MAMA DAN CINTA PERTAMA
PROLOG
Sudah dua tahun sejak ayah Sean
meninggal. Sean masih berusia enam belas tahun saat tragedi itu terjadi.
Meskipun Sean sangat merindukan ayahnya, tapi itu tidak lebih dari yang
dirasakan Mamanya. Hidup mereka dulunya ideal, tinggal di pusat kota, menempati
rumah mewah, dan segala kenyamanan lain sebagai tanda hidup berkecukupan.
Segalanya hampir sempurna sampai kecelakaan itu terjadi.
Haryo Arya sedang mengemudi pulang
dari tempat kerja ketika sebuah mobil yang dikendarai seorang pemabuk
menyeberang ke jalur yang berlawanan dan menabrak mobilnya secara brutal. Haryo
sama sekali tidak punya kesempatan. Polisi bahkan mengatakan bahwa mobil pemabuk
itu melaju dengan kecepatan hampir seratus mil per jam.
Acara pemakaman selalu sulit bagi
semua orang. Kerabat serta rekan Haryo datang untuk mengucapkan bela sungkawa
karena ayah Sean tersebut selama hidup dikenal sebagai orang yang begitu
menyenangkan. Namun, setelah pemakaman selesai, Liana dan Sean harus pulang dan
menghadapi kehilangan itu sendirian. Kecelakaan itu mengubah hidup mereka
secara drastis.
Mama Sean, Liana, harus kembali
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bahkan harus menjual rumah peninggalan
Haryo. Dua tahun lamanya Liana meniti karier dari nol sebagai seorang pialang
saham. Penuh suka duka namun pada akhirnya wanita cantik itu perlahan mulai
mendapatkan hasil. Kariernya cemerlang hingga bisa membeli rumah lagi di
pinggiran kota. Rumah itu lebih kecil dari sebelumnya, tetapi sangat nyaman
sebagai tempat tinggal bagi dirinya dan Sean. Kehidupan ekonomi mulai tertata,
Liana dan Sean tak perlu lagi mencemaskannya.
Meskipun dua tahun sejak kecelakaan
itu secara finansial kehidupan Liana dan Sean mulai kembali stabil, namun
secara emosional sangat sulit. Liana dan Sean masih harus berjuang. Mereka
bersandar satu sama lain untuk saling mendapatkan dukungan dan oleh karena itu
mereka menjadi lebih dekat dibanding ibu dan anak remaja pada umumnya. Sean
menjadi kepala rumah tangga dalam waktu semalam, tetapi remaja itu tahu bahwa
dia tidak akan bisa menggantikan posisi Ayahnya.
Sean adalah pemuda tampan dengan
tinggi hampir 180 sentimeter, ditunjang berat badan proporsional serta wajah
menawan, Sean terlihat begitu sempurna untuk ukuran remaja pria seusianya. Namun,
meskipun dia tampak sebagai remaja yang percaya diri, Sean sebenarnya sangat
pemalu.
Meskipun Sean memiliki wajah tampan
ayahnya dan mata biru cerah ibunya, Sean tidak pernah nyaman saat berdekatan
dengan wanita seumurannya. Sean ingin berkencan, tetapi setiap kali dia dekat
dengan seorang gadis yang menarik, Sean akan menjadi kelu dan salah tingkah
sendiri.
Sean telah lulus dari sekolah
menengah atas, prestasi akademiknya membuat Sean diterima di sebuah universitas
negeri lewat jalur beasiswa. Namun dibalik semua prestasi dan penampilannya
yang begitu menarik sebagai seorang pria, Sean hingga detik ini belum sekalipun
berhasil mendapatkan pacar.
Rasa malu yang ada dalam dirinya
bukanlah perasaan malu biasa, itu adalah ketidakpercayaan diri yang membuatnya
lemah dari dalam. Tanpa keberanian dan selalu tertutup. Selama ini Sean tak
pernah membicarakan permasalahan ini dengan Liana, setiap kali Mamanya
menanyakan tentang kehidupan sosialnya, Sean selalu mengatakan baik-baik saja.
Hingga detik ini, dia berhasil menyembunyikan permasalahan itu dari sang Mama.
