UKHTY 2 : RAHASIA ZAHRA
PART 1
6 BULAN YANG LALU
Malam sudah cukup larut, para
pengunjung cafe juga mulai meninggalkan tempat untuk kembali ke rumah mereka
masing-masing. Namun di salah satu sudut cafe dua Zahra dan Ahmad masih
terduduk, keduanya hanya saling terdiam setelah lelah berdebat beberapa jam
yang lalu. Ahmad tak ingin suasana menjadi semakin membeku diantara dirinya dan
kakak iparnya itu.
"Oke, aku setuju untuk
mengakhiri hubungan kita tapi ada satu syarat." Ujar suami Amira itu
sambil mengubah posisi duduknya menjadi lebih sigap.
"Please, jangan seperti anak
kecil kayak gini. Kita hanya bersenang-senang, aku dan kamu hanya terbawa
suasana kemarin. Jadi aku mohon, jangan rusak hubungan kita dengan perilaku
kekanak-kanakan seperti ini."
Zahra mendengus, wajahnya yang semula
santai berubah menjadi lebih tegang. Ada semacam kekesalan di sana. Ahmad tak
mau menyerah begitu saja meskipun dia tau akan membuat suasana di antara
mereka menjadi makin tak nyaman.
Kepalang tanggung, itulah yang ada dalam pikiran Ahmad. Perzinahan antara
dirinya dan Zahra, kakak iparnya, beberapa hari yang lalu ternyata membawa
dampak besar dalam kehidupannya. Amira, istrinya, sebetulnya bukanlah wanita
yang biasa-biasa saja. Bahkan secara fisik, Amira tak kalah cantik dengan
Zahra.
Tapi Zahra memiliki sesuatu yang tak
dimiliki oleh Amira. Saat bersama kakak iparnya itu, Ahmad merasakan sebuah
kedamaian dan ketenangan, sesuatu yang tak bisa dirasakannya beberapa bulan
terakhir kala pulang ke rumah dan bercengkrama dengan Amira. Pertengkaran demi
pertengkaran selalu tersaji, terlebih tingkat stress yang makin meninggi karena
Amira tak kunjung hamil. Ahmad awalnya hanya ingin bertukar cerita dengan
Zahra, namun malam itu semuanya mendadak menjadi lebih intim hingga akhirnya
dia dan Zahra bermalam di sebuah hotel lalu terjadilah persetubuhan terlarang.
Bagi Zahra, kejadian malam itu
hanyalah sekedar one night stand, sex nakal yang dia lakukan karena khilaf dan
tak melibatkan sedikitpun perasaan. Tapi tidak bagi Ahmad, persetubuhannya
dengan Zahra seolah menjadi pintu pembuka bagi alam bawah sadarnya jika
ternyata ada wanita lain yang mampu membuatnya bahagia. Perasaannya membuncah
saat menatap wajah Zahra layaknya seorang remaja yang baru merasakan jatuh
cinta. Fakta jika Zahra adalah kakak kandung istrinya sama sekali tak membuat
Ahmad mengendurkan niat untuk semakin mendekati wanita cantik tersebut.
Ahmad akhirnya mengutarakan niatnya
pada Zahra untuk menceraikan Amira. Tentu saja Zahra menolak mentah-mentah ide
gila Ahmad tersebut. Bagaimanapun Amira adalah adik kandungnya, tak pernah
terbersit sedikitpun di benaknya untuk ikut andil dalam pergolakan rumah tangga
Ahmad dan Amira. Apalagi jika alasan utama Ahmad menceraikan Amira karena
kehadirannya. Maka malam ini secara tegas Zahra ingin mengakhiri hubungan
dengan Ahmad, dia sudah tak mau lagi dekat-dekat dengan adik iparnya itu.
"Aku mohon Zahra...Aku janji
setelah ini tak akan mengganggumu lagi." Ahmad memberanikan diri untuk
meremas tangan Zahra, meskipun kakak iparnya itu langsung menepisnya.
"Oke, apa syaratnya?" Zahra
sepertinya tak ingin situasi menjadi berlarut-larut, dia hanya ingin segera
pulang dan menyudahi semuanya. Wajah Ahnad seketika sumringah, setidaknya dia
berhasil melunakkan hati sang kakak ipar.
"Terima kasih, aku janji kamu
nggak akan menyesal." Tukas Ahmad.
***
Mobil yang dikendarai Ahmad memasuki
area pelataran hotel bintang lima di kawasan pusat kota. Ini hotel yang berbeda
dimana beberapa hari lalu dirinya dan Zahra melakukan perzinahan. Di kursi
penumpang, Zahra terlihat tak nyaman, wanita bertubuh sintal itu menyesali
keputusannya untuk menyetujui syarat yang diajukan oleh Ahmad tanpa bertanya
terlebih dahulu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Zahra hanya berharap semua ini
segera berakhir dan dia bisa kembali pulang, berkumpul kembali dengan Azam
serta kedua anaknya.
"Kita mau ngapain ke sini?"
Tanya Zahra sesaat setelah Ahmad menyelesaikan proses check in.
"Tenang aja, aku nggak akan
ngapa-ngapain kamu. Kita cuma ngobrol aja." Ujar Ahmad tenang sembari
berjalan menuju pintu lift. Kamar yang dipesannya berada di lantai 8. Zahra pasrah, meskipun kecurigaannya pada
Ahmad belum benar-benar padam.
"Kalo cuma ngobrol kenapa harus
di sini? Kenapa nggak di cafe aja tadi?" Tanya Zahra kembali. Ahmad
menatap wajah kakak iparnya itu, hijam hitam yang membungkus kepala Zahra makin
menambah kecantikannya.
"Kurang privat, di sini lebih
enak dan nyaman. Percaya padaku ya, aku janji ini untuk yang terakhir
kalinya."
Zahra kembali terdiam meskipun dalam
hati dia mengutuk segala macam keputusannya hari ini. Lift beranjak naik ke
atas, di dalam keduanya sama-terdiam hingga beberapa saat kemudian pintu lift
kembali terbuka. Ahmad melangkah keluar diikuti oleh Zahra yang mengekor di
belakangnya. Ahmad berhenti tepat di sebuah pintu kamar nomor 372, pria
berbadan tegap itu kemudian mengambil smart card dari kantongnya,
menempelkannya pada gagang pintu lalu membukanya.
Keduanya masuk ke dalam kamar
berukuran medium tersebut, sebuah ranjang berukuran king langsung terlihat
teronggok gagah di bagian tengah berhadapan langsung dengan layar LCD besar
yang tertanam di tembok kamar. Sebuah lemari ada di sebelah pintu masuk, bersebrangan
dengan kamar mandi berukuran kecil. Zahra menduga ini adalah kamar dengan harga
termurah. Wanita cantik itu berjalan mendahului Ahmad setelah melepas sepatunya
dan meletakkan di bagian bawah lemari.
