahku ke ruang antara lubang vagina dan
lubang anusnya. Di area itu kurasakan sudah basah, bukan basah karena air
akibat Mbak Farah cebok tadi, tapi basah oleh cairan lendir sedikit lengket
yang keluar dari lubang vaginanya.
Kulanjutkan aktifitasku dengan
menusukkan satu ruas jari tengahku ke dalam lubang vaginanya yang sudah basah
dan licin. Efeknya cukup membuat Mbak Farah kembali tersentak dan memekik
tertahan serta menghentikan ciumannya ke bibirku. Perlahan-lahan aku mulai
menggerakkan jari tengah ku keluar masuk lubang vaginanya tapi hanya sebatas
satu ruas jari dengan tempo yang bervariasi.
Aku lumat bibir Mbak Farah yang masih
menganga. Kutempatkan tangan kiriku di lehernya, menahan agar wajahnya tidak
menjauhiku sehingga aku bisa tetap melumat bibirnya. Mbak Farah juga tidak
tinggal diam, tangan kirinya mulai meremas-remas batang kenikmatanku yang sudah
mengeras tapi masih diselimuti celanaku dan celana dalamku.
Kemudian jari jemarinya mulai
berusaha untuk membuka kancing dan resleting celanaku. Usahanya pun berhasil,
kancing dan resliting telah terbuka sehingga tangan kiri Mbak Farah dapat masuk
ke dalam celana dalamku. Tangannya pun dengan bebasnya melanjutkan aktifitas
meremas-remas batang penisku, tapi kali ini jarinya yang lembut langsung
menyentuh batang penisku.
Jari tengah tangan kananku masih
setia bermain di lubang vagina Mbak Farah. Kali ini jariku juga mencari
klitoris Mbak Farah. Kudorongkan jariku ke arah klitorisnya dengan posisi satu
ruas jari masih di dalam vagina. Dorongan jariku berakhir di klitoris Mbak Farah,
lalu kumainkan klitorisnya yang sudah mengeras itu dengan ujung jariku.
Tangan kiriku membelai dan mengusap
punggung Mbak Farah, tapi dalam posisi menelusup ke dalam bajunya, berusaha
untuk mencari dan melepaskan kait penyangga payudaranya. Mengerti akan maksud
dan tujuanku, Mbak Farah mengangkat kedua tangannya ke atas. Kuhentikan
sementara aktifitas tangan kananku di vaginanya, dan ikut membantu tangan
kiriku untuk melepaskan baju dan sekaligus bra yang masih dikenakan Mbak Farah.
“Wow!” refleks bibirku berbicara
sebagai apresiasi kekagumanku atas payudara Mbak Farah.
“Udah pasti gedean punya Gue daripada
si Risa lah ya?” tanggapannya sambil mengedipkan mata kirinya.
Terpampang jelas di hadapanku dua
bongkahan bulat besar berwarna kecoklatan, dihiasi bulu-bulu halus dengan
areola berwarna coklat gelap dan puting seukuran ujung jari kelingkingku. Kusergap
kembali bibir Mbak Farah dan kucium dengan ganas diiringi permainan tangan
kananku yang meremas-remas dan memilin-milin puting kirinya.
Ciumanku bergeser menuju pipi
kirinya, kemudian ke arah bawah telinga kirinya, berlanjut ke leher bagian
kirinya. Tangan kiriku berada di punggungnya menahan tubuhnya agar tidak
terdorong jatuh ke belakang, sementara tangan kananku masih dengan asyiknya memilin
dan meremas payudara kiri Mbak Farah.
Posisi duduknya sudah tidak di atas
pahaku lagi, melainkan sudah di pangkal pahaku. Vaginanya tepat berada di
penisku yang masih terbalut celana dalam dengan kepala penis sudah sedikit
keluar dari bungkusnya. Pinggul Mbak Farah mulai bergoyang untuk
menggesek-gesekkan vaginanya pada batang penisku. Cairan vaginanya membasahi
celana dalamku dan kepala penisku. Mbak Farah mengerang saat puting kanannya
kukulum dengan ganasnya. Jari tengah tangan kananku pun beraksi lagi
menusuk-nusuk lubang kenikmatannya, membuat gesekannya semakin cepat dan liar.