Liana Arya, janda cantik berusia 37
tahun. Di usia yang cukup matang sebagai seorang wanita, penampilan Liana tak
kalah mempesona. Banyak orang bahkan tak pernah percaya jika usia Liana sudah
berkepala tiga lebih, mereka menganggap usia Liana jauh lebih muda. Tubuhnya
mungkin tak terlalu tinggi, hanya sekitar 158 sentimeter, tapi dengan bentuk
badan langsing terawat serta pantat padat dan payudara berukuran jumbo, membuat
Liana begitu mempesona dan menarik perhatian banyak lawan jenis.
Liana merasa tak nyaman dengan
tatapan liar para pria saat melihat kemolekan tubuhnya, itulah yang membuatnya
dia jarang mengenakan pakaian sexy. Liana lebih sering mengenakan pakaian
kasual yang cenderung menutupi lekuk tubuh indahnya.
Liana sebenarnya merasa sangat
kesepian setelah kematian Haryo dua tahun silam. Orang yang begitu dicintainya
sejak jaman kuliah itu harus pergi dengan cara yang begitu tragis. Sesekali
Liana bisa mengusir rasa kesepian itu dengan sibuk bekerja, namun setiap kali
kembali pulang ke rumah, perasaan hampa itu kembali hadir.
Karena kesepian itulah, Liana pernah
mencoba untuk menjalin hubungan dengan pria baru. Bagaimanapun dia harus move
on dan membuka lembaran cerita baru. Sayangnya, dia belum pernah bertemu
seseorang yang benar-benar dia sukai atau yang bisa membuatnya terhubung secara
emosional.
Liana memang masih memiliki hasrat
seksual yang kuat. Namun bagi Liana, seks bukanlah hal utama yang dia cari
dalam sebuah hubungan. Di usianya yang telah matang seperti ini, Liana
membutuhkan lebih daripada seks. Celakanya, banyak pria yang datang di hidupnya
sudah lebih dulu melabelinya sebagai seorang janda muda yang bisa dengan mudah
diajak menghabiskan malam di atas ranjang, sesuatu yang membuat Liana patah
arang untuk menjalin hubungan baru dengan pria lain.
Sean berkali-kali menyarankan untuk segera menikah lagi. Anak semata wayangnya itu sama sekali tak mempermasalahkan jika akhirnya ada sosok pria baru yang hadir di kehidupan mereka berdua. Namun, Liana bergeming, trauma ditinggalkan oleh Haryo masih belum benar-benar hilang dan itu membuatnya sulit untuk membuka hatinya bagi pria lain.
CHAPTER 1
Sabtu malam, Liana mendapati Sean
sedang duduk di ruang tamu sambil menonton TV seperti biasanya.
"Sean, nggak pergi malam
mingguan? Kok di rumah aja?” Tanya Liana sambil duduk di samping putranya dan
merangkul pundak anak semata wayangnya itu. Mereka melakukan percakapan ini
hampir setiap akhir pekan.
"Sean pengen istirahat Ma, lagipula
aku lebih suka di rumah sama Mama."
Sean selalu memiliki jawaban yang sama saat
Liana menanyakan alasan kenapa pemuda itu lebih sering menghabiskan waktu di
rumah sepanjang hari.
"Sean, sesekali cobalah keluar
rumah. Kamu harus punya teman atau bahkan seorang pacar." Kata Liana sembari
menghela nafas panjang. Kemudian wanita berparas cantik itu menatap Sean dengan
ekspresi serius dan berkata,
"Mama mengkhawatirkanmu."
"Mama juga terlihat baik-baik
saja kan walaupun nggak ada pasangan?”
"Ayolah Sean, itu berbeda dan kamu
tahu itu. Mama sudah pernah menikah. Sementara Kamu?" Liana berkata sambil
meremas bahu Sean dengan penuh kasih sayang.
"Yah, next time lah Ma.
Lagipula, aku sudah punya wanita sempurna. Mama!" Sean tersenyum sambil
menatap lekat wajah Mamanya. Liana menghela napas dengan frustrasi.
"Yah, kita pasangan yang serasi kan?"
"Mama adalah sahabat terbaikku."
kata Sean sebelum meringkuk di lengan Liana.
"Iya, Sean juga sahabat Mama."
Balas Liana, sambil memeluk Sean.