"Kamu mau makan?" Tawar
Ahmad mencoba mencairkan suasana.
"Nggak usah, masih kenyang. Ayo,
kamu mau ngobrol apa? Aku harus buru-buru pulang, Mas Azam sebentar lagi udah
balik kerja." Tukas Zahra, seraya meletakkan tubuhnya yang sintal di tepi
ranjang.
"Ini kesempatan terakhir kita
untuk bisa berduaan seperti ini. Setidaknya beri aku kesan yang baik, jangan
seperti ini." Gerutu Ahmad.
"Seperti ini gimana maksudmu?
Kamu bilang mau ngobrol kan tadi? Ya ayo, dimana letak salahku?" Sahut
Zahra, suaranya sedikit meninggi, dampak dari kedongkolannya sedari tadi. Ahmad
yang awalnya bertingkah tenang meskipun bisa membaca ketidaknyamanan Zahra
mulai ikut gusar.
"Apa kita nggak bisa kayak
beberapa hari yang lalu?" Ahmad berjalan pelan menghampiri sisi ranjang,
tempat Zahra duduk. Wanita bertubuh sintal itu nampak mulai waspada, bahakan
dia menggeser duduknya dengan maksud menghindari Ahmad.
"Aku sudah bilang, apa yang
terjadi diantara kita beberapa hari lalu adalah sebuah kesalahan dan
kekhilafan. Aku nggak mau dan nggak akan pernah mau mengulanginya lagi."
Ujar Zahra, ketegasan dalam suaranya menandakan keteguhan hatinya untuk tak
melanjutkan hubungan terlarang dengan adik iparnya tersebut.
"Aku mencintaimu Zahra!"
Tanpa diduga Ahmad menghamburkan
tubuhnya pada Zahra. Pria berpostur tegap itu memeluk Zahra dengan sangat erat,
usaha Zahra untuk menghindar dengan cara meronta-ronta nyatanya tak berarti
apa-apa, kekuatannya tak sebanding dengan apa yang dimiliki oleh Ahmad.
"Lepas!! Kamu mau apa?! Lepas!!"
Zahra berusaha melepaskan pelukan,
atau lebih tepatnya cengkraman Ahmad namun pria itu bergeming dan malah
mendorong tubuh Zahra ke belakang hingga jatuh terlentang di atas ranjang. Kini
posisi tubuhnya menelungkupi kakak iparnya itu, hanya dengan satu gerakan
kasar, dua tangan Zahra berhasil dia kunci, sementara kedua kaki Zahra yang
berusaha menendang-nendang sedari tadi tak berkutik lagi karena sudah dihimpit
dari atas.
"Bangsat! Lepasin aku! Bajingan
kamu Ahmad!!" Umpat Zahra penuh emosi. Sebaliknya, ekspresi wajah Ahmad
sangatlah dingin.
"Kalo aku nggak mau nglepasin
kamu mau apa? Teriak? Silahkan teriak sekarang, paling nanti petugas hotel yang
datang. Tapi apa kata orang nanti kalo tau kamu ada di kamar ini
denganku?"
"Bajingan kamu Ahmad!"
Zahra masih berupaya untuk meronta, namun cengkraman tangan Ahmad tak kalah
kuat, pria itu juga menekan tubuhnya menggunakan kekuatan penuh. Zahra
benar-benar tak bisa berkutik lagi.
"Aku memang bajingan, tapi apa
kamu juga lebih baik dariku? Kita sama-sama pendosa, hanya saja aku tak
semunafik dirimu!" Desis Ahmad, keduanya memicing menatap sinis wajah
Zahra yang semakin putus asa.
Zahra terdiam dan tak bisa berkata
apa-apa. Mulutnya menganga lebar karena tiap perkataan adik iparnya itu ada
benarnya. Logikanya berperang dengan rasa takut yang kini menjalar di seluruh
tubuhnya, seringai mesum dan wajah dingin Ahmad masih ditambah pula dengan
ancaman verbal membuatnya sama sekali tak berkutik.
"Sekarang pilih saja, kamu mau
menikmati ini, atau justru terus memberontak." Lanjut Ahmad memberi
ancaman.
Tau jika korbannya sudah tak berdaya,
Ahmad langsung merundukkan kepalanya. Dihujaninya bibir Zahra dengan ciuman,
Zahra berusaha keras untuk mengindarinya dengan menggerakkan kepalanya ke kiri
dan ke kanan, namun sekali lagi usahanya tak berbuah banyak. Ahmad secara penuh
telah menguasai dirinya.
Ciuman yang disosorkan oleh Ahmad
bukanlah ciuman mesra seperti yang dilakukannya beberapa hari lalu. Ciuman
Ahmad kali ini sangat kasar dan penuh nafsu, dengan buas pria itu memaksa
lidahnya masuk ke mulut Zahra, lalu memainkan lidahnya dengan cepat. Gerakan
lidah Ahmad seirama dengan gerakan pinggulnya yang mendorong ke depan. Suami
Amira itu sesaat bangkit untuk melepas semua pakaiannya hingga telanjang bulat
sebelum menelanjangi tubuh Zahra yang sudah tak berdaya dan hanya menyisakan
hijabnya saja.
Sekali lagi Zahra berusaha mendorong
tubuh Ahmad. Kali ini usahanya hampir berhasil. Ahmad yang tidak siap terdorong
mundur. Namun saat Zahra berusaha lari dari ranjang, Ahmad menarik kaki sang
kakak ipar dan langsung merentangkannya lebar-lebar. Pria tegap yang sudah
dikuasai birahi itu menarik lutut Zahra dan menjepitkan pinggangnya di antara
dua pahanya.
Zahra bisa merasakan bulu kasar
kemaluan Ahmad menyentuh bibir kemaluannya. Vaginanya yang lama kelamaan basah
bisa dirasakan oleh kulit Ahmad dan langsung menyentuh selangkangannya. Istri
Azam itu berusaha mendorong mundur tubuh Ahmad . Tak henti-hentinya Zahra
memukul dan menampar Ahmad, tapi apa daya seorang wanita lemah? Ahmad tidak
mempedulikan perlakuan Zahra sambil meremas payudara sang kakak ipar.
Pria itu tidak lagi berlaku lembut
pada buah dada Zahra. Dengan kasar diremas-remas dan dipelintirnya puting
payudara. Zahra merasa malu saat kemudian puting susunya malah makin mengeras.
Ahmad tidak melewatkan hal ini dan memelintir puting dengan jari-jari
tangannya. Zahra tidak berkutik, sambil merem melek dia melenguh keras. Ahmad
mencium puting Zahra dan menjilatinya dengan penuh nafsu.
