BERCUMBU DENGAN DENDAM

 


GENRE : DRAMA EROTIC
JUMLAH HALAMAN : 133 HALAMAN
HARGA: Rp 20.000
ORDER PDF FULL VERSION 👉 KLIK INI CUY


PART 1

 

Seperti malam minggu lainnya, Royal Palace, sebuah club malam di daerah Jakarta Utara sudah dibanjiri tamu. Mereka yang datang bukan orang sembarangan melainkan orang-orang kaya, pengusaha sukses, hingga orang-orang terkenal yang sering muncul di televisi. Mereka pun tidak datang sendirian melainkan disertai beberapa pengawal pribadi. Beberapa di antara mereka juga ditemani wanita-wanita yang penampilannya tak kalah cantik dan keren dari bintang sinetron papan atas.

“Tamu penting sudah datang.” Bisikan serak di telingaku membuatku terlonjak kaget.

 Sialan!

Kenapa sih Pak Danu senang sekali mengagetkanku. Padahal aku juga sudah melihat seorang pria berwajah angkuh yang baru saja memasuki ruang VIP. Bastian Abraham namanya.

Pengusaha ternama berusia empat puluh satu tahun yang memiliki banyak gurita bisnis, mulai dari pabrik kondom sampai tambang batu bara. Bastian begitu ia biasa disebut, dikenal sebagai konglomerat berdarah dingin. Ia melibas pesaing bisnisnya tanpa ampun dan menghajar semua pihak yang dianggap menghalangi geraknya.

Delapan pengawal berambut cepak dan bertubuh kekar selalu mengelilingi Bastian. Selain itu ada pula seorang lelaki mengekor persis di belakangnya, namanya Gilbert Abraham. Wajah keduanya seperti pinang dibelah dua karena keduanya memang kembar, tapi aura yang memancar dari keduanya bertolak belakang. Bila Bastian tampak dingin dan berkarisma, maka Gilbert terlihat lemah dan tolol. Senyum konyol tak pernah lepas dari bibir Gilbert, membuatnya terlihat seperti orang terbelakang.

“Kasihan cewek-cewek itu.” Desah Pak Danu sambil menggeleng prihatin saat melihat Gilbert menggandeng dua cewek cantik berkulit kuning pucat dengan rambut lurus berwarna karamel.

“Mereka nggak akan bisa pulang dengan utuh kalau sudah dipegang orang sadomasokis macam Gilbert.”

Hah? Orang yang terlihat lemah itu sadomasokis? Aku tak sempat melongo lebih lama karena kulihat empat wanita cantik lain segera mengerumuni Bastian. Aksi keempat bidadari itu sedikit terhalang oleh ketatnya pagar betis yang memagari sang pengusaha sukses, tapi tak lama kemudian tangan Bastian menunjuk salah satu diantaranya dengan gaya angkuh.

Tanpa sadar aku mengernyitkan kening saat memikirkan bagaimana caraku bisa mendekati bajingan sombong itu. Waktu yang kumiliki tidak banyak. Selama hampir sebulan di sini baru kali ini kulihat Bastian berkunjung, sedangkan aku tidak tahan berada di tempat keparat ini lebih lama lagi.

Tubuhku berjengkit saat tangan Pak Danu menggerayangi punggungku. Kontan aku beringsut menjauh, tapi jari-jari gemuknya yang dililit cincin bermata berlian dan batu giok mencekal lenganku dengan kuat hingga aku meringis menahan sakit.

“Apa aku menggajimu hanya untuk menonton saja?”

Desisannya terasa panas di telingaku, kemudian disusul jilatan menjijikkan di daun telingaku. Aku bergidik sekaligus menggeleng seraya berusaha melepaskan diri, tapi pemilik Royal Palace ini malah menarikku dengan kasar hingga hidung kami hampir beradu.

“Kamu sudah sembuh dari diare dan harusnya hari ini kamu juga sudah nggak mens lagi. Sudah seminggu lebih kan? Aku nggak puas cuma dioral. Aku mau ngrasain memekmu malam ini.”