“Terus Bagas! Teruussh…!” racaunya.
“Aach! Aaach! Aaach!” desahan Mbak Farah
diiringi gerakan pinggulnya semakin cepat. Kupercepat tusukan jari tengahku.
“Aaacchh…!!!” jerit Mbak Farah
tertahan. Badannya pun mengejang, tangan kanannya menjambak rambutku
membenamkan kepalaku dalam payudaranya, tangan kirinya menarik tangan kananku
dari area vaginanya.
“Gile, bisa squirts elo Mbak?!”
tanyaku takjub.
Mbak Farah hanya tersenyum, menikmati
orgasmenya. Tubuhnya masih kaku mengejang dengan tangan kanannya masih tetap
menjambak tambutku. Tubuh Mbak Farah perlahan mulai melemas. Disentuhnya kedua
pipiku dengan kedua tangannya. Diciumnya bibirku.
“Jago juga tangan elo ya?” sahutnya.
“Buka baju, gantian!” Sahutnya lagi.
Tangan kanan Mbak Farah kemudian mengusap-usap perutku. Aku pun melepaskan kaos
yang kupakai dan melemparkannya ke tempat tidur.
Mbak Farah mencium bibirku kembali.
Melumat bibir atas dan bawahku berulang kali. Perlahan ciumannya berubah
menjadi kecupan. Kecupannya bergeser ke pipi kiriku, beralih ke leherku.
Seiring aktifitas Mbak Farah itu, posisi duduknya juga mulai bergeser dengan
menempatkan bokongnya di ujung kedua pahaku dekat lutut.
Kuarahkan kepalanya dengan tangan
kananku ke arah dadaku sebelah kanan. Putingku sebelah kanan merupakan titik
yang paling sensitif di bandingkan puting kiriku. Mbak Farah pun memperlakukan
puting kananku seperti halnya terhadap puting kiriku, memainkan ujung lidahnya
di putingku dan mengulumnya lembut.
Mendapat perlakuan seperti itu, nafsu
birahiku semakin bergejolak. Kumainkan payudara kanan Mbak Farah dengan tangan
kiriku. Keremas-remas dan kupilin-pilin puting kanan Mak Farah. Sementara itu,
tangan kananku tetap berada di tengkuknya.
Rangsangan demi rangsangan yang
diberikan Mbak Farah kepadaku terus dilakukan. Kecupannya juga menjalar ke arah
perutku. Lalu Mbak Farah menurunkan kaki kirinya dari sofa dan meletakannya di
antara kedua kakiku. Dibukanya kaki kanan dan kiriku, kemudian diturunkan kaki
kanannya, sehingga sekarang kedua kakinya berada di lantai di antara kedua kaki
dengan menjadikan kedua lututnya sebagai tumpuan badannya.
Dilorotkannya celanaku sekaligus
celana dalamku sampai sebatas pahaku dengan kedua tangannya. Batang kemaluanku
yang telah mengeras kaku pun langsung mencuat menunjuk tegak ke atas begitu
terbebas dari himpitan celana dalamku.
“Lumayan juga ya kontol Lo.” sahutnya
mengusik harga diriku.
“Jangan lihat ukurannya, tapi lihat
kemampuannya.” sahutku tidak mau kalah.
Dipegangnya batang kemaluanku dengan
kedua tangannya yang halus. Dikocoknya perlahan-lahan batang penisku. Matanya
terlihat sayu melihat penisku. Ukuran penisku memang tidak berbeda dengan pria
Indonesia pada umumnya. Tetapi bentuknya yang unik telah sukses membuat para
wanita yang pernah merasakannya menjadi tergila-gila.
