SECRET AFFAIR

 


GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 200 HALAMAN
HARGA: Rp 30.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Hari masih terlalu pagi, namun suara kokok ayam milik tetanggaku sudah terdengar lantang dan membuatku terjaga dari tidur. Hidup di sebuah rumah kontrakan petak kecil dan berhimpitan dengan banyak rumah lain memang harus kuat menahan kebisingan, bahkan suara hewan sekelas ayampun bisa mengganggu tidurku.

Kulihat di sampingku Mas Fajar, suamiku, masih terlelap nyenyak. Wajahnya tampak lelah setelah kemarin dia harus lembur menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Sebagai pegawai rendahan Mas Fajar memang sering pulang larut malam karena mengambil jadwal lembur. Aku bangga dengan suamiku, meskipun tak terlahir dari keluarga berada tapi etos kerjanya tiada duanya. Itulah yang membuatku jatuh hati dan menambatkan pilihan padanya untuk mengarungi bahtera rumah tangga meskipun banyak orang menentangnya, termasuk kedua orang tuaku.

“Kamu mau jadi apa kalo menikah dengan Fajar? Gimana masa depanmu nanti? Fajar itu cuma pegawai kantor rendahan!” Kata Ibuku dua tahun lalu saat Mas Fajar datang ke rumah untuk meminangku.

“Mas Fajar mencintaiku Bu, aku juga begitu.” Kataku membela Mas Fajar.

“Alah! Omong kosong dengan cinta! Menikah itu berat Diandra, kalian nggak akan bisa hidup hanya dengan mengandalkan cinta!” Sahut Ayahku yang juga sejak awal menentang hubungan kami berdua.

Aku dan Mas Fajar memang berbeda jauh dari strata sosial. Aku tumbuh besar di kelurga berada, Ayahku seorang pengusaha sukses, pun begitu pula dengan Ibuku yeng memiliki bisnis catering terkenal. Tak terhitung berapa kali kedua orang tuaku mencoba menjodohkanku dengan banyak pria pilihan mereka, mulai dari pilot, dokter, hingga pengusaha muda, namun tak ada satupun yang aku terima dan lebih memilih Mas Fajar sebagai tambatan hatiku.

Tentangan dari orang-orang terdekatku nyatanya sama sekali tak membuat surut cinta kami berdua. Bahkan sebaliknya, hubunganku dan Mas Fajar semakin erat dan tak bisa dipisahkan. Keteguhan hati inilah yang akhirnya membuat lunak hati kedua orang tuaku dan akhirnya merestui pernikahan kami berdua. Namun, tantangan besar belum sepenuhnya bisa kami lewati. Kami harus memulai semuanya dari nol, hidup mandiri dan lepas dari bantuan siapapun termasuk kedua orang tuaku.

Meskipun Ayahku menawarkan sejumlah uang pada Mas Fajar untuk membuka usaha, tapi suamiku itu menolak dengan halus. Mas Fajar tidak ingin menghabiskan sisa hidup kami di bawah bayang-bayang kesuksesan orang tuaku, apalagi sampai menerima uang cuma-cuma guna memperbaiki hidup. Aku bangga dengan sikap Mas Fajar, harga dirinya tinggi dan pantang dikasihani.

“Kamu percaya kan sama Mas?” Tanya Mas Fajar beberapa tahun lalu sesaat setelah acara ijab qabul kami berlangsung.

“Iya Mas, Aku percaya.” Jawabku sembari tersenyum bahagia.

“Aku janji akan jaga Diandra, akan mencukupi semua kebutuhan Diandra tanpa bantuan orang lain.” Mas Fajar menatap lekat wajahku sembari menggenggam jemariku.

“Makasih ya Mas, Diandra bahagia banget.” Ucapku yang langsung disambut helaan nafas lega oleh Mas Fajar.

Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, Mas Fajar langsung mengajakku tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Rumah itu telah dikontrak Mas Fajar sejak dirinya datang merantau dari luar pulau, lingkungan di sekitar rumah ini tentu berbeda jauh dengan rumah keluarga besarku yang berada di kawasan perumahan elit. Puluhan rumah petak berukuran kecil dengan satu atau dua kamar tidur utama terlihat rapi berjejer. Kesan kumuh langsung tergambar di kepalaku saat pertama kalinya menginjakkan kaki dua tahun yang lalu.


Memang awalnya aku sedikit terganggu dengan keadaan di sekitar rumah baruku, tapi aku sudah mengambil leputusan bulat saat menerima pinangan Mas Fajar. Kemanapun dia membawaku pergi, aku akan selalu setia menemaninya. Satu tahun pertama pernikahanku berjalan dengan begitu lancar, Mas Fajar sangat giat bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami, sementara aku membantunya dengan cara berjualan skincare online, meskipun tak banyak menghasilkan tapi kami bersyukur masih bisa hidup secukupnya.