Saat itu juga aku ingin muntah, persisnya memuntahi muka si babi mesum ini. Aku benci sekali bila harus diingatkan pada kewajiban mengoral penis bos Royal Palace ini tiap malam. Dia memang selalu mencobai vagina semua karyawan perempuannya dan selama ini aku selalu menghindar dengan berbagai macam alasan.

Cukup sudah penis buntek itu menjadi penis pertama yang memasuki mulutku, tapi tidak untuk liang vaginaku. Untung saja saat itu salah seorang bodyguard Bastian melambaikan tangan memanggil waitress untuk memesan minuman dan kebetulan aku yang berdiri paling dekat dengan meja mereka.

Tanpa banyak kata Pak Danu melepaskan lenganku, tapi tangannya masih sempat meremas pantatku dengan gemas. Darahku mendidih. Aku langsung nekat menjalankan rencanaku meski nyawaku menjadi taruhannya. Lebih baik mati daripada harus ditiduri babi mesum brengsek ini.

Aku tahu, seharusnya aku berpikir panjang supaya tidak menyesal nantinya. Aku masih muda, baru 24 tahun. Masih banyak hal yang bisa kunikmati dalam hidup daripada mati konyol, tapi aku sudah mantap berjibaku.

Hatiku bersorak gembira begitu mendengar Bastian memesan Flaming Ferraris. Sudah kuduga pria itu pasti memesan minuman favoritnya. Minuman beralkohol pekat yang disajikan dalam sloki itu harus dibakar sebelum diminum untuk mengurangi kadar alkohol agar tidak membakar tenggorokan yang meminumnya. Tapi kali ini minuman itu akan membakar sang pemesan. Aku ingin bajingan angkuh itu merasakan bagaimana rasanya mati terbakar seperti yang dia lakukan pada Papaku empat bulan yang lalu.

 

***

 

Papaku sempat bersaing ketat dengan Bastian dalam memperebutkan konsesi batu bara di Kalimantan. Setelah menerima berbagai intimidasi dan tidak juga mau mundur, Papaku tewas mengenaskan. Mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan misterius, jatuh ke dalam jurang dan habis terbakar.

Seharusnya aku juga ikut mati dalam insiden kecelakaan itu, tapi di saat terakhir aku membatalkan keberangkatanku karena tak ingin duduk bersama dengan pelacur peliharaan Papa yang selalu memberiku pandangan menjijikkan. Papaku memang bukan orang suci. Papa buaya tulen bahkan sampai membuat Mamaku mati karena sakit hati saat aku masih kecil. Setelah kepergian Mama, Papa tak pernah menikah lagi dan berusaha mengasuhku sebaik mungkin sembari mencicipi berbagai jenis wanita nakal.

Semua orang mengira aku sudah mati. Mereka pikir tubuh wanita gosong dalam bangkai mobil itu mayatku. Aku terpaksa bersembunyi sambil menyusun rencana membalas dendam. Kemarahanku makin menggunung melihat harta warisan Papa yang seharusnya menjadi milikku dicaplok Bastian tanpa ada perlawanan sama sekali dari keluarga besarku yang pengecut.

Namun membalas dendam pada bajingan yang punya beking aparat, memiliki pengacara terkenal dan dikawal pasukan bodyguard tidaklah mudah. Setelah mengikuti gerak-gerik Bastian selama sebulan penuh, aku tahu penjagaan terlemah adalah saat dia berada di Royal Palace. Maka aku pun nekat menyamar sebagai waitress di sini.

“Mulai sekarang sampai jahanam sialan itu mati tidak akan ada Larasati Rachel Tanuseja lagi. Yang ada Lara Tan!” Tekadku dalam hati sebelum menginjakkan kaki memasuki gedung mewah yang pintu utamanya diapit dua patung unicorn ini.

Sekarang aku sudah menembus barisan kawalan Bastian yang sudah tidak serapat tadi. Calon korbanku tidak mengenaliku lagi. Aku memang sudah banyak berubah. Tubuhku yang mirip buntelan lemak itu sudah menciut hingga separuhnya. Dendam sudah menggerus rasa laparku.

