ISTRI SOLEHOT
PART 1
Adzan Subuh baru saja berkumandang,
kudengar suara gemercik air dari kamar mandi. Itu pasti Astrie, istriku, wanita
solehah yang sudah kunikahi sejak dua tahun lalu. Sudah jadi kebiasaannya
bangun lebih awal dariku, bahkan tak jarang saat tengah malam dia terjaga dari
tidurnya untuk melaksanakan sholat sunnah tahajjud. Tak hanya cantik dan
menawan, Astrie juga begitu taat beribadah. Sholat lima waktu tidak pernah dia
tinggalkan, kecuali jika masa mentruasi
menderanya. Aku begitu beruntung bisa dijodohkan dengannya.
Ya, kami tak sekalipun mengalami
momen pacaran. Aku baru mengenal Astrie tiga bulan sebelum pernikahan kami
dilangsungkan. Peran Ibuku begitu besar dalam perjodohan kami, kebetulan Ibu
dari Astrie dan Ibuku adalah sahabat dekat, keduanya sering dipertemukan dalam
acara kajian keagaaman. Awalnya aku menolak keras perjodohan ini, bagiku
menikah adalah penjara baru buat hidupku nantinya.
Sebagai seorang manager area di
sebuah perusahaan keuangan ternama, karierku terbilang moncer. Banyak
proyek-proyek strategis yang kukerjakan dengan sangat sukses, alahasil
pundi-pundi rupiah mengalir deras ke dompetku. Berbeda dengan Astrie yang
tertutup dan tak begitu banyak memiliki teman, pergaulanku justru begitu luas.
Sebagai lelaki muda dengan pekerjaan mapan tak
sulit bagiku untuk menggaet berbagai macam jenis wanita. Aku masih ingin
menikmati masa kejayaanku sebagai seorang pria, pernikahan adalah akhir dari
segalanya, dan aku tak mau itu terjadi.
Namun apalah dayaku jika Ibuku sampai
harus menitikkan air mata, memohon kepadaku agar segera melepas masa lajang.
Sebagai anak satu-satunya di keluargaku tentu aku menghadapi dilema besar kala
itu. Mementingkan egoku sebagai seorang pria dewasa atau memilih untuk menuruti
perintah wanita yang melahirkanku. Meskipun dengan perasaan tak ikhlas pada
akhirnya aku mengikuti kemauan Ibuku, dijodohkan dengan Astrie.
Bayangan buruk soal pernikahan
seketika lenyap saat untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Astrie.
Kecantikan wajahnya seolah membawaku pada dunia yang berbeda. Baru kali ini aku
bertemu dengan wanita secantik dia.
Astrie tak hanya cantik, postur
tubuhnya tinggi semampai nyaris mencapai 170 sentimeter, meskipun sering
mengenakan hijab dan pakaian panjang nan lebar tapi itu tidak cukup
menyembunyikan ukuran payudara serta pantatnya yang semok bin bahenol. Detik
itu juga aku merasakan seperti tertimpa durian runtuh.
“Jadi bagaimana Don? Kamu mau menikahi
Astrie?” Tanya Ibuku waktu itu saat kembali pulang ke rumah.
“Menikah adalah kewajiban bagi
laki-laki muslim yang sudah cukup umur Mi, Doni kan sudah cukup umur. Sudah
punya pekerjaan mapan juga, jadi jawaban Doni adalah, iya. Doni siap jadi imam
untuk Astrie.” Jawabku panjang lebar.
“Halah!! Kamu kira Umi nggak tau apa
daritadi kamu sering nelen ludah sendiri waktu lihat Astrie? Sekarang sok-sok
an bijak ngomong soal jadi imam segala. Dasar kamu itu Don…Don…” Sahut Ibuku
sembari mencubit lenganku. Aku meringis kesakitan sembari tertawa keras.
“Tapi kamu harus inget ya Don,
setelah menikah dengan Astrie kamu harus berubah total. Umi nggak mau denger
kamu pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Jangan bikin Umi malu sama
keluarga Astrie.” Mimik wajah Ibuku mendadak berubah jadi lebih serius saat
itu. Aku menghela nafas panjang.