Hangatnya mulut Ahmad terasa begitu
nikmat hingga Zahra lupa melawan. Ahmad
memangsa buah dada Zahra dengan lidahnya, sesuatu yang sudah dia idam-idamkan
sejak lama. Ahmad menjilati puting lalu
menciumi buah dadanya. Kenikmatan yang dirasakan oleh Zahra begitu tinggi
hingga dia melenguh keras dan menjambak rambut Ahmad. Dengan wajah senang dan
puas, Ahmad tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.
"Oouucchhhhh....!"
"Hahahahaha! Langsung sange ya?
Nggak usah ditahan, aku tau kamu juga pengen kan?" kata Ahmad.
Zahra yang tersinggung oleh ejekan
itu mulai melawan Ahmad lagi, kali ini si cantik itu bahkan berteriak-teriak
meminta tolong. Sia-sia saja, tidak ada yang mendengar teriakan Zahra. Ahmad
tertawa-tawa dan terus meremas payudara Zahra. Dijilati dan digigitinya susu
putih Zahra, pria yang sudah sangat
bernafsu itu berusaha mengulum seluruh buah dada Zahra ke dalam mulutnya. Dia
bahkan meremas payudara Zahra dan berusaha menelan keduanya bersama-sama.
Walaupun tindakannya kasar, tapi Zahra mulai merasakan sensasi kenikmatan yang
aneh dan sulit menolak Ahmad.
Ahmad mengagetkan Zahra saat
pria itu berbalik dan berlutut di atas
tubuhnya. Kepala Ahmad menghilang di antara paha Zahra dan penis Ahmad
bergelantung di atas wajahnya. Penis Ahmad sangat berbeda dengan milik Azam.
Milik suaminya jauh lebih panjang dan tebal, warnanya juga lebih hitam
kemerahan. Tapi tetap saja, penis adalah penis, bahkan Zahra bergidik saat
membayangkan penis itu kembali memasuki
tubuhnya.
Zahra menggigit bibirnya saat
tiba-tiba saja mulut Ahmad menjelajahi selangkangannya yang basah. Ahmad mulai
mencium, menjilat dan menghisap permukaan vaginannya. Tangan Ahmad
merenggangkan kaki jenjang Zahra supaya mendapatkan akses bebas ke area vagina.
Direntangkannya lebar-lebar hingga Zahra tidak bisa menolak perlakuan ini.
Ahmad dengan mahir menggunakan
lidahnya menjilati klitoris Zahra, lalu pada bibir vagina dan akhirnya lidah
Ahmad menjelajah ke dalam liang cinta. Ia menjilat dengan gerakan memutar dan
menusuk, membuat Zahra menggelinjang keenakan. Ahmad bahkan menggunakan giginya
untuk menggigit-gigit kecil klitoris Zahra. Istri Azam itu masih terus
berteriak dan melawan, bergerak mengelilingi tempat tidur dengan sekuat tenaga.
Tapi Zahra sudah tidak tahu lagi, apakah teriakannya itu teriakan takut atau
teriakan penuh nikmat.
"Aaachhh!!! Bajingan!
Bangsaattt! Aaacchh!!!"
Tiba-tiba saja Zahra mengalami
orgasme. Kenikmatan menguasai tubuh indahnya, Zahra bergetar hebat saat
mencapai puncak. Sebuah kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan.
Tubuh Zahra tergolek lemas. Tapi bahkan saat orgasme itu sudah menghilang, Ahmad
belum selesai menikmati tubuh moleknya.
Ahmad membalikkan badan dan sambil
menarik pinggul Zahra, dilesakkan penisnya ke dalam vagina. Zahra merem melek
karena tidak bisa menahan kenikmatan yang diberikan oleh si adik ipar. Zahra
bisa merasakan denyutan demi denyutan penis Ahmad di dalam liang cintanya.
Vaginanya terus memeras penis Ahmad yang keluar masuk dengan cepat. Tiap kali
digerakkan, seakan tusukan Ahmad makin ke dalam, membuat Zahra mendesah-desah
karena tak tahan. Desahan si cantik itu membuat Ahmad makin cepat memompa
vagina Zahra.
"Aaaccchh!!!!" Zahra sampai
harus meremas permukaan ranjang yang sudah berantakan.
Hentakan demi hentakan pinggul Ahmad
dengan kecepatan tinggi membuat vagina Zahra layaknya sasaran tembak rapuh bagi
pusaka pria itu. Seringai mesum Ahmad kembali terlihat ketika Zahra mulai
meracau tak karuan sambil memeluk leher kekarnya, kemenangan telak karena
membuat Zahra ikut larut menikmati persetubuhan.
"Ampun! Ampuuunn!!
Aaachh!!!!!" Pekik Zahra, kedua matanya nyaris mendelik. Teriakan itu
justru membuat Ahmad makin dalam menancapkan batang penisnya pada liang vagina,
hingga satu hentakan keras kembali membuat wanita cantik itu merasakan orgasme
untuk kedua kalinya.
"Aaachhhh! Ahmaaadddd!!!!"
Nafas Zahra tersenggal hebat, bulir
peluh sudah membasahi tubuh moleknya yang tak berdaya dihantam gelombang
orgasme. Tapi Ahmad belum usai, pria itu melepas penisnya dari dalam liang
vagina si cantik. Zahra melirik ke bawah, batang penisnya masih berdiri kokoh
dengan urat-urat yang makin jelas terlihat.
"Nungging sayang..."
Perintah Ahmad, dengan sisa-sisa tenaganya Zahra mulai memposisikan tubuhnya
membelakangi Ahmad. Pantat semoknya mengarah tepat di hadapan ujung penis pria
itu sementara bagian depan tubuhnya ambruk tanpa tenaga di atas ranjang.
"Oocchhhhh!!!" Zahra
kembali memekik kencang ketika Ahmad melesakkan batang penisnya ke dalam liang
vagina.
Ahmad mulai menggenjot tubuh Zahra
dari belakang. Kecepatan sedang ditambah dengan remasan jari pada area pantat
membuat istri Azam itu sekali lagi mendesah nikmat. Tak seperti tadi, kali ini
Ahmad menggerakkan pinggulnya dengan teratur seperti hendak meresapi jepitan
liang senggama Zahra pada batang penisnya. Sementara Zahra mulai merasakan
sesak di dalam sana, penis Ahmad seperti menggelitik seluruh isi vaginanya.
"Enak sayang?" Tanya Ahmad
ditengah genjotan tubuhnya. Zahra hanya menggeram dengan desahan-desahan kecil,
menjawab pertanyaan itu sama saja dengan semakin merendahkan harga dirinya di
hadapan sang adik ipar.