Pada saat ereksi kepala penisku yang
besar dan mengembang seperti kapala jamur, mengecil dan seperti ada sekat di
leher penis, kemudian membesar di batang penis, dan mengecil kembali di pangkal
penis. Tapi yang menjadi istimewa adalah urat-urat menonjol pada batang penisku
yang membuat para wanita menggelinjang nikmat.
Mbak Farah mendekatkan wajahnya ke
penisku. Melirik ke arahku sebelum akhirnya ujung lidahnya mulai menjilati
lubang kencingku. Dimainkan ujung lidahnya di kepala penisku. Dimasukkannya
kepala kemaluanku ke dalam mulutnya. Dihisapnya dengan kuat. Lalu Mbak Farah
memainkan kepala penisku dengan lidahnya sambil tetap kepala penisku berada
dalam mulutnya.
Dia melanjutkan dengan menjilati
seluruh batang penisku. Menjilati pangkal penisku. Lalu didorongkannya penisku
hingga menyentuh perutku. Dijilatinya permukaan bawah penisku, kemudian turun
ke bawah dan dijilatinya buah zakar. Dihisap dan dikulumnya buah zakarku satu
per satu. Dimainkannya pangkal buah zakarku dengan ujung lidahnya.
Mbak Farah mencoba mengangkat kedua
kakiku dengan memgang bagian belakang lututku dengan kedua tangannya. Aku pun
ikut membantunya dengan mengangkat kedua kakiku dan menekuknya seperti posisi
setengah jongkok. Kemudian dimainkannya lubang anusku dengan ujung lidahnya.
Disapunya seluruh permukaan lubang anusku.
Kutempatkan tangan kananku di kepala
Mbak Farah. Sambil ku usap rambutnya yang lurus sebatas bahu. Mulutnya mulai
menelan penisku. Tidak sampai seluruhnya, mulutnya terlihat kesulitan saat
mencapai pertengahan batang kemaluanku yang menggemuk. Terus dia berulang kali
memasukkan dan mengeluarkan penisku dalam mulutnya. Aku ingin sedikit
memberikan pelajaran kepadanya. Kutahan kepalanya pada saat dia akan
mengeluarkan penisku dari mulutnya. Kutekan kepalanya sampai batas maksimal
tenggorokkannya.
Grokh
Grokh
Grokh
Terdengar dari mulutnya dan matanya
pun melirik ke arahku seolah-olah berkata “anjir, diapain nih Gue??”.
Kulonggarkan tekanan tanganku di
kepalanya, dia pun kembali mengocok penisku dengan mulutnya. Semakin cepat dia
mengocok penisku. Hingga aku merasakan penisku mulai berkedut, menandakan
sebentar lagi aku akan mencapai klimaks.
Segera kuangkat kepala Mbak Farah
untuk melepaskan mulutnya dari penisku. Lalu kutarik tubuhnya untuk kembali
berada di pangkuanku. Tangan kanannya mencoba mengarahkan penisku ke vaginanya.
Kutahan badannya agar tidak mendekati batang kemaluanku.
“Nanti dulu, Gue pengen ngerasain
meki Lo.” sahutku.
Selanjutnya aku mendudukkan Mbak Farah
ke samping kiriku. Aku pun bangkit dari dudukku. Mengerti apa yang akan aku
lakukan, Mbak Farah membuka lebar-lebar selangkangannya.
Sekarang terlihat jelas pemandangan
indah dari tubuh Mbak Farah. Payudaranya yang besar dan perutnya yang mulus dan
hampir rata, Farahmbah dengan bekas jahitan akibat operasi melahirkan kedua
anaknya. Vagina Mbak Farah yang berwarna coklat sedikit gelap itu nyaris gundul
seluruhnya, hanya ada bulu kemaluan yang sedikit lebat di bagian atas
vaginanya, sedangkan kanan kiri bibir vaginanya bersih dari bulu, pantas saja
aku tadi tidak merasakan adanya rambut-rambut halus pada saat memainkan
vaginanya dari belakang.