Tak terasa usia pernikahan kami sudah menginjak tahun kedua, tantangan baru kembali muncul. Layaknya pasangan yang sudah menikah, kehadiran seorang anak tentu telah dinanti-nantikan, hal itu pula yang terjadi pada kami berdua. Sebenarnya kehidupan seksualku dan Mas Fajar tak jadi soal, kami rutin melakukannya, apalagi aku juga tergolong wanita yang “hyperseks”. Hanya saja beberapa bulan lalu kami baru menyadari sumber masalahnya adalah pada sperma Mas Fajar yang berkualitas buruk. Kami mengetahuinya setelah berkonsultasi pada dokter kandungan.

Tak hanya itu, satu tahun terakhir, penis Mas Fajar juga tak sekeras biasanya. Setiap kali akan melakukan penetrasi, suamiku itu juga begitu cepat memuntahkan pelurunya, bahkan sebelum aku merasakan penetrasi. Ejakulasi dini dipadu disfungsi ereksi, sebuah kombinasi mematikan dalam hubungan suami istri. Apakah aku kecewa? Iya, aku kecewa, tapi itu bukan alasan untuk tak lagi mencintai Mas Fajar. Aku sudah bNartorar untuk sehidup semati dengannya apapun keadaan yang menimpanya.

***

Aku bangun dari ranjang dan bersiap untuk memulai rutinitas pagiku sebagai seorang ibu rumah tangga. Menyiapkan sarapan untuk Mas Fajar sebelum dia berangkat kerja, kemudian dilanjutkan dengan membersihkan seisi rumah. Saat hendak melangkah ke dapur aku sempatkan memperhatikan tubuhku di depan cermin kaca berukuran besar yang terpasang di lemari bajuku. Secara fisik, penampilanku termasuk di atas rata-rata, tubuhku tidak tinggi namun sintal dengan payudara cukup berisi, rambutku yang sedikit bergelombang biasa kubiarkan terurai hingga dada. Wajahku juga lumayan cantik untuk wanita seusiaku, bahkan tak jarang banyak orang mengira usiaku masih 20 tahunan.

Matahari sudah muncul dengan gagah saat aku selesai menyiapkan sarapan untuk suamiku. Terdengar dari dalam kamar mandi suara guyuran air menerpa permukaan lantai, rupanya Mas Fajar sedang mandi saat aku sibuk menyapu ruang tengah. Kubuka pintu rumahku, beberapa orang tetangga menyapaku ramah, aku menyahuti mereka dengan senyum dan sikap sopan. Salah satu faktor yang membuatku betah tinggal di lingkungan ini adalah keramahan para tetangga, sikap mereka begitu hangat padaku maupun pada Mas Fajar.

“Wah! Wah! Rajin bener, pagi-pagi udah bersih-bersih.” Aku menoleh ke samping dan mendapati sosok Narto sudah berdiri tak jauh dari pagar rumahku yang hanya setinggi dada orang dewasa.

“Hmmm…Iya.” Jawabku tak acuh sembari terus melanjutkan kegiatan menyapuku. Aku selalu tak tenang jika berhadapan dengan pria yang berbadan kekar dengan lengan penuh tatto itu.

“Jangan cemberut gitu dong, nanti hilang cantiknya loh! Hehehehe…” Narto masih belum selesai menggodaku.

Narto adalah salah satu tetanggaku, dia tinggal tepat di belakang rumah kontrakanku. Pria yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dariku itu dikenal sebagai preman kampung. Sudah tak terhitung berapa kali dia jadi biang pemicu keributan di lingkungan ini, namun tak sekalipun dia merasa jera dan berniat memperbaiki hidupnya. Citra buruk yang terbangun justru jadi ladang penghasilan bagi pria berambut gondrong itu.

Pernah dulu saat aku dan Mas Fajar sedang berjalan berdua kembali ke rumah setelah selesai membeli makan kami dihadang oleh Narto  dan gerombolannya. Tanpa segan dia langsung memalak Mas Fajar, suamiku itu tanpa daya langsung menyerahkan seluruh uang di dalam dompetnya karena ketakutan. Waktu itu tentu aku begitu kecewa dengan sikap Mas Fajar yang terlihat begitu lemah di hadapan Narto dan nyaris tanpa perlawanan. Tapi setelah kupikir-pikir apa yang dilakukan oleh suamiku ada benarnya juga, karena melawan Narto yang berbadan kekar tentu bukan hal yang mudah bagi suamiku, apalagi waktu itu Narto tak sendirian, tapi bersama gerombolannya.

