BERCUMBU DENGAN DENDAM
PART 1
Seperti malam minggu lainnya, Royal
Palace, sebuah club malam di daerah Jakarta Utara sudah dibanjiri tamu. Mereka
yang datang bukan orang sembarangan melainkan orang-orang kaya, pengusaha
sukses, hingga orang-orang terkenal yang sering muncul di televisi. Mereka pun
tidak datang sendirian melainkan disertai beberapa pengawal pribadi. Beberapa
di antara mereka juga ditemani wanita-wanita yang penampilannya tak kalah
cantik dan keren dari bintang sinetron papan atas.
“Tamu penting sudah datang.” Bisikan
serak di telingaku membuatku terlonjak kaget.
Sialan!
Kenapa sih Pak Danu senang sekali
mengagetkanku. Padahal aku juga sudah melihat seorang pria berwajah angkuh yang
baru saja memasuki ruang VIP. Bastian Abraham namanya.
Pengusaha ternama berusia empat puluh
satu tahun yang memiliki banyak gurita bisnis, mulai dari pabrik kondom sampai
tambang batu bara. Bastian begitu ia biasa disebut, dikenal sebagai konglomerat
berdarah dingin. Ia melibas pesaing bisnisnya tanpa ampun dan menghajar semua
pihak yang dianggap menghalangi geraknya.
Delapan pengawal berambut cepak dan
bertubuh kekar selalu mengelilingi Bastian. Selain itu ada pula seorang lelaki mengekor
persis di belakangnya, namanya Gilbert Abraham. Wajah keduanya seperti pinang
dibelah dua karena keduanya memang kembar, tapi aura yang memancar dari
keduanya bertolak belakang. Bila Bastian tampak dingin dan berkarisma, maka Gilbert
terlihat lemah dan tolol. Senyum konyol tak pernah lepas dari bibir Gilbert,
membuatnya terlihat seperti orang terbelakang.
“Kasihan cewek-cewek itu.” Desah Pak Danu
sambil menggeleng prihatin saat melihat Gilbert menggandeng dua cewek cantik
berkulit kuning pucat dengan rambut lurus berwarna karamel.
“Mereka nggak akan bisa pulang dengan
utuh kalau sudah dipegang orang sadomasokis macam Gilbert.”
Hah? Orang yang terlihat lemah itu sadomasokis?
Aku tak sempat melongo lebih lama karena kulihat empat wanita cantik lain
segera mengerumuni Bastian. Aksi keempat bidadari itu sedikit terhalang oleh
ketatnya pagar betis yang memagari sang pengusaha sukses, tapi tak lama
kemudian tangan Bastian menunjuk salah satu diantaranya dengan gaya angkuh.
Tanpa sadar aku mengernyitkan kening
saat memikirkan bagaimana caraku bisa mendekati bajingan sombong itu. Waktu
yang kumiliki tidak banyak. Selama hampir sebulan di sini baru kali ini kulihat
Bastian berkunjung, sedangkan aku tidak tahan berada di tempat keparat ini
lebih lama lagi.
Tubuhku berjengkit saat tangan Pak Danu
menggerayangi punggungku. Kontan aku beringsut menjauh, tapi jari-jari gemuknya
yang dililit cincin bermata berlian dan batu giok mencekal lenganku dengan kuat
hingga aku meringis menahan sakit.
“Apa aku menggajimu hanya untuk
menonton saja?”
Desisannya terasa panas di telingaku,
kemudian disusul jilatan menjijikkan di daun telingaku. Aku bergidik sekaligus
menggeleng seraya berusaha melepaskan diri, tapi pemilik Royal Palace
ini malah menarikku dengan kasar hingga hidung kami hampir beradu.
“Kamu sudah sembuh dari diare dan
harusnya hari ini kamu juga sudah nggak mens lagi. Sudah seminggu lebih kan?
Aku nggak puas cuma dioral. Aku mau ngrasain memekmu malam ini.”
Saat itu juga aku ingin muntah,
persisnya memuntahi muka si babi mesum ini. Aku benci sekali bila harus
diingatkan pada kewajiban mengoral penis bos Royal Palace ini tiap
malam. Dia memang selalu mencobai vagina semua karyawan perempuannya dan selama
ini aku selalu menghindar dengan berbagai macam alasan.