Aku pura-pura tersandung dan menumpahkan isi sloki ke pangkuan Bastian. Aku memang mengincar penisnya karena sebagai seorang playboy, penis terbakar rasanya pasti lebih menyakitkan daripada muka terbakar. Tangan kanan siap melemparkan geretan yang menyala, tapi,

 Astaga!

Ternyata ada seorang wanita di kolong meja  sedang mengoral penis Bastian. Isi sloki mengguyur kepala wanita itu dengan sukses.

Aku tertegun.

Berkali-kali aku berlatih membakar guling dan boneka, semuanya tak pernah gagal, tapi sekarang…

 Brengsek!

Mengapa hal sebodoh ini bisa terjadi? Aku masih terdiam sementara wanita itu memaki-maki. Seorang pengawal dengan cekatan mencekal lenganku dan menggiringku menjauhi meja Bastian. Kulihat Pak Danu memelototiku. Celaka, malam ini penis buntek itu akan menyesaki vaginaku.

“Hei, apa aku sudah menyuruhmu membawa dia pergi?”

Aku kembali digiring ke hadapan Bastian. Dengan menyipitkan matanya, Bastian men-scan tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Anak baru ya?”

“Ya.”

“Namamu?”

“Lara.”

“Kenapa kamu nggak minta maaf?”

“Maaf, aku nggak sengaja. Akan kuganti minuman Bapak dengan yang baru.”

Semua jawabanku tak bernada ramah bahkan boleh dibilang ketus. Aku masih merasa kesal pada diriku sendiri pada situasi kacau ini sehingga tidak bisa menutupi kejengkelanku. Pak Danu mendadak muncul merunduk-runduk meminta maaf pada Bastian sambil kembali mencengkeram lenganku dengan kasar untuk memaksaku meminta maaf dengan lebih sopan.

“Aku sudah nggak mau minum lagi.” tukas Bastian usai aku meminta maaf lagi dengan nada terpaksa.

“Kamu di sini saja, gantikan dia.”

Kurang ajar!

Dia pikir aku sama seperti pelacur itu? Aku pura-pura tidak mendengar dan beranjak pergi, tapi Pak Danu dan seorang bodyguard memaksaku berlutut di hadapan Bastian. Semua wanita yang tadi mengerumuni Bastian menyingkir sambil memelototiku.

“Tunggu apa lagi? Bukannya kamu sudah biasa ngemutin kontol?” Desak Pak Danu.

Aku merasa terhina.

Ingin kubakar penis panjang di hadapanku, tapi geretan di tanganku sudah direbut Pak Danu. Bastian duduk bersandar dengan santai sementara penisnya yang sudah berdiri tegang menungguku dengan angkuh.

Aku terkejut melihat penisnya lumayan besar dan panjang, karena tubuh Bastian sedang-sedang saja malah boleh dibilang kurus. Aku diam saja sambil memandang ke arah lain, tapi salah satu bodyguard memegangi kepalaku erat-erat sambil menuntun bibirku ke arah penis majikannya. Aku terus menutup mulutku meski Pak Danu menjambak rambutku yang dikuncir ekor kuda, menampar pipiku dan memukul punggung serta lenganku dengan keras.

“Terus! Hajar teruss! Lagi! Lagi!”

Gilbert tampak gembira melihatku dihajar. Sampai-sampai ia juga ikut menjambaki dan memukuli kedua wanita yang sedang bergantian mengoralnya. Bastian sendiri tidak ikut memukulku. Pria itu hanya menontonku dengan penuh minat.

“Sudah sukup! Kalau dia nggak mau nggak usah dipaksa!” Tukas Bastian melihat Pak Danu mencoba membuka mulutku dengan paksa.

 “Tenang, masih ada mulut lainnya.”

Hajaran Pak Danu membuat mataku sedikit berkunang-kunang sehingga reaksiku lamban saat melihat Bastian memakaikan kondom pada penisnya. Kondomnya aneh, bergerigi kecil di sekujur batang sehingga mirip kaktus.