“Insyaallah Umi…Doain yang
terbaik aja ya.”
“Bener ya Don, Umi pegang
kata-katamu.”
“Siaaappp komandan!! Hahahahaha!”
Maka setelah pertemuan malam itu
beberapa bulan kemudian acara ijab qabul pernikahanku dengan Astrie
dilangsungkan. Banyak dari teman-teman pergaulanku tak menyangka jika aku
akhirnya melepas masa lajang, bahkan lewat sebuah perjodohan.
Maklum saja, aku memang dikenal
paling bandel diantara mereka dan sering mengolok-olok beberapa teman yang
sudah memiliki istri. Aku harus menelan ludahku sendiri pada akhirnya, tapi tak
mengapa karena pada akhinya aku bisa bersanding dengan Astrie, wanita cantik
yang membuatku merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Loh udah bangun Mas?” Astrie keluar
dari kamar mandi, rambutnya sedikit basah karena terkena air wudhu.
“Iya sayang.” Balasku sembari bangun
dari posisi tidur, membuka selimut dan menunjukkan tubuh telanjangku. Aku ingat
semalam aku dan Astrie sempat melakukan hubungan suami istri.
“Jamaah sholat ya Mas, Astrie
tunggu.”
“Sini dulu dong sayang.” Aku
merentangkan kedua tanganku, memberi tanda pada Astrie untuk memelukku.
“Iiihhh Mas Doni! Aku udah wudhu
loh.” Gerutunya.
“Kan kita udah muhrim sayang, jadi
nggak apa-apa bersentuhan, nggak bikin wudhumu batal kok.” Kataku.
“Ah kamu mah kebiasaan kalo pagi-pagi
gini.”
“Hehehehe, ayo dong sayang. Nih udah
ada yang bangun lagi loh.” Kataku sambil melirik ke penisku yang mulai
mengeras. Meskipun cemberut tapi Astrie berjalan mendekatiku, kemudian
menyambut pelukanku.
“Dasar bayi gede!”
“Apanya yang gede?” Tanyaku dengan
tatapan menggoda.
“Ini nih yang gede!” Astrie meremas
batang penisku, membuatku melenguh panjang.
“Ouucchhh, kok nakal tangannya?”
Kataku.
“Kamu nih yang nakal…”
Kami lalu saling berciuman, saling
menguas lidah, bertukar liur. Jemariku merambat menyusuri pinggang Astrie, lalu
beranjak naik hingga akhirnya berhenti di gundukan kenyal payudaranya yang
berukuran besar.
“Aaachhhh…Masss…”
“Kenapa sayang?”
“Jangan kenceng-kenceng…Sakiitt…”
“Kalo gini masih sakit?”
“Aaauuww Maaass!” Astrie sedikit
berteriak saat jemariku nakal menarik paksa putingnya.
Kulanjutkan ciumanku, Astrie mulai
gelisah merespon sentuhan jemariku di payudaranya, salah satu titik rangsangan
pada tubuhnya. Kurebahkan Astrie di ranjang, kugumuli istriku dengan begitu
mesra, kuciumi bibirnya yang tipis, lehernya yang jenjang, namun saat kepalaku
mengarah ke payudara Astrie mendorong tubuhku menjauh.
“Mas…Udah ya, kita sholat shubuh
dulu.”
“Ah sayang, nanggung nih udah keras
banget.” Kataku sambil menunjuk batang penisku yang sudah keras maksimal.
“Mas, udah jam 5 loh, keburu habis nanti
shubuhnya.”
“Ah, kamu!” Gerutuku sembari meraih
celana pendek dan langsung memakainya.
“Dosa kamu, nolak suami kayak gini!”
Kataku lagi dengan nada tinggi sambil berjalan keluar kamar. Astrie hanya
terdiam tak membalas kejengkelanku.
Untuk urusan ranjang, Astrie memang
tak terlalu agresif dan cenderung pasif. Selama ini kami juga hanya melakukan
hubungan badan dengan gaya konvensional, aku di atas sementara Astrie ada di
bawah. Setiap kali aku meminta berganti gaya istriku selalu menolaknya dengan
berbagai macam alasan. Bahkan selama usia pernikahan kami, Astrie tak pernah
sekalipun memberikan serviz blowjob padaku.