Cukup sudah penis buntek itu menjadi
penis pertama yang memasuki mulutku, tapi tidak untuk liang vaginaku. Untung
saja saat itu salah seorang bodyguard Bastian melambaikan tangan
memanggil waitress untuk memesan minuman dan kebetulan aku yang berdiri
paling dekat dengan meja mereka.
Tanpa banyak kata Pak Danu melepaskan
lenganku, tapi tangannya masih sempat meremas pantatku dengan gemas. Darahku
mendidih. Aku langsung nekat menjalankan rencanaku meski nyawaku menjadi
taruhannya. Lebih baik mati daripada harus ditiduri babi mesum brengsek ini.
Aku tahu, seharusnya aku berpikir
panjang supaya tidak menyesal nantinya. Aku masih muda, baru 24 tahun. Masih
banyak hal yang bisa kunikmati dalam hidup daripada mati konyol, tapi aku sudah
mantap berjibaku.
Hatiku bersorak gembira begitu
mendengar Bastian memesan Flaming Ferraris. Sudah kuduga pria itu pasti
memesan minuman favoritnya. Minuman beralkohol pekat yang disajikan dalam sloki
itu harus dibakar sebelum diminum untuk mengurangi kadar alkohol agar tidak
membakar tenggorokan yang meminumnya. Tapi kali ini minuman itu akan membakar
sang pemesan. Aku ingin bajingan angkuh itu merasakan bagaimana rasanya mati
terbakar seperti yang dia lakukan pada Papaku empat bulan yang lalu.
***
Papaku sempat bersaing ketat dengan Bastian
dalam memperebutkan konsesi batu bara di Kalimantan. Setelah menerima berbagai
intimidasi dan tidak juga mau mundur, Papaku tewas mengenaskan. Mobil yang
ditumpanginya mengalami kecelakaan misterius, jatuh ke dalam jurang dan habis
terbakar.
Seharusnya aku juga ikut mati dalam
insiden kecelakaan itu, tapi di saat terakhir aku membatalkan keberangkatanku
karena tak ingin duduk bersama dengan pelacur peliharaan Papa yang selalu memberiku
pandangan menjijikkan. Papaku memang bukan orang suci. Papa buaya tulen bahkan sampai
membuat Mamaku mati karena sakit hati saat aku masih kecil. Setelah kepergian
Mama, Papa tak pernah menikah lagi dan berusaha mengasuhku sebaik mungkin
sembari mencicipi berbagai jenis wanita nakal.
Semua orang mengira aku sudah mati.
Mereka pikir tubuh wanita gosong dalam bangkai mobil itu mayatku. Aku terpaksa
bersembunyi sambil menyusun rencana membalas dendam. Kemarahanku makin
menggunung melihat harta warisan Papa yang seharusnya menjadi milikku dicaplok Bastian
tanpa ada perlawanan sama sekali dari keluarga besarku yang pengecut.
Namun membalas dendam pada bajingan
yang punya beking aparat, memiliki pengacara terkenal dan dikawal pasukan
bodyguard tidaklah mudah. Setelah mengikuti gerak-gerik Bastian selama sebulan
penuh, aku tahu penjagaan terlemah adalah saat dia berada di Royal Palace.
Maka aku pun nekat menyamar sebagai waitress di sini.
“Mulai sekarang sampai jahanam sialan
itu mati tidak akan ada Larasati Rachel Tanuseja lagi. Yang ada Lara Tan!” Tekadku dalam hati sebelum
menginjakkan kaki memasuki gedung mewah yang pintu utamanya diapit dua patung
unicorn ini.
Sekarang aku sudah menembus barisan
kawalan Bastian yang sudah tidak serapat tadi. Calon korbanku tidak mengenaliku
lagi. Aku memang sudah banyak berubah. Tubuhku yang mirip buntelan lemak itu
sudah menciut hingga separuhnya. Dendam sudah menggerus rasa laparku.