Mendadak Bastian menarikku bangun. Aku yang masih terhuyung, menjerit kaget saat pria itu mendorongku ke atas meja. Botol dan gelas minum di atas meja disapu Bastian hingga jatuh ke lantai, pecah berantakan. Tak sempat kubayangkan seperti apa wajah Pak Danu karena aku sudah panik memikirkan diriku sendiri.

Aku tergeletak di atas meja dengan seragam acak-acakan. Rok mini hitamku tersingkap dan kancing-kancing kemeja putih lengan panjangku sebagian sudah terbuka. Tangan Bastian bekerja cepat sekali bahkan sekarang sudah berhasil mencengkeram ujung celana dalamku dan menariknya ke bawah.

Gila!

Dia ingin memperkosaku di depan umum?!

“Jangaan! Aku nggak mau! Tolong! Toloong!” Teriakku panik sambil meronta.

Tapi tidak ada yang mau atau berani menolongku. Aku mulai memaki, semua perbendaharaan kata kasarku meluncur keluar. Pak Danu membentak marah, tapi saat tangan gemuknya ingin menampar pipiku, sebuah tangan kekar mencengkeram tangannya hingga kudengar babi tua itu merintih sakit.

“Aduh! Aduh! Ampun Bang!”

Rupanya pengawal Bastian tahu kalau bosnya tidak ingin bantuan dari orang lain lagi. Pria itu ingin membereskanku sendirian. Kuayunkan kakiku kuat-kuat saat Bastian mengangkangkan kakiku lebar-lebar. Aku bertekad akan menendang penis yang berdiri itu dengan keras hingga memar.

Kuayunkan jari-jariku yang berkuku tajam. Tapi Bastian yang tubuhnya tidak kekar itu ternyata sangat kuat. Dengan satu tangan dia menahan kedua pergelangan tanganku di atas kepalaku. Dan dengan pecahan botol, disobeknya celana dalamku.

“Tidak! Tidaaak! Tida…Aaaargh! Aaaaah!”

Aku melolong kesakitan saat penis itu menembus paksa liang vaginaku yang masih perawan. Aku terus meronta, tapi hal itu malah membuat Bastian makin bernafsu. Sebelah tangannya meremasi payudaraku dan bibirnya melumat bibirku. Kugigit bibirnya keras-keras hingga berdarah.

Tapi ia malah tertawa dan menggenjotku makin keras. Dirobeknya kemejaku dan memelorotkan BHku. Dilumatnya payudaraku dengan lahap dan digigitnya pentilku dengan keras. Aku menggeleng-geleng, mencoba menghilangkan rasa sakit seraya berharap semua ini hanya mimpi buruk.

Namun sia-sia. Rasa sakit itu tak kunjung hilang, malah makin menjadi. Tubuhku berayun keras seiring genjotan Bastian yang makin cepat hingga bergeser ke ujung meja. Kepalaku sudah tergantung di tepi meja dan rambutku menyapu lantai. Teriakanku melemah dan pandanganku mengabur.

Sempat kulihat wajah Pak Danu yang tampak gemas, dia pasti menyesal tidak mencicipi tubuhku lebih dulu. Aku juga melihat pandangan sirik para wanita penghibur yang tersingkir. Tatapan dingin para pengawal membuatku menggigil, kejadian ini pasti sudah sering mereka lihat. Yang paling ribut malah Gilbert yang terus berteriak sambil menjambaki dan menampari kedua pelacurnya.

Tiba-tiba Bastian berhenti, mencabut penisnya dan menyorongkannya ke wajahku. Aku berpaling karena tak ingin mengulum penisnya, tapi teriakan tertahan para penonton membuatku penasaran dan kembali menatap penis jahanam yang masih terbungkus kondom kaktus itu. Ada darahku di sana.

“Ternyata dia masih mens!” Ucap Pak Danu tak percaya. Para wanita penghibur melenguh jijik. Gilbert tertawa gembira, tapi Bastian malah mendengus sinis.