Awalnya aku masih bisa menerimanya,
tapi akhir-akhir ini aku jadi sering uring-uringan karena hal tersebut. Contoh
nyatanya adalah kejadian pagi ini, di saat aku ingin bercinta dengannya, Astrie
malah lebih memilih untuk menjalankan ibadah. Bukankah melayani suami juga
termasuk dalam kategori ibadah bagi seorang istri? Diluar kecantikan,
kesederhanaan, serta kealimannya, Astrie sama sekali tak memuaskanku untuk
urusan seks.
***
“Mas Doni masih marah ya?” Tanya
Astrie saat menyiapkan sarapan untukku.
“Hmmm…” Sahutku singkat sambil
pura-pura sibuk melihat layar ponselku. Astrie meraih kursi dan duduk di
sampingku.
“Maafin Astrie ya Mas, Astrie nggak
bermaksud buat nolak ajakan Mas Doni tadi.”
“Hmmm, ya udah nggak apa-apa. Lain
kali jangan diulangi lagi. Kamu lebih ngerti agama dibanding aku, harusnya kamu
tau juga kewajiban istri.” Kataku seraya meletakkan ponsel di atas meja makan.
“Insyaallah Astrie akan selalu
jadi istri yang taat untuk Mas Doni. Astrie janji nggak akan kayak tadi lagi.”
“Ya udah, aku berangkat kerja dulu
kalo gitu. Kamu baik-baik di rumah, kabarin kalo ada apa-apa.”
“Loh, Mas Doni nggak makan dulu?”
Astrie tampak kecewa.
“Nggak usah, nanti aja di kantor,
udah minum kopi kok tadi.” Kataku sembari berdiri dari kursi.
“Hati-hati di jalan Mas.” Astrie
meraih tangan kananku dan menciumnya. Aku bergegas berjalan keluar rumah dan
masuk ke dalam mobil untuk selanjutnya berangkat kerja. Dari kaca spion mobil
aku bisa meliha Astrie berdiri di depan pintu rumah, menungguku berlalu.
Jujur saja aku masih sedikit kesal
dengan sikap Astrie yang tak pernah bisa menuruti kemaunku dalam hal urusan
seks. Astrie terlalu kaku dan alim, berbeda denganku yang ingin ada banyak
variasi dalam berhubungan seks. Aku bosan dengan “keluguan” Astrie, mungkin
karena hal inilah sejak 6 bulan terakhir aku jadi dekat dengan Jenie, perempuan
muda berusia 24 tahun, seorang janda cantik yang bekerja sebagai sekretaris
pribadiku.
Berbeda dengan Astrie, Jenie selalu
bisa memenuhi segala fantasi seksualku. Kapanpun dan dimanapun dia selalu bisa,
bahkan tak jarang kami sering melakukannya di ruang kerjaku meskipun seringkali
kami melakakunnya di kamar hotel saat istirahat makan siang atau selepas jam
pulang kantor. Pada akhirnya aku mengingkari janjiku pada Ibuku untuk berubah
ketika sudah jadi suami Astrie, aku kembali jadi sosok Doni yang dulu lagi,
seorang playboy kelas kakap.
Hmmm, sepertinya aku harus segera
bertemu Jenie sekarang untuk melupakan kekesalanku karena Astrie enggan
memberiku jatah. Quicksex di apartemennya bisa jadi sesuatu yang
memungkinkan saat ini. Aku merogoh kantong celanaku untuk mengambil ponselku,
aku harus menghubungi Jenie agar perempuan itu bersiap menerima kedatanganku.
Tapi dimana ponselku? Aku merogoh
kantong celana sekali lagi, kiri dan kanan, tetap saja aku tak menemukan
ponselku. Ah, aku baru ingat kalau tadi aku meletakkannya di atas meja makan
dan lupa membawanya kembali saat pergi dari rumah.
Kutepikan mobilku untuk kemudian
berbalik arah, kembali pulang ke rumah. Beruntung belum terlalu jauh,
satu-satunya yang mungkin menghambatku nanti adalah kemacetan panjang di
persimpangan dekat perumahan tempatku tinggal. Tapi tak mengapa, setidaknya setelah
ini aku bisa melampiaskan segala hasratku pada tubuh sintal Jenie.