Tapi sejak kejadian itu, Narto makin semena-mena terhadap Mas Fajar. Tak jarang saat pulang kerja pada malam hari, suamiku kembali jadi korban pemalakan preman kampung itu. Setiap kali aku tanya, Mas Fajar selalu enggan menceritakannya, suamiku itu selalu berdalih jika Narto hanya bercanda. Pernah aku menyarankan agar melapor ke Polisi saja, tapi usul itu segera ditolak mentah-mentah oleh Mas Fajar. Katanya dia tidak ingin terjadi keributan selama masih tinggal di sini.

“Eh ada Mas Narto, pagi Mas.” Aku baru menyadari jika suamiku sudah selesai sarapan dan bersiap untuk berangkat kerja.

“Pagi juga Jar, tumben udah berangkat jam segini?” Kata Narto berbasa-basi, meskipun begitu preman kampung itu masih menatap tubuhku seolah tak mempedulikan kehadiran Mas Fajar.

“Iya Mas, maklum akhir bulan.” Ujar Suamiku sembari menali sepatunya yang sudah terlihat usang.

“Eh ya Jar, aku boleh minta tolong nggak?” Narto berjalan mendekati pintu pagar rumahku, tanpa meminta ijin terlebih dahulu dia kemudian membukanya dan berjalan masuk. Aku yang kaget seketika langsung berusaha melipir menjauhinya.

“Minta tolong apa ya Mas?” Tanya suamiku, dari raut wajahnya aku yakin jika suamiku juga tak nyaman saat ini.

“Hmmm, jadi gini Jar, nanti siang aku diundang resepsi pernikahan teman baikku. Nah, aku ingin minjem istrimu buat nemenin aku. Sebentar aja kok, paling nggak sampai satu jam.”

“Hah?! Min-Minjem Diandra??” Kami berdua sama-sama terkejut setelah mendengar permintaan Narto. Preman kampung itu kemudian berjalan makin mendekati tubuh suamiku yang terlihat gugup, atau ketakutan lebih tepatnya.

“Ayolah Jar, cuma sebentar aja kok. Nggak bakal aku apa-apain Diandra, aku nggak mau dicap sebagai bujang lapuk terus kalo datang ke resepsi tanpa pasangan. Boleh ya?” Ujar Narto dengan nada bicara penuh intimidasi. Mas Fajar sesaat melirik ke arahku.

“Ta-Tapi Mas…”

“Ayolah, masa kamu nggak mau bantu temen sih?” Kali ini ucapan Narto diselingi sebuah gerakan tangan yang mencengkram kerah baju kerja suamiku. Tatapan tajam penuh ancaman dibNartoan Narto, suamiku terlihat tak berdaya menghadapi preman kampung itu.

“I-Iya saya akan temani. Saya akan temani untuk datang ke resepsi.” Kataku panik seraya menepuk-nepuk pergelangan tangan Narto agar segera melepas cengkramannya pada kerah baju suamiku.

“Nah gitu dong!” Sahut Narto seraya mengembangkan senyum lebar di wajah sangarnya.

“Ta-Tapi Dek….? Kamu yakin?” Mas Fajar seolah tak percaya dengan persetujuanku.

“Nggak apa-apa Mas, aku bisa jaga diri kok.” Kataku mencoba menenangkan Mas Fajar.

“Oke, nanti jam sepuluh aku jemput ya. Makasih ya Jar, selamat bekerja, biar hari ini istrimu aku yang jaga. Hahahahaha!” Tanpa perasaan berdosa Narto segera beranjak pergi dari rumahku.

“Dek…Bahaya ka-kalo…”

“Udah Mas…Lebih bahaya lagi kalo Narto bikin keributan di rumah kita. Sekarang Mas Fajar berangkat kerja aja, urusan sama Narto biar aku yang handle. Tenang, aku bisa jaga diri kok.”

“Ka-Kamu yakin Dek…”

“Iya Mas, nggak apa-apa kok.”




PART 2

 

Panik

Itulah yang aku rasakan saat ini. Di ruang tamu sudah menunggu Narto yang akan membawaku ke resepsi pernikahan salah satu temannya. Setelah mandi sekarang aku bingung harus memakai pakaian apa karena hampir seluruh pakaianku masih berada di tiang jemuran. Satu-satunya yang tersisa di dalam lemari bajuku hanyalah hanya baju batik terusan dengan bagian bawah tidak sampai lutut. Saat aku memakainya terlihat bagian pahaku yang putih mulus, belum lagi di bagian atas yang ukurannya lebih kecil dibanding ukuran buah dadaku membuat payudaraku menyembul begitu saja.