Aku pura-pura tersandung dan
menumpahkan isi sloki ke pangkuan Bastian. Aku memang mengincar penisnya karena
sebagai seorang playboy, penis terbakar rasanya pasti lebih menyakitkan
daripada muka terbakar. Tangan kanan siap melemparkan geretan yang menyala, tapi,
Astaga!
Ternyata ada seorang wanita di kolong
meja sedang mengoral penis Bastian. Isi
sloki mengguyur kepala wanita itu dengan sukses.
Aku tertegun.
Berkali-kali aku berlatih membakar
guling dan boneka, semuanya tak pernah gagal, tapi sekarang…
Brengsek!
Mengapa hal sebodoh ini bisa terjadi?
Aku masih terdiam sementara wanita itu memaki-maki. Seorang pengawal dengan
cekatan mencekal lenganku dan menggiringku menjauhi meja Bastian. Kulihat Pak Danu
memelototiku. Celaka, malam ini penis buntek itu akan menyesaki vaginaku.
“Hei, apa aku sudah menyuruhmu
membawa dia pergi?”
Aku kembali digiring ke hadapan Bastian.
Dengan menyipitkan matanya, Bastian men-scan tubuhku dari ujung rambut hingga
ujung kaki.
“Anak baru ya?”
“Ya.”
“Namamu?”
“Lara.”
“Kenapa kamu nggak minta maaf?”
“Maaf, aku nggak sengaja. Akan
kuganti minuman Bapak dengan yang baru.”
Semua jawabanku tak bernada ramah
bahkan boleh dibilang ketus. Aku masih merasa kesal pada diriku sendiri pada
situasi kacau ini sehingga tidak bisa menutupi kejengkelanku. Pak Danu mendadak
muncul merunduk-runduk meminta maaf pada Bastian sambil kembali mencengkeram
lenganku dengan kasar untuk memaksaku meminta maaf dengan lebih sopan.
“Aku sudah nggak mau minum lagi.”
tukas Bastian usai aku meminta maaf lagi dengan nada terpaksa.
“Kamu di sini saja, gantikan dia.”
Kurang ajar!
Dia pikir aku sama seperti pelacur
itu? Aku pura-pura tidak mendengar dan beranjak pergi, tapi Pak Danu dan
seorang bodyguard memaksaku berlutut di hadapan Bastian. Semua wanita yang tadi
mengerumuni Bastian menyingkir sambil memelototiku.
“Tunggu apa lagi? Bukannya kamu sudah
biasa ngemutin kontol?” Desak Pak Danu.
Aku merasa terhina.
Ingin kubakar penis panjang di
hadapanku, tapi geretan di tanganku sudah direbut Pak Danu. Bastian duduk
bersandar dengan santai sementara penisnya yang sudah berdiri tegang menungguku
dengan angkuh.
Aku terkejut melihat penisnya lumayan
besar dan panjang, karena tubuh Bastian sedang-sedang saja malah boleh dibilang
kurus. Aku diam saja sambil memandang ke arah lain, tapi salah satu bodyguard
memegangi kepalaku erat-erat sambil menuntun bibirku ke arah penis majikannya.
Aku terus menutup mulutku meski Pak Danu menjambak rambutku yang dikuncir ekor
kuda, menampar pipiku dan memukul punggung serta lenganku dengan keras.
“Terus! Hajar teruss! Lagi! Lagi!”
Gilbert tampak gembira melihatku
dihajar. Sampai-sampai ia juga ikut menjambaki dan memukuli kedua wanita yang
sedang bergantian mengoralnya. Bastian sendiri tidak ikut memukulku. Pria itu
hanya menontonku dengan penuh minat.
“Sudah sukup! Kalau dia nggak mau
nggak usah dipaksa!” Tukas Bastian melihat Pak Danu mencoba membuka mulutku
dengan paksa.
“Tenang, masih ada mulut lainnya.”
Hajaran Pak Danu membuat mataku
sedikit berkunang-kunang sehingga reaksiku lamban saat melihat Bastian
memakaikan kondom pada penisnya. Kondomnya aneh, bergerigi kecil di sekujur
batang sehingga mirip kaktus.