"Jawab sayang! Enak nggak
kontolku?" Kali ini Ahmad menambah kecepatan hentakan pinggulnya, tak
hanya itu satu tangan Ahmad juga meraih hijab Zahra dan menariknya ke belakang
hingga membuat bagian depan tubuh wanita cantik itu mendongak.
"Aaachhhhh! Ahmad
sakiitt!!!" Lenguh Zahra, Ahmad bergeming dan justru semakin menambah
kecepatan gerakan pinggulnya, membuat penis kekar miliknya melesat cepat
merongrong liang senggama Zahra.
"Enak nggak? Hmmm?!" Tak
bosan, Ahmad terus menanyakan hal itu seperti sedang mencari pengkauan
keperkasaannya sebagai seorang pria.
"Aaachhhh! Aaampuuunnn Ahmad!!
Aaachh!!!"
"Jawab! Enak nggak
kontolku!"
"Aaachh!! Iyaahh enaak!!
Enaakk!!!" Zahra tak punya pilihan lain selain memenuhi dahaga keegoan
pria itu, paling tidak dia bisa berharap agar Ahmad segera menuntaskan hajat
birahinya.
"Lebih enak mana sama kontol
Azam?"
Zahra memejamkan matanya, ternyata
jawaban sebelumnya tak cukup untuk memuaskan Ahmad. Pria itu menagih lebih.
Perih, itulah yang dirasakan hati Zahra saat ini dipaksa melayani birahi secara
paksa dan ditambah harus mengakui jika suaminya tak lebih baik dibanding Ahmad
untuk urusan ranjang.
PLAK!!
PLAK!!
PLAKK!!
Tiga tamparan keras mendarat telak
pada permukaan pantat semok Zahra yang bergerak maju mundur.
"Aaachhh!! Sakit!" Teriak
Zahra kesakitan.
"Itu hukuman karena Kamu nggak
jawab pertanyaanku!" Ujar Ahmad santai, pinggulnya masih bergerak maju
mundur dengan kecepatan tinggi.
"Aaachh! Ammpunn Ahmad!! Udaah!!
Udahh!!! Ampuunn!!!"
Pekik keras Zahra menandai jika
dirinya akan kembali mendapatkan orgasme. Untuk pertama kalinya dalam hidup
wanita cantik itu bisa mendapatkan 3 kali orgasme saat berhubungan badan.
Bersama Azam, Zahra bahkan nyaris tak sekalipun bisa mendapatkannya. Tapi kali
ini kenapa justru berbeda? Padahal Zahra melakukannya dibawah ancaman serta
paksaan dari Ahmad.
"Aaachh!! Aku mau keluar!! Aku
mau keluar lagi!!" Racau Zahra kesetanan, dia lupa jika kenikmatan yang
dia dapat sebentar lagi datang dari pria mesum yang begitu dia benci. Tapi
birahi mengalahkan segalanya, nafsu menutup logikanya.
Ahmad tersenyum, dia tau jika dirinya
sudah memenangkan peperangan libido kali ini bersama kakak iparnya sendiri.
Ahmad terus menggenjot tubuh Zahra dari belakang. Tak lama kedua insan
beralainan jenis itu melenguh bersamaan. Ahmad memuntahkan sperma kental di
dalam vagina, Zahra merasakan cairan hangat itu memenuhi seluruh liang
senggamanya hingga meluber keluar. Tubuh Ahmad ambruk tepat di sisi Zahra yang
masih menungging, dada bidangnya naik turun karena nafas yang tersenggal luar
biasa.
"Di dalam?" Tanya Zahra
sambil melihat ceceran sperma Ahmad meluber dari liang vaginanya dan jatuh
membasahi seprei.
"Hehehehe, udah nggak tahan.
Memekmu enak banget, bikin lupa nyabut tadi." Jawab Ahmad tanpa perasaan
bersalah.
Zahra buru-buru beranjak dari atas
ranjang, setengah berlari wanita cantik itu segera menuju kamar mandi untuk
membersihkan sperma Ahmad yang membanjiri area kewanitannya. Dengan perasaan
dongkol Zahra menutup pintu kamar mandi keras-keras, Ahmad menanggapi kekesalan
kakak iparnya itu hanya dengan sebuah senyuman.
PART 2
Mobil yang dikendarai Ahmad melaju
tenang di tengah pekatnya jalanan malam kota. Hanya ada beberapa pengendarai
lain yang kebetulan melintas dan berpapasan, mengingat waktu sudah melebihi
tengah malam maka tak heran suasana cukup lenggang. Di kursi penumpang, Zahra
terdiam dengan tatapan kosong. Ahmad sudah berkali-kali mengajaknya berbicara
sejak check out dari hotel beberapa saat lalu, tapi kakak iparnya yang cantik
itu sama sekali tak mengeluarkan sepatah katapun.
Zahra hanya ingin segera pulang
setelah hampir 4 jam lebih tubuhnya digarap oleh Ahmad. Tak seperti pertemuan
sebelumnya, kali ini Ahmad seolah ingin menuntaskan segala hasratnya pada tubuh
kakak iparnya itu. Ahmad menyetubuhi Zahra dengan sangat brutal dan kasar, tak
hanya sampai di situ, Ahmad juga sempat mendokumentasikan perzinahan mereka
berdua lewat kamera ponsel. Zahra sempat menolak namun Ahmad sama sekali tak
bergeming, pria itu ingin mendapat kenang-kenangan terakhir sebelum Zahra tidak
mau lagi berhubungan dengannya.
Mobil memasuki kawasan perumahan
tempat mereka berdua tinggal. Setelah melewati pos satpam mobil kembali melaju
sebentar melewati beberapa kali belokan hingga akhirnya berhenti tepat di depan
sebuah rumah tingkat dua bercat putih tulang, tempat tinggal Zahra. Wanita
cantik itu segera mengemasi tasnya dan langsung keluar dari dalam mobil tanpa
mengucap satu katapun. Ahmad pun hanya bisa terdiam menyaksikan wanita yang
sangat dicintainya itu berlalu begitu saja. Belum sempat Zahra mengeluarkan
kunci rumah, pintu lebih dulu terbuka, Azam muncul dari dalam rumah.
"Kok sampek malem banget
pulangnya Dek?" Tanya Azam, di depan pagar mobil Ahmad masih belum
berlalu.
"Itu Ahmad?" Tanya Azam
sekali lagi.
"Iya Bang, maaf tadi acaranya
molor berjam-jam jadi aku pulang terlambat." Ujar Zahra beralasan.
"Oh ya udah nggak apa-apa. Kamu
masuk aja dulu, bersih-bersih terus istirahat." Zahra akhirnya masuk ke
dalam rumah, sementara Azam melangkahkan kaki menuju pagar rumahnya untuk
menyapa Ahmad.
"Makasih ya bro udah mau
nganterin istriku pulang." Kata Azam.