Aku memandangi tubuhku yang terbalut kebaya seksi itu di depan cermin. Aku seharusnya bangga karena kemolekan tubuhku tercetak begitu jelas, tapi yang kurasakan saat ini adalah ketakutan karena orang pertama yang akan melihatnya adalah Narto, preman brengsek yang berhasil membuat Mas Fajar tak berkutik pagi tadi. Setelah menguatkan tekad dan berharap hari ini berlalu cepat aku melangkah ragu-ragu keluar dari dalam kamar.

“Wah!! Kamu cantik sekali Diandra!” Pekik Narto terperangah saat aku berjalan keluar kamar. Mata jalangnya seolah tengah menelanjangiku saat ini. Risih!

“Ayo, kita jadi berangkat atau nggak?” Kataku dengan ketus. Preman kampung itu hanya tersenyum sembari berdiri dari kursi dan berjalan mendekatiku.

“Jangan galak-galak dong, nanti cantiknya ilang, heheheheh.” Ujar Narto sambil mencolek daguku.

“Ih! Apaan sih?! Jangan kurang ajar ya!” Hardikku cepat sembari menghindari sentuhan jarinya.

“Hahahahaha! Ayo kita berangkat, kamu bakal bikin temen-temenku mupeng hari ini!” Seperti sebelumnya, Narto begitu saja melangkah pergi tanpa perasaan berdosa sedikitpun. Aku hanya bisa meruntuk kesal sebelum kemudian mengekor di belakangnya.

“Loh kita naik ini?” Tanyaku, di depan rumahku Narto sudah duduk di depan kemudia sebuah motor RX King dengan jok yang sudah dimodifikasi agak menungging.

“Iyalah, mau naik apalagi? Ayo buruan!” Jawab Narto seraya menepuk-nepuk jok belakang motornya. Aku akhirnya pasrah saja dan menuruti permintaannya meskipun dengan wajah cemberut.

Tadinya aku ingin duduk dengan posisi menyamping, tapi hal itu tidak mungkin dilakukan, sebab bentuk jok motornya terlalu menyulitkan. Alhasil aku harus dibonceng dengan posisi mengangkang. Narto memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi, meliuk-liuk menerabas padatnya lalu lintas. Berkali-kali aku berusaha menutupi paha mulusku yang tersingkap karena bagian bawah pakaianku terangkat akibat hembusan angin. Tapi percuma saja. Akhirnya aku terpaksa membiarkan para pria hidung belang di jalan melihat pahaku yang putih dengan tatapan jalang.

Selang beberapa waktu Narto mengarahkan motornya ke sebuah jalanan tak beraspal mulus, kiri kanan yang terlihat hanyalah hamparan persawahan jagung. Karena jalanan yang bergelombang, Aku terpaksa berpegangan pada bahu Narto supaya tidak terjatuh. Luar biasa, bahunya terasa kokoh sekali. Benar-benar bahu seorang pria sejati.  Tapi aku segera menepis kekaguman itu setelah mengingat bahwa Narto adalah orang yang sering mengganggu kehidupanku dan Mas Fajar.

Tak sampai setengah jam kami sudah sampai di tujuan. Setelah memakirkan motor, Narto tanpa canggung mengamit lenganku dan menggandengku menuju tenda perkawinan yang telah dipenuhi oleh tamu undangan. Beberapa orang yang mengenal Narto menyalami kami berdua. Aku yang canggung memngikuti kemanapun Narto melangkah. Setelah menyalami kedua mempelai, preman kampung itu membawaku menuju meja besar yang berada tak jauh dari kursi pelaminan. Di sana sudah duduk berkumpul belasan pria sangar dengan mata merah karena pengaruh minuman keras. Di atas meja tersaji puluhan botol bir dan miras yang sengaja dipersiapkan untuk tamu undangan.

“Wah gila! Cewek mana lagi nih yang kamu bawa To?” Celetuk salah satu pria yang perawakannya tak kalah sangar dengan Narto.

“Bagi-bagi lah To, emang mau kamu habisin sendiri lonte kayak gitu?” Wajahku merah padam saat dilecehkan oleh salah satu teman Narto yang bertubuh cungkring, di wajahnya terdapat codet bekas luka.

“Hei! Jaga mulutmu! Bangsat!” Umpat Narto tak terima. Suasana mendadak menjadi tegang karena pria cungkring tadi langsung berdiri dari tempat duduknya dan mengeluarkan sebilah badik dari balik bajunya.

“Memangnya kenapa dengan mulutku To? Hah? Nggak terima kamu?”

Wajah pria bertubuh cungkring terlihat memerah, tanda jika pengaruh alkohol begitu kuat menyerang kesadarannya. Beberapa orang yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi berusaha untuk menenangkan emosi pria cungkring itu, pun begitu pula dengan Narto yang juga coba dilerai oleh beberapa orang lain.