Aku memposisikan diri di depan
vaginanya dengan berdiri dengan kedua lututku, kemudian duduk di ataa kedua
tumitku. Mulai kuciumi paha bagian dalam paha kirinya menuju pangkal pahanya.
Kucium dan kukecup perlahan-lahan hingga rambut-rambut halus pahanya berdiri
merinding. Sudah tercium bau khas milik kemaluan seorang wanita.
Kujilati pangkal paha sebelah kiri
Mbak Farah. Kumainkan dengan ujung lidahku. Terlihat vagina Mbak Farah yang
kembali basah oleh cairan kenikmatannya. Desahannya pun kembali terdengar
jelas.
“Cepet Bagas, jilat meki Gue! Gue
udah ngga tahan!!” ucapnya sambil mengarahkan kepalaku dengan tangan kanannya
menuju vaginanya.
Aku tidak langsung menuruti
permintaannya. Kali ini kumainkan pangkal pahanya sebelah kanan dengan ujung
lidahku. Aku sengaja membuatnya sedikit penasaran sehingga nafsunya akan
semakin meledak. Kembali kukecup dan kucium paha kanannya bagian dalam, kujilati
garis-garis halus selulit Mbak Farah dan balik perlahan mengecup pangkal
pahanya sebelah kanan.
Kulingkarkan kedua tanganku melewati
kedua pahanya, sehingga kedua paha Mbak Farah berada di atas lenganku dan kedua
tanganku bisa dengan leluasa memainkan kedua payudara Mbak Farah. Kutarik
pantat Mbak Farah supaya lebih mendekati wajahku. Kumainkan klitorisnya dengan
ujung lidahku. Kutekan-tekan dan kusapu dengan ujung lidah.
Terlihat sedikit mulut vagina Mbak Farah
yang telah terbuka berwarna merah sedikit kecoklatan. Kumasukkan lidahku ke
dalam lubang kenikmatannya yang sudah basah kuyup itu disertai remasan dan
pilinan kedua tanganku di kedua payudaranya. Dia pun meremang sedikit
mengangkat pantatnya. Tangan kanannya menjambak rambutku, menahan agar kepalaku
tetap berada di vaginanya, tidak mengizinkanku untuk mengehentikan aktifitasku
di vaginanya.
Terus dan terus kusapu bagian dalam
lubang vaginanya dengan sesekali kuhisap bibir vaginanya dan sedikit kutarik
keluar dengan menggunakan mulutku. Kumainkan juga ujung hidungku menekan-tekan
klitorisnnya mengikuti irama permainan lidahku, hingga membuat Vagina Mbak Farah
semakin basah. Kuhisap cairan kenimatan yang keluar dari vaginanya.
“Udah Bagas, meki Gue makin gatel,
masukin kontol lo..Sshhh! Haahh!” pintanya. Aku menuruti permintaannya, karena
aku pun sudah tidak tahan ingin merasakan penisku di dalam lubang
kenikmatannya.
Aku kembali berdiri dengan kedua
lututku, dan mendekatkan penisku ke vagina Mbak Farah. Aku pegang penisku
dengan tangan kananku, lalu aku usap-usap bibir vagina dan klitoris Mbak Farah
dengan kepala penisku. Perlahan kudorong penisku untuk masuk ke dalam liang
kenikmatannya. Kepala penisku pun berhasil masuk seluruhnya.
Semakin lama semakin dalam kudorong
batang kemaluanku ke lubang vaginanya, yang saat ini sudah setengah batang
penisku ditelan vagina Mbak Farah. Aku masih sedikit kesulitan memasukkan
seluruh batang penisku, karena bentuk penisku yang menggemuk di tengah
batangnya. Tangan kanan Mbak Farah berada di bawah perutku, menahan goyanganku
supaya penisku tidak masuk lebih dalam lagi.