"Iya Bang sama-sama. Tadi
kebetulan satu arah, jadi sekalian aja. Ya udah Bang, aku balik dulu."
Sahut Ahmad dari balik kemudi.
"Iya Bro." Ahmad kembali
menyalakan mobilnya dan melaju pelan menuju rumahnya yang hanya berjarak
beberapa meter saja dari kediaman Azam dan Zahra.
Di dalam kamar mandi tangis Zahra
langsung pecah saat guyuran air hangat shower membasahi tubuhnya. Wanita cantik
itu bersimpuh di atas lantai dengan berderai air mata. Pengalamannya malam ini
bersama Ahmad nyata-nyata sangat melukainya, harga dirinya sebagai wanita
terhormat terkoyak tanpa sisa. Tak hanya itu, saat menatap wajah Azam tadi,
perasaan bersalah yang begitu besar
mengelanyuti dada Zahra.
Sebagai istri sekaligus ibu dari dua
orang anak hasil pernikahannya dengan Azam, Zahra merasa gagal dan kotor.
Awalnya dia hanya ingin mendapat pengalihan dari kepenatan rutinitas rumah
tangga, gejolak mudanya kembali muncul saat Ahmad mendekatinya. Zahra sama
sekali tak pernah berpikir hal itu akan membawanya dalam situasi pelik semacam
ini. Ahmad tadi memperlakukannya bak seorang pelacur murahan yang bisa
diperlakukan seenaknya. Harga dirinya sebagai seorang wanita terhormat
diinjak-injak tanpa ampun.
"Kamu capek banget ya Dek?"
Tanya Azam sesaat setelah istrinya keluar dari kamar mandi.
"Iya Bang, tadi acaranya padat
banget." Ujar Zahra seraya mengeringkan rambutnya yang basah.
Wanita cantik itu duduk di depan meja
rias. Azam berjalan mendekatinya, memeluknya dari belakang, mengecup lehernya
dengan lembut. Zahra terpejam, dadanya berdesir, bayangan cumbuan kasar Ahmad
beberapa jam lalu kembali terasir jelas di benaknya. Reflek gerak tubuhnya
mencoba menghindari pelukan suaminya sendiri. Azam mengrenyitkan dahi, heran
dengan bahasa tubuh sang istri yang seperti enggan untuk dia sentuh.
"Kenapa Dek?" Tanya Azam
heran.
"Ma-Maaf Bang, aku capek banget
malam ini." Kata Zahra.
"Mau dibikinin teh hangat?"
Tanya Azam kembali.
"Nggak usah Bang, aku mau langsung
tidur aja."
"Oh, ya udah kalo gitu, kamu
istirahat aja."
Azam berbalik badan lalu melangkah
menuju ranjang sebelum kemudian Zahra menyusulnya. Malam itu Zahra begitu sulit
untuk tertidur, apa yang telah dilakukan oleh Ahmad pada dirinya hari ini
benar-benar menorehkan luka yang entah sampai kapan harus dia tanggung dengan
perasaan bersalah pada sang suami.
***
Di tempat lain, Ahmad tak langsung
masuk ke dalam kamarnya setelah memakirkan mobil di garasi. Pria berbadan tegap
itu lebih memilih untuk duduk di ruang tamu dan menghisap rokok. Sejenak dia
melihat kembali rekaman video di ponselnya yang memperlihatkan adegan ranjang
antara dirinya dan Zahra. Ahmad tersenyum menyaksikan bagaimana kakak iparnya
itu merintih, mendesah, hingga mengerang mengekspresikan persetubuhan mereka
berdua.
Ahmad tak akan mungkin bisa melupakan
sosok Zahra yang telah bertahta di sanubarinya menggantikan posisi Amira,
istrinya sendiri, adik kandung Zahra. Janjinya pada Zahra untuk menjaga jarak
tampaknya hanya sebatas ucapan saja, Ahmad bukan tipe pria yang bisa menerima
penolakan. Apapun resikonya dia bertekad untuk bisa memiliki Zahra seutuhnya,
meskipun itu harus mengorbankan rumah tangganya sendiri. Suara pintu kamar
terbuka, Ahmad buru-buru mematikan video dang mengantongi ponselnya. Tak lama,
Amira muncul.
"Lembur lagi Mas?" Tanya
Amira dengan raut wajah dingin. Ini bukan kali pertama suaminya pulang larut
malam seperti ini.
"Ya gitulah, banyak kerjaan yang
harus aku beresin di kantor." Jawab Ahmad santai sembari menghembuskan
asap rokok dari dalam mulutnya.
"Mau aku siapin makanan?"
Tawar Amira.
"Nggak usah, aku udah makan
tadi." Ahmad mematikan puntung rokoknya, lalu berdiri dari tempat
duduknya.
"Lebih baik aku mandi sekarang
dan tidur." Kata Ahmad. Amira menatapnya tajam, wanita bertubuh sintal itu
nampaknya sudah tak bisa lagi menahan emosinya.
"Mau sampai kapan kita kayak
gini Mas?" Ahmad yang hendak melangkah pergi tertahan.
"Maksudmu apa?"
"Kamu pikir aku nggak tau apa
yang kamu lakukan di luar sana?! Mau sampai kapan Mas kita kayak gini??!"
Suara Amira tiba-tiba meninggi.
"Kamu kenapa sih? Suami baru
pulang kerja bukannya dilayani malah diomelin nggak jelas kayak gini!"
Ahmad tak mau kalah.
"Oh kamu mau minta dilayani? Oke
aku layani sekarang!"
Amira dengan sigap menarik
pergelangan tangan Ahmad, menariknya lalu mendorongnya ke atas sofa. Ahmad
belum sempat bereaksi tapi Amira lebih
cepat menaiki tubuhnya, melepas ikat pinggang di celana Ahmad dengan tergesa
lalu memelorotkannya hingga membuat bagian bawah tubuh suaminya itu telanjang
bulat.
"Kamu kenapa sih?? Aku lagi
capek! Aku nggak mood!" Protes Ahmad berusah menjauhkan tubuh istrinya,
tapi entah karena posisi badannya yang tak seimbang, Amira memiliki akses lebih
kuat dan tak mudah untuk dijauhkan begitu saja.
"Kamu mau dilayani kan??"
Amira merundukkan kepalanya sebelum
kemudian langsung melahap seluruh batang penis suaminya yang sama sekali belum
mengeras sempurna. Amira menghisapinya, memainkan lidahnya pada sekujur batang
penis Ahmad. Lambat laun Ahmad mulai bereaksi, tapi di kepalanya kini adalah
bayangan sosok Zahra yang sedang memberinya blowjob. Bahkan karena itu pulalah
penisnya perlahan namun pasti mulai ereksi.
"Eccchhmmmcch! Eeeecchhmmmmmm!!