“Udah Mas, lebih baik kita pergi aja.” Kataku ikut menenangkan Narto tapi tampaknya preman kampung itu emosinya terlanjur terbakar.

Narto merangsek maju, memicu keributan yang lebih besar. Dua orang berperawakan tinggi besar yang mencoba menahan laju prema kampung itu tak bisa berbuat banyak, Narto berhasil maju dan langsung menghujamkan pukulannya pada si pria cungkring. Suara teriakan dari para tamu undangan seketika pecah, kerumunan orang mencoba melerai perkelahian antar Narto dan si pria cungkring. Aku sendiri ikutan panik dan tak tau harus berbuat apa hingga selang beberapa waktu kemudian Narto berhasil dijauhkan dari pergumulan, wajah si pria cungkring sudah babak belur sementara Narto hanya menderita luka sedikit di pelipis matanya.

“Baru minum sedikit udah banyak tingkah Lu! Anjing!” Umpat Narto sesaat setelah berhasil dijauhkan. Si pria cungkring masih nampak kesakitan, mulut besarnya tak lagi terdengar.

“Udah To, lebih baik kamu dan pacarmu pergi aja dari sini, nggak enak sama keluarga pengantin.” Ujar salah seorang pria yang berambut gondrong. Narto masih nampak kesal, meskipun begitu dia menuruti permintaan salah satu temannya itu.

“Ayo kita pulang.” Kata Narto singkat sembari mengamit lenganku dan melangkah keluar meninggalkan acara resepsi.

Banyak mata memandang kami dengan tatapan miris, namun begitu dalam hatiku bersorak gembira karena untuk pertama kalinya dalam hidup ada seorang pria yang berani membelaku mati-matian bahkan sampai baku hantam. Mustahil Mas Fajar bisa melakukan hal yang sama. Narto menyalakan motornya, tanpa diperintah aku langsung naik di boncengan. Sepanjang perjalanan Narto hanya terdiam seribu bahasa, aku juga tak berani membuka percakapan, takut kalau preman kampung itu masih dalam keadaan emosional. Kami berdua akhirnya telah sampai di depan rumahku, aku turun dari boncengan dan melihat pelipis mata Narto masih mengeluarkan darah segar akibat perkelahian tadi.

“Terima kasih ya sudah mau menemaniku, maaf kalau ada keributan tadi di tempat resepsi.” Entah kenapa perangai Narto yang kasar dan urakan berubah jadi begitu lembut saat ini.

“Iya nggak apa-apa, terima kasih juga sudah membelaku.” Balasku.

“Eh ya, kamu ada obat merah nggak?” Tanya Narto sembari mengangkat alisnya yang berdarah.

“Ada sih, tapi…”

“Aku boleh minta?” Melihat darah segar masih mengucur dari pelipis matanya membuatku jadi tak tega.

“Ya sudah ayo masuk dulu.”

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mempersilahkan pria lain masuk ke dalam rumah saat Mas Fajar pergi. Narto langsung sigap memakirkan motornya dan melangkah masuk ke dalam rumah mengikutiku. Di ruang tamu, pria berbadan tegap itu langsung duduk di ruang tamu sementara aku masuk ke dalam kamar untuk berganti baju dan mengambil obat merah. Namun sesuatu yang tak terduga terjadi begitu cepat, saat aku hendak menutup pintu kamar tiba-tiba Narto sudah berdiri di hadapanku, aku sama sekali tak menyadari jika preman itu mengikuti langkah kakiku menuju kamar. Seringai menakutkan tergambar di wajahnya.

“Loh?! Mau ngapain kamu?!” Hardikku setengah histeris.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Narto merangsek maju, mendorong tubuhku ke dalam kamar hingga terjengkang di atas lantai. Narto kemudian menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Setelah menutup pintu, tiba-tiba Narto membuka bajunya. Sesaat aku terpesona melihat dadanya yang begitu bidang dan perutnya yang kotak-kotak.

“Kamu mau ngapain?! Keluar! Pergi atau aku teriak sekarang juga!” Ancamku dengan raut wajah ketakutan.

“Coba aja kalo kamu berani teriak! Fajar bakal terima akibatnya!” Balas Narto mengancamku.

Aku tau dia begitu serius dengan ucapannya, Narto tidak akan segan-segan menyakiti orang lain jika kemauannya tak dituruti. Kejadian tadi di tempat resepsi sudah membuktikannya, Narto tak takut memicu keributan jika emosinya terpancing, menyakiti suamiku tentu bukan hal sulit bagi preman kampung ini. Aku terkesiap tak tau harus berbuat apa. Ketakutan seketika menjalari seluruh tubuhku. Narto melangkah mendekatiku, memelukku dengan kasar kemudian menarikku menuju atas ranjang.