“Ajaib. Perawan kok bekerja di tempat seperti ini.” Ujarnya mengejek.

“Pe..perawan? Dia masih perawan?” Pak Danu terbata dengan nada menyesal.

“Tadinya…” Sahut Bastian sambil mengocok penisnya yang belum ejakulasi.

Aku sedang berusaha bangun saat pria itu menyemprotkan spermanya ke dadaku sehingga menyiprat ke leher dan wajahku. Semua orang menahan napas melihatku menampar dan meludahi wajah Bastian sebelum turun dari meja dengan tergesa sambil merapatkan kemejaku yang sobek.

“ANJING! BAJINGAN!”

Seharusnya aku tidak melakukan hal yang membuatnya marah, tapi kepalaku sudah dikuasai emosi dan kebencian. Yang kupikirkan hanyalah pergi dari neraka ini sesegera mungkin. Tapi aku tidak bisa keluar dengan penampilan sekacau ini jadi aku menuju ruang ganti karyawan untuk berganti pakaian.

Tak kupedulikan tatapan para tamu dan karyawan lain pada tubuhku yang setengah telanjang. Tubuhku gemetar, tapi aku tidak menangis. Aku sudah siap dengan segala resiko dari rencana balas dendamku, meskipun aku tidak pernah membayangkan akan menerima pelecehan dan penghinaan seperti ini.

Amarahku makin menggelegak dan ingin rasanya mencabik-cabik tubuh Bastian seperti ia mencabik celana dalamku tadi. Pintu terbuka dan Pak Danu masuk sebelum aku sempat berganti pakaian. Dia menatapku dengan pandangan aneh.

“Kamu boleh pergi sekarang.”

“Jadi aku dipecat setelah diperkosa di depan umum?” Balasku dengan suara bergetar menahan marah. Babi tua itu seperti ingin mendekatiku, tapi tidak berani.

“Aku nggak tahu, kamu ini beruntung atau sial. Bereskan bajumu. Kamu nggak mau membiarkan dia menunggumu lama-lama kan?”

“Dia? Dia siapa?”

“Bastian. Dia sudah membelimu. Lima juta.”

Astaga!

Keperawanan dan harga diriku cuma dihargai lima juta? Aku ternganga sebelum menyemburkan amarahku.

“Enak saja! Memangnya sejak kapan kau memilikiku? Dengar ya, aku bukan pelacur yang bisa diperjualbelikan!”

“Semua itu salahmu sendiri. Kalau kamu nggak membohongiku…”

“Memangnya kau berani membelaku di depan bajingan sialan itu?”

Serentetan cacian yang kutujukan pada Bastian tak juga berhenti meski si angkuh muncul dari balik pintu dengan wajah dingin. Pak Danu langsung menyingkir keluar, meninggalkan kami berdua.

“Sepertinya kamu harus diajari sopan-santun.” Tukas Bastian sambil mendekatiku dengan gaya mengancam.

“Seumur hidupku belum pernah ada yang meludahiku apalagi di depan umum.”

“Seharusnya sudah sejak dulu kau diludahi!” Ucapku marah sambil berusaha menghujamkan jepit rambut ke matanya.

Seperti tadi, tangannya bergerak cepat. Dengan sekali gerakan dia sudah berhasil menepis tanganku hingga jepit rambut terjatuh. Gerakan selanjutnya adalah memitingku. Tapi aku tidak tinggal diam. Aku terus melawan.

BRAK!

Punggungku menghantam lemari loker setelah didorong dengan keras. Untung tidak ada pegangan loker atau kunci yang menancap di lubang kunci, kalau tidak punggungku pasti sudah bolong. Aku terjepit sementara Bastian merobek kemejaku dan menurunkannya sehingga kedua lenganku tertahan oleh lengan panjang kemejaku sendiri.

Aku nyaris tak bisa bernapas karena Bastian melumat bibirku dengan penuh nafsu. Lalu dia menyumbat mulutku dengan sesuatu yang kenyal dan berbau karet.

Astaga!