Sekitar lima belas menit kemudian aku
sudah memasuki kawasan perumahan mewah tempatku tinggal. Saat mendekati rumahku
kulihat sebuah mobil terparkir tepat di depan pagar. Entah kenapa perasaanku
jadi tidak nyaman seketika. Siapa orang yang bertamu di rumahku sepagi ini?
Kupakirkan mobilku di depan rumah
tetanggaku. Aku bergegas berjalan menuju pintu pagar, sesaat kupandangi mobil
sedan bercat hitam yang terparkir tepat di depan pagar rumahku. Aku sama sekali
belum pernah mobil ini, jadi tidak mungkin jika orang yang sedang bertamu
adalah milik orang yang aku kenal. Kubuka pintu pagas dengan perasaan campur
aduk penuh ketegangan. Sesampainya di teras kulihat sepasang sepatu tergeletak
di dekat pintu ruang utama, sepatu pantofel pria.
“Anjing! Siapa dia?!” Umpatku dalam hati.
Bergegas aku menuju pintu rumahku,
saat gagang pintu kutarik ke bawah pintu terkunci dari dalam. Perasaanku makin
gundah gulana, bagaimana mungkin Astrie menguncinya dari dalam saat menerima
tamu seorang pria? Apa yang sedang disembunyikan oleh istriku yang alim itu?
Berjuta pertanyaan seolah memenuhi
isi kepalaku dengan berbagai macam praduga buruk. Aku berbalik badan dan
bergegas berlari menuju mobil untuk mengambil kunci cadangan rumah yang selalu
kuletakkan di laci dasboard. Tak butuh waktu lama, aku kembali ke rumah dengan
sebuah kunci cadangan.
Kubuka perlahan hingga sebuah celah
terbuka dan memungkinkan tubuhku masuk ke bagian dalam rumah. Melihat tingkahku
saat ini layaknya seorang pencuri yang hendak menyatroni rumah orang asing.
Bagaimana mungkin aku mengendap-endap masuk ke dalam rumahku sendiri?
Gila!
Aku melangkah pelan, kulihat di ruang
tamu tergeletak sebuah tas berwarna hitam yang aku yakini itu adalah milik tamu
misterius tersebut. Kakiku berjalan pelan menuju kamar tidurku, baru beberapa
langkah sayup kudengar suara Astrie sedang melantunkan ayat-ayat suci Al Quran.
“Iqra' bismi rabbikalladzî
khalaq….Emmmcchhh…Khalaqal-insâna min ‘alaq…Eeemmchhhh….Iqra' wa
rabbukal-akram…Eeemmcchhhhh..”
Setiap satu ayat selesai, Astrie
mengambil jeda namun suaranya seperti terhalang oleh sesuatu. Makin penasaran
sedikit kupercepat langkah kakiku, melewati ruang makan kemudian melipir ke
sebelah kiri. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat celah pintu kamar tidurku
terbuka. Aku kembali mengendap-endap mendekati celah pintu. Suara lantunan ayat
suci Al Quran makin jelas terdengar.
“Alladzî ‘allama bil-qalam,
‘allamal-insâna mâ lam ya‘lam…Eeemmchhhh…Kallâ innal-insâna
layathghâ…Eeemmchhh..”
Betapa terkejutnya aku saat mengintip
dari balik celah pintu kamar, kulihat Astrie tengah duduk di atas sajadah
sambil mengenakan mukena dan memegang Al Quran. Di samping kirinya berdiri
sosok pria muda yang sudah dalam keadaan telanjang bulat dan menjulurkan batang
penisnya di dekat mulut istriku. Setiap satu ayat berhenti terlantun, Astrie
dengan sukarela mengulum penis pria itu!
“Ar ra'âhustaghnâ, inna ilâ
rabbikar-ruj‘â…Eeemmcchhhh…Eeemcchhhh…A ra'aitalladzî yan-hâ, ‘abdan idzâ
shallâ…Eeemcchhhh…”

Posting Komentar
0 Komentar