“Jangan melawan, nikmati saja. Aku janji akan memuaskanmu Diandra…” Bisiknya penuh intimidasi.

Aku tersentak dan berusaha memberontak. Pikiran negatifku terbukti, Narto hendak memperkosaku! Tapi, aku tidak berani teriak, aku seperti tak bisa mengontrol tubuhku sendiri. Narto berusaha menciumku, tapi aku menolaknya dengan menggeleng-gelengkan kepala.

“Jangan! Jangan...kumohon!!” aku mengiba dan terisak.

Tanpa mempedulikan permohonanku Narto terus berusaha menyosor bibirku. Pada sebuah kesempatan, akhirnya ia berhasil melumat bibirku. Tangannya yang kasar itu mulai meraba-raba dadaku. Ia melakukannya dengan tegas khas lelaki yang kuat. Sesekali ia juga melakukannya dengan lembut. Tubuhku benar-benar dibuat belingsatan.

Aku mati-matian berusaha menahan nafsu yang mulai melanda. Tapi, aku tidak bisa menipu diri sendiri. Entah kenapa lama-lama aku mulai membalas ciuman Narto yang menggairahkan itu. Bahkan ketika Narto memelorotkan baju batik yang kupakai, aku tidak menolaknya sama sekali. Narto mengangkat kedua tanganku, lalu ciumannya mengarah ke ketiakku.

 Ia melepas BH-ku hingga kedua buah dadaku yang padat dan kencang itu tersingkap. Narto meremas-remas dadaku sambil tetap menjilati ketiakku. Sesekali tangannya juga meraba-raba puting susuku dengan lembut. Oh, rasanya nikmat sekali. Aku menggigigit bibir bawahku karena keenakan.

“Mas Fajar maaf, aku tidak sanggup lagi…” tangisku dalam hati.

Aku merasa bersalah sekali. Aku telah membiarkan orang lain yang bukan suamiku menjamah tubuhku, mencumbuiku serta menikmati dadaku. Padahal, selama ini yang bisa melakukannya hanya Mas Fajar, suamiku. Tapi, aku membela diri bahwa aku tidak punya pilihan lain. Jika memberontak, bisa saja Narto menyakitiku, lebih-lebih membuat Mas Fajar celaka kemudian hari. Nafsu pun semakin menguasaiku. Aku meremas-remas kepala Narto sambil mendesah-desah.

“Ouuucchhhhh…Ouucchhhhh….”

Ciuman Narto terus turun hingga mencapai perutku. Aku mengerang keenakan. Tangannya yang kokoh itu mencoba melepaskan celana dalam warna hitam yang kupakai. Bukannya menolaknya, aku malah mengangkat pantatku supaya celana dalamku mudah dilepas. Tak butuh waktu lama hingga aku benar-benar telanjang bulat.

Narto membuka kedua pahaku, lalu mengamati vaginaku yang ditumbuhi bulu-bulu yang tipis dan rapi. Rupanya vaginaku sudah sangat basah. Aku merasa malu sekali. Narto adalah orang pertama yang melihat kemaluanku selain suamiku sendiri. Tiba-tiba, kepala Narto masuk ke pangkal pahaku, lalu mencium dan menjilati vaginaku.

“Aaakhhh...Ssshhh!!!” Aku menjerit kecil sambil menggigit bibirku sendiri.

Baru kali ini aku merasakan sensasi seperti ini. Bahkan Mas Fajar pun belum pernah melakukannya sama sekali. Aku serasa terbang di awang-awang. Rasanya sungguh nikmat! Narto sepertinya tahu di mana titik-titik sensitif seorang wanita. Saat itu aku benar-benar tidak mempedulikan statusku lagi sebagai istri Mas Fajar. Aku di bawa ke langit ketujuh oleh Narto.

Aku mengencangkan kedua pahaku hingga kepala Narto jadi agak terjepit. Meski demikian, hal itu tidak menganggu aktivitasnya. Ia tetap memainkan lidahnya pada permukaan vaginaku, sementara tangannya meremas-remas dadaku. Aku tidak bisa membayangkan, apa yang terjadi jika Mas Fajar melihatku dalam kondisi seperti ini. Apakah ia akan diam saja atau melawan Narto?

 Beberapa saat kemudian, Narto berhenti menjilati vaginaku. Ia melepas celana panjang dan celana dalamnya dengan cepat. Astaga, penis Narto besar sekali! Tegak dan benar-benar terlihat kokoh, sangat serasi dengan tubuhnya yang kekar itu. Narto membangunkanku, lalu memaksaku untuk mengoralnya. Aku pun menuruti kemauannya dengan setengah terpaksa. Lagi-lagi ini adalah pengalaman pertamaku.

