KUCUMBU ISTRI SAHABATKU
PART 1
SUARA Celine Dion mengalun merdu dari
dalam mobil yang kutumpangi saat ini. Di belakang kemudi, Adam Fatturrahman
sedang menyetir. Duduk di sampingnya, seorang perempuan cantik yang mengenakan
busana muslim serba coklat. Perempuan itu adalah Arsyila Salsabila, istri Adam.
Kami kini sedang berada di jalan tol.
Tujuan kami adalah sebuah lokasi di Bandung. Tadi pagi, tak lama sesudah bangun tidur, aku mendapat panggilan telepon
aplikasi WA dari Adam. Pria berperawakan tenang itu merupakan teman sekaligus
tetanggaku. Kami bermukim di perumahan yang sama. Rumah Adam hanya berjarak dua
rumah dari rumahku. Meskipun kami berbeda agama, tapi hubungan kami sangatlah
dekat.
“Ya Bro? Ada apa?” Sahutku menjawab
teleponnya. Aku dan Adam memang sudah terbiasa saling menelpon namun belum
pernah sepagi ini.
“Lu ada acara nggak hari ini?” Terdengar suara Adam. Sebagaimana
layaknya orang Indonesia, Adam terbiasa menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
“Sekarang kan Sabtu, nggak ngantor.
Jadi Gue lowong hari ini. Emang kenapa Bro?”
“Gini Bro, bokap Gue kan punya rumah
di Bandung. Selama beberapa tahun terakhir rumah itu dikontrakin. Tapi untuk
tahun ini kontraknya nggak diperpanjang sama yang nyewa. Rencananya mau Gue
pake aja daripada kosong.” Ucap Adam panjang lebar. Aku mendengarnya dengan berusaha mengumpulkan
nyawaku.
“Terus?”
“Rencananya pagi ini Gue dan Arsyila
mau nengokin rumah itu sekalian beres-beres. Tapi masalahnya ntar habis dzuhur Gue
ada jadwal kajian.”
“Kajian apaan?” Tanyaku setelah
menguap beberapa saat.
“Aduuh panjang kalo Gue ceritain, Lu
nggak bakal ngerti. Intinya Gue harus ikut acara keagamaan gitu deh.” Cerocos Adam.
Sudah enam bulan belakangan ini
memang mulai aktif menghadiri acara yang disebutnya sebagai kajian keagamaan.
Suatu perubahan drastis setelah sahabatku itu menikah dengan Arsyila. Silahkan sebut
dosa apapun di muka bumi ini kecuali mencuri, Adam pernah melakukannya. Aku tau
karena dulu, akulah orang yang selalu ada di dekatnya ketika melakukan
kemaksiatan.
Namun setelah menikah dengan Arsyila
yang merupakan puteri tunggal seorang Kyai besar di daerah Jawa Timur, perlahan
tabiat buruk Adam mereda. Pria yang bekerja sebagai seorang akuntan publik itu
mulai mendekatkan dirinya pada Tuhan. Memperdalam agama agar tak minder saat
bertemu mertua, begitu katanya beberapa minggu lalu padaku sambil bercanda.
Perubahan perilaku dan sikap Adam
dalam keseharian ini membuatku cukup bahagia, setidaknya Adam sudah menemukan
jalan yang benar dan tak tegoda untuk melakukan kemaksiatan. Sementara Aku? Aku
masih seperti Daniel yang dulu, jiwa bebas yang sering gonta ganti pasangan.
Bahkan untuk pergi ke gereja pun aku masih sering males-malesan, setahun
terakhir malah bisa dihitung jari aku mengunjungi tempat ibadahku itu.
Menikah nyatanya membuat Adam jadi
pribadi yang lebih baik. Tapi aku masih belum tergerak untuk mengikuti
jejaknya. Apalagi membayangkan jika nanti istriku seperti Arsyila, bisa jadi
neraka hidupku. Istri Adam itu memang cantik, sangat cantik malah, apalagi
postur tubuhnya juga bisa dikatakan sempurna untuk ukuran wanita yang sudah
bersuami. Tapi raut wajahnya selalu terlihat jutek dan pemarah. Bukan aku saja
yang menganggap wanita itu demikian, banyak tetanggaku pun memiliki penilaian
yang sama.