Mendadak Bastian menarikku bangun.
Aku yang masih terhuyung, menjerit kaget saat pria itu mendorongku ke atas
meja. Botol dan gelas minum di atas meja disapu Bastian hingga jatuh ke lantai,
pecah berantakan. Tak sempat kubayangkan seperti apa wajah Pak Danu karena aku
sudah panik memikirkan diriku sendiri.
Aku tergeletak di atas meja dengan
seragam acak-acakan. Rok mini hitamku tersingkap dan kancing-kancing kemeja
putih lengan panjangku sebagian sudah terbuka. Tangan Bastian bekerja cepat
sekali bahkan sekarang sudah berhasil mencengkeram ujung celana dalamku dan
menariknya ke bawah.
Gila!
Dia ingin memperkosaku di depan umum?!
“Jangaan! Aku nggak mau! Tolong!
Toloong!” Teriakku panik sambil meronta.
Tapi tidak ada yang mau atau berani
menolongku. Aku mulai memaki, semua perbendaharaan kata kasarku meluncur
keluar. Pak Danu membentak marah, tapi saat tangan gemuknya ingin menampar
pipiku, sebuah tangan kekar mencengkeram tangannya hingga kudengar babi tua itu
merintih sakit.
“Aduh! Aduh! Ampun Bang!”
Rupanya pengawal Bastian tahu kalau
bosnya tidak ingin bantuan dari orang lain lagi. Pria itu ingin membereskanku
sendirian. Kuayunkan kakiku kuat-kuat saat Bastian mengangkangkan kakiku
lebar-lebar. Aku bertekad akan menendang penis yang berdiri itu dengan keras
hingga memar.
Kuayunkan jari-jariku yang berkuku
tajam. Tapi Bastian yang tubuhnya tidak kekar itu ternyata sangat kuat. Dengan
satu tangan dia menahan kedua pergelangan tanganku di atas kepalaku. Dan dengan
pecahan botol, disobeknya celana dalamku.
“Tidak! Tidaaak! Tida…Aaaargh!
Aaaaah!”
Aku melolong kesakitan saat penis itu
menembus paksa liang vaginaku yang masih perawan. Aku terus meronta, tapi hal
itu malah membuat Bastian makin bernafsu. Sebelah tangannya meremasi payudaraku
dan bibirnya melumat bibirku. Kugigit bibirnya keras-keras hingga berdarah.
Tapi ia malah tertawa dan
menggenjotku makin keras. Dirobeknya kemejaku dan memelorotkan BHku. Dilumatnya
payudaraku dengan lahap dan digigitnya pentilku dengan keras. Aku
menggeleng-geleng, mencoba menghilangkan rasa sakit seraya berharap semua ini
hanya mimpi buruk.
Namun sia-sia. Rasa sakit itu tak
kunjung hilang, malah makin menjadi. Tubuhku berayun keras seiring genjotan Bastian
yang makin cepat hingga bergeser ke ujung meja. Kepalaku sudah tergantung di
tepi meja dan rambutku menyapu lantai. Teriakanku melemah dan pandanganku
mengabur.
Sempat kulihat wajah Pak Danu yang
tampak gemas, dia pasti menyesal tidak mencicipi tubuhku lebih dulu. Aku juga
melihat pandangan sirik para wanita penghibur yang tersingkir. Tatapan dingin
para pengawal membuatku menggigil, kejadian ini pasti sudah sering mereka
lihat. Yang paling ribut malah Gilbert yang terus berteriak sambil menjambaki
dan menampari kedua pelacurnya.
Tiba-tiba Bastian berhenti, mencabut
penisnya dan menyorongkannya ke wajahku. Aku berpaling karena tak ingin mengulum
penisnya, tapi teriakan tertahan para penonton membuatku penasaran dan kembali
menatap penis jahanam yang masih terbungkus kondom kaktus itu. Ada darahku di
sana.
“Ternyata dia masih mens!” Ucap Pak Danu
tak percaya. Para wanita penghibur melenguh jijik. Gilbert tertawa gembira,
tapi Bastian malah mendengus sinis.
“Ajaib. Perawan kok bekerja di tempat
seperti ini.” Ujarnya mengejek.