Aku mencium penis Narto dengan canggung, lalu mulai mengoralnya. Rasanya asin. Narto sepertinya suka sekali dengan caraku mengoralnya. Tangannya meremas kepalaku, dan sesekali menyingkirkan rambutku yang panjang  dari wajahku. Tiba-tiba saja aku merasa hina. Aku adalah seorang istri baik-baik, tapi sekarang malah mengoral penis seorang preman, bahkan seorang yang sangat kubenci.

“Eeemmccchhh!! Eeemcchhh!!!” Dengusku saat penis Narto menyesaki mulutku, sesaat kulirik prema kampung itu, seringai mesum terlihat di wajahnya.

“Ouucchh!! Enak banget isepanmu…” Ujar Narto sembari mengelus-elus kepalaku.

Narto menarik penisnya dari mulutku, lalu melumat bibirku. Aku membalas ciumannya itu dengan penuh gairah. Lidahku dan lidahnya saling terpagut. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku, semuanya berjalan begitu saja. Tanganku secara spontan merangkul kedua lehernya. Siapapun yang melihat kami pasti sepakat bahwa adegan itu bukan merupakan sebuah pemerkosaan.

Narto menidurkanku, lalu membuka kedua pahaku yang sintal dan padat berisi itu. Vaginaku pun terbuka lebar. Bulu-bulu hitamnya tampak kontras dengan pahaku yang putih. Aku sudah benar-benar pasrah. Ia menjilati leher dan ketiakku, lalu perlahan-lahan mulai memasukkan penisnya ke vaginaku.

“Jangan…Jangan…Jangan…” Mulutku menolak dan tubuhku meronta untuk menghindari disetubuhi olehnya, namun vaginaku terasa gatal sekali.

Di satu sisi aku ingin segera menikmati penis besar Narto yang nampak lebih perkasa dibanding milik Mas Fajar, tapi di sisi lain hati nuraniku berkata untuk menjaga kesucianku sebagai istri yang baik.

“Aaaaaaah….!!!!” Aku menjerit kecil saat penis Narto berhasil masuk ke liang kenikmatanku. Perlahan namun sukses membuat lubang senggamaku terasa begitu sesak.

Aku mendongakkan kepala ke atas dan membusungkan dada. Nikmatnya sungguh tidak terperi! Selanjutnya Narto mulai menggerakkan pinggulnya naik turun secara konstan, preman kampung yang begitu kubenci itu berhasil menyetubuhiku. Aku mendesah-desah dengan penuh gairah saat Narto menggenjot tubuhku. Tubuhnya bersimbah peluh. Begitu pula dengan tubuhku. Aku meraba-raba dadanya yang bidang dan gagah. Saat itu pula aku sudah tidak bisa mendengarkan nuraniku lagi, aku pun larut dalam nikmatnya birahi.

Setelah beberapa lama, kami pun berganti posisi. Narto menyuruhku menungging, lalu mulai menggenjotku dari belakang. Tangannya mencengkeram kedua pinggangku. Aaah, Narto benar-benar pintar bercinta. Desahanku pun semakin keras saja. Aku tidak peduli bila sampai ada orang yang mendengarnya.

“Aaachhh!!! Aaachh!!!!”

 Tubuhku meliuk-liuk tak beraturan. Setelah beberapa lama, kami berpindah posisi lagi. Kali ini aku kembali berada di bawah, sementara Narto menggenjotku dari atas sambil mengamati wajahku yang terlihat memerah karena keenakan. Aku merasa malu sekali dipandangi dalam keadaan seperti ini. Tapi, aku sudah tidak peduli lagi. Aku hampir mendapatkan orgasme, dan Narto masih terus menggenjotku.

“Ouucchh! Cepetin! Cepetin!!” Pintaku bersemangat.

Bukannya menuruti kemauanku yang sudah diambang orgasme, Narto justru memperlambat genjotan penisnya pada vaginaku. Pria berambut gondrong itu rupanya sengaja mempermainkanku, memaksaku agar memohon kepadanya. Narto merundukkan tubuhnya, dengan rakus dia kembali menciumi bibir tipisku, aku pun membalas ciumannya tak kalah ganas. Berkali-kali kurasakan vaginaku berdenyut di bawah sana, menagih untuk kembali dirojoki penis kekar Narto.

“Enak ya?” Tanya Narto.

“Banget…Please…terusin….Please…” Pintaku kembali tak rela jika Narto mengendorkan tusukan penisnya.