Eccchhmmm!"
Terdengar suara Amira seperti
mengerang saat dia mencoba memasukkan seluruh batang penis suaminya ke dalam
mulutnya, ukuran penis Ahmad yang tidak bisa dikatakan pendek secara otomatis
membuat wanita itu tersedak dan nyaris memuntahkan sesuatu dari dalam perutnya.
"Aaaarrggghhtttttt!!!"
Teriak Amira setelah batang penis
Ahmad menyedak kerongkongannya, seperti tak memiliki rasa kapok, wanita
bertubuh sintal itu kembali mengulum penis Ahmad, kali ini tidak terlalu
memaksakan diri untuk menelan keseluruhan tiap jengkal batang penis, tapi dia
memilih untuk memberi hisapan-hisapan kuat pada kepala penis sambil terus
menggerakkan kepalanya naik turun. Ahmad mulai kewalahan menghadapi serangan
liar dari mulut istrinya itu, kedua tangannya mencengkram kepala Amira
kuat-kuat, mencoba menahan ejakulasi agar tak segera keluar.
"Aaacchhhhh ! Dek! Aaaaccchhhhhh
!! Jangan keras-keras Dek!!! Aaaacchhhh !"
Erang Ahmad, penisnya terasa seperti
sedang disedot oleh vacum cleaner mini, hisapan mulut Amira benar-benar membuat
penisnya berkedut hebat seperti seluruh isinya dipaksa untuk segera keluar. Tak
menghiraukan erangan sang suami, Amira masih terus mengulum dan menyedot batang
penis suaminya itu dengan kasar dan keras, sementara satu tangannya
meremas-remas testis. Ahmad semakin tak berdaya, dia terus mengerang, bukan
erangan keenakan tapi lebih pada rasa sakit yang dirasakan pada batang
penisnya. Tak tahan dengan perlakuan sang istri, tangan Ahmad menjambak rambut
Amira, mencoba menjauhkan mulut istrinya dari tubuhnya.
"Aaaacchhh Dek! Udaahh! Aaacchhh
!!"
Amira melepaskan kulumannya, matanya
melirik wajah Ahmad tanpa ekspresi, nafas suaminya itu terengah-engah setelah
mendapatkan blowjob kasar darinya. Amira
berdiri dan kembali menaiki tubuh Ahmad, diangkatnya bagian ujung kain
dasternya, rupanya sedari tadi wanita itu tak mengenakan celana dalam.
Ahmad bergeming, dalam pikirannya
masih timbul pertanyaan tentang penyebab perubahan sikap Amira yang mendadak
dingin dan begitu kasar saat bercinta, pertanyaan yang belum bisa terpecahkan
sampai detik ini. Perlahan Amira meraih batang kemaluan Ahmad dengan tangannya,
mengarahkan ujung kepalanya pada lubang vagina yang sudah berada tepat di atas
selangkangan Ahmad.
"Ooocchhh!"
Ahmad melenguh panjang saat ujung
penisnya menyentuh permukaan vagina Amira, istrinya itu sedikit mempermainkan
kepala penis dengan cara menggesekkan beberapa kali pada permukaan vagina.
"Accchhhhhh !!"
Pasangan suami istri itu secara
bersamaan mengerang saat batang penis Ahmad mulai menyeruak masuk ke dalam
vagina. Tak menunggu lama Amira mulai menggerakkan pinggulnya naik turun,
menggenjot penis Ahmad dari atas, sambil terus menggoyang tubuh suaminya dua
tangannya mencengkram kuat dada bidang Ahmad. Tak seperti biasanya, Amira
benar-benar liar malam ini, genjotannya seperti memaksa penis Ahmad masuk lebih
dalam, bahkan genjotan tubuhnya tak lembut seperti biasanya, kali ini Amira
menggenjot dengan sangat keras.
"Aaaacchhhh Dek! Pelan!
Aaaacchhhh!!!" Erang Ahmad, dadanya terasa perih akibat kuku Amira mulai
melukai kulitnya.
"Suka?!! Hmmm??!! Enak??!!"
Tanya Amira sambil terus menggenjot tubuh Ahmad dari atas, raut wajahnya
berubah menjadi sedikit bengis, seperti ingin meluapkan amarah dalam tubuhnya.
"Oocchhh Dek!" Lenguh
Ahmad.
PLAAAKK!!!
PLAAAKKK!!!!
Tiba-tiba Amira melayangkan tamparan
keras pada pipi Ahmad, seketika suaminya langsung kaget dengan tindakan kasar
itu.
"Dek??!! Kamu kenapa??!!"
Teriak Ahmad.
"Jawab goblok!! Memekku enak apa
nggak??!! Hah??!!" Teriak Amira semakin keras, suaranya seperti berlomba
dengan gerakan tubuhnya yang bergoyang semakin liar dan kasar.
PLAKKKK!!
Satu tamparan lagi mendarat pada
wajah Ahmad.
"Cukup Dek!! Cukup!!"
Teriak Ahmad sambil mencoba menjatuhkan tubuh Amira dari atas tubuhnya.
Ahmad sudah tak bisa lagi menikmati
seks dengan diikuti tindakan kasar dari istrinya itu. Tapi rupanya tubuh Amira
sulit untuk bisa segera disingkirkan hanya dengan satu hentakan saja, wanita
itu masih kokoh mengangkangi tubuh Ahmad. Justru Ahmad yang mulai merasakan
ejakulasinya akan segera keluar, tangannya meremas payudara Amira yang bergerak
naik turun mengikuti gerakan tubuh dari
istrinya itu.
"Aaarrgghhhttt !! Dek!!!
Arrgghhhattttt!!!"
Lenguhan panjang Ahmad bebarengan
dengan semprotan sperma di dalam rahim Amira, seperti biasa Ahmad tak akan bisa
bertahan lama saat melakukan hubungan suami istri, tubuhnya berangsur melemas.
Amira menghentikan genjotannya pada tubuh Ahmad, ceceran sperma terlihat keluar
dari dalam vagina saat wanita itu melepaskan batang penis Ahmad. Amira turun,
dia kemudian kembali mengulum penis Ahmad yang sudah mulai layu, Amira kembali
menghisapnya, menelan seluruh sisa sperma yang masih berada di dalam penis Ahmad.
"Aaaaccchh! Eeeccchhmmm!
Aaachhh!! Udah Dek, sakit!" Lenguh Ahmad.
Setelah puas menghisap sisa sperma
pada penis Ahmad, Amira melepaskan kulumannya, wanita itu berdiri sejenak di
samping sofa, tempat dimana Ahmad masih terbaring, mata Amira menatap tajam
wajah Ahmad. Suaminya itu semakin bingung dengan perubahan sikap dari Amira.