Kulakukan terus goyanganku yang
mendorong dan menarik penisku ke vagina Mbak Farah yang semakin lama dinding
vaginanya semakin licin. Dengan satu dorongan kuat, kumasukkan seluruh penisku
ke dalam liang vaginanya. Duk, kepala penisku terasa menubruk sesuatu, diiringi
jeritan dari mulut Mbak Farah.
“Aacchh..!”
Kudiamkan dulu posisi ini, biar
vaginanya terbiasa dengan penisku. Penisku tidak seluruhnya ditelan vaginanya,
masih sekitar tiga sentimeter lagi dari pangkal penis yang berada di luar
vaginanya. Setelah beberapa saat, kugoyangkan perlahan maju mundur penisku.
Vagina Mbak Farah menjepit rapat penisku. Kupercepat tempo goyanganku dengan
kecepatan sedang, dan desahannya pun menjadi semakin kencang.
“Achhhh! Bagas, itu ada apaan di kontol Lo?”
racaunya saat merasakan pangkal kepala penisku dan tonjolan urat-urat di batang
penisku menggaruk-garuk dinding dan bibir vaginanya. Matanya menatapku sayu,
menikmati tusukkan demi tusukkan penisku di lubang kenikmatannya.
Kulingkarkan tangan kananku melalui
bawah lututnya kemudian kuremas-remas payudara kirinya dan kupilin-pilin puting
kiri Mbak Farah. Lalu kutundukkan badanku dan kedekatkan wajahku ke wajahnya
untuk mencium bibirnya dengan tumpuan tangan kiriku di sofa samping kanan
tubuhnya. Terus kucium bibirnya, kumainkan payudara kirinya, kutusuk vaginanya
bertubi-tubi.
“Gantian Gue yang di atas.” pintanya.
Kami pun berganti posisi. Aku yang
duduk di sofa, Mbak Farah di pangkuanku dengan melipat kakinya di kanan kiri
pahaku. Di arahkannya penisku ke bibir lubang kenikmatannya dengan tangan
kirinya. Kubantu dia dengan memegang pangkal penisku. Dengan hati-hati Mbak Farah
memasukkan penisku ke vaginanya.
Sudah seperdelapan penisku amblas
ditelan vaginanya. Digerak-gerakkan pantatnya mencari posisi yang paling nyaman
bagi dirinya.
“Duuh.. mentok nih!” sahutnya. Dia
pun menahan agar penisku tidak masuk seluruhnya dengan menopang pantatnya di
kedua tumitnya. Dirangkulnya leherku dengan kedua tangannya.
“Sshh! Hhaahh!!”
Suara desahannya kembali terdengar,
seiring goyangannya yang tidak lagi naik turun melainkan menjadi kombinasi maju
mundur disertai memutarkan pinggulnya, membuat penisku terasa seperti
mengaduk-aduk liang kenikmatannya yang semakin lama kembali licin oleh cairan
vaginanya. Kulepaskan ciumanku, dan beralih ke arah payudara kirinya. Kuhisap
dan kukulum puting kiri Mbak Farah.
“Ahhh!! Aaahh!!!”
Desahannya tidak terputus dari
mulutnya. Goyangan Mbak Farah semakin liar, kecepatannya pun semakin bertambah,
dan semakin lama interval goyangannya semakin pendek. Vaginanya terasa semakin
basah dan berkedut-berkedut. Jepitan vaginanya pun semakin kencang.
“Aaacchhh..!!!”
Pekiknya keras seiring badannya yang
mengejang, dijambaknya rambutku sambil didekapnya kepalaku ke payudaranya
dengan posisi setengah duduk sehingga penisku terlepas dari lubang vaginanya,
disertai semprotan cairan vaginanya yang menyiram penisku yang masih tegak
kokoh berdiri.