“Aku keluarin di dalem ya…”

“Hah? Jangan! Jangan keluarin di dalem! Keluarin di luar aja!” Narto menggerakkan penisnya dengan sangat perlahan, menggelitik tiap senti liang senggamaku.

“Cepetin lagi….” Aku menatap Narto dengan pandangan sayu sambil memohon kepadanya, sungguh aku benar-benar merendahkan harga diriku sendiri.

“Aku mau ngeluarin di dalem. Boleh, kan? Aku mau bikin kamu hamil.” kata Narto sambil menyeringai. Aku tersentak kaget.

“Jangan! Aku mohon, keluarin di luar aja!” Ucapku sambil berusaha menggoyang-goyangkan pinggulku sendiri, sebab genjotan Narto menjadi sangat lambat. Narto diam saja, lalu benar-benar menghentikan genjotannya.

“Ya udah kalo nggak mau crot dalem, kita udahan aja.” Ancam Narto, aku kembali menoleh ke wajahnya dengan tatapan sayu.

“Aku mohon jangan berhenti…Ayo entotin aku lagi…”

Aku benar-benar memohon kepadanya supaya Narto kembali melanjutkan genjotannya. Seperti ada sesuatu yang mau meledak di dalam vaginaku, tapi tertahan sehingga membuatku gelisah. Narto masih diam. Aku sudah tidak tahan lagi, lalu berkata dengan lirih dan pasrah kepadanya.

“Ya udah, keluarin di dalem.”

“Apanya? Ngomong yang jelas!” Seru Narto.

“Keluarin pejunya di dalem aja supaya aku hamil! Kamu boleh menghamiliku! Ayo, hamili aku!” Aku setengah berteriak.

Aku kaget mendengar ucapanku sendiri. Rupanya aku benar-benar sudah dikuasai nafsu sehingga mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh itu, betapa murahannya aku menyadari diriku menjadi seperti ini. Narto tersenyum penuh kemenangan, lalu kembali menggenjotku. Aku mendesah-desah tak karuan. Tanganku menggapai-gapai benda apa pun yang bisa kugenggam.

“Ouucchh! Iyah!! Enak! Terusin! Genjotin memekku! Aaachh!!”

“Sedikit lagi… sedikit lagi… ayoo….” Aku terus menyerocos tak karuan. Aku mulai mendekati puncak kenikmatan. Belum pernah aku merasakan proses yang demikian hebat itu, sebab selama ini Mas Fajar tidak mampu mengimbangiku.

Sepertinya Narto juga mau keluar. Ia memelukku dari atas, lalu melumat bibirku. Aku membalas ciumannya dengan panas. Aku pun memeluk punggungnya dengan erat. Dadaku menempel dengan erat di dadanya yang kekar. Narto semakin mempercepat genjotannya. Desahanku semakin keras, tapi tidak terdengar jelas karena bibirku sedang dilumat oleh Narto. Beberapa detik kemudian….

“Aaaahhhh!!!” Aku menjerit sambil membusungkan dada.

Tubuhku melengkung ke atas. Pangkal pahaku bergetar hebat. Jari-jari tanganku mencengkeram punggung Narto dengan kuat. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Aku benar-benar terbang ke puncak kenikmatan dunia. Tubuh Narto juga terasa bergetar. Rupanya kami orgasme bersama-bersama.

Sperma milik preman kampung itu memancar dengan kuat dan membanjiri liang kehormatanku. Aku telah membiarkan cairan lelakinya masuk ke dalam vaginaku. Kami sama-sama diam, mungkin masih menghayati sisa-sisa kenikmatan yang ada. Napas kami terengah-engah.

“Aaahhh! Gila ini enak banget..” Dengus Narto seraya memelukku. Aku seolah habis dibawa ke puncat tertinggi dunia dengan segala macam kenikmatan yang sulit kulukiskan dengan kata-kata.

“Cepat pergi dari sini, nanti ada orang yang tau.” Otak warasku bekerja, kulepas dekapan Narto. Sekilas kulihat raut kekecewaan di wajahnya. Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan kembali memakai pakaianku.

“Maafin aku ya..” Ujar Narto, entah kenapa aku merasa wajahnya jadi begitu teduh saat ini, tak lagi segarang biasanya.

“Udah lupakan aja, aku harap ini pertama dan terakhir kalinya. Jangan ganggu kehidupanku dan kehidupan Mas Fajar lagi.” Kataku dengan dingin.

“Baik kalau begitu aku pamit dulu, sekali lagi aku minta maaf.” Setelah mengenakan pakaiannya, Narto melangkah pergi meninggalkan kamar dan rumahku. Kudengar suara motornya menyala sebelum kemudian berangsur pergi.


Posting Komentar

0 Komentar