Rupanya kondom kaktus bekas tadi! Aku berusaha memuntahkan kondom bekas yang masih berlumur cairan vagina dan darahku itu tapi tak bisa.

Bastian mengangkat kaki kananku dan menghujamkan penisnya ke dalam vaginaku. Sekarang penisnya terbungkus kondom yang berornamen aneh. Ada cincin berbulu yang melingkar di tengah-tengah batangnya. Tangan satunya menarik pundakku turun sehingga hujaman penisnya terasa menumbuk mulut rahimku. Kedua alisku mengernyit menahan sakit.

“Hhhgh! Hhhhgh! Hhhgh!”

Nafas Bastian menderu di telingaku. Pria itu menjilati leherku dan membuat belasan cupang di sana, juga di dadaku. Kugertakkan gigiku untuk meredakan rasa perih dan linu di selangkanganku. Rasanya vaginaku berdarah lagi. Cincin berbulu di kondom itu membuat liang vaginaku terasa pedas dan perih. Tiba-tiba dia berhenti untuk melepas sumpal di mulutku. Dan hentakan pantatnya semakin keras.

“Minta maaf sekarang! Ayo, kamu harus minta maaf padaku!” Perintahnya setengah menggeram.

Aku mendelik dan meludahinya mukanya lagi. Bukannya marah, Bastian malah tertawa dan melepaskanku hingga aku jatuh berlutut di hadapannya. Lalu sebelum aku sadar, Bastian menjepit hidungku dengan jepit rambut hingga mulutku terbuka untuk menghirup oksigen.

Lalu….

HAP!

Penis panjang itu masuk menusuk tenggorokanku dengan telak. Entah kapan dia melepas kondom dari penisnya. Tanpa ampun dia memegangi kepalaku kuat-kuat dan terus menyodok penisnya dalam-dalam. Aku hampir tak bisa bernapas dan mencoba meronta, tapi tenagaku habis.

“HEEEGHHT!”

Ujung penisnya melesak masuk ke ujung tenggorokanku sebelum kemudian…

CROT!

CROT!

CROT!

Aku tersedak cairan amis kental, tapi Bastian tak juga melepaskan kepalaku. Baru dua menit kemudian dia mencabut penisnya dan melepaskan jepit rambut dari batang hidungku. Pria itu tampak puas melihatku ambruk tak berdaya di lantai dengan mulut berlumuran sperma. Dijambaknya rambutku yang sudah awut-awutan dan bertanya lagi,

“Kalau kau minta maaf, hukumanmu akan lebih ringan.”

“Go to hell!” Bisikku geram sambil berusaha meludahinya lagi. Bastian menggeleng-geleng dan mendorong kepalaku menjauh.

“Kayaknya aku harus mengajarimu dengan lebih keras lagi. Jarot!”

Pintu terbuka dan seorang bodyguard bertubuh paling besar masuk. Wajahnya yang dipenuhi bopeng bekas cacar tampak kekanak-kanakan dan tak kalah tololnya dari Gilbert. Aku menjerit kaget saat Jarot mengangkat tubuhku yang setengah telanjang dan memanggulnya di pundak seperti aku ini sekarung beras saja.

“Turunkan aku! Lepaskan aku! Bajingan!” Seruku sambil menendang-nendang punggung Jarot dan memukuli perutnya.

Namun Jarot bergeming dan tetap berjalan santai sampai keluar Royal Palace. Astaga! Aku pasti menjadi tontonan banyak orang. Aduh, apa yang akan dilakukan Bastian padaku lagi? Menggilirku bersama para bodyguardnya di halaman parkir?

“Aaah! Jangan! Tolong! Jangan tinggalkan aku di sini!”

Aku berteriak ketakutan saat Jarot menjatuhkan tubuhku ke dalam bagasi mobil dan menutupnya. Aku takut pada kegelapan total. Membuatku tak bisa membedakan apakah mataku sudah terbuka atau masih tertutup. Tapi mereka tak peduli pada teriakanku. Tubuhku terguncang-guncang saat mobil melaju kencang.


Posting Komentar

0 Komentar