"Tapi kamu tetap harus punya
pacar Sean. Mama nggak mau punya anak jomblo seumur hidup.” Sean menarik napas
panjang.
"Ma..."
"Apa?"
Mulut Sean terbuka tetapi tidak ada
kata yang keluar dari sana. Kepalanya jatuh kembali ke sofa dan dia memejamkan
matanya. Wajahnya tampak memerah karena malu.
"Lupakan Ma, nggak penting kok."
Ujar Sean lirih.
"Ada apa Sean? Kamu tau kan kalo
Mama tidak suka ada rahasia diantara kita?" kata Liana, wanita cantik itu memalingkan
wajahnya ke arah Sean dan menatap mata anaknya yang berkabut.
"Ada apa Sean? Ayo cerita sama
Mama.”
Sean sudah lama ingin berbicara
dengan Mamanya tentang rasa malunya, tetapi dia tidak ingin membebani Mamanya.
Selain itu, dia merasa malu berbicara dengan Liana soal percintaan. Namun entah
kenapa malam ini Sean punya keberanian untuk mulai bercerita.
"Ehmmm, Sean selalu malu kalau
dekat dengan cewek yang Sean suka. Setiap kali momen itu datang, Sean terlihat
seperti orang bodoh dan tak bisa memulai percakapan. Malah kadang yang lebih
memalukan, Sean jadi gagap.” Kata Sean, dia palingkan wajahnya seolah tak
berani menatap wajah Mamanya sendiri. Liana terkejut tetapi berusaha untuk
tidak menunjukkannya. Wanita cantik itu ingin menjadi pendengar yang baik bagi
Sean.
"Tunggu dulu, kamu bilang selalu
merasa malu jika dekat dengan cewek? Lalu kenapa waktu sama Mama kamu nggak
kayak gitu?” Tanya Liana coba untuk memahami masalah anak tunggalnya itu.
"Ma, ini beda. Sean selalu merasa
nyaman kalau dekat dengan Mama.” Balas Sean sembari mengusap-usap rambutnya
sendiri dengan telapak tangan.
“Jadi selama ini kamu belum pernah
pacaran?” Sean menggeleng lemah, ada perasaan malu yang tiba-tiba menyeruak
dalam dadanya.
Ya Tuhan, Sean sudah berusia 18 tahun
dan belum sekalipun merasakan momen pacaran? Pikir Liana. Sean pasti masih
perjaka! Kesadaran itu mengejutkan Liana. Kemudian masalah yang lebih besar
muncul di benaknya.
"Kamu suka perempuan kan Sean?"
"Mama! Tentu saja aku suka
perempuan! Sean masih normal Ma!" Kata Sean dengan jengkel, kali ini dia
benar-benar malu. Liana menghela napas lega.
Perasaan bersalah menggelanyuti
perasaan Liana karena baru menyadari jika selama ini dia lalai pada Sean.
Setelah kematian sang suami, wanita cantik itu begitu sibuk bekerja, bukan
hanya untuk mengembalikan stabilitas kehidupan ekonominya, tapi juga sebagai
cara untuk melupakan kesedihan karena kepergian Haryo. Liana baru menyadari
jika Sean punya masalah besar dalam hidupnya sebagai remaja yang tumbuh dewasa,
dan dia baru mengetahuinya saat ini. Mereka berdua duduk dalam diam untuk waktu
yang lama. Tak satu pun dari mereka tahu harus berkata apa. Akhirnya, Liana
mencairkan suasana dengan sebuah ide.
"Sean, bagaimana kalau malam ini
kita kencan?”
"Ah Mama, serius dong, jangan
becanda terus."
"Mama serius Sean, kamu tadi kan
bilang kalo dengan Mama, kamu merasa nyaman. Malam ini kamu boleh memperlakukan
Mama seperti teman kencanmu. Mama juga akan memberitahu kesalahanmu saat
bersama seorang wanita. Ayolah, ini akan menyenangkan Sean!” Liana berhenti
ketika dia menyadari bahwa Sean mungkin akan malu untuk pergi dengan Mamanya.
"Eh...tapi itu kalau kamu tidak malu
keluar dengan Mamamu yang sudah tua ini ya."
"Mama nggak tua kok, lagipula
Mama adalah wanita tercantik yang pernah Sean lihat.” Wajah Liana seketika
memerah begitu mendengar ucapan Sean barusan.