"Ini adalah sex kita yang
terakhir!" Kata Amira dingin, kemudian wanita itu melangkahkan kakinya
menjauh dari ruang tamu meninggalkan Ahmad seorang diri.
PART 3
ZAHRA POV
Jujur aku kaget saat mendapati
adikku, Amira, sudah berada di beranda rumahku sepagi ini. Tak biasanya dia
datang ke rumahku tanpa mengabari terlebih dahulu, meskipun rumah kami berdua
tak berjarak jauh tapi hubungan kami tak sedekat kakak adik yang lainnya. Kami
hanya ngobrol jika memang ada urusan penting yang menyangkut keluarga besar,
selain itu sejak kecil kami tak pernah merasa dekat satu sama lain.
Mungkin ini terjadi karena setelah
lulus SD aku langsung dikirim oleh kedua orang tuaku untuk menuntut pendidikan
di sebuha pondok pesantren khusus perempuan di kota sebelah. Aku pulang hanya
sebulan sekali, intensitas pertemuanku dengan Amira sejak saat itu sangatlah
terbatas. Maka tak heran jika kami berdua seperti berjarak hingga tumbuh
dewasa.
Tapi bukan itu yang membuatku cemas
saat ini, pikiranku justru menerawang tentang kejadian semalam saat aku bersama
suaminya, Ahmad. Jangan-jangan perzinahan itu sudah diketahui Amira dan
sekarang dia berniat untuk melabrakku. Tapi kenapa wajahnya sama sekali tak
menunjukkan tanda-tanda kemarahan, masih seperti biasanya, tenang dan dingin.
Tak mau terkungkung oleh segala macam kekhawatiran dan pikiran buruk,
bergegaslah aku membuka pintu rumah untuk menemui Amira.
"Mir? Tumben ke sini pagi-pagi,
ada apa?" Sapaku. Amira menolehku untuk sesaat sebelum kembali melayangkan
pandangannya ke taman rumahku yang ada di bagian depan beranda. Aku ingat
sebelum berangkat kerja tadi, Mas Azam sempat menyiraminya beberapa saat.
"Aku mau ngobrol Mbak, kamu ada
waktu?" Suaranya datar dan tenang, tapi ini justru membuat kekhawatiranku
membuncah. Jangan-jangan benar dugaanku jika Amira sudah mengetahui hubunganku
dengan Ahmad.
"Ngobrolin apa, kok keliatannya
serius?" Tanyaku sembari bersikap biasa saja agar tak nampak ketakutanku.
Amira kembali menoleh ke arahku.
"Mas Ahmad, dia udah selingkuh,
dia tidur dengan wanita lain Mbak." Jantungku seakan berhenti berdetak
untuk beberapa saat, ternyata benar dugaanku, Amira sudah mengetahuinya. Aku
harus bersiap menerima sumpah serapah dari adik kandungku ini.
"Aku capek Mbak...capek..."
Tanpa kuduga tiba-tiba Amira
mengahamburkan tubuhnya padaku, memelukku sembari berderai air mata. Sejenak
aku hanya terpaku, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
Kenapa Amira justru memelukku, bukankah dia sudah tau jika suaminya berselingkuh
dengan wanita lain? Atau mungkin ada satu hal penting yang belum diketahui oleh
Amira jika wanita lain itu adalah aku?
"Sabar Mir...Sabar..."
Kataku pelan sambil membelai kepala Amira yang tertutup hijab warna hitam,
warna favoritnya.
"Aku pengen cerai aja
Mbak."
"Hah? Udah gila kamu ya? Apa
nggak bisa kalian ngomong baik-baik dulu?"
Aku tak menyangka keisenganku
beberapa hari lalu akan berdampak besar pada keberlangsungan rumah tangga Amira
dan Ahmad. Perasaan bersalah itu kembali menyeruak memenuhi rongga dadaku.
Sesak, karena bukan hanya Mas Azam saja yang aku kecewakan, tapi juga adik
kandungku sendiri.
"Aku nggak mungkin hidup satu
atap dengan pria brengsek seperti Ahmad Mbak!" Suara Amira semakin
meninggi, emosinya masih belum benar-benar reda.
"Tenang dulu Mir, jangan ambil
keputusan atas dasar emosi sesaat. Aku yakin semua akan baik-baik saja kalau
kamu bisa berpikir jernih." Kataku sok bijak, Amira bergeming, isak
tangisnya masih sesekali kudengar.
"Lebih baik kita masuk ke dalam
dulu Mir, nggak enak diliatin tetangga kalau kamu nangis kayak gini."
Amira menuruti perintahku, kami
berdua akhirnya masuk ke dalam rumah dan kembali melanjutkan percakapan di
sana. Amira menumpahkan segala keluh kesahnya perihal tingkah laku Ahmad yang
semakin lama semakin berubah. Amira sudah mencurigai sejak lama jika Ahmad
memiliki wanita lain di luar sana, satu hal yang tak diketahuinya adalah sosok
wanita tersebut adalah aku.
Aku seperti ditampar berkali-kali
oleh kesedihan hati Amira hingga adikku itu berniat untuk mengakhiri
pernikahannya bersama Ahmad. Aku hanya bisa mendengarkan sambil sesekali
memberinya nasehat agar tak terlalu melibatkan emosinya, setidaknya itu yang bisa
aku lakukan untuk menebus kesalahanku, menyelamatkan rumah tangganya dari
kehancuran.
Di sisi lain, kehadiran Amira pagi
ini makin membulatkan tekadku untuk menjauhi dan menjaga jarak dengan Ahmad.
Aku tidak boleh menemuinya lagi, meskipun Ahmad telah berjanji untuk menjauhiku
juga, tapi firasatku berkata lain. Ahmad bukan tipe pria yang mudah untuk
menyerah.
***
Apa yang terjadi padaku beberapa
waktu ini membuatku mendapat pelajaran yang sangat berharga. Segala tindak
tandukku akan memiliki dampak baik pada diriku sendiri maupun pada orang-orang
terdekatku. Aku sekarang jadi lebih mawas diri akan segala macam godaan.
Seperti dugaanku, Ahmad belum mau menyerah untuk kembali mendekatiku.
Berkali-kali suami Amira itu mengirimiku pesan singkat hingga melakukan
panggilan telepon tapi tak sekalipun aku tanggapi.
Untuk menghindarinya, sejak beberapa
hari terakhir ini aku mengikuti sebuah kajian islami di sebuah pondok pesantren
yang dikelola oleh sebuah yayasan milik teman masa kuliahku dulu, Hanum. Kajian
itu sendiri dipimpin langsung oleh suami Hanum, Ustadz Hilman. Berada di
lingkungan yang sehat nyatanya bisa membuatku lebih tenang, apalagi di tempat
ini aku mendapatkan teman-teman baru yang menurutku bisa memberikan aura
positif padaku.