“Pe..perawan? Dia masih perawan?” Pak
Danu terbata dengan nada menyesal.
“Tadinya…” Sahut Bastian sambil
mengocok penisnya yang belum ejakulasi.
Aku sedang berusaha bangun saat pria
itu menyemprotkan spermanya ke dadaku sehingga menyiprat ke leher dan wajahku.
Semua orang menahan napas melihatku menampar dan meludahi wajah Bastian sebelum
turun dari meja dengan tergesa sambil merapatkan kemejaku yang sobek.
“ANJING! BAJINGAN!”
Seharusnya aku tidak melakukan hal
yang membuatnya marah, tapi kepalaku sudah dikuasai emosi dan kebencian. Yang
kupikirkan hanyalah pergi dari neraka ini sesegera mungkin. Tapi aku tidak bisa
keluar dengan penampilan sekacau ini jadi aku menuju ruang ganti karyawan untuk
berganti pakaian.
Tak kupedulikan tatapan para tamu dan
karyawan lain pada tubuhku yang setengah telanjang. Tubuhku gemetar, tapi aku
tidak menangis. Aku sudah siap dengan segala resiko dari rencana balas
dendamku, meskipun aku tidak pernah membayangkan akan menerima pelecehan dan
penghinaan seperti ini.
Amarahku makin menggelegak dan ingin
rasanya mencabik-cabik tubuh Bastian seperti ia mencabik celana dalamku tadi.
Pintu terbuka dan Pak Danu masuk sebelum aku sempat berganti pakaian. Dia
menatapku dengan pandangan aneh.
“Kamu boleh pergi sekarang.”
“Jadi aku dipecat setelah diperkosa
di depan umum?” Balasku dengan suara bergetar menahan marah. Babi tua itu
seperti ingin mendekatiku, tapi tidak berani.
“Aku nggak tahu, kamu ini beruntung
atau sial. Bereskan bajumu. Kamu nggak mau membiarkan dia menunggumu lama-lama
kan?”
“Dia? Dia siapa?”
“Bastian. Dia sudah membelimu. Lima
juta.”
Astaga!
Keperawanan dan harga diriku cuma
dihargai lima juta? Aku ternganga sebelum menyemburkan amarahku.
“Enak saja! Memangnya sejak kapan kau
memilikiku? Dengar ya, aku bukan pelacur yang bisa diperjualbelikan!”
“Semua itu salahmu sendiri. Kalau kamu
nggak membohongiku…”
“Memangnya kau berani membelaku di
depan bajingan sialan itu?”
Serentetan cacian yang kutujukan pada
Bastian tak juga berhenti meski si angkuh muncul dari balik pintu dengan wajah
dingin. Pak Danu langsung menyingkir keluar, meninggalkan kami berdua.
“Sepertinya kamu harus diajari
sopan-santun.” Tukas Bastian sambil mendekatiku dengan gaya mengancam.
“Seumur hidupku belum pernah ada yang
meludahiku apalagi di depan umum.”
“Seharusnya sudah sejak dulu kau
diludahi!” Ucapku marah sambil berusaha menghujamkan jepit rambut ke matanya.
Seperti tadi, tangannya bergerak
cepat. Dengan sekali gerakan dia sudah berhasil menepis tanganku hingga jepit
rambut terjatuh. Gerakan selanjutnya adalah memitingku. Tapi aku tidak tinggal
diam. Aku terus melawan.
BRAK!
Punggungku menghantam lemari loker
setelah didorong dengan keras. Untung tidak ada pegangan loker atau kunci yang
menancap di lubang kunci, kalau tidak punggungku pasti sudah bolong. Aku
terjepit sementara Bastian merobek kemejaku dan menurunkannya sehingga kedua
lenganku tertahan oleh lengan panjang kemejaku sendiri.
Aku nyaris tak bisa bernapas karena Bastian
melumat bibirku dengan penuh nafsu. Lalu dia menyumbat mulutku dengan sesuatu
yang kenyal dan berbau karet.
Astaga!