"Terima kasih sayang, jadi
gimana? Mau kencan sama Mama malam ini?” Sean terdiam selama beberapa menit,
berpikir.
"Oke, sepertinya menyenangkan.” Kata
Sean akhirnya dengan nada santai.
"Kok nggak semangat gitu sih?"
Ujar Liana sambil cemberut.
"Bukan begitu Ma…" kata Sean
dengan cepat.
"Ada apa sayang?"
"Sean cuma takut akan
mengacaukan semuanya. Sean nggak pernah kencan sama sekali Ma…” kata Sean,
suaranya terdengar gugup.
"Nggak ada yang perlu kamu
takutin sayang. Mama selalu ada di samping Sean, ok?” Liana menepuk-nepuk pundak
Sean dengan penuh kasih sayang.
"Ayo, kita ganti pakaian dulu.” Ujar
Liana seraya bangkit dari sofa.
“Kita mau pergi kemana Ma?”
“Hmmm, bagaimana kalo makan malam
romantis di restoran favorit Papamu, terus setelah itu kita nonton bioskop?”
Ujar Liana memberi ide.
“Oke Ma!”
***
Dua puluh menit kemudian, Sean
mondar-mandir di sekitar ruang tamu dengan gugup, menunggu Mamanya. Ketika dia
melihat Mamanya menuruni anak tangga, Sean tak bisa menyembunyikan
keterkejutannya, kekaguman lebih tepatnya. Mulutnya bahkan sampai terbuka. Liana
mengenakan atasan ketat berwarna putih dengan potongan rendah, memperlihatkan
bagian atas payudaranya yang montok, serta rok pendek berwarna hitam dan sepatu
hak tinggi.
"Kamu kenapa Sean?" Tanya
Liana saat melihat perubahan raut wajah Sean. Wanita cantik itu menyusuri
penampilannya, memastikan tidak ada yang salah.
"Mama…I-Itu..A-Anu…" Sean
tergagap-gagap mencoba mengatakan betapa cantiknya Liana malam ini.
"Apa lebih baik Mama ganti baju
aja?" Liana berbalik untuk kembali
ke lantai atas karena khawatir dia sudah terlalu berlebihan dalam usahanya
terlihat muda dan "seksi".
"Nggak usah Ma! Mama cantik
sekali malam ini! Sean suka!" Sean berseru. Liana berbalik dan tersenyum.
"Wah terima kasih sayang, Mama
kira kamu malu melihat Mama pake pakaian kayak gini."
“Mana mungkin Sean malu, justru Sean
yakin banyak orang yang akan cemburu melihat kita jalan berdua malam ini."
Liana tertawa lebar mendengar ucapan Sean.
"Baiklah, ayo kita buat mereka
cemburu. Untuk malam ini, jangan panggil Mama ya, panggil Liana aja." Ujar
Liana sambil tersenyum.
"Oke Ma... eh Liana." Sean menyukai
bagaimana nama Liana keluar dari lidahnya.
Sean bergegas menuju mobil, sigap
remaja itu membukakan pintu untuk Liana. Saat Liana duduk, Sean tidak dapat
menahan diri untuk tidak melihat hamparan paha sang Mama yang tersingkap saat
rok pendeknya terangkat. Dada Sean berdebar tak beraturan, sejenak dia lupa
jika wanita yang ada di dekatnya saat ini adalah Mamanya sendiri.
Saat menyetir, konsentrasi Sean
terbagi antara melihat jalanan dan melirik ke arah paha Mamanya yang putih
mulus. Perasaan aneh kemudian perlahan muncul dari dalam diri remaja itu,
sebuah perasaan asing yang baru pertama kali dia rasakan sepanjang hidup.
Sean mengemudikan mobilnya ke sebuah
restoran Italia kecil yang sering mereka kunjungi saat sang Ayah masih hidup.
Restoran itu berada di pusat kota, meskipun begitu tak banyak pengunjung yang
datang malam ini, dengan tampilan khas Mediterania membuat restoran tersebut
telihat cukup segmented bagi sebagian orang. Meja-meja ditutupi dengan taplak
meja kotak-kotak merah dan masing-masing memiliki botol anggur tua di tengahnya
dengan lilin yang menyala. Bahkan ada pemain biola yang memainkan musik.