Ustadz Hilman sendiri dalam tiap
kajiannya selalu mengedepankan pendekatan personal. Semua permasalahan
kehidupan yang biasa aku temui sehari-hari dibahas tuntas di tempat ini. Gaya
penyampaian yang tenang dan terkadang ditambah dengan guyonan segar membuatku
merasa tidaks edang digurui oleh orang asing. Aku nyaman berada di sini, bahkan
aku juga mulai mengajak beberapa orang temanku dan Mas Azam untuk ikut ambil
bagian dalam kajian.
Mas Azam awalnya sedikit malas namun
sama sepertiku dulu, suamiku itu lambat laun mulai nyaman berada di sini.
Bahkan aku bisa melihat kedekatannya dengan Ustadz Hilman, kebetulan suami
Hanum itu juga seorang pengusaha sama seperti Mas Azam. Mereka berdua cukup
intens mengobrol soal pekerjaan selepas kajian. Mungkin setelah ini aku juga
akan mengajak Amira, siapa tau dengan mengikuti kajian agama suasana hatinya
jadi lebih tenang.
"Suamimu sepertinya semakin
betah ada di sini Ra." Ujar Hanum saat kami berdua menyiapkan minuman
untuk para jamaah kajian.
"Alhamdulillah Num."
Sahutku sambil tersenyum menanggapinya.
"Ra, aku mau tanya sesuatu tapi
kamu jangan tersinggung ya." Aku meletakkan teko yang berisi teh hangat,
perhatianku teralihkan pada Hanum.
"Mau tanya Hum, kok jadi serius
gini sih?" Tanyaku.
"Ehhmm...Menurutmu suamiku
menarik nggak?"
"Heh? Mak-Maksudmu Ustadz
Hilman?" Aku sampai terbata-bata karena mencerna pertanyaan Hanum barusan.
"Iyalah, emang suamiku siapa
lagi kalo bukan Mas Hilman?"
"Kenapa tiba-tiba nanya gini ih?
Aneh banget tau." Runtukku sedikit kesal.
"Karena kata suamiku, kamu
benar-benar menarik. Mas Hilman bahkan bilang kalo tubuhmu nafsuin banget.
Hihihihihi..."
"Hah? Serius Ustadz Hilman
bilang gitu sama kamu?"
"Serius, makanya aku penasaran
apa kamu juga tertarik dengan suamiku?"
Gila! Hanum yang kukenal sebagai
wanita alim, puteri seorang Kyai besar, istri dari Ustadz Hilman yang sangat
kuhormati, bisa melontarkan pertanyaan sevulgar ini padaku.
"Ra, aku mau jujur, sebenarnya
Mas Hilman punya istri lagi selain diriku." Aku makin terkejut.
"Ja-Jadi Ustadz Hilman melakukan
poligami?" Aku makin tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.
"Iya, selain Aku, masih ada dua
wanita lain yang jadi istri Mas Hilman." Hanum tanpa beban menceritakan
seluk beluk rumah tangganya padaku.
"Kamu kenapa terkejut kayak gitu
sih Ra? Poligami dibolehkan dalam agama islam, bahkan itu jadi ladang pahala
bagiku dan istri-istri Mas Hilman yang lain." Lanjutnya mempertanyakan
keterkejutanku.
"Bukan begitu maksudku Num, aku
cuma baru tau ada wanita yang mau dimadu dan bahkan terlihat bahagia seperti
dirimu." Hanum perlahan mendekatiku, bibirnya tersenyum.
"Kamu nggak pengen Ra?"
"Hah? Pengen apa nih maksudnya?
Mas Azam punya istri lagi gitu? No! Aku nggak setegar dirimu Num." Tolakku
dengan nada tinggi. Hanum masih saja tersenyum memandangi wajahku.
"Nggak, bukan itu maksudku
Ra...." Hanum makin mendekatiku, tanpa kuduga jemarinya membelai pipiku
dengan sangat lembut. Aku bergeming, kikuk mendapat perlakuan semanis itu dari
seorang wanita.
"La-Lalu...?" Hanum
mendekatkan bibirnya pada telingaku yang tertutup hijab seraya berbisik lirih.
"Kamu nggak pengen punya suami
lagi? Mas Hilman benar-benar tertarik padamu." Aku mengrenyitkan dahi
setelah mendengar ucapannya, reflek tubuhku mundur untuh menjauh dari Hanum.
"Kamu udah gila ya? Aku masih
bersuami Num! Bagaimana mungkin aku bisa menikahi pria lain? Apalagi itu
suamimu."
"Tenang dulu Ra, jangan emosi.
Aku boleh jelasin lagi?" Entah kenapa ucapan yang terlontar dari bibir
Hanum seperti menghipnotisku. Aku bahkan hanya terdiam dan tak berminat
menuruti ketersingunganku.
"Aku tau kamu sudah bersuami,
kita berdua sama-sama tau akan hal itu. Tapi yang aku maksudkan di sini adalah
pernikahan mut'ah, nikah kontrak yang sesuai syariat agama." Lanjutnya
menjelaskan.
"A-Aku masih belum mengerti
maksudmu Num." Ujarku lirih.
"Sebelum aku lanjutkan
penjelasanku, aku boleh tanya sesuatu padamu?" Aku mengangguk tanda
persetujuan.
"Bagaimana kehidupan sex mu
selama ini dengan Azam? Apa kamu happy?"
"Ya jelas aku bahagia, anakku
sudah dua Num. Bagaiamana mungkin aku nggak happy untuk urusan ranjang?"
Dalam hati aku sempat mengutuki
ucapanku barusan karena beberapa waktu lalu aku sempat tidur dengan pria lain
yang disebabkan oleh kebosananku pada Mas Azam. Tap tak mungkin aku mengatakan
kebenaran itu pada Hanum, aku tak mau dicap sebagai wanita gampangan, wanita
gatel yang bisa tidur dengan lelaki manapun tanpa ikatan.
"Yakin kamu happy Ra? Kamu nggak
pengen nyoba kontol lain?"
"Hanum???!" Sergahku saat
mendengar kata-kata vulgar dan jorok terucap dari bibir Hanum.
"Ups sorry, hihihihi...."
"Kamu kenapa sih Num? Kenapa
tiba-tiba kayak gini?" Tanyaku penasaran.
"Gini aja deh Ra, nanti setelah
kajian kamu tinggal di sini dulu. Kamu harus lihat sesuatu yang baru."
Ujarnya tak menjawab pertanyaanku.
"Sesuatu yang baru apaan?"
"Udahhh, pokoknya nanti setelah
kajian kamu ijin sama suamimu untuk tinggal di sini dulu. Biar nanti aku juga
yang bilang ke Azam. Okey?"
"Heh...?"

Posting Komentar
0 Komentar