Rupanya kondom kaktus bekas tadi! Aku
berusaha memuntahkan kondom bekas yang masih berlumur cairan vagina dan darahku
itu tapi tak bisa.
Bastian mengangkat kaki kananku dan
menghujamkan penisnya ke dalam vaginaku. Sekarang penisnya terbungkus kondom
yang berornamen aneh. Ada cincin berbulu yang melingkar di tengah-tengah
batangnya. Tangan satunya menarik pundakku turun sehingga hujaman penisnya
terasa menumbuk mulut rahimku. Kedua alisku mengernyit menahan sakit.
“Hhhgh! Hhhhgh! Hhhgh!”
Nafas Bastian menderu di telingaku. Pria
itu menjilati leherku dan membuat belasan cupang di sana, juga di dadaku.
Kugertakkan gigiku untuk meredakan rasa perih dan linu di selangkanganku. Rasanya
vaginaku berdarah lagi. Cincin berbulu di kondom itu membuat liang vaginaku
terasa pedas dan perih. Tiba-tiba dia berhenti untuk melepas sumpal di mulutku.
Dan hentakan pantatnya semakin keras.
“Minta maaf sekarang! Ayo, kamu harus
minta maaf padaku!” Perintahnya setengah menggeram.
Aku mendelik dan meludahinya mukanya
lagi. Bukannya marah, Bastian malah tertawa dan melepaskanku hingga aku jatuh
berlutut di hadapannya. Lalu sebelum aku sadar, Bastian menjepit hidungku
dengan jepit rambut hingga mulutku terbuka untuk menghirup oksigen.
Lalu….
HAP!
Penis panjang itu masuk menusuk
tenggorokanku dengan telak. Entah kapan dia melepas kondom dari penisnya. Tanpa
ampun dia memegangi kepalaku kuat-kuat dan terus menyodok penisnya dalam-dalam.
Aku hampir tak bisa bernapas dan mencoba meronta, tapi tenagaku habis.
“HEEEGHHT!”
Ujung penisnya melesak masuk ke ujung
tenggorokanku sebelum kemudian…
CROT!
CROT!
CROT!
Aku tersedak cairan amis kental, tapi
Bastian tak juga melepaskan kepalaku. Baru dua menit kemudian dia mencabut
penisnya dan melepaskan jepit rambut dari batang hidungku. Pria itu tampak puas
melihatku ambruk tak berdaya di lantai dengan mulut berlumuran sperma.
Dijambaknya rambutku yang sudah awut-awutan dan bertanya lagi,
“Kalau kau minta maaf, hukumanmu akan
lebih ringan.”
“Go to hell!” Bisikku geram sambil berusaha
meludahinya lagi. Bastian menggeleng-geleng dan mendorong kepalaku menjauh.
“Kayaknya aku harus mengajarimu
dengan lebih keras lagi. Jarot!”
Pintu terbuka dan seorang bodyguard
bertubuh paling besar masuk. Wajahnya yang dipenuhi bopeng bekas cacar
tampak kekanak-kanakan dan tak kalah tololnya dari Gilbert. Aku menjerit kaget
saat Jarot mengangkat tubuhku yang setengah telanjang dan memanggulnya di
pundak seperti aku ini sekarung beras saja.
“Turunkan aku! Lepaskan aku!
Bajingan!” Seruku sambil menendang-nendang punggung Jarot dan memukuli
perutnya.
Namun Jarot bergeming dan tetap
berjalan santai sampai keluar Royal Palace. Astaga! Aku pasti menjadi
tontonan banyak orang. Aduh, apa yang akan dilakukan Bastian padaku lagi?
Menggilirku bersama para bodyguardnya di halaman parkir?
“Aaah! Jangan! Tolong! Jangan
tinggalkan aku di sini!”
Aku berteriak ketakutan saat Jarot
menjatuhkan tubuhku ke dalam bagasi mobil dan menutupnya. Aku takut pada
kegelapan total. Membuatku tak bisa membedakan apakah mataku sudah terbuka atau
masih tertutup. Tapi mereka tak peduli pada teriakanku. Tubuhku
terguncang-guncang saat mobil melaju kencang.

Posting Komentar
0 Komentar