Makan malam berjalan lancar dan
sangat santai. Liana bahkan membiarkan Sean meminum beberapa gelas anggur. Liana
ingin membuat anak tunggalnya itu merasa lebih dewasa. Beberapa teguk anggur
rupanya membuat Liana merasa sedikit mabuk tapi juga hangat dan rileks. Sean sama
sekali tak menunjukkan kegugupan saat makan malam berdua romantis dengan
Mamanya. Anggur mungkin melonggarkan lidahnya sedikit.
Mereka berbicara tentang sekolah,
teman, musik, film, dan semua hal yang dibicarakan oleh pria dan perempuan saat
berkencan. Kadang, Liana memberikan tips pada Sean tentang hal-hal yang harus
dia lakukan saat berkencan. Seperti menunggu hingga teman kencannya mengambil
tempat duduknya sebelum dia duduk atau membukakan pintu restoran untuk sang
pujaan hati.
Liana berusaha untuk tidak terlalu
kritis terhadap Sean. Menurut Liana, Sean tidak perlu banyak dilatih. Anak
tunggalnya itu adalah seorang pria yang alami, seperti ayahnya. Untuk beberapa
saat, Sean benar-benar lupa bahwa Liana adalah Mamanya.
Liana juga lupa untuk beberapa saat
bahwa dia sedang bersama putranya. Tiba-tiba saja Sean tampak begitu dewasa.
Mata birunya yang indah berkilau dalam cahaya lilin yang redup saat dia tertawa
dan wajahnya bersinar seperti neon saat dia tersenyum. Ya Tuhan, dia sangat
tampan, pikirnya. Tiba-tiba, Liana merasa ada hal yang berbeda malam ini.
Makan malam usai, kini acara kencan
anak dan Ibu itu berlanjut ke sesi berikutnya. Liana sedikit goyah saat berdiri,
sepertinya wanita cantik itu terlalu banyak menenggak anggur. Sean dengan sabar
dan telaten mendampingin Mamanya, membukakan pintu restoran kemudian berjalan
tenang menuju parkiran mobil. Sean rupanya menyerap tiap saran yang diberikan
oleh Mamanya saat makan malam tadi. Liana makin terkesan.
Ketika Sean membuka pintu mobil, dan Mamanya
meluncur masuk, dia mencoba untuk tidak melihat paha Liana yang terhampar bebas.
Akan tetapi, hal itu mustahil. Tidak peduli seberapa keras dia mencoba, matanya
tetap tertuju pada area gelap di antara kedua kaki Mamanya. Cahaya dari lampu
jalan melelehkan bayangan dan Sean menarik napas dalam-dalam.
Kaki Mamanya terbuka, memperlihatkan
bagian atas celana dalam nilon setinggi paha yang halus, paha mulus dan celana
dalam sutra berwarna biru pucat yang memeluk kantong kemaluannya. Sean berhenti
sejenak dengan satu kaki keluar dari mobil. Sean berdiri hampir membeku,
matanya melotot.
"Kita jadi nonton?" Tanya Liana,
sekali lagi menyadari bahwa putranya sedang melihat pahanya yang terbuka.
Bukannya marah, pengaruh alkohol
rupanya sedikit mengacaukan pikiran sehatnya, ekspresi kekaguman Sean pada
lekuk tubuhnya dianggap hanya sebagai sebuah kenakalan kecil. Jauh daripada
itu, Liana merasa sangat tersanjung karena masih bisa membuat remaja seusia
Sean terkagum-kagum. Sean buru-buru mengalihkan pandangan matanya, dia sadar
betul tatapan jalangnya beberapa detik lalu telah diketahui oleh Liana. Wajah
Sean merah karena malu.
“Jadi dong Ma, yuk!” Sahut Sean
seraya menyalakan mobil dan beranjak pergi dari parkiran restoran
***
Setelah membeli dua gelas coke
ukuran tanggung dan popcorn mereka berdua langsung menuju studio. Tiket di
tangan Sean menunjukkan posisi duduk mereka di barisan paling belakang. Hanya
ada beberapa orang penonton lain, tak begitu ramai mungkin karena film yang
dipilih Sean bukanlah jenis film box office.