“Got it! I got it!!” racaunya sambil tetap tidak
membiarkanku lepas dari dekapannya. Aku menikmati momen seperti ini, suatu
kesuksesan dalam bercinta bila bisa membuat pasangan kita mencapai klimaksnya.
“Udah belum Mbak? Ngga bisa nafas nih
hehehe…” ucapku.
Dilepaskannya aku dari dekapannya.
Dia pun kembali duduk di pangkuanku dengan vaginanya menempel pada bagian bawah
batang penisku. Digesek-gesekkannya perlahan-lahan vaginanya, diciumnya
berkali-kali bibirku.
“Sekarang giliran Gue Mbak. Doggy
ya?” pintaku padanya.
Dia pun bangkit dari pangkuanku,
disusul aku pun berdiri dari sofa. Lalu Mbak Farah mengambil posisi nungging ke
arah sofa bagian kanan, dengan bertumpu dengan kedua lututnya dan kedua
tangannya berada di lengan sofa bagian kanan. Terlihat bongkahan pantatnya yang
bohai dengan lobang anus dan vaginanya yang basah kuyup oleh cairan vaginanya. Aku
memposisikan diri di belakangnya. Kunaikkan kaki kananku di sofa di sebelah
paha kanannya dengan kaki kiriku tetap berada di lantai. Kuarahkan batang
penisku ke vaginanya.
“Jangan dalem-dalem Bagas. Enak tapi sakit!”
pinta Mbak Farah. Aku pun menuruti kemauan Mbak Farah, kumasukkan penisku tujuh
per delapan panjang penisku.
Lalu mulai kugoyangkan pinggulku maju
mundur dibantu kedua tanganku yang berada di pinggulnya, dan sesekali kutampar
dan kuremas bongkahan pantatnya. Kupercepat tusukkan penisku ke vaginanya.
Payudaranya yang besar pun turut bergelayutan ke sana kemari sesuai irama
goyanganku. Membuatku semakin bernafsu untuk terus mengocok vaginanya dengan
penisku. Penisku sudah berkedut-kedut, sebentar lagi aku akan mencapai klimaks.
Kupercepat ayunan pinggulku.
“Uuch enak banget meki lo Mbak!” sahutku. Dan
aku pun mendapatkan orgasmeku. Kutusuk dalam-dalam penisku di vaginanya, Mbak Farah
sedikit tersentak. Kusemprotkan cairan spermaku dalam-dalam di lubang
vaginanya.
“Banyak banget kayanya.” ucap Mbak Farah.
“Iya Mbak, biar punya keponakan baru.”
candaku dibalas dengan cubitan tangan kirinya di pinggangku.
Aku cabut penisku dari vagina Mbak Farah,
lalu aku pun duduk bersandar kelelahan di sofa. Mbak Farah mengambil posisi
duduk di pangkuanku dengan membelakangiku. Dia mengambil kedua kananku dan
melingkarkannya di pinggangnya, sementara kepalanya direbahkan di bahu kiriku.
“Elo nginep di sini kan? ” tanya Mbak
Farah.
“Emang kalo Gue nginep, Gue dapet
apaan?” godaku.
“Dapet ini nih!” sahutnya sambil
menekan keras pantatnya ke penisku yang melemas.
“Aduh duh Mbak, jangan, nanti patah.
Kalo patah kan nanti yang rugi Mbak sendiri hehehe…” jawabku meringis
kesakitan. Dibalasnya dengan cubitan-cubitan di pinggangku.
“Ke kamar mandi yuk, abis itu kita
tidur. Udah ngantuk Gue!” ajak Mbak Farah sambil bangkit dan menarik tanganku
untuk bersamanya menuju kamar mandi. Setelah bersih-bersih kami pun pergi ke
tempat tidur dan tidur dalam keadaan sama-sama telanjang, dan Mbak Farah
meminta untuk tidur dengan dipeluk dari belakang olehku.
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY

Posting Komentar
0 Komentar