Ditambah sikapnya yang terkesan
tertutup dan tidak mau bergaul dengan lingkungan sekitar membuat image
jutek makin melekat pada diri istri Adam tersebut. Beberapa kali aku sempat
bercanda tentang perangai istrinya dengan Adam saat kami bertemu, sahabatku itu
terlihat santai menanggapinya. Baginya, Arsyila sudah sangat sempurna, jadi tak
perlu lagi mendengar apa kata orang.
“Lalu apa hubungannya dengan Gue?”
Aku kembali bertanya ketika Adam menghentikan kalimatnya.
“Lu bisa ikut ke Bandung nggak?” Tanya Adam.
“Biar nanti ada yang nemenin Arsyila
waktu Gue tinggal ikut kajian.” Lanjutnya.
“Lah? Emangnya Arsyila mau?”
“Iya, dia setuju. Malah dia yang
ngusulin ide buat ngajakin Lu.”
“Kenapa harus Gue sih bro? Emang Lu
nggak ada kandidat lain apa?” Aku mengajukan pertanyaan sambil mengerutkan
kening, meski aku tahu kalau Adam tak bisa melihat kerutan di keningku.
Selain aku, Adam masih punya banyak
teman di kompleks perumahan. Berbeda dengan Arsyila yang agak judes dan tidak
ramah serta terkesan tertutup, Adam tergolong laki-laki supel yang gampang
bergaul.
“Kenapa Lu? Simpel aja sih, karena Lu
masih single.” kata Adam.
“Ah tai Lu!” Balasku.
“Dengerin dulu penjelasan Gue.”
Potong Adam, seolah tau kalau aku tak
begitu nyaman dengan candaan soal statusku yang masih sendiri, sementara banyak
teman seusiaku sudah melepas masa lajang.
“Arsyila merasa nggak nyaman kalo
ditemenin sama suami orang. Takutnya nanti muncul cerita yang aneh-aneh. Lagian
kalau yang kami ajak itu udah punya istri, takutnya si istri yang jadi curiga. Lu
tau sendiri kan mulut orang komplek di sini kayak gimana?” Jelas Adam panjang lebar.
“Mmm... gitu ya...”
Aku bisa memahami apa yang dimaksud Adam.
Arsyila itu perempuan yang sangat cantik. Jika dia ditinggal berduaan dengan
laki-laki yang merupakan suami orang, pasti akan menimbulkan banyak kecurigaan.
Beda jika misalnya Arsyila bersama pria lajang seperti aku.
“Jadi gimana bro?”
“Arsyila beneran setuju? Soalnya...
eh... soalnya istri Lu...”
“Jutek? Galak?” Adam melengkapi kalimatku dan
diakhiri dengan tawa kecil.
“Ya semacam itulah bro, nggak enak
Gue ngomongnya.”
“Hahaha...Arsyila sendiri kok yang ngusulin
nama Lu.”
“Soal dia judes, ya memang udah dari
sononya dia gitu. Tapi tenang aja, Lu bisa bilang kayak gitu mungkin karena
kalian nggak begitu akrab. Ntar kalo kalian udah sedikit akrab, gue yakin Lu
bakal menghilangkan asumsi kalo bini Gue orangnya jutek dan galak.”
Aku terdiam beberapa saat, memikirkan
apakah menerima ajakan Adam untuk pergi ke Bandung.
“Oke deh kalo gitu. Jadi jam berapa
kita jalan?”
“Ini Gue udah siap-siap. Satu jam lagi
Gue jemput Lu, gimana?”
“Oke boleh, Gue prepare dulu
kalo gitu.”
***
SEKITAR lima puluh menit kemudian
terdengar bunyi klakson mobil. Sebuah mobil SVU berwarna putih terlihat
berhenti di depan rumahku. Aku mengenali mobil itu yang merupakan milik Adam.
Aku yang memang sudah siap segera mendatangi mereka setelah sebelumnya mengunci
pintu rumah dan pintu pagar. Aku memberikan salam yang dibalas Adam dengan
hangat. Sementara Arsyila hanya melirik sekilas dan terlihat tak peduli.
Dalam perjalanan kami ngobrol ngalor
ngidul. Atau tepatnya aku dan Adam saja yang keasyikan ngobrol karena
istrinya hanya membisu, bahkan menyahut pun tidak. Aku bisa membayangkan
bagaimana suasana dingin yang tercipta nanti saat kami hanya berdua saja.
Ah, terbersit penyesalan kenapa aku
harus mengiyakan permintaan Adam hari ini. Akan lebih mengasyikkan menghabiskan
hari libur dengan rebahan di kamar daripada harus menemani wanita sejutek
Arsyila.
Sikap Arsyila yang terkesan tak peduli bukan hal yang aneh. Meski aku dan Adam tergolong dekat, namun dengan Arsyila aku sama sekali tidak akrab. Seingatku, aku dan Arsyila jarang berinteraksi secara langsung. Sikap dingin serta tak acuh seperti tadilah yang membuatku segan, atau lebih tepatnya enggan untuk mengakrabkan diri dengan Arsyila.
Obrolan hangat dengan Adam membuat
perjalanan kami seperti tidak terasa. Kami akhirnya tiba di Bandung. Rumah
milik Adam berada di tepi jalan raya, yang diapit beberapa ruko dan toko. Rumah
itu dua lantai dengan corak klasik. Rumah besar bercat putih dengan pilar-pilar
yang membuat rumah itu terlihat berkelas dan megah.
Setelah memarkir mobil, kami memasuki
rumah. Adam menghidupkan AC sehingga rumah yang tadinya pengap kini mulai
terasa sejuk. Ruang tamu nampak kosong. Hanya satu buah sofa berwarna merah
yang sudah agak kusam teronggok di sudut ruangan. Di dinding ada sebuah lukisan
beberapa ekor kuda yang sedang berlari. Lukisan itu tergantung agak miring di
dinding sebelah kanan.
Rupanya rumah ini dikontrakkan Adam
tanpa perabot sehingga ketika kontrak habis, pihak penyewa memboyong seluruh
perabotnya dan hanya menyisakan beberapa barang yang sudah tak terpakai. Kami
berjalan ke belakang menuju dapur. Berbeda dengan ruang tamu yang terkesan
kosong, dapur terlihat lebih berisi.
Nampak sebuah lemari es yang
berdekatan dengan sebuah dispenser. Juga ada kitchen set yang
tergantung. Di sebelah kiri yang berbatasan dengan dinding rumah nampak sebuah
kolam renang. Kolam itu berukuran sekitar dua kali delapan meter dan sudah
berisi air cukup penuh.
“Wah ada kolam renangnya? Keren
banget rumah Lu!” Kataku tak mampu
menutupi rasa takjub.
“Halah, biasa aja kali bro.” Sahut
Adam santai.
“Ntar kalo kalian udah pindah kesini,
Gue tiap minggu mampir ya, lumayan bisa renang gratis. Hehehehehe.” Celetukku
sambil tertawa lebar.
“Jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung
cuma buat renang doang? Iseng banget Lu.”
“Iyain aja kenapa sih Bro,
sekali-sekali bikin Gue seneng nggak apa-apa kan.”
“Iya deh, Lu boleh maen kesini ntar.
Tapi inget, jangan bawa pasukan bocil-bocil dari komplek ya. Bisa jadi tempat
wisata ntar rumah Gue.” Ujar Adam.
“Hahahaha! Ide bagus tuh, lumaya kan
bro bisa dapet uang tambahan.” Sahutku bercanda.
Saat kami masih melihat-lihat keadaan
di sekitar rumah, terdengar suara ponsel Adam berdering.
“Ya bro? Kalian udah di mana? Ok, Gue
ke sana sekarang.” Adam berjalan mendekati Arsyila setelah menutup panggilan
telepon.
“Hamdan baru saja telepon, acara
kajian mau dimulai karena Ustadz Hanafi udah dateng. Abang berangkat dulu ya,
nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar?”
“Iya Bang, nggak apa-apa. Hati-hati
di jalan, kabarin kalo udah nyampek.” Arsyila kemudian mencium tangan Adam.
Melihat bagaimana sikap Arsyila,
jujur membuat hatiku bergetar. Ternyata perempuan jutek itu bisa bersikap lembut
juga pada suaminya. Pantas saja Adam selama ini tak menghiraukan pandangan
orang tentang perangai istrinya.
“Bro, Gue tinggal dulu ya. Nitip bini
Gue, awas jangan Lu apa-apain ya. Hehehehehe.”
“Bereesss bosss.” Sahutku menimpali
candaan Adam. Sesaat kulirik Arsyila yang mulai bisa tersenyum.
“Oh ya, Lu ntar balik jam berapa?”
Tanyaku, Adam kembali berbalik badan.
“Bentar doang kok Bro, paling habis
asyar udah ke sini lagi.”
“Habis asyar?” Tanyaku bingung.
“Ya sekitar jam 4-5 an gitu lah,
makanya masuk Islam biar ngerti habis asyar tu jam berapa. Hahahahaha.” Ejek
Adam sembari kembali melangkah pergi meninggalkan aku dan Arsyila.
“Ah tai Lu!”
Tak lama terdengar suara mesin mobil
Adam menjauh. Kini di dalam rumah hanya ada aku dan Arsyila saja. Agak canggung
tapi kupaksakan untuk memulai percakapan, aku tidak mau selama beberapa jam ke
depan kami tejebak dalam situasi yang dingin.
“Terus kita mau ngapain nih?”
Tanyaku. Arsyila menatap permukaan air kolam yang nampak sedikit keruh karena
mungkin terlalu lama tak digunakan.
“Bagaimana kalo kita bersihin kolam
renang dulu? Udah kotor banget kayaknya.” Ujar Arsyila.
“Oke siap!” Sahutku bersemangat.
PART 2
AIR di kolam memang tampak kotor dan
tak sedap dipandang mata. Beberapa ranting pohon kering dan guguran daun dari
pohon mangga yang tertanam di bagian belakang rumah nampak mengambang di atas
permukaan kolam. Arsyila berdiri di sisi kiri bagian kolam, wanita cantik itu
melongok ke bagian dalam kolam, sementara aku berdiri di seberangnya.
“Nanti kamu angkat sumbat di sebelah
kanan dan aku yang sebelah sini, biar airnya cepat habis.” Ujar Arsyila sambil
menunjuk ke dasar kolam.
Pada dasar kolam di bagian ujung
nampak dua bulatan berwarna hitam yang rupanya merupakan penyumbat untuk kolam.
Jika sumbat itu dibuka air akan keluar melalui saluran pembuangan. Rupanya
kolam renang ini masih sangat jadul untuk urusan kebersihan dan pembuangan. Tak
seperti kolam renang di hotel-hotel atau villa-villa mewah yang sudah
menggunakan pompa otomatis.
“Kita turun ke bawah nih?” Tanyaku.
“Ya iyalah, nggak mungkin dong cuma
diliatin doang.” Sahut Arsyila, semburat kekesalan mendadak muncul di wajahnya
menanggapi pertanyaanku barusan.
“Masalahnya aku nggak bawa celana
ganti.” Kataku perlahan.
Dari yang kuamati, kolam ini memang tidak
terlalu dalam. Tinggi airnya hanya sekitar setengah meter lebih sedikit. Namun
dengan air setinggi ini, celana panjang yang kukenakan bisa basah jika aku
membuka sumbat di dasar kolam. Bisa berabe kalau aku sampai harus basah kuyup
dan tak mengenakan pakaian apapun sampai kembali ke Jakarta nanti.
“Ya kalau nggak mau basah dibuka aja
celananya.” Kata Arsyila seolah tanpa beban.
“Hah? Aku harus buka celana? Di
sini?”
“Duh, ribet banget kamu nih. Tinggal
buka baju doang apa susahnya sih?” Runtuk Arsyila makin kesal.
Belum sempat aku menetralisir
keterkejutan, Arsyila berbalik badan, kedua tangannya kini berada di pinggang
bagian belakang. Aku melihat jemari lentiknya lincah melepas pengait di gaun
panjang yang dikenakannya. Aku menahan nafas saat gaun muslimah itu luruh dan
jatuh begitu saja di atas lantai.
Punggung mulus, betis indah, serta
bongkahan pantat semok yang hanya dilapisi sebuah G-string sexy berwarna hitam
langsung terhampar di hadapan mataku. Aku benar-benar tak percaya dengan yang
kusaksikan saat ini. Arsyila tanpa malu-malu melepas pakaiannya saat aku
bersamanya. Istri Adam itu kemudian berbalik badan menatapku, gundukan kenyal
payudaranya masih tertutup BH yang nampak kekecilan.
“Loh, kok malah bengong sih? Buruan
cepet lepas celanamu.”
Aku masih berdiri tertegun. Yang
terjadi di depanku itu berlangsung begitu cepat hingga aku tak bisa
memprosesnya dengan baik di otakku. Di depanku berdiri Arsyila hanya mengenakan
hijab hitam, BH kekecilan, dan seutas G-string yang menutupi area kewanitaannya.
Arsyila yang selama ini kukenal sebagai wanita yang tertutup dan jutek kini
justru tanpa malu-malu menunjukkan keseksian tubuhnya di hadapanku.
“Halooo! Jadi nggak nih?” Kata Arsyila
lagi.
“Eh..I-Iya…Maaf!” Balasku tak bisa
menyembunyikan kegugupan.
Tanpa pikir panjang aku segera
mengikuti jejaknya untuk melepas celana serta kaosku. Satu-satunya yang tersisa
di tubuhku hanyalah sebuah celana boxer tipis. Sekilas aku melihat wajah
Arsyila bersemu merah saat menyaksikan gundukan daging kemaluanku menyembul di
balik celana boxer yang kukenakan.
“Ma-Maaf ya.” Kataku sembari berusaha
menutupi bagian selangkanganku dengan tangan.
“Santai aja kenapa sih, kayak aku
nggak pernah lihat kontol ngaceng aja.” Balasnya santai sembari melangkah
tenang, turun ke dalam kolam renang.
DAMN!
Aku nyaris tidak mempercayai apa yang
baru saja kudengar. Aku tidak percaya Arsyila akan mengatakan hal sevulgar itu.
Perempuan yang selama ini kukenal sebagai wanita alim dan cenderung tertutup
justru sekarang mendadak menjadi sangat terbuka dalam arti sebenarnya, bukan
hanya dari sisi penampilan, tapi juga ucapan.
Aku masih memandangi sosok Arsyila
dari tepi kolam renang. Keseksian tubuhnya seolah menghipnotisku, sesaat aku
lupa jika wanita di hadapanku ini adalah istri sahabatku sendiri. Semua
pikiran-pikiran kotor yang bisa kulakukan pada Arsyila seketika menyergap
pikiranku. Efeknya tentu saja penisku menegang dengan sendiri karena respon
impulsif kejantananku sebagai seorang laki-laki dewasa normal.
“Kenapa nggak turun sih? Jadi bantuin
nggak?” Arsyila tiba-tiba berbalik badan, bagian bawah tubuhnya sudah tenggelam
di dalam kolam.
“Kalo aku buka semua boleh nggak?”
Entah darimana keberanian itu muncul, yang pasti semua isi kepalaku saat ini
hanyalah hal-hal mesum.
“Ya udah buka aja kalo mau.” Jawab
Arsyila santai.
“Oke!” Sahutku sigap.
Segera aku melorotkan celana dalam
yang menempel di area selangkanganku. Beberapa detik kemudian penisku yang
sudah mengeras sempurna muncul tanpa penghalang apapun. Sebagai pria keturunan
Tionghoa dan kebetulan seorang Katolik juga, bagian intim dari tubuhku tentu
saja belum tersunat. Bagian ujung penisku masih tertutup kulit kulup.
Arsyila melirik ke penisku yang
mengacung tegak. Istri sahabat baikku itu cepat-cepat memalingkan wajah. Namun
aku sempat melihat rona tersipu di wajahnya. Rona tersipu yang disertai senyum
malu. Untuk sesaat kami berdiri canggung.
“Kenapa? Katamu sudah biasa lihat
kontol ngaceng?” Tanyaku makin berani. Arsyila yang sebelumnya memalingkan
wajah kembali menatapku. Senyumnya tersungging tipis, begitu cantik.
“Iya sih, tapi baru kali ini aku
lihat yang kayak gitu.”
“Kayak gitu gimana?” Tanyaku
penasaran.
“Ya gitu, masih ada kulitnya, belum
sunat.” Ujar Arsyila malu-malu.
“Hahahahaha! Kenapa? Lucu ya?”
“Yah lumayanlah. Ayo turun, jadi
bantuin nggak?”
“Ehmm, karena aku sudah telanjang
kayak gini, kenapa kamu nggak ikut telanjang juga? Kamu nggak bawa pakaian
dalam ganti kan? Apa kata Adam nanti kalo liat BH mu basah kuyup?” Kataku makin
berani.
Sepasang mata Arsyila yang indah
terpicing. Dia menatapku tajam. Di saat yang sama, aku kembali melihat rona
tersipu di wajahnya.
“Hah? Aku harus telanjang juga?” Arsyila
bertanya sambil menatapku.
“Supaya adil aja sih.” Ujarku sambil
menyeringai mesum.
“Ya ini cuma saran aja. Kalo kamu
nggak mau ya nggak apa-apa.” Kataku lagi.
Arsyila kembali memicingkan matanya. Wanita
cantik dengan hijab di kepalanya itu menatapku. Aku balas menatapnya. Untuk
sesaat kami bertatapan hingga dia memalingkan wajah. Aku menahan nafas. Dadaku
terasa bergemuruh. Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.
Akankah Arsyila setuju untuk ikut telanjang sepertiku?
“Oke, siapa takut!”
Jantungku makin bergemuruh saat
mendengar persetujuan dari bibir Arsyila. Sesaat lagi aku akan bisa menyaksikan
tubuh telanjang istri sahabat baikku itu. Dengan cepat Arsyila membalikkan
badannya. Kedua tangannya diletakkan di atas G-string yang dikenakan.
Kemudian...
Arsyila menurunkan G-string kecil itu
melewati pinggulnya, kemudian kedua pahanya. G-string itu agak tergulung
melewati kakinya yang jenjang, kemudian dengan gerakan erotis dia
melemparkannya ke tepi kolam. Masih dengan tubuh membelakangiku, Arsyila
meletakkan tangannya di punggung. Gerakan tangannya lincah melepas pengait BH
nya yang terlihat kekecilan. Tak butuh waktu lama hingga penutup payudara itu
ikut terlepas dari tubuh mulus Arsyila dan berakhir teronggok di tepi kolam
renang.
Satu-satunya kain yang masih berada
di tubuh Arsyila hanyalah sepotong hijab yang menutupi kepalanya. Entah kenapa,
Arsyila rupanya enggan membuka penutup kepalanya itu. Aku sendiri sengaja tidak
meminta agar dia membuka penutup kepalanya. Ada nuansa mendebarkan ketika
melihat Arsyila yang telanjang namun masih mengenakan hijab. Ukhty naughty.
Kutatap tubuh Arsyila yang telah
telanjang bulat dari belakang. Tanpa sadar penisku pun sudah mengacung tegak
sempurna. Wanita cantik itu kemudian kembali berbalik ke arahku, kami saling
bertatapan dalam diam. Detak jantungku berdetak lebih cepat saat akhirnya
menyaksikan tubuh Arsyila yang polos, mulus, nyaris tanpa cela.
Arsyila berdiri dengan sikap biasa. Wanita
cantik itu memang terlihat canggung, namun sikapnya terkesan biasa saja. Arsyila
bahkan tidak berupaya menutupi bagian tubuhnya yang terbuka itu, seperti yang
seharusnya dilakukan perempuan yang telanjang di depan laki-laki yang bukan
suaminya.
Aku bisa melihat sepasang bukit
kembar yang mengacung indah. Payudara yang berukuran cukup besar. Daging kenyal
yang sama sekali belum kendur. Sepasang bukit kembar yang masih tegak. Aku bisa
melihat pucuk bukit kembar itu. Puting yang juga nampak mengacung.
Puting itu dikitari lingkaran kecil
berwarna merah muda. Kemudian aku melihat perut yang rata. Semuanya terlihat
sempurna dan menggiurkan. Isi kepalaku bahakan telah memproses hal-hal mesum
yang pernah dilakukan pada tubuh istrinya ini.
Kemudian mataku tertuju ke bagian
itu. Bagian paling mendebarkan milik perempuan. Bagian yang dipenuhi misteri
dan rahasia. Bagian yang selama ini tertutup rapat bagi laki-laki manapun
selain Adam. Aku melihat bulu halus berwarna hitam yang dipotong pendek dan
rapi.
Karena dipotong pendek, rambut itu
tak mampu menutupi celah yang ada di bagian paling intim. Celah indah yang
membuat jantungku berdebar. Aku melihat celah itu. Celah berupa belahan unik
yang ada di bagian paling tersembunyi dari tubuh Arsyila. Samar aku seperti
melihat ada semacam daging mungil yang melingkar. Daging mungil yang mirip
seperti ulat kecil.
Klitoris.
Posting Komentar
0 Komentar