Filmnya lucu dan ringan, membuat
mereka berdua tertawa lepas. Di pertengahan film, Sean dengan hati-hati
mengangkat lengannya dan meletakkannya di sandaran kursi di belakang punggung
Liana, lengannya yang telanjang menyentuh pundak sang Mama. Liana tidak
melewatkan gerakan itu dan merasakan getaran kecil menghampirinya.
Pada momen lainnya saat mereka
tertawa karena adegan lucu di film, Sean menggerakkan lengannya hingga
melingkari tubuh Liana, tangannya menggantung di bahu Mamanya. Liana memberi
respon dengan dengan menghela napas dan meringkuk lebih dekat lagi ke lengan
Sean. Liana tersenyum pada dirinya sendiri atas keberanian putranya. Liana
merasa sangat nyaman dan dicintai pada saat itu. Sudah lama sekali dia tidak
merasakan hal seperti ini.
Tiba-tiba, Sean menyadari bahwa ujung
jarinya menyentuh bagian atas payudara Liana yang terbuka, Sean bahkan bisa
dengan jelas melihat gundukan daging
lembut berukuran jumbo itu menyembul. Sean dapat merasakan jantungnya mulai
berdetak dengan cepat. Liana pun merasakan jari-jari tangan itu sedikit
menyentuh permukaan kulit bagian atas payudaranya, karena ia tidak ingin
merusak suasana dia sama sekali tak menghindar.
Sean tidak dapat lagi berkonsentrasi
pada adegan film. Hampir tanpa kendali, jari-jarinya mulai bergerak maju mundur
dengan lembut di atas payudara Liana yang membengkak. Gerakannya halus, hampir
tidak terlihat. Namun, Sean bisa merasakannya.
“Hentikan!” Jerit Sean dalam hati.
Setelah beberapa menit, Liana
menyadari jemari Sean bergerak liar. Itu adalah sentuhan yang sensual, hampir
menggelitik. Mungkin saja itu tidak disengaja. Ketika ia merasakan bulu
kuduknya merinding, Liana tahu bahwa ia harus menghentikannya.
Namun, dia tidak ingin membuat Sean
malu. Tangan Sean gemetar, saat jari-jarinya semakin berani. Ujung jarinya
bergerak lebih jauh ke bawah hingga hampir berada di bawah pakaian yang
dikenakan oleh Mamanya. Liana gelisah, dia tak menyangka jika Sean akan
seberani ini.
Nafas Liana semakin memburu. Dia
ingin menghentikannya tapi sudah lama sekali dia tak merasakan sentuhan seorang
pria yang begitu mencintainya. Jiwa keibuannya bertempur dengan instingnya
sebagai seorang wanita normal yang begitu merindukan kedekatan intim seperti
ini.
Liana mulai menggeliat di kursinya.
Tanpa disadari, celana dalamnya mulai basah. Ketika Liana merasakan jari-jari Sean
mulai bergerak lebih jauh ke bawah, dia meraih dan memegang tangan anaknya itu,
mencegah gerakan lebih lanjut. Namun, dia tidak melepaskan jari-jari itu dari
bagian atas payudaranya, melainkan hanya menahannya, Liana bahkan hampir
menekan jemari Sean ke dagingnya yang lembut.
Sean menghela nafas lega ketika Mamanya
ternyata tidak marah. Pada satu momen, Liana melepaskan tangannya untuk meraih
popcorn di dekat kursi. Ketika dia berbalik badan, Sean mengambil kesempatan
untuk menggerakkan jari-jarinya ke bawah lagi, hampir seluruh tangannya
berhasil merogoh dada Liana tanpa bisa dicegah lagi.
Sekarang Liana memegang jari-jari
Sean dari luar bagian atas dadanya. Detak jantungnya sendiri berdetak semakin
cepat. Sean merasa jantungnya akan meloncat keluar dari dadanya. Penisnya
sekarang sangat tidak nyaman di dalam celana. Sean menggeliat, mencoba mencari
posisi yang nyaman.
Liana menggenggam tangan Sean yang
gemetar dengan erat, mengetahui bahwa satu inci lagi jemari anaknya itu akan
menyentuh putingnya. Bahkan, ujung jari Sean sudah menyentuh areola besar
berwarna coklat itu. Sean dapat merasakan puting Mamanya mengeras,
berdenyut-denyut menciptakan sensasi menggairahkan. Sekarang, nafas keduanya
terengah-engah.
Keduanya duduk hampir membeku di atas
kursi. Liana mulai melonggarkan pegangan tangannya, dia merasakan jari-jari Sean
kembali bergerak ke bawah lagi. Liana memejamkan matanya dan menarik napas
dalam-dalam. Wanita cantik itu bisa merasakan jemari Sean bergerak melintasi
permukaan areola-nya yang bergelombang. Kemudian jari-jari itu membelah di
sekitar putingnya yang mengeras sebelum kemudian tiba-tiba lampu teater menyala
terang.
Liana melonjak kaget seakan tersengat
aliran listrik. Wanita cantik itu dengan cepat menarik tangannya pun begitu
pula dengan Sean yang tak kalah kikuk. Keduanya hanya terdiam menunggu beberapa
orang pergi dari ruang studio, sebelum kemudian ikut menyusul turut
meninggalkan teater. Sean memilih untuk berjalan di belakang Mamanya, penisnya
sudah begitu keras, dia tak ingin Liana mengetahuinya.
Liana menarik napas dalam-dalam dan
menghela nafas saat berjalan di lorong di depan Sean. Liana bertanya-tanya
mengapa Sean berjalan di belakangnya. Liana menoleh ke belakang dan menyadari
masalah yang dimiliki teman kencan mudanya itu. Liana harus menahan diri untuk
tidak menoleh ke arah putranya untuk kedua kalinya. Tiba-tiba, ia merasa
seperti kembali ke masa kuliah. Bagaimana hatinya berdebar-debar saat kencan
pertama dengan Haryo, ayah Sean.
***
Perjalanan pulang ke rumah sangat
sunyi. Sean tidak bisa mempercayai apa yang telah terjadi di teater. Rasanya
seperti mimpi. Sial, dia hampir saja memegang payudara Mamanya dan Liana sama
sekali tidak menghentikannya. Namun, Sean masih merasa malu. Mamanya sudah
cukup baik untuk mengajaknya kencan dan inilah cara dia membalasnya?
Liana juga tidak bisa mempercayai apa
yang telah dia biarkan terjadi. Sekali lagi, dia berkata pada dirinya sendiri
bahwa itu hanyalah kesenangan kecil yang tidak berdosa. Lagipula, putranya
memang perlu membangun rasa percaya diri, pikirnya. Sesampainya di rumah Sean
bergegas turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mamanya. Remaja itu
kemudian mendahului langkah Liana untuk membuka pintu rumah.
"Terima kasih ya Ma, udah mau
kencan dengan Sean malam ini." Sean tampak malu-malu.
"Sama-sama sayang, malam ini
Mama juga seneng banget." Ujar Liana dengan tulus. Sean berdiri dengan
gugup di depan Liana, seolah ada sesuatu yang mengganjal sebelum malam indah
ini berakhir.
"Ada apa Sean?" Tanya Liana
menyadari ada yang salah dengan raut wajah Sean yang mendadak tegang.
“Emmhh, apa aku boleh menciummu Ma?
Ciuman seperti layaknya orang yang habis berkencan.” Kata Sean gugup.
Jantungnya berdetak kencang lagi. Lututnya terasa seperti akan roboh saat Mamanya
tidak langsung menjawab, Sean mengira dia telah membuat Liana marah kali ini.
"Biasanya kencan pertama tidak
diakhiri dengan sebuah ciuman sayang, tapi karena Mama bahagia banget malam ini,
kamu boleh melakukannya." Otak waras Liana yang masih terpengaruh alkohol
tak bisa menolak permintaan Sean. Perlahan mata Liana terpejam, jantungnya
berdebar kencang sekarang. Momen seperti ini mengingatkannya saat pertama kali
mendapat ciuman dari Haryo.
"Ta-Tapi aku tidak tau bagaimana
caranya Ma…" Ujar Sean lirih. Mata Liana kembali terbuka, senyum
mengembang di bibirnya, dia kembali sadar kalau anaknya sama sekali tak
berpengalaman.
"Begini…" Liana mendekatkan
bibirnya ke bibir putranya. Lengannya secara otomatis melingkari punggung Sean.
Remaja itu masih tampak kaku saat bibir Mamanya bergerak maju.
"Tunggu…" Liana tak
melanjutkan aksinya, dia mundurkan tubuhnya sedikit agak menjauh dari Sean.
"Kamu harus rileks sayang,
jangan kaku kayak gitu. Coba sekarang basahi dulu bibirmu." Kata Liana
dengan nada lembut.
Sean melakukan apa yang diminta Mamanya.
Liana kembali mendekatkan bibirnya ke bibirnya lagi. Kali ini Sean merilekskan
bibirnya kemudian menekannya ke dalam mulut Liana yang lembut. Tiba-tiba, Sean
merasakan payudara Liana yang empuk sekarang menempel di dadanya, bibirnya yang
lembut, dan aroma parfumnya yang manis perlahan namun pasti jadi candu. Kepala
remaja itu mulai berputar.
Liana mengerang saat lidahnya
meluncur ke dalam mulut anaknya yang hangat. Itu adalah sebuah tindakan refleks
dan otomatis. Liana merasakan lidahnya menyentuh lidah Sean dan sebuah getaran langsung
menjalari tubuhnya. Untuk sesaat, dia terhanyut dalam rasa manis dari mulut
putranya. Tiba-tiba, dia menarik lidahnya keluar dari mulut Sean. Liana
benar-benar kehilangan kendali untuk sesaat. Dia menarik kepalanya ke belakang
dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Sekarang sudah lebih enak,
bukan?" Liana membuat nada suaranya terdengar sepolos mungkin, dengan
getaran yang tak terkendali dalam suaranya.
"Lagi Ma…." Sean dengan
berani menarik tubuh Mamanya ke arahnya lagi.
Liana dapat merasakan penis keras
putranya menekan perutnya. Wanita cantik itu menggigil kegirangan saat
membayangkan bahwa dia masih bisa membuat seorang pria muda bergairah. Tunggu,
pikirannya berteriak, ini anakku sendiri. Liana tahu bahwa dia harus
menghentikan ini sebelum menjadi tidak terkendali.
"Cukup sayang!" Liana
hampir berteriak. Pagutan bibir keduanya terlepas, Sean nampak belum puas.
"Cukup satu ciuman pada kencan
pertama. Jangan serakah." Ujar Liana sambil mendorong putranya menjauh.
"Ah nyebelin…" kata Sean,
dengan senyum polosnya, mencoba menutupi kegembiraan dan kekecewaannya dalam
satu waktu.
"Ma, bisakah kita berkencan lagi
kapan-kapan?" Tanya Sean.
"Hmmm, oke nggak masalah asal
kamu tetep jadi anak yang manis ya." Jawab Liana sambil mengecup bibir
putranya sekali lagi sebelum masuk ke dalam rumah.
Malam itu, Sean berbaring di tempat
tidur dengan penisnya yang keras di tangannya, memikirkan Mamanya. Semua
fantasinya selama ini adalah tentang gadis-gadis di sekolah. Namun sekarang Mamanya
mendominasi pikirannya. Sean masih bisa merasakan payudara lembut Mamanya saat
jemarinya bergerak liar kala mereka berdua ada di bioskop. Jika saja dia bisa
menggerakkan tangannya sepersekian inci lebih rendah , dia akan berhasil menyentuh
putingnya.
Bahkan sekarang, dia masih bisa
merasakan bibir Liana di bibirnya dan merasakan lidah sang Mama di mulutnya.
Hanya butuh beberapa menit baginya untuk menyemprotkan sperma ke seluruh
perutnya. Sean begitu puas malam ini.
Pada saat yang sama, Liana berbaring
di tempat tidur dengan satu tangan meremas payudara yang sama dengan yang
disentuh Sean tadi. Tangannya yang lain memaksa memasukkan tiga jari ke dalam
lubang kemaluannya. Liana mencapai klimaks berulang kali hingga jari-jarinya
dan seprai basah kuyup oleh cairan kewanitaan. Lalu, tiba-tiba dia menangis.
Tuhan, apa yang telah saya lakukan? pikirnya. Liana Arya menangis sampai
tertidur malam ini.

Posting Komentar
0 Komentar