DUA BETINA
PART 1
Sore itu, cahaya matahari merembes
samar melalui jendela kaca berdebu kamar kos sempit milik Bima. Ponsel putih
yang baru saja diletakkannya di atas meja kecil masih bergetar pelan,
menandakan percakapan terakhir dengan sang ayah masih memenuhi udara pengap
kamar.
"Panen gagal," gumamnya
lirih, suara bergetar menahan getir.
Kamar seluas enam meter persegi itu
tampak sederhana. Sebuah kasur tipis beralaskan sprei kusam terbentang di sudut
ruangan, di sampingnya tergeletak tumpukan buku kuliah yang sudah lusuh. Sebuah
meja kecil dipenuhi catatan kuliah, sebuah gelas plastik bekas kopi semalam dan
ponsel pintar satu-satunya alat komunikasi dengan keluarga.
Bima merebahkan diri, menatap
langit-langit kamar yang mulai menguning. Bayangan sawah keluarganya di kampung
memenuhi pikirannya. Ia tahu betul betapa keras ayahnya bekerja di ladang,
betapa rapuhnya penghasilan mereka yang bergantung pada semusim panen.
"Untuk sementara, kamu harus
kuat, Le,"
terngiang perkataan ayahnya barusan. Kalimat sederhana itu mengandung sejuta
makna, permintaan, harapan, dan kepercayaan.
Ia bangkit, mencoba mengatur napas.
Di lemari kecil, tersisa sedikit beras dan telur. Beberapa lembar uang yang
tersisa di dompet akan segera habis. Tantangan berat menanti, tetapi Bima
adalah mahasiswa yang tumbuh dari kesederhanaan. Ia tahu, setiap kesulitan
adalah kesempatan untuk tumbuh. Dengan tekad, ia mulai membuka catatan kuliah.
Malam ini, ia akan mencari cara. Beasiswa, part-time, atau apa pun yang bisa
dilakukan untuk bertahan.
BIMA
Bima adalah sosok yang menarik
perhatian di kampus. Tinggi sekitar 175 sentimeter, tubuhnya tegap namun
proporsional, dengan lekuk otot yang terbentuk dari kebiasaan membantu orangtua
di sawah sejak kecil. Wajahnya menarik dengan garis rahang tegas, kulit sawo
matang eksotis, dan senyum yang selalu mengembang Bimah.
Mahasiswa semester akhir Teknik
Pertanian ini memang bukan hanya sekadar memiliki penampilan yang menarik,
tetapi juga sosok yang aktif di berbagai kegiatan kampus. Dia tercatat sebagai
ketua divisi pengembangan mahasiswa di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta
Alam, sekaligus menjadi koordinator magang di kelompok studi pertanian
berkelanjutan.
Bagi teman-temannya, Bima adalah
pribadi yang mudah didekati. Tidak sungkan menyapa mahasiswa dari berbagai
jurusan, dia selalu punya cara untuk membuat orang merasa nyaman. Ketika
diskusi, suaranya tegas namun tidak mengintimidasi. Dia pandai mendengarkan,
dan lebih suka mencari solusi dari sekadar berdebat.
Di antara teman-temannya, dia dikenal
dengan julukan "si pemersatu". Jika ada konflik di antara mahasiswa,
Bima kerap menjadi penengah. Kemampuan komunikasinya yang baik, ditambah empati
yang mendalam, membuatnya selalu berhasil meredam ketegangan.
Latar belakang keluarga petani tampak
mempengaruhi cara pandangnya. Kesederhanaan dan kerja keras orangtuanya telah
membentuk karakternya menjadi pribadi yang rendah hati. Meskipun tampan dan
populer, dia tidak pernah sombong. Setiap kesempatan selalu dimanfaatkannya
untuk belajar dan berbagi.
Namun sekarang Bima harus menghadapi
masalah yang dulu bahkan tak sempat dia pikirkan. Membiayai kuliah jadi barang
mahal bagi orang kampung seperti Ayahnya. Inilah kali pertama dia mendengar
kata maaf dari sang Ayah karena kesulitan ekonomi. Sebagai anak pertama dari
tiga bersaudara, Bima memiliki tanggung jawab besar saat ini. Dia tidak ingin
jadi beban keluarga.
TOK
TOK
TOK
“Bro?? Lu udah tidur?” Suara Gilang menggema
dari balik pintu kamar.
“Belum! Masuk aja!” Balas Bima
menyahut panggilan teman kosnya itu.
Pintu terbuka dan muncul sosok Gilang
dengan senyum mengambang. Rambut gondrong berantakan seolah-olah baru saja
diserang angin puyuh, itulah kesan pertama saat melihat Gilang. Mahasiswa
Teknik Mesin semester akhir ini memang selalu tampil apa adanya. Potongan
rambut panjang yang menutupi sebagian dahinya, kadang-kadang diikat asal-asalan
atau dibiarkan terurai, mencerminkan kepribadiannya yang bebas dan tak terlalu
peduli pada standar fashion.
Meski penampilannya urakan, tawa
Gilang adalah magnet tersendiri. Suaranya yang keras dan terbahak-bahak selalu
mampu mencairkan suasana. Di antara teman-teman UKM Pecinta Alam, dialah yang
paling sering membuat lelucon konyol, membuat anggota lain terpingkal-pingkal
bahkan di tengah pendakian yang melelahkan.
Bagi Bima, Gilang adalah sahabat
sekaligus hiburan. Mereka pertama kali bertemu di UKM Pecinta Alam, saat sebuah
ekspedisi pendakian gunung. Gilang yang waktu itu bertugas sebagai koordinator
logistik, ternyata justru lebih sering membuat teman-temannya tertawa dengan
kesalahan fatal dalam mengemas peralatan. Tas ransel yang terbalik, kompas yang
tertukar, dan berbagai insiden konyol lainnya telah menjadi cerita legendaris
di kalangan anggota UKM.
Di balik penampilan urakan dan sikap
konyolnya, Gilang sebenarnya adalah mahasiswa teknik yang cukup cerdas.
Kemampuannya merancang alat-alat sederhana untuk kegiatan alam bebas selalu
mengejutkan teman-temannya. Dia punya keahlian membuat peralatan survival dari
bahan seadanya, yang kerap menyelamatkan rombongan dari kesulitan di medan yang
sulit. Gilang melempar tas ranselnya ke kasur dan langsung mendekati Bima
"Woi, ada apa Bro? Kayak habis
ditampar sama dosen aja nih muka!" Bima tersenyum lemah
"Barusan dapet kabar buruk Gue."
Gilang duduk di samping Bima
"Ceritain. Ada kabar buruk apa wahai
sobatku.” Bima menghela napas panjang, kemudian mulai bercerita tentang panen
keluarganya yang gagal dan konsekuensi tidak adanya kiriman uang dari orangtua.
"Tunggu, berarti Lu butuh dana? Gue
punya tabungan, bisa Gue-"
"Nggak usah. Gue nggak mau
ngrepotin siapapun, yang pasti sekarang Gue harus segera dapat kerja. Apapun
itu!” Potong Bima cepat. Gilang terdiam sejenak, lalu teringat sesuatu
"Oh! Tunggu sebentar!" Dia langsung
mengacak-acak tas, mengeluarkan ponselnya dan mulai membuka pesan lama.
"Beberapa hari yang lalu, Doni, teman
satu UKM kita, bilang ada lowongan di showwroom mobil milik bokapnya. Katanya
mereka lagi butuh tenaga marketing baru. Cocok nih buat Lu!" Bima mulai
tertarik
"Serius? Showroom mana? Gue baru
tau kalo bokapnya Doni punya showroom mobil.”
"Wah Lu kurang update sih bro.
Si Doni itu tajir melintir, nggak cuma showroom aja! Kata temen-temen, bokapnya
juga punya SPBU dan lahan tambang di Kalimantan!” Sahut Gilang antusias. Bima
makin serius menyimak, mungkin inilah jalan Tuhan yang diberikan untuknya saat
ini.
“Pantes aja tiap kali ke kampus
mobilnya selalu beda-beda.” Gumam Bima mengingat sosok Doni yang tiap minggu
selalu berganti mobil. Bukan hanya mobil biasa, tapi mobil-mobil keluaran
terbaru.
“Doni tu raja party Bro! Duitnya
nggak ada serinya!”
“Terus, syarat buat join di shooroom
bokapnya apaan bro? Gue kan masih kuliah dan nggak punya pengalaman kerja jadi
marketing sama sekali.” Terselip keraguan dalam kalimat Bima.
“Ah tenang aja. Wait!” Gilang menekan
keyboard ponselnya, menghubungi seseorang.
“Halo Don! Whatsaap Bro?!”
“Gue baik juga kok! Gini Bro,
lowongan di PH bokap Lu masih ada nggak? Ini ada temen kita yang mau join. Bisa
nggak kira-kira?”
“Si Bima…”
“Ah gitu, oke..oke! Ah siap! Lu chatt
alamat shorommnya ya bro!”
“Siippp! Makasih banyak bro!”
Senyum Gilang mengembang lebar
setelah menutup panggilan teleponnya. Sesaat kemudian sebuah pesan masuk dari
Doni yang mengirimkan alamat lengkap PH milik sang Ayah. Gilang langsung
menunjukkan itu pada Bima.
“Lu bisa datang ke alamat ini. Kata
Doni sih kalo bisa secepatnya, dia juga bilang Lu harus bilang kalo Lu temennya
biar nggak ribet. Lu pasti diterima.” Ujar Gilang menjelaskan isi percakapannya
dengan Doni barusan. Bima tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Thanks banget ya bro! Lu emang
sahabat Gue paling top!” Ujar Bima.
“Heleh! Lebay banget Lu. By the way
ada koleksi bokep baru nggak nih?” Cerocos Gilang dengan ekspresi mesum.
“Anjir! Lu pikir Gue bandar bokep?”
Gerutu Bima yang langsung disambut gelak tawa sahabatnya itu.
“Bagilah dikit bro, Gue butuh bacolan
nih.”
“Kerjaan Lu coli mulu, cari pacar
sono! Biar kontol Lu ada faedahnya.”
“Hahahahaha! Anjing Lu, kayak Lu
pernah ngentot aja Bim…Bim..!”
Percakapan singkat itu berakhir
dengan Bima mulai membuka ponselnya, mencatat alamat yang Gilang berikan.
Secercah harapan mulai merekah di wajahnya.
PART 2
Pagi itu
matahari sudah memancarkan sinarnya dengan cerah, membuat jalanan tampak
berkilau dan udara terasa hangat. Pukul 10 pagi, Bima sudah berdiri tegak di
depan sebuah gedung pencakar langit berlapis kaca yang megah. Bangunan
bertingkat itu adalah showroom mobil milik ayah Doni, sebuah perusahaan ternama
yang sudah puluhan tahun berkembang di industri otomotif.
Bima memandang ke atas, menatap
deretan kaca gedung yang memantulkan bias cahaya matahari. Jantungnya berdegup
sedikit kencang. Ada sesuatu yang membuat kedatangannya pagi ini terasa
berbeda. Entah apa yang akan terjadi di balik pintu kaca gedung megah ini, Bima
hanya bisa menarik napas panjang, bersiap menghadapi apapun yang menunggunya.
Tas ransel hitam tersampir di
bahunya, rambut yang sedikit acak-acakan menandakan perjalanan pagi yang tidak
mudah. Sekelilingnya mulai Bimai dengan para karyawan yang berlalu-lalang,
sebagian melirik padanya dengan tatapan penasaran. Bima mencoba terlihat
tenang, meski sebenarnya ada ribuan pikiran yang berkecamuk dalam benaknya.
Bima mengarahkan pandangannya pada
bangunan di dekat gerbang masuk yang merupakan pos jaga untuk petugas keamanan.
Pos security bercat putih berdiri mungil di samping gedung megah itu, seperti
penjaga kecil yang setia menjaga gerbang. Bima melangkah mendekati pos,
merasakan tatapan sinis dari seorang petugas keamanan berbaju safari yang duduk
di balik meja kecil.
Dengan suara mantap namun sopan, Bima
menjelaskan kedatangannya untuk melamar pekerjaan. Sebelum dia sempat
menyelesaikan kalimatnya, petugas keamanan itu sudah menatapnya dengan
pandangan merendahkan. Dari cara berpakaian dan penampilan Bima yang terlihat
sederhana, si petugas langsung menyimpulkan bahwa pemuda ini tak pantas jadi
karyawan showroom.
"Maaf tapi belum ada lowongan
saat ini. Tapi Mas bisa ninggalin surat lamaran di sini, biar nanti saya
serahkan ke bagian HRD kantor." ujar petugas itu dingin, bahkan sebelum
Bima sempat menjelaskan detail lebih lanjut. Bima terhenyak. Dia mencoba
kembali dengan kartu andalannya, menyebut nama Doni Alamsyah.
"Saya temannya Doni Alamsyah,
anak pemilik showroom ini," ujarnya dengan harapan bisa membuka pintu
kesempatan.
Bukannya tersenyum Bimah atau
memberikan respons positif, petugas keamanan itu malah tersenyum sinis.
Seolah-olah pernyataan Bima hanyalah omong kosong belaka.
"Terus kalo kamu temannya Doni
kenapa?" katanya dengan nada menusuk.
Permintaan untuk meninggalkan lamaran
di pos security pun dilontarkan dengan begitu mudahnya, seakan Bima adalah
sekadar sampah yang tak pantas berada di tempat ini. Pintu harapan yang baru
saja Bima coba buka, langsung dibanting keras di depan wajahnya.
Dalam sekejap, mimpi dan usahanya
terasa remuk. Bima berdiri mematung, mencerna perlakuan dingin yang baru saja
dialaminya. Keheningan seketika menyelimuti dirinya, sementara gedung megah di
belakangnya seolah-olah turut mengejek impiannya. Bima hendak melangkah pergi
sebelum kemudian sebuah sedan mewah berhenti tepat di dekat pos satpam.
Pengemudinya turun dengan senyum lebar seraya menyapa Bima.
“Udah lama Bro???” Doni melangkah
mendekati pos satpam. Petugas keamanan yang sedari tadi bersikap tak Bimah pada
Bima terlihat terkejut karena anak bosnya ternyata benar-benar mengenal Bima.
“Barusan kok Bro.” Ujar Bima sembari
melirik sinis ke arah petugas keamanan yang makin salah tingkah.
“Gue tadi dikabarin Gilang kalo Lu
mau datang hari ini, makanya Gue susulin. Lagian ngapain nggak langsung masuk
aja sih?” Cerocos Doni.
“Nggak enaklah Bro, harus ijin dulu
sama security biar nggak dikira maling. Iya kan Pak?” Sindir Bima pada sang
petugas keamanan.
“I-Iya Mas…” Ujar si petugas keamanan
sedikit gagap.
“Ya udah, ayo langsung masuk aja. Gue
temenin biar Lu tenang. Hahahahaha.”
“Thanks Bro”
Keduanya langsung masuk ke dalam
mobil meninggalkan pos jaga. Jika tadi yang diserang perasaan gundah gulana
adalah Bima, gini giliran sang petugas keamanan yang merasakannya, takut jika
Bima akan mengadukan sikap dinginnya barusan pada Doni.
***
Bima melangkah masuk dengan langkah
mantap ke dalam showroom mobil milik Ayah Doni. Udara di dalam ruangan terasa
sejuk dan bersih, dengan aroma khas dan kilauan lantai marmer yang mengkilap
memenuhi ruangan. Deretan mobil terbaru tersusun rapi bagaikan patung-patung
modern, menciptakan pemandangan yang memukau.
Di sisi kanan, beberapa unit SUV
mewah berwarna hitam dan putih terpajang dengan anggunnya, cahaya spot light
membuat warna cat mereka tampak berkilau sempurna. Di pojok kiri, sedan sport
dengan desain aerodinamis menanti, body-nya mengundang decak kagum para
pengunjung.
Beberapa karyawan berseragam rapi
berdiri di dekat masing-masing unit, siap memberikan informasi dengan senyum
profesional. Seorang sales marketing berjas biru muda sedang berbincang dengan
seorang calon pembeli di dekat mobil teranyar, tangannya gestur menjelaskan
fitur-fitur canggih kendaraan tersebut.
Di sudut ruangan, seorang customer
berusia paruh baya tengah memperhatikan detail interior sebuah mobil keluaran
terbaru, jarinya menyentuh setir dengan perlahan, mencoba merasakan kualitas
material yang mewah.
Suasana showroom dipenuhi bisikan
percakapan ringan, gemerincing kunci, dan aroma semerbak kopi dari dispenser di
sudut ruangan, menciptakan atmosfer yang hangat. Bima melangkah pelan mengikuti
gerak kaki Doni yang ada di depannya, matanya menyapu sekeliling ruangan,
tenggelam dalam pesona deretan mobil-mobil mewah yang memenuhi ruang showroom.
“Kita ketemu Mamaku dulu ya Bro, buat
formalitas aja.” Ujar Doni sesaat kemudian saat langkah kakinya terhenti di
depan sebuah pintu dengan tulisan manager di bagian atasnya.
“Oke bro.” Jawab Bima sebelum
kemudian Doni mengetuk pintu dan membukanya.
“Pagi Mah…”
“Eh sayang, tumben nih mampir.”
NADIA
Bima berdiri terpaku di dekat pintu
menyaksikan seorang wanita cantik berusia 30 tahunan menyambut Doni dengan
sebuah pelukan hangat. Bima tak bisa menyembunyikan rasa terkesimanya kala
bertemu muka dengan wanita cantik tersebut. Dengan balutan rok pendek sebatas
paha dan blazer gelap sexy, lekuk tubuh wanita cantik itu terlihat sangat
menggiurkan. Belum lagi kecantikan wajahnya yang ditunjang hidung mancung,
bibir sensual serta alis tebal sukses membuat Bima terhenyak beberapa saat.
“Oh ya Mah, kenalin ini Bima. Temenku
yang kemarin aku ceritain.”
“Oh, ya? Halo, kenalin saya Nadia,
Mamanya Doni.”
“Sa-Saya Bima tante.” Bima tak bisa
menyembunyikan kegugupannya saat untuk pertama kalinya bersalaman dengan Nadia.
Menyebut Nadia yang masih cukup muda
dengan sebutan tante terdengar janggal di telinga. Tapi itulah kenyataannya,
tiga tahun lalu Pak Felix, ayah Doni, yang sudah berusia setengah abad lebih
meminang Nadia yang usianya terpaut begitu jauh sebagai istri. Doni sebagai
anak tunggal sama sekali tak mempermasalahkan keputusan ayahnya tersebut
mengingat sudah hampir sepuluh tahun Pak Felix hidup menduda sejak kematian
istri pertamanya.
“Jadi gimana? Kapan kamu mulai bisa
kerja di sini?” Tanya Nadia.
“Sekarang juga bisa Tante.” Jawab
Bima dengan lugas.
“Okey kalo gitu lebih baik hari ini
kamu lihat-lihat dulu, biar nanti salah satu anak buahku jelasin detail
pekerjaan marketing di sini.”
“Don, kamu ajak dulu Bima keliling
shoeoom ya. Biar Mama panggilin Agus buat bantuin nanti.” Lanjut Nadia memberi
perintah.
“Siap Mah! Ayo bro kita muter-muter
dulu sambil liat cewek-cewek cantik di sini. Hahahahaha!”
“Hmmmm, Doni jangan ngajarin Bima
yang aneh-aneh ya. Inget, di sini tempat kerja, bukan tempat main-main.”
“Hehehehehe, becanda kok Mah. Ayo bro
cabut!”
“Permisi tante..”
Bima memberi anggukan hormat pada
Nadia. Wanita cantik itu hanya tersenyum sembari melihat punggung tegap Bima
menghilang dari pandangan matanya.
“Hmmm, mainan baru nih. Pinter juga
Doni nyari temen.” Desis Nadia.
PART 3
Hari berganti hari, Bima mulai
melakukan rutinitas sebagai salah satu karyawan di shoroom milik Ayah
Doni. Sebagai seorang karyawan baru di
bagian marketing, pada awalnya Bima bertugas hanya melayani calon pembeli mobil
yang mampir ke showroom. Jika dibanding marketing yang bertugas di lapangan,
tentu pendapatan Bima kalah jauh. Namun pemuda bertubuh atletis itu sama sekali
tak menyesalinya. Baginya mendapat pekerjaan di tengah himpitan ekonomi seperti
ini adalah berkah tersendiri. Toh, dia masih dapat gaji bulanan, setidaknya
Bima masih bisa menyisihkan uang dari sana.
Bima memang seorang pemuda yang easy
going juga Bimah. Memiliki skill tinggi dalam berkomunikasi dengan
orang-orang yang berada sekitarnya, pinter melontarkan joke-joke segar yang
menghibur di kala kejenuhan tengah melanda adalah ahlinya, maka tak heran jika
dalam waktu singkat dia sudah begitu akrab dengan banyak orang. Dimana ada
Bima, pasti disitu ada gelak tawa bahagia.
Kemampuan komunikasi yang baik inilah
membuat pekerjaan Bima sebagai seorang marketing counter berjalan dengan sangat
baik. Meskipun masih belum memenuhi target bulanan penjualan unit, namun Bima
sudah berhasil menjual beberapa unit mobil. Customer yang datang ke showroom
begitu terbantu dengan penjelasan-penjelasan detail yang diberikan oleh Bima.
Tak jarang mereka akhirnya memutuskan untuk langsung melakukan pembelian
setelah terkesima dengan penuturan Bima.
Dunia kerja yang dinamis juga merubah
pembawaan Bima dalam kesehariannya. Intensitas bertemu banyak orang baru serta rekan
kerja wanita yang berpenampilan seksi membuan sisi liar Bima muncul. Namun
begitu tak sekalipun pemuda itu tergoda untuk melakukan hal di luar kewajaran.
Iman Bima masih kuat menghadapi candaan-candaan mesum dari beberapa rekan kerja
wanitanya, meskipun mereka secara terang benderang memberi sinyal ketertarikan.
Bagi Bima tak ada satupun wanita di
kantor yang kecantikannya melebihi Nadia, Ibu tiri Doni, wanita yang tak lain
adalah bosnya. Pertemuan pertama kala itu meninggalkan kesan mendalam bagi
pemuda bertubuh tegap tersebut. Seringkali Bima mencuri pandang saat melintas
di depan ruang kerja Nadia, melihat wajahnya saja sudah membuat dada Bima
berdebar kencang. Sama persis seperti hari ini saat dia diperintahkan untuk
menghadap Nadia di ruangannya.
“Masuk Bim!” Ujar Nadia saat Bima
mengetuk pintu ruang kerjanya dari luar.
“Permisi Bu.” Sejak resmi diterima
jadi salah satu karyawan showroom, Bima merubah panggilannya pada Nadia dari
yang semula “Tante” menjadi “Ibu”.
“Ya, ayo silahkan duduk.” Kata Nadia
mempersilahkan Bima untuk duduk di sofa panjang dekat meja kerjanya.
“Terima kasih Bu.” Bima duduk dan
berusaha untuk bersikap setenang mungkin.
“Gimana Bim? Betah kerja di sini?”
Tanya Nadia seraya bangkit dari kursi kerjanya dan melangkah menuju sofa.
“Betah Bu, saya senang banget bisa
jadi bagian dari perusahaan yang Ibu pimpin.” Ujar Bima diplomatis. Nadia
tersenyum mendengarnya.
“Jadi gini Bim, setelah melihat
laporan kinerjamu selama tiga bulan terakhir sepertinya kamu udah bisa jadi
marketing lapangan.” Bima terhenyak, apa yang dikatakan oleh Nadia barusan
berarti berita tentang kenaikan pangkatnya.
“Serius Bu?”
“Iya serius, meskipun kamu masih
belum memenuhi target penjualan di counter, tapi overall kinerjamu cukup
menjanjikan. Sayang kalo bakat marketingmu disia-siakan, lebih baik kamu mulai
cari tantangan baru di lapangan. Bonusnya juga lebih gede.”
“Untuk langkah awal, besok kamu ikut
ke Bandung ya. Kita lagi ada event di sana, tenang aja, aku sama Catherine juga
berangkat kok.” Lanjut Nadia.
“Wah, terima kasih banyak Bu.” Tanpa
sadar Bima menyentuh lengan Nadia karena saking antusiasnya.
“Eh, ma-maaf Bu. Saya nggak
bermaksud…”
“Santai aja Bim. Baru juga nyentuh
lengan, belum nyentuh yang lain kan.” Tanpa diduga kini justru tangan Nadia
mengarah ke paha Bima, mengelusnya secara perlahan sembari memberi senyum
nakal. Bima makin salah tingkah.
“Eh…I-Iya Bu…”
Dada Bima bergemuruh bak genderang perang.
Apalagi kini Nadia makin mendekat, aroma parfum wangi yang digunakan oleh
wanita cantik itu langsung tercium. Jiwa kejantanan Bima memberontak, kontolnya
bereaksi terhadap sentuhan jemari Nadia di pahanya.
“Hmmmm, ada yang bangun nih.” Goda
Nadia seraya mengarahkan tangannya menuju selangkangan Bima.
“Bu…Jangan…” Bima perlahan
menyingkirkan tangan Nadia dari selangkangannya. Meskipun kontolnya mengeras,
namun sebagian kecil otak Bima mengintruksikan untuk menghindari kegiatan
cabul.
“Kenapa Bim? Yakin kamu nggak mau
ini?” Nadia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, memperlihatkan belahan
payudaranya yang nampak sesak di balik pakaian kerjanya.
“Ta-Tapi ini kan di kantor Bu…” Desis
Bima lirih. Dalam satu waktu nuraninya sebagai pria yang tak pernah sekalipun
melakukan kegiatan seks bersama lawan jenis memberontak. Namun di sisi lain,
kepalanya panas akibat bisikan setan yang makin menggelora.
“Emangnya kenapa kalo di kantor?
Inget Bim, di sini aku yang berkuasa.”
Bima terkesiap, sama sekali tak
menduga jika Nadia akan bersikap sebinal ini. Ditambah lagi ucapan Nadia
barusan menyiratkan sebuah ancaman, penolakan dari Bima berarti tanda jika
kariernya yang baru seumur jagung akan lenyap tanpa sisa. Pada akhirnya Bima
hanya bisa pasrah ketika jemari Nadia kembali hinggap di selangkangannya.
“Hmmm, gede juga nih kayaknya
kontolmu Bim…” Desis Nadia dengan tatapan penuh hasrat.
"Ma..Maaf Bu! Maaf!"
Bima beringsut menjauh dan berdiri
dari sofa, dia gunakan kedua telapak tangannya untuk menutupi area
selangkangan. Suasana berubah menjadi sangat canggung saat ini.
"Kok bisa jadi keras gitu sih Bim?"
Perlahan Nadia berjalan mendekati
Bima, pemuda itu beringsut mundur sampai punggungnya tanpa sadar menyentuh
dinding ruangan. Bima tidak bisa bergerak lagi.
"Kamu lagi sange Bim...?"
"Ma..Maaf Bu! Sa..Saya
tid.."
Ucapan Bima terhenti saat tangan
kanan Nadia meremas selangkangannya yang masih tertutup kain celana. Nadia
tersenyum tipis, matanya menatap Bima dengan binal, layaknya singa betina yang
siap menerkam mangsanya hidup-hidup.
"Lepasin..." Ucap Nadia
memberi perintah.
Bibirnya mendekati bibir Bima, aroma nafasnya
yang harum tercium oleh pemuda itu. Bima terlihat masih ragu untuk melakukan
apa yang diminta oleh Nadia. Birahinya memang sudah terpancing, tapi bermain
gila dengan bos sekaligus ibu tiri Doni jelas hal yang berbeda. Ada banyak
ketakutan yang berperang dengan godaan syahwat saat ini. Tiba-tiba Nadia
menurunkan tubuhnya, wanita cantik itu jongkok tepat di hadapan selangkangan
Bima.
"Apa yang Ibu lakukan..?"
Tanya Bima gugup sambil masih menutupi selangkangannya dengan kedua tangan.
"Singkirin tanganmu Bim…"
Suara Nadia menjadi lebih berat, kedua matanya fokus melihat area selangkangan
Bima.
"Ta..Tapi Bu...?" Bima
berusaha menolak permintaan Bosnya itu.
"Singkirin tanganmu Bim! Atau kamu
ingin dipecat?!"
Bima terkejut mendengar hal itu,
ancaman pemecatan bukan karena dia ereksi di hadapan Nadia tapi justru karena dia
berusaha menolak untuk menunjukkan kontolnya.
"Singkirin tanganmu!"
Perintah Nadia sekali lagi.
Perlahan Bima menuruti perintah Nadia,
dengan perasaan campur aduk dia menyingkirkan kedua tangannya dari area
selangkangan. Beberapa detik kemudian benjolan batang kontolnya terlihat jelas,
tercetak membumbung menyesaki celana berbahan kain. Bima melihat Nadia, menelan
ludahnya berkali-kali.
"Besar ya Bim...?"
Tiba-tiba Nadia menyentuh permukaan
batang kemaluan Bima yang masih terbungkus kain celana. Bima tidak bisa
mengeluarkan kata-kata lagi, sentuhan tangan Nadia membuat mulunya terkunci.
Inilah kali pertama Bima merasakan disentuh area vitalnya oleh seorang wanita
dewasa. Kontolnya semakin mengeras, ujung kepalanya sudah keluar dari karet CD
yang dia kenakan. Sesak dan menyiksa.
"Aku bukain ya Bim biar
lega."
Bima kembali terdiam saat jemari Nadia
mulai melepaskan ikat pinggangnya, kemudian disusul dengan gerakan melepas
kancing celana pemuda itu, lalu diakhiri dengan memelorotkan resleting celana.
"Gila! Gede banget Bim!!"
Pekik Nadia saat melihat cetakan jelas batang kemaluan yang sudah mengeras
sempurna di balik celana dalam.
"Bu, jangan di sini..."
Bima masih merasa ragu untuk
meneruskan kegilaan ini, bukan saja ini pertama kalinya untuknya, tapi
melakukannya saat jam kerja dan di dalam kantor sungguh sesuatu yang hanya bisa
dia bayangkan saat melihat film-film porno. Nadia bergeming, tanpa Bima duga Ibu
tiri Doni itu malah memelorotkan celana dalam yang dikenakannya.
"What the fuck!!! Sumpah ini
gede banget Bim!"
"Aku kocokin ya Bim..." Raut
wajah Nadia menggambarkan antusiasme birahi tingkat tinggi.
"Eeemchhhh...Bu!!!" Lenguh
Bima saat tangan Nadia mulai meremas perlahan batang kontol dan mengocoknya
naik turun.
"Enak Bim..?" Tanya Nadia
beberapa saat kemudian sambil menatap wajah Bima yang berdiri di atasnya.
"Eeemchhh..Enak Bu..E..Enak
banget..!" Jawab Bima sambil berusaha menahan kenikmatan handjob
yang diberikan oleh bosnya itu.
"Lebih enak mana kalau sama
ini..?"
Bima kembali dibuat terkejut karena
perlahan lidah Nadia mulai menjilati kepala kontolnya dan sesekali menghisap
lubang kencingnya. Sensasi basah, hangat, dan lembut langsung terasa pada tubuh
pemuda itu, sensasi yanag belum pernah dia rasakan sepanjang hidup!
"Aaachhh..!! Eemmcchh!! Enak
banget Bu...!"
Perlahan Bima mulai berani memegang bagian
atas kepala Nadia, birahinya bergolak meminta agar ibu tiri Doni itu bertindak
lebih jauh lagi. Kocokan tangan dan jilatan lidah Nadia pada ujung kontol
sepertinya tidak cukup untuk memuaskan hasratnya.
"Kamu sudah mulai keenakan Bim..?"
Tanya Nadia.
Bima mengangguk perlahan sambil memperhatikan
raut wajah binal Nadia. Wanita cantik itu kemudian mulai melepas
kancing-kancing kemejanya. Mata Bima terbelalak saat melihat gundukan payudara
Nadia yang besar nan bulat menyembul keluar. Satu gerakan tangan lagi
membuatnya terlepas dari kurungan BH yang tampak kekecilan.
Nadia kini sudah bertelanjang dada di
hadapan Bima, kali ini Bima yang harus menelan ludahnya berkali-kali. Payudara
berukuran 40B sudah terpampang jelas, sesuatu yang selama ini hanya bisa
dibicarakan oleh beberapa karyawan pria saat makan siang.
"Kok cuma diliatin aja ?"
Goda Nadia sambil menggoyang-goyangkan dadanya ke kanan dan ke kiri, menggoda
Bima untuk meremasnya.
"Eemmcchhh! Pelan aja, sakit
kalo Kamu remas kayak gitu." Protes Nadia saat kedua tangan Bima mencoba
meremas gundukan payudaranya dengan cara yang sedikit kasar.
Nadia kembali mengocok batang kontol
Bima, kali ini dia bertindak lebih jauh lagi. Mulutnya perlahan mulai menghisap
ujung kontol pemuda bertubuh tegap tersebut. Ya! Mulut mungil Nadia, bos
showroom yang terkadang Bima jadikan sebagai bahan bacolan di malam hari kini
menghisap ujung kontolnya! Tak hanya itu, Nadia juga mulai memasukkan batang kemaluan
Bima ke dalam mulutnya, meskipun tak muat untuk seluruhnya tapi itu cukup
membuat Bima menggelinjang menahan kenikmatan yang baru pertama kali dia
rasakan.
"Uuucchh! Emmcchh!!! Basah
banget! Eeehmmpphh!!!"
Bima juga mulai tampak kewalahan
meladeni permainan lidah dan bibir Nadia. Perlahan kepala kontolnya basah kuyup
akibat air liur bosnya itu. Nadia sepertinya sangat terlatih melakukan blowjob,
hisapan-hisapan lembut dari mulutnya ditambah kocokan jemari lembut membuat
batang kontol Bima semakin lama semakin mengeras. Bima seperti melayang ke
langit ke tujuh menikmati servis blowjob dari Nadia.
"Oochhh!! Bu!! Emmcchh!!"
Racau Bima sambil meremas rambut wanita cantik itu.
Nadia terus menggerakkan kepalanya maju
mundur, semakin lama kecepatannya semakin cepat. Tangannya sudah berhenti
memberikan kocokan pada batang kontol Bima, hanya rahangnya saja yang menahan
batang kontol dan bergerak keluar masuk di dalam mulutnya.
Naluri kejantanan Bima mengikutinya, Bima
mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, sesekali dia menahan kepala Nadia sebelum kemudian dia tusukkan seluruh batang kontolnya
sampai mentok di dalam mulut, membuat Nadia tersedak.
"Aaargghhttt!! Nakal! "
Desis Nadia.
Air liur membasahi mulutnya yang
mungil, nafasnya terengah-engah. Kemudian dia merubah posisinya, sedikit maju
ke depan. Dipegangnya batang kontol Bima kemudian menempelkannya tepat di
tengah-tengah belahan dadanya. Empuk banget!
"Ayo keluarin pejumu Bim!"
Ucapnya sambil memulai mengocok batang kontol sang pejantan menggunakan dua
bongkahan buah dadanya.
"Ooocchh!! Fuck!" Desis
Bima menikmati titsjob yang diberikan Nadia. Ternyata tak hanya tangan
dan mulutnya saja yang lihai memberikan servis, tapi kedua buah dadanya juga
tak kalah lihai!
Kocokan buah dada Nadia membuat
gejolak ejakulasi sudah berada di ujung. Bima menggerakkan pinggulnya dengan
cepat, Nadia menahan buah dadanya menggunakan kedua tangan, menahan agar batang
kontol Bima tidak terlepas saat mengikuti irama gerakan pinggul pemuda itu.
Beberapa detik kemudian.
"Oocchhhh Bu!! Aku keluar!!
Oocchh!!!!"
Secepat kilat Nadia kembali meraih
batang kontol Bima dan mengocoknya dengan cepat, mengarahkan lubang kencing
pada kedua dadanya.
"Ayo keluarin yang banyak Bim!
Keluarin yang banyak!!" Goda Nadia di tengah kocokan tangannya pada batang
kontol.
"Hmmm..Banyak banget..."
Nadia tersenyum manis, sebelum
akhirnya kembali menjilati ujung kontol yang masih menyisakan ceceran sperma.
Tulang Bima terasa begitu ringan, tak ada kata yang terucap dari bibirnya
selain perasaan nyaman. Bima menyadari jika kejadian hari ini adalah awal
terbukanya hubungan terlarang antara dirinya dengan Nadia.

Posting Komentar